Kamis, 30 Oktober 2014

Peran Industri dalam Rekayasa Sosial di Pedesaan

Perlukah Kondisi Sosial Direkayasa?
Disengaja atau tidak, kondisi sosial selalu berubah. Hanya saja kita sebagai anggota masyarakat sepertinya tidak bisa menerka kemana arah perubahan. Terkadang, hanya gejala dari perubahan itu yang nampak di permukaan. Perubahan dianggap baik jika menguntungkan atau menghasilkan dampak positif. Sebaliknya, dianggap jelek  jika dianggap merugikan atau berdampak negatif. Perubahan seperti itu lebih banyak ditolak oleh warga.
Perubahan akan kondisi dari aman menjadi tidak aman adalah salah satu contoh perubahan itu. Banyak orang tua yang mengeluhkan kondisi sosial di desanya saat ini. Bila dibandingkan masa lalu, desa dianggap lebih bisa membawa kenyamanan bagi warganya. Dari sisi spiritual, warga desa bisa terpenuhi kebutuhannya. Walaupun dari sisi finansial belum maksimal, tetapi 'kesederhanaan' cara hidup orang desa mengantarkan desa pada situasi yang menenangkan.
Untuk menjawab keluhan itu, saya berpikir bahwa perlu adanya rekayasa sosial di pedesaan. Rekayasa itu dituangkan dalam rencana jangka panjang dengan menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Ini adalah teori yang diterapkan pemerintah dalam skala nasional. Hanya saja, untuk skala pedesaan kita harus punya rencana terperinci dalam rangka menyiptakan kondisi sosial yang kondusif.
Sasaran Rekayasa Sosial
Dalam merencanakan sebuah perubahan sosial, kiranya perlu ditetapkan sejak awal sasaran yang ingin dituju. Sasaran  tidak boleh bersifat umum seperti 'ingin menyiptakan kondisi sosial yang kondusif'. Tetapi, sasaran rencana harus lebih spesifik pada cita-cita masa depan yang ingin dicapai.
Saya menyarankan jika sasaran rekayasa sosial di desa menekankan pada kebutuhan warganya. Misalnya, sasaran rekayasa sosial di desa Sukamerang adalah 'terpenuhinya kebutuhan finansial, sosial dan spiritual warga'. Sasaran tersebut lahir dari pemikiran bahwa kenyamanan dan ketentraman yang diharapkan bisa tercapai apabila kebutuhan tersebut terpenuhi. Memang, kebutuhan manusia tidak ada angka standar yang pasti. Hanya saja, kita bisa melakukan survey untuk menentukan kebutuhan setiap warga.
Bagaimana jika kita tidak menetapkan sasaran rekayasa sosial? Saya pikir arah pembangunan sosial _dan juga ekonomi_ menjadi tidak punya arah atau serampangan. Mungkin, kondisi sosial di pedesaan akan sangat terpengaruh oleh realitas sosial di luar daerah. Arus globalisasi hanya akan menjadi hal yang 'menakutkan' bukan sebagai kesempatan untuk mengembangkan tata kehidupan.
Saya khawatir, ada banyak protes di kemudian hari atas situasi tidak mengenakan yang timbul. Sekarang pun, banyak keluhan atas situasi  yang tidak diduga sebelumnya. Orang hanya bisa berkata, "kenapa bisa begini?". Kekagetan itu tidak akan terjadi jika ada sasaran perubahan sedari sekarang. Apabila ada penyimangan dari rencana awal, kita bisa memakluminya karena sudah paham akan 'kenapa terjadi kegagalan'.
Apabila ada sasaran yang jelas, saya pikir pola pengendalian pun akan lebih mudah. Sebuah manajemen sosial diterapkan dalam skala lokal yang dimulai dari pemahaman bersama akan rencana yang sudah ditetapkan. Melalui sosialisasi berkala, diharapkan warga memahami pola-pola perubahan yang diinginkan. Maka dari itu, perlu ada pemimpin rekayasa sosial ini. Mereka bisa berasal dari berbagai elemen seperti pemerintah desa, ulama atau industrialis.
Strategi Rekayasa Sosial
Sebagaimana tercantum dalam Pembangunan MasyarakatDesa , kita perlu mengambil langkah untuk menentukan strategi rekayasa sosial yang seimbang dan berkesinambungan. Dengan rencana yang mantap, bukan hal yang tidak mungkin jika rekayasa tersebut berhasil.
Setiap sektor kebutuhan dapat dijabarkan dengan terperinci dan ditentukan bagaimana untuk mencapainya. Rencana yang terperinci sebaiknya diketahui dan dipahami bersama. Layaknya diagram alur, ada langkah-langkah strategis dan langkah teknis yang mesti dijalankan. Hal yang pasti, visi pembangunan yang jelas harus ada dalam setiap pemikiran warga.
Konsep ini terdengar muluk-muluk, tetapi jika ada rangkaian kerja yang sistematis maka saya yakin warga _siapa pun_ akan menyetujui dan mengikuti apa yang telah digariskan. Rencana itu disosialisasikan dalam bentuk papan reklame yang dipasang di pinggir jalan. Ini bentuk penyerapan informasi untuk menyamakan pemikiran. Layaknya iklan produk komersil, saya yakin promosi rencana kerja akan mempengaruhi cara berpikir warga.
Industri sebagai Alat
Pada tulisan Industri sebagai Lokomotif Pembangunan, saya sudah mengemukakan bahwa industri bisa menjadi lokomotif pembangunan. Begitu juga dalam hal rekayasa sosial, industri bisa menjadi penentu kondisi sosial kemasyarakatan. Banyak kawasan industri di beragai daerah di Indonesia yang turut serta mengubah kondisi sosial di sekitarnya.
Untuk itu, kita harus punya pemikiran positif bahwa industri pun bisa membawa desa kita pada kondisi sosial yang kondusif. Industrialis sebagai pemegang kepentingan, harus memiliki niat dan visi masa depan yang lebih baik tentang masyarakat di sekitarnya. Peran serta perusahaan di tengah masyarakat sudah menjadi bagian dari tradisi manajemen modern.
Perusahaan perlu mencantumkan rencana rekayasa sosial yang disampaikan kepada internal dan seluruh pihak yang berkepentingan. Perlu diingat bahwa alasan untuk berdirinya perusahaan adalah untuk melayani masyarakat. Sinkronisasi kepentingan saya pikir akan membawa keharmonisan diantara perusahaan dan warga sekitarnya. Bukan sebaliknya, dimana konflik sering terjadi ketika perusahaan tidak bisa menyesuaikan dengan kepentingan warga desa.






Jumat, 24 Oktober 2014

Pembangunan Masyarakat Desa (Bagian 2)

Strategi PMD
Setuju atau tidak, dikelola atau dibiarkan saja, perubahan sosial pasti akan terjadi. Hal itu juga terjadi walaupun dalam masyarakat tradisional yang dianggap statis. Sebab tidak ada yang tidak berubah di kolong langit ini. Hanya saja kemana, bagaimana arah perubahan itu dan adakah yang mengelola secara cermat perubahan itu, merupakan masalah.
Sebaliknya, perubahan sosial yang dikelola lewat inovasi tertentu misalnya di bidang pertanian, kesehatan (keluarga berencana dan lain-lain) belum tentu akan terwujud dampak positipnya saja. Dari hasil studi di beberapa negara tentang inovasi yang dihajatkan untuk peningkatan taraf hidup warga masyarakat terjadi hal-hal yang tidak diduga-duga.
Pengenalan mesin uap yang mengakibatkan Revolusi Industri I di Barat telah menimbulkan berbagai dampak antara lain meningkatnya pengangguran, sirnya home industri. Pengenalan roda kepada masyarakat Indian di Amerika Serikat telah mematikan unsur budaya tertentu yaitu menurunnya usaha kerajina keramik di kalangan suku itu. Usaha mekanisasi pertanian di Turki pada suatu desa yang tadinya tertutup, mengakibatkan produksi kapas yang begitu meningkat, jalur komunikasi lebih lancar, ekonomi masyarakat makin meningkat di satu pihak, namun yang tidak diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat negeri itu telah tumbuh pula sikap ketergantungan, demoralisasi dan lain-lain (Roger dan Shoemaker).
Dari fakta-fakta di atas maka sudah pada tempatnya jika kita mesti lebih hati-hati dalam mendisain suatu program PMD yang didalamnya terdapat pengelolaan perubahan sosial. Para disainer perubahan sosial mesti memahami benar, mesti jeli sekali bahkan harus terampil dalam strategi PMD. Strategi itu harus meliputi seluruh persepsi tentang keadaan lingkungan dan aksi-aksi tandingan yang relevan atau taktik-taktik yang cocok untuk itu (G. Salzman, et. Al, 1972).
Dari hasil studi yang direkam oleh Slazman dan kawan-kawan itu, ada empat faktor yang muncul untuk menguatkan pengaruh pada strategi pengembangan yaitu goals & objectives, sumber-sumber target perubahan, hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan. Bagaimana menentukan strategi yang cocok sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang akan dihadapi.
Oleh karena itu ada bentuk-bentuk strategi yang dikembangkan untuk sasaran-sasaran yang dianggap cocok misalnya power strategies  untuk masalah reform dan political change, persuasive strategies yang diwujudkan dalam bentuk propaganda atau komunikasi dalam usaha untuk mengubah opini masyarakat, reeducatif strategies. Hal yang terkahir ini diwujudkan dalam bentuk kursus, pelatihan, seminar/lokakarya. Misalnya bagaimana membentuk T-Groups dalam rangka membina organisasi yang efektif, mengubah kebiasaan kerja yang kurang tepat di kalangan manajer koperasi dan lain-lain.

Dengan kata lain tidak ada strategi yang ampuh untuk berbagai format komuniti, apalagi dalam perbedaan kondisi dan lain-lain. Penanganan PMD yang baik tidak dapat dikerjakan oleh perorangan walaupun kepala daerah itu telah terdidik baik dan berpengalaman luas. Kerjasama dengan komponen-komponen yang berbobot dalam suatu lingkungan tertentu merupakan terapi yang dapat dipertanggungjawabkan dalam menata strategi PMD.

(Sumber : Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa. HM. Yakub. Angkasa. Bandung: 1985)

Pembangunan Masyarakat Desa (Bagian 1)

Tidak mudah menentukan definisi manakah yang paling cocok dalam mengambil pengertian pembangunan masyarakat desa pada suatu negara. Banyak yang mengidentifikasikan bahwa pembangunan masyarakat desa sebagai usaha-usaha perbaikan setempat yang bisa dicapai dengan keinginan masyarakat untuk bekerja sama (T.R. Batten, 1957). Oleh karena itu setiap bangsa memiliki ideal tertentu mengenai pembangunan masyarakat desa yang diidam-idamkannya. Idaman tersebut dapat kita perhatikan secara eksplisit atau inplisit dalam falsafah negara, undang-undang dasar negara bersangkutan.
Sering terdapat berbagi bentuk dan variasi wajah masyarakat dalam lingkungan suatu negara terntentu, walaupun telah diikat oleh persamaan filsafat/keyakinan hidup, ekologi lingkungan yang relatif sama dan sosial budaya yang berasal dari muara yang sama pula. Berdasarkan uraian di atas maka tidak heran jika terdapat bermacam pengertian tentang pembangunan masyarakat desa.
Pengertian Pembangunan Masyarakat Desa
Pembangunan masyarakat desa berasal dari kata community development yang dapat diartikan sebagai suatu proses, metode atau sebagai suatu gerakan, begitulah menurut Irwin Sanders (Lee J. Cary, 1971). Community Development sebagai suatu proses berarti suatu aksi sosial yang didalamnya warga dari masyarakat mengorganisasi diri mereka sendiri untuk planning, action, menentukan needs & problems individu maupun orang banyak, membuat berbagai bentuk kegiatan untuk kepentingan, masyarakat dengan menggunakan segala daya masyarakat semaksimal mungkin dan jika terpaksa meminta bantuan pemerintah atau dari luar negeri. Dari sumber yang sama JD. Mezirov mengemukakan bahwa community development sebagai proses perencanaan dan mengorganisir usaha-usaha untuk membantu individu-individu ataupun masyarakat sehingga tercapai sikap-sikap tertentu, kecakapan-kepcakapan dan konsep-konsep untuk partisipasi mereka yang demokratis di dalam solusi yang efektif dalm range yang mungkin dari suatu masyarakat dengan menggunakan kemampuan mereka sendiri.
Community Development sebagai suatu metode:
· Sebagai induksi dan manajemen pendidikan dari semacam interaksi antara perorangan dengan masyarakat untuk kemajuan keduabelah pihak.
· Sebagai sarana untuk mengajar orang dewasa untuk memanfaatkan timing dan squense daripada aktifitas dalam menyelesaikan suatu proyek melalui tingkat-tingkat yang lebih lanjut untuk mencapai cita-cita yang diidam-idamkan.
Pembangunan masyarakat desa yang untuk selanjutnya disebut dengan PMD sebagai suatu gerakan dalam berbagai bentuk aktifitas misalnya dalam sektor kesehatan, pertanian, industri, rekreasi dan lain-lain. Arthur Duncan  menekankan bahwa pembangunan masyarakat sebagai program meliputi segala bentuk pengorganisasian yang dapat mempengaruhi untuk peningkatan:
·  Tingkat hidup masyarakat
·  Kapasitas untuk integrasi
·  Penentuan sendiri masyarakat
Hal itu diarahkan kepada empat elemen yang terpenting:
1. Perencanaan program
2. Mendorong selfhelp
3. Bantuan teknis dan
4. Megintegrasikan berbagai sektor untuk membantu kemajuan masyarakat.
Dari uraian di atas jelas bahwa definisi-definisi tersebut dikembangkan dalam konteks demokrasi (liberal) di Barat yang kadang-kadang belum tentu sesuai dengan kondisi mental atau struktur kebudayaan masyarakat lain, terutama di dunia ketiga. Namun demikian prinsip-prinsip community development dapat diaplikasikan ke dalam masyarakat kita sepanjang tidak merusak atau disesuaikan dengan cita-cita/filsafat hidup bangsa.
Dalam PMD ada sesuatu yang mendorong individu untuk melibatkan dirinya dalam masyarakat untuk mencapai suatu tujuan atau meningkatkan ke taraf yang lebih tinggi. Dengan kata lain, PMD akan mendorong terjadinya perubahan yang mulai dari jiwa/batin (perubahan persepsi, sikap dan seterusnya) setiap/beberapa individu yag berengaruh atau tidak yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan sosial (social change). Perubahan sosial adalah suatu proses yang didalamnya terjadi perubahan struktur dan fungsi dari suatu sistem sosial (EM. Roger, Shoemaker, 1971). Perubahan sosial pada umumnya diartikan sebagai pertumbuhan dan perkembangan yang mengahsilkan tambahan kualitatif dan kuantitatif.
Perubahan sosial dapat mengakibatkan kemajuan atau kemunduran, kesenangan atau kesusahan. Perubahan sosial dewasa ini berlangsung lebih cepat ketimbang beberapa ratus tahun lalu (A. Sanusi, 1975).perubahan sosial itu merupakan efek dari komunikasi yang prosesnya melalui inovasi, intervensi,  diffusi dan konsekuensi-konsekuensi. Perubahan sosial itu dapat terjadi karena sumber-sumber yang berasal dari dalam (internal) sistem sosial. Apabila perubahan itu berasal dari dalam dapat mengakibatkan perubahan immanent, lalu hal itu dapat menjadi penyebab terjadinya perubahan permanent. Perubahan sosial dari sumber luar (eksternal) dapat terjadi perubahan selective contact dan directive contact (Roger, Shoemaker).
Beberapa Teori Perubahan Sosial
Dalam menganalisis perubahan sosial tidaklah lengkap jika tidak menyinggung tentang teori-teori perubahan sosial sebagai berikut:
1. Teori evolusi yang karakterisitiknya terlihat bahwa perubahan itu diasumsikan berjalan lancar tapi lambat (smooth), perubahan commulative, selalu dalam bentuk linear dan selalu menuju ke arah perkembangan yang kompleksitas dan adaptabilitas.
2. Teori keseimbangan yang karakteristiknya dilandasi atas konsep homeostatis dan fokusnya menyiptakan kondisi yang cenderung ke arah yang stabil dan konsekuen.
3.Teori konflik yang karakteristiknya bahwa perubahan itu dengan asumsi terjadi dalam organisme sosial itu suatu endemik  terhadap unsur-unsur sosial yang terfokus pada kondisi-kondisi yang tidak stabil sebagai konsekuensinya.
4. Teori jatuh bangun (rise and fall) yang karakteristiknya berasumsi masyarakat-masyarakat, kebudayaan-kebudayaan atau peradaban-peradaban itu tenggelam atau bangkit secara sendiri-sendiri dan kesemuanya itu tidak bergerak ke arah yang sama (Richard P. Apelbaum, 1970).

Teori manakah yang aktual dalam perubahan sosial di negeri ini, memerlukan studi sendiri. Dalam era pembangunan dewasa ini kecenderungan yang santer di kalangan pemimpin nasional kita kepada teori kedua _yang selaras dan seimbang. Harus diakui bahwa dalam proses perubahan sosial kadang-kadang sulit dibedakan secara clear-cut teori manakah yang akan dijadikan landasan pijak.

Minggu, 12 Oktober 2014

Masa Tua Bahagia di Desa

Perbandingan populasi orang tua dengan anak muda di pedesaan memang berbeda cukup jauh. Ketika anak muda sibuk dengan urbanisasi, maka yang tiggal di desa adalah para orang tua. Hal ini menjadi perhatian saya dimana situasi ini bisa menjadi kurang baik jika desa hanya dijadikan tempat untuk 'mengisi hari tua' saja. Saya menganggap bahwa desa harus menjadi tempat yang dinamis di masa depan, dimana orang tua dan anak muda saling bergotong royong untuk membangun desa.
Untuk itu, desa harus dibuat sedemikian rupa supaya 'prospektif' bagi segala usia. Desa bisa menjadi tempat yang ideal untuk mencari pendapatan juga desa menjadi tempat yang ideal untuk peristirahatan.
Mulai saat ini, sebaiknya desa dipersiapkan menjadi tempat yang yang bisa memberikan kebahagiaan bagi segala usia. Jika begitu, anak muda sekarang bisa mengisi hari tuanya nanti dengan kebahagiaan pula. Caranya, dengan mempersiapkan segala infratruktur yang baik dimana desa menjadi tempat tinggal yang aman, nyaman dan beradab. Sebaiknya ada lembaga khusus yang bisa memberdayakan para orang tua.
Dalam membangun infrastruktur itu, perlu diperhatikan beberapa hal yang bisa menjadi prasyarat kepuasan orang tua dalam mengisi hari tuanya.[1]
(1)  Kesehatan emosi dan fisik yang baik. Bagi orang tua _dan anak muda juga _ perlu disediakan sarana khusus untuk berolahraga. Secara emosional para orang tua memiliki kekhasan, maka sebisa mungkin ada komunitas yang khusus memberikan pelayanan bagi para orang tua. Apabila memungkinkan, para orang tua bisa diajak berkegiatan dalam memanfaatkan waktu dan tenaga yang masih dimiliki.
(2)  Pendapatan yang mencukupi di atas tingkat subsistensi. Untuk 'menjamin' pemenuhan kebutuhan di hari tua maka ada lembaga khusus yang memberikan pembiayaan bagi orang tua. Asuransi masa tua sebaiknya dimulai dari saat ini. Para orang tua tidak bisa selalu bergantung pada anak-anaknya karena bisa jadi pendapatan yang mereka miliki juga tidak besar. Kepedulian warga akan para orang tua bisa tercermin dari sumbangan yang diiberikan secara berkala kepada lembaga jompo ini. Saya tidak menyarankan adanya panti jompo karena sudah menjadi kewjiban anak menjaga orang tua mereka.
(3)  Akomodasi yang cocok. Tempat tinggal yang nyaman sebaiknya disiapkan dari sekarang. Mungkin kita beranggapan bahwa kebutuhan orang tua dan anak muda sama padahal ada banyak hal yang bersifat khusus. Perlu dipahami, bahwa para orang tua ini butuh perhatian lebih. Maka, harus ada sistem terintegrasi yang ditujukan untuk para orang tua. Rumah, kendaraan dan berbagai kebutuhan perlu ada kriteria khusus yang dibuat oleh Pemerintah Desa. Harus ada aturan tegas dalam menata rumah, kendaraan dan prasarana umum yang berpihak pada orang tua.
(4)  Rekan dan tetangga yang sehaluan. Dalam komunitas, para orang tua bisa saling bertukar pikiran. Apabila ada program khusus _misal olahraga bersama_ maka orang tua memiliki tujuan lain setelah sekian lama bergelut dengan kehidupan yang 'melelahkan'. Kita harus paham bahwa ada perasaan tidak' diperlukan lagi' dalam diri orang tua. Untuk itu, kita bangkitkan lagi rasa percaya diri mereka sehingga mereka menjadi warga yang masih memiliki peran dalam pembangunan desa.
(5)  Satu atau lebih minat yang mengasyikan. Komunitas bisa menjadi tempat untuk menyalurkan kegemaran mereka. Berkebun, merajut atau berolahraga bisa menjadi salah satu hobi yang bisa dilakukan. Apabila ketika muda tidak cukup waktu untuk menyakurkan hobi, maka sudah saatnya dikembangkan karena keluangan waktu yang dimiliki.
(6)  Filosofi hidup yang memadai. Para orang tua sudah 'mapan' dalam hal spiritual. Mereka memiliki pengalaman hidup yang lebih dari cukup untuk disampaikan kembali pada anak muda. Komunitas juga bisa menjadi sarana untuk menjembatani dua generasi ini. Filosofi hidup orang tua ditularkan dengan berbagai forum yang dibentuk. Orang tua yang memiliki keahlian di bidangnya, bisa menjadi guru bagi anak-anak muda.
Jadi, keliru untuk percaya bahwa semakin bertambah tua maka tidak cocok untuk bekerja dan tidak cocok untuk bermain, bahwa semakin bodoh setiap hari dan bahwa penyakit tidak bisa disembuhkan. Jangan biarkan mitos ini mengendalikan hidup para orang tua.



[1]  C. Northcote Parkinson dkk. Masa Pensiun yang Bahagia. Binarupa Aksara. Jakarta:  1990. Hal. 39

Mengembangkan Hobi, Perlukah?

Anggapan orang tentang hobi memang berbeda-beda. Ada yang menganggap bahwa hobi hanyalah cara orang untuk membuang-buang waktu. Tetapi, ada juga yang menganggap adalah hobi adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Bagaimana kita menganggap arti penting sebuah hobi, memang berpengaruh pada bagaimana kita memanfaatkan hobi itu. Banyak orang yang menganggap hobi hanyalah sekedar hobi. Ada juga yang menjadikan hobi itu sebagai jalan hidup yang diseriusi.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan bahwa hobi menjadi salah satu cara kita untuk mengembangkan kreatifitas. Bagi anak-anak hobi adalah bagian dari pendidikan mental. Bagi orang dewasa, hobi bisa menjadi terapi bagi jiwa yang penuh dengan tekanan lingkungan. Dengan mengembangkan hobi, pikiran menjadi lebih jernih sehingga kita lebih siap kembali kepada rutinitas kerja atau sekolah.
Anak-anak harus diajari untuk mengembangkan sedikitnya dua hobi  __satu, hobi mengumpulkan, yang lain, hobi kreatif. Saya yakin bahwa variasi hobi ini mengembangkan banyak kecakapan mental mereka dan memberi mereka jendela dunia. Variasi hobi ini membuat mereka berpusat kepada dunia, ketimbang kepada diri sendiri.[1]
Dengan mengembangkan hobi, cakrawala berpikir kita bisa menjadi lebih terbuka. Seseorang selalu ada keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan hobi, sikap egosentris bisa diredam sehingga ada perasaan siap bersaing dengan sehat. Sportifitas, menjadi ciri bagi penyuka hobi permainan. Dalam realita, penyuka seni bisa lebih punya rasa yang kuat untuk mengatur diri dan orang-orang di sekitarnya.
Dan memang demikianlah kenyataannya. Banyak contoh seseorang yang bisa sukses berkat mengembangkan hobinya. Ada pemain sepakbola yang berawal dari hobi bermain sepakbola. Ada pengusaha yang sukses dengan diawali kesukaannya berdagang.
Sayang, masih banyak orang yang meremehkan hobi. Akibatnya, pendidikan formal kita kurang memfasilitasi hobi setiap individu padahal itu bisa menjadi sarana untuk mengasah bakat peserta didik. Di masyarakat, sikap ini membuat hobi tidak terorganisir padahal itu bisa menjadi sarana untuk bertukar pikiran dan membangun relasi.
Seseorang yang bisa mengembangkan hobinya mempunyai nilai plus di masyarakat. Dia turut serta membangun sektor yang biasanya belum banyak digeluti warga. Contoh, hobi olahraga bisa mendorong banyak orang untuk turut serta berolahraga. Begitu juga dengan hobi seni, bersosial media dan lain-lain.
Mulai sekarang, sudah saatnya menjadikan hobi sebagai sarana untuk membangun masyarakat. Baik itu membangun kualitas sumberdaya manusia hingga membangun sarana fisik yang diperlukan oleh warga. Masyarakat yang dinamis biasanya menjadi ciri masyarakat yang produktif. Produktifitas menjadi kunci keberhasilan pembangunan.



[1] C. Nortchote dkk. Masa Pensiun yang Bahagia. Binarupa Aksara. 1990. Hal. 43

Memprediksi Situasi Masa Depan Anak-anak

Zaman terus mengalami perubahan.  Situasi dunia memang sulit untuk diprediksi. Tanpa adanya pengetahuan yang cukup, warga desa sulit mengimbangi kemajuan yang sedang terjadi. Ada kebingungan yang sedang dialami orang desa dengan keluguannya. Dalam kondisi kebingungan itu, banyak diantaranya yang 'coba-coba' untuk meniru kesuksesan orang kota. Anak-anak mereka dibekali pendidikan setinggi mungkin namun terkadang belum bisa mendefinisikan arti penting pendidikan bagi anak-anak. Orang desa masih 'berjudi' dengan masa depan anaknya. Bahkan, banyak orang tua di desa-desa tidak tahu betapa banyak profesi baru bermunculan dan banyak pula profesi lama yang terhapus masa.
Terkadang, perubahan itu tidak disadari oleh kebanyakan orang tua. Anak-anaknya terus disuruh untuk belajar tanpa diberikan pemahaman 'untuk apa mereka belajar'. Minimnya akses informasi membuat orang tua justru merasa khawatir akan masa depan anak-anaknya. Banyak orang tua tidak menyadari jikalau zaman berubah, sehingga apa yang dipikirkan oleh orang tua kini mungkin akan berbeda dengan kejadian yang sebenarnya di masa depan. Karena sama-sama mengalami kebingungan, banyak orang tua malah  menyerahkan masa depan anak-anaknya begitu saja pada waktu.
Pada awalnya mereka sangat berharap pada pendidikan. Namun, seiring berjalannya waktu pendidikan formal pun belum bisa menjawab tantangan masa depan. Pendidikan formal belum bisa menjembatani antara situasi masa kini dengan situasi masa depan anak-anak. Kenapa? Mungkin orientasi pendidikan kita yang masih berfokus pada penalaran pelajaran-pelajaran dan belum mendidik anak-anak untuk mandiri dan kreatif.
Perlu dipahami bahwa saat ini pendidikan bukan lagi sebagai jalan untuk mencari kerja. Orientasi orang tua menyekolahkan anaknya perlu diubah. Pendidikan menjadi bentuk investasi masa depan, sehingga akan ada banyak waktu, tenaga dan uang yang dikeluarkan. Keliru jika para orang tua menyerahkan masa depan anak sepenuhnya pada pendidikan formal. Tidak semua hal tentang kehidupan diajarkan di sekolah. Untuk itu, orang tua di pedesaan perlu juga 'memperkenalkan' situasi pedesaan yang sebenarnya. Dalam prakteknya, tidak ada salahnya jika anak-anak bermain di sawah. Mereka akan belajar memahami apa yang biasa terjadi di sana. Jangan sekali-kali 'mengurung anak' di rumah. Masa depan desa kita ada di tangan mereka, jadi jangan cegah mereka untuk menggali potensi desanya juga demi masa depannya.
Bagaimana memprediksi masa depan anak-anak?
Apabila kita sudah punya cara untuk mempersiapkan masa depan anak-anak kita maka kita bisa memprediksi bagaimana masa depan mereka. Caranya: pola pendidikan yang kita terapkan di sekolah plus di rumah akan berujung pada situasi masa depan yang kurang lebih sama dengan apa yang kita harapkan.
Saya percaya bahwa anak-anak layaknya komputer yang belum diisi software maka mereka  pun akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh tergantung pada software apa yang mengisi hati dan pikirannya. Dengan kata lain, masa depan anak-anak kita bisa direkayasa oleh kita sendiri. Sebagaimana ungkapan cara termudah untuk memprediksi masa depan adalah dengan merekayasanya.
Apabila kita ingin tahu apa profesi anak-anak kita di masa depan, memang sulit. Tetapi, kita bisa memprediksi seperti apa kehidupan anak kita di masa depan _baik atau burukkah_ itu adalah buah dari investasi kita. Dengan menyiptakan situasi kehidupan yang lebih beradab, maka masa depan anak-anak kita pun akan lebih beradab.
Memang terdengar sulit dan muluk-muluk apa yang saya kemukakan. Namun, saya yakin bahwa berlaku hukum kausalitas (sebab-akibat) dalam kehidupan dunia ini. Jika kita menanam benih yang baik maka akan menghasilkan pohon yang baik. Begitu pun sebaliknya.
Masa depan sangat dipengaruhi situasi sosial, ekonomi, politik. Maka dari itu, bukan merekayasa situasi globalnya tetapi merekayasa bagaimana anak-anak bisa menghadapi situasi itu. Tentu saja diperlukan orang-orang yang tangguh untuk mengarungi kemajuan zaman apabila tidak ingin tergerus oleh zaman. Pendidikan adalah proses 'memasukan' ide-ide untuk merekayasa masa depan sehingga si anak bisa menyiptakan masa depannya sendiri.
Biarkanlah si anak berimajinasi tentang masa depannya sendiri. Sebagai orang tua, kita hanya perlu mengarahkannya. Jangan sok tahu akan masa depan anak, tetapi kita hanya memberikan mereka ide-ide dari apa yang kita pikirkan tentang masa depan mereka. Bukan saatnya lagi orang tua terlalu memaksakan keinginannya. Setiap anak punya keunikannya sendiri.

Anak-anak sudah harus siap menghadapi situasi apa pun. 

Sabtu, 11 Oktober 2014

Si Teoritis Vs. Si Praktis : Cara untuk Menentukan Tujuan Pembangunan

Sumber : tumbas-buku.blogspot.com
Warga desa saat ini mulai menjadi warga yang heterogen dalam artian ada berbagai macam karakter orangnya. Jika dahulu didominasi oleh petani, saat ini warga desa sudah berlatar belakang pedagang, karyawan pabrik, PNS dan sebagainya. Latar belakang warga secara langsung sangat mempengaruhi cara berpikirnya.
Banyaknya karakter orang desa tersebut turut serta mempengaruhi pola pembangunan desa itu sendiri. Hal yang paling terlihat dan terasa adalah bagaimana tujuan pembangunan di desa itu ditetapkan. Karena perbedaan cara berpikir itu, lahirlah berbagai cara warga menentukan masa depannya yang tentu saja bisa berbeda. Akan ada perbedaan pendapat dalam menentukan suatu rencana atau aplikasi dari rencana yang sudah dibuat.
Untuk bisa mengakomodir berbagai cara berpikir itu, kita harus paham pula cara berpikir masing-masing orang. Tetapi, karena banyaknya orang kita hanya bisa membedakan  mereka secara garis besarnya saja. Dalam menentukan tujuan pembangunan, setidaknya ada dua logika yang berlaku yakni logika teori dan logika praktek.
Logika Teori  dan Logika Praktek
Logika teori mengatur tahap keputusan sebagai suatu proses yang teratur, rasional, dimulai dari penetapan sasaran sampai kepada penentuan tindakan terkahir yang harus diambil.[1] Logika teori mempunyai simetri, logika dan suatu permulaan dan penghabisan.
Logika praktek tersusun dari waktu dan minat seseorang, tekanannya dan pertimbangannya sehari-hari terhadap banyak keputusan. Logika praktek senantiasa membuat keputusan kemudian mencoba dan menunggu perkembangannya. Ia jarang sekali mempunyai waktu untuk menyelesaikan satu persoalan pokok seluruhnya melalui beberapa tahap tindakan. Apabila menemui satu persoalan 'yang dianggap lebih penting' maka ia menggunakan waktu yang lebih banyak untuk persoalan tersebut.[2]
Logika praktek memerlukan semacam keterampilan untuk sebentar membuka persoalan, kemudian menutupnya dan membukanya yang lain. Ia mengurusi fase persoalan penting berikutnya, dan apabila fase itu telah selesai maka ia pindah kepada persoalan lain pada fase yang sama yang memerlukan perhatiannya pada saat itu.
Jadi, logika praktek kurang bersifat sistematis dalam memecahkan suatu persoalan.
Jalan Tengah
Ketika menentukan tujuan pembangunan, kedua logika tersebut harus bisa terakomodir. Sebagai contoh, warga desa mempunyai bantuan dari Pemerintah sebesar Rp. 200 juta. Si Praktis akan berpikir bahwa uang tersebut akan lebih baik jika dimanfaatkan untuk membangun rumah warga yang kurang mampu. Tetapi si teoritis  mengusulkan untuk memperbaiki jalan desa sebagai sarana transportasi.
Siapa yang harus diturut?
Si teoritis beralasan bahwa membangun jalan dapat mempermudah transportasi sehingga memperlancar ekonomi pedesaan. Sebaliknya si praktis beralasan bahwa membangun rumah warga lebih terlihat nyata hasilnya.
Karena logika berpikirnya berbeda maka cara mereka memetakan pikirannya pun berbeda. Logika teori akan memaparkan berbagai teori pembangunan berdasarkan pengetahuan yang didapatnya. Dia bisa membayangkan hasil akhir dari isu yang diangkatnya. Logika Si praktis akan memaparkan pendapatnya berdasarkan nalurinya bahkan belum bisa menentukan hasil akhir dari isu yang diangkatnya.
Dalam mengakomodirnya, si pimpinan harus bisa menjelaskan pada kedua karakter warga ini. Pimpinan sebaiknya menjelaskan terlebih dahulu arti penting dari setiap opsi yang disodorkan. Hal terpenting apa yang harus didahulukan, itulah kunci dalam membuat keputusan dari dua pendapat yang berbeda.
Dalam kasus diatas, pimpinan harus menjelaskan arti penting kedua opsi bagi pembangunan masyarakat desa. Apakah membangun rumah warga sangat berpengaruh pada kepentingan warga secara keseluruhan meskipun mereka dianggap 'harus segera ditolong'. Juga, dimana letak arti pentingnya membangun jalan desa bagi warga secara keseluruhan. Jangan-jangan pembangunan jalan hanya menguntungkan 'warga pemilik kendaraan saja'. Atau, malahan menguntungkan pemilik perusahaan yang kebetulan menggunakan jalan desa sebagai jalur transportasi barangnya.
Perlu dipahami, bahwa tujuan dari pembangunan desa adalah untuk memecahkan masalah masyarakat desa bukan untuk mengakomodir opsi warga desa. Bisa jadi dua opsi yang disodorkan harus ditolak kedua-duanya. Karena, harus ada pembicaraan kembali untuk menentukan tujuan pembangunan desa demi kepentingan bersama.  



[1]  George S. Odiorne. Keputusan Manajemen Berdasarkan Sasaran. Gramedia. Jakarta: 1979. Hal. 159.
[2]  Ibid. 

Kurikulum Pemecahan Masalah

Sumber : gurupembaharu.com
Darimana Datangnya Keinginan untuk Memecahkan Masalah
Awalnya saya tidak paham kenapa selalu memikirkan banyak hal. Ada banyak masalah kehidupan yang membuat saya penasaran. Rasa penasaran itu begitu 'mengganggu' pikiran. Ketika belum ada jawabannya, saya terus mencari bahkan dengan resiko harus menginvestasikan waktu, tenaga dan uang lebih besar dari biasanya. Ketika berada dalam kesendirian, terbayang sesuatu yang menjadi pertanyaan saya, kenapa hal ini dan itu terjadi? Kenapa begini? Kenapa begitu? Bagaimana memecahkan persoalan ini dan itu? Dan sebagainya.
Bertahun-tahun saya mencoba untuk memahami cara berpikir saya sendiri. Lalu, akhir-akhir ini saya mulai tahu bahwa ternyata saya termasuk orang yang suka memecahkan masalah.
Karakter itu terbentuk begitu lama. Perasaan tidak puas akan apa yang sudah didapat semakin menguatkan karakter itu. Saya lebih tertarik belajar dengan otodidak dibandingkan mengikuti pola pendidikan formal yang sudah ada. Bukan pendidikannya yang salah, tetapi dulu saya tidak paham atas apa yang dibutuhkan.
Ternyata, untuk orang-orang seperti saya perlu dihadapkan pada situasi yang menantang dan tidak monoton. Ketertarikan pada situasi itu _yang kadang kacau_ menjadi semacam 'kesenangan' bagi saya. Apabila saya sudah bisa menyelesaikan tantangan itu maka ada kepuasan yang luar biasa.
Hingga kini, saya sendiri belum menemukan jawaban pasti kenapa ada keinginan untuk memecahkan masalah. Apakah itu semata-mata kepuasan atau dorongan batin. Namun, saya mulai punya kesimpulan sementara bahwa keinginan untuk memecahkan masalah adalah sebagian dari insting manusia untuk mempertahan diri/eksistensi diri. Secara naluriah mahkluk hidup akan 'berperilaku' sedemikian rupa untuk mempertahan dirinya. Seekor binatang akan membuat sarang untuk berteduh atau mencari makanan karena lapar.
Begitu juga manusia, masalah yang dihadapi tidak hanya tempat tinggal dan makanan sehingga secara naluriah akan mencoba untuk memecahkan masalah itu. Kompleksitas masalah manusia menuntut manusia untuk terus berpikir dan bekerja dalam rangka memecahkan masalah itu. Sehingga, lahirlah begitu banyak ilmu pengetahuan yang berisi cara untuk memecahkan suatu masalah kehidupan.
Lingkungan Memberikan Stimulasi
Kebingungan kembali menyelimuti saya ketika sebagian besar orang di sekitar saya tidak tertarik untuk memecahkan masalahnya sendiri. Ada banyak orang di sekitar saya yang hanya 'memecahkan masalah kebutuhan dasar' saja. Ketidaktertarikan mereka untuk memecahkan masalah juga menjadi perhatian saya saat ini.
Ada 'perang batin' dalam diri saya. Dalam keseharian, banyak perbedaan pendapat dan perbedaan cara berpikir antara saya dan kebanyakan orang. Saya tertarik untuk memecahkan masalah kehidupan pedesaan, sebagian orang justru tidak peduli. Mereka justru sibuk berpikir bagaimana memenuhi kebutuhannya dasarnya sendiri.
Anehnya, saya tidak terpengaruh. Banyak orang yang mengkritik saya dengan berbagai cara.  Saya bergeming. Dalam hal ini saya merasa 'sendirian'. Tetapi saya ikuti saja intuisi.
Kemudian, ketika saya mulai merasakan perbedaan yang menyolok itu _ saya yakin bahwa rangsangan lingkungan terhadap karakter manusia sangat dominan. Saya sendiri besar di keluarga petani dan guru. Sebagai petani saya sering berinteraksi dengan alam. Sebagai anak guru, saya didekatkan dengan buku dan media informasi lainnya. Mungkin, otak saya 'diisi' oleh begitu banyak permasalahan kehidupan yang sebenarnya tidak saya alami dan saya lihat secara nyata. Juga, otot saya terbiasa digunakan sehingga selalu ada keinginan untuk mempermudah kerja tanpa harus mengurangi produktifitas yang sudah ada.
Terbentuklah Pola Pikir
Dari rangsangan lingkungan itu : terbentuklah pola pikir.
Itulah yang ingin saya sampaikan pada tulisan ini. Saya punya angan bagaimana caranya lebih banyak lagi orang seperti saya yang tertarik memecahkan masalah. Dengan begitu, kompleksitas permasalahan kehidupan ini bisa terselesaikan dengan cepat.
Perlu adanya suatu lingkungan yang mendukung orang _terutama anak-anak_ supaya punya pola pikir pemecah masalah. Lingkungan itu harus menjadi wahana pendidikan baik formal maupun informal. Jikalau memungkinkan, kurikulum itu terbentuk dari pengalaman saya selama ini. Pendidikan perlu dihadapkan pada permasalahan hidup yang nyata. Bukan sekedar simulasi, tetapi kita jujur saja pada kenyataan pahit yang sedang dialami bangsa ini.
Saya belum punya bayangan rinci bagaimana bentuk pembelajaran yang dimaksud. Namun, saya mulai berpikir untuk memasukan kegiatan mengembala domba pada kurikulum. Mengapa? Dengan mengembala domba, kita bisa terbiasa menghadapi situasi tidak terduga. Si domba bisa saja mengamuk atau tenang mengikuti 'arahan' anak gembala. Juga, mengembala adalah bentuk latihan kepemimpinan dasar  dimana sebelum memimipin manusia kita bisa belajar dulu memimpin domba. Di lapangan, kita akan menemukan berbagai kendala _masalah_ dimana menjadi tantangan tersendiri untuk menyelesaikannya.
Kemudian, ketika kita tidak bisa menemukan pemecahan atas masalah yang sedang dihadapi maka buku dan media informasi lainnya bisa menjadi sumber pengetahuan gratis. Selama ini, tidak terjadi hubungan antara peran buku dengan problematika nyata karena keduanya tidak dianggap sebagai sumber pembelajaran.
Ada banyak litratur yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan akan 'nempel' jika dipraktekan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud bukan nalar saja, tetapi juga pengetahuan bagaimana seseorang bermasyarakat. Dalam tata kehidupan komunal, justru pentingnya ilmu pengetahuan akan sangat terasa. Kita saling membutuhkan satu sama lain. Sebagaimana disebutkan di atas, semakin banyak orang yang terlibat maka problematika bisa lebih cepat terselesaikan.
Secara naluriah, manusia ada keinginan untuk memecahkan masalah secara bersama-sama karena kita makhluk sosial. Apabila si peserta didik dihadapkan pada situasi sulit maka secara berkelompok mereka akan 'berdiskusi' bagaimana menyelesaikan masalah itu. Kemudian, secara bersama menyelesaikannya.
***

Di akhir tulisan ini, saya ingin mengajak kepada para pembaca mari menjadikan pendidikan yang kita jalani sebagai media untuk menyelesaikan problematika kehidupan. Pendidikan bukan sekedar tren atau usaha meningkatkan prestise saja, tetapi itu adalah sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan.