Kamis, 27 November 2014

Intuisi untuk Membangun

Secara naluriah manusia menginginkan adanya perubahan dalam hidupnya ke arah perbaikan. Demi mempertahankan eksistensi dirinya, manusia terus menerus berpikir bagaimana menjadikan kehidupan di sekelilingnya menuju ke arah kemajuan.
Warga desa memang perlu adanya keinginan untuk membangun. Entah darimana perasaan itu datang. Mungkin, Alloh memberikan sebagian karunianya kepada kita berupa petunjuk untuk menjadikan lingkungan kita menjadi lebih berkembang. Sebagai warga desa, semestinya kita tidak perlu bingung bagaimana masa depan desa kita. Sebenarnya, sudah ada cara bagaimana menata masyarakat pedesaan yang tertera dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Hanya saja, perlu adanya keinginan untuk terus menggalinya lebih dalam lagi.
Sebagai hamba-Nya, kita dikaruniai ilmu pengetahuan dalam berbagai aspek. Diantara ilmu pengetahuan itu adalah ilmu teknis dan non-teknis mengenai kehidupan di desa kita. Para petani, mereka punya ilmu untuk bertani. Para tukang kayu, mereka punya ilmu untuk membangun rumah. Ada hal unik yang luput dari perhatian, bahwa ternyata ilmu pengetahuan itu tidak sepenuhnya berasal dari seorang guru. Ada ilmu pengetahuan yang secara langsung diberikan oleh Alloh kepada seseorang. Misalnya, seorang petani yang bingung karena hama menyerang sawahnya. Secara naluriah, dia meramu obat hama yang disebar ke seluruh areal pesawahan. Alhasil, tanpa diduga hama di sawahnya berangsur menghilang. Nah, sebenarnya itu adalah ilmu pengetahuan yang dianugerahkan Alloh kepadanya.
Intuisi (Kata Hati) Juga sebagai Jalan Ilmu Pengetahuan
Dalam perspektif Islam, ilmu pengetahuan didapat dari dua jalan. Pertama, ilmu pengetahuan yang didapat atas perolehan (husuli) dimana ada sumber pengetahuan berupa buku atau guru sebagai perantara. Kedua, ilmu pengetahuan yang didapat atas pemberian (huduri) dimana sumbernya langsung dari Alloh tanpa perantaraan.
Pengetahuan yang dapat dilihat oleh hati ini merupakan pengetahuan dasar yang diperoleh alat yang terlihat oleh hati atau pusat keberadaan manusia bukan hanya oleh akal. Sayangnya, konsepsi pengetahuan batin ini kurang mendapat perhatian karena dianggap tertentangan dengan akal.[1]
Arah Pembangunan sebagai Petunjuk Alloh
Warga desa tidak perlu bingung dengan arah pembangunan yang hendak dicapai. Memang, perlu adanya hitungan matematis dalam menyusun sebuah rencana jangka panjang. Tetapi, perhitungan itu berfungsi untuk membantu dalam pengambilan keputusan. Secara intuitif, manusia bisa menentukan arah kehidupannya masing-masing.
Dalam prosesnya, warga dituntut untuk senantiasa menggunakan pikiran kreatifnya. Apabila pola pikir kreatif ini terus diasah maka sebenarnya kita sedang mencari data yang ada dalam otak kita. Perlu diketahui, otak kita menyimpan begitu banyak data.
Arah pembangunan bagi setiap warga memang akan berbeda tergantung dari kepentingannya masing. Hanya saja, kejelasan arah ini diperlukan demi tercapainya harapan setiap warga. Arah pembangunan yang besar, bisa dibagi-bagi lagi dalam satuan terkecil hingga sampai ke level keluarga.
Anggota keluarga memiliki pemahaman yang sama akan tujuan dibangunnya sebuah rumah hingga bagaimana menata halaman rumah. Anggota keluarga juga memiliki pemahaman yang sama mengenai pola pendidikan yang akan ditempuh karena itu akan sangat berpengaruh pada pola pembangunan masyarakat di masa depan. Justru, kesederhaan konsep lebih memudahkan tercapainya tujuan dibangunnya suatu masyarakat.
Dalam proses pembangunan, kreatifitas masing-masing individu sangat berperan. Pada kondisi seperti itu, pemerintah hanya menjadi fasilitator bagi kepentingan warganya. Maka dari itu, setiap orang hendaknya memiliki upaya untuk 'mencari' inspirasi sendiri demi kepentingan bersama. Dalam kehidupan kolektif, ide dari seseorang sangat dibutuhkan untuk perubahan secara menyeluruh dan berkesinambungan.




[1] Dr. Sayyid Husein Nasser, Hubungan Antara Intelek dan Intuisi dari Perspektif Islam, dalam Islam dalam Masyarakat Kontemporer, hal. 65.

Perencanaan Sosial

Perencanaan sosial (social planning) pada dewasa ini menjadi ciri yang umum bagi masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami perubahan-perubahan atau perkembangan. Sebenarnya perencanaan sosial yang bertujuan untuk melihat jauh ke depan telah ada sejak dahulu dan telah pula dipikirkan oleh para sosiolog. Auguste Comte misalnya, berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk melihat jauh ke depan serta mengendalikan tujuannya. Pernyataan tadi kemudian diperkembangkan lebih lanjut oleh Lester F. Ward yang mempergunakan istilah social telesis  untuk menunjuk pada arah yang dituju suatu masyarakat.[1]
Menurut sosiologi, suatu perencanaan sosial harus didasarkan pada pengertian mendalam tentang bagaimana kebudayaan berkembang dari taraf yang rendah ke taraf modern dan kompleks dimana dikenal industri, peradaban kota dan selanjutnya. Selain itu harus pula ada pengertian terhadap hubungan manusia dengan alam sekitarnya, hubungan antara golongan-golongan dalam masyarakat dan pengaruh penemuan-penemuan baru terhadap masyarakat dan kebudayaan.
Suatu perencanaan sosial haruslah didasarkan pada spekulasi atau idam-idaman pada keadaan yang sempurna. Perencanaan sosial, dari sudut sosiologi merupakan alat untuk mendapatkan perkembangan sosial, yaitu dengan jalan menguasai serta memanfaatkan kekuatan alam dan sosial serta menciptakan tata tertib sosial, melalui mana perkembangan masyarakat terjamin kelangsungannya.
Kecuali daripada itu, perencanaan sosial bertujuan pula untuk menghilangkan atau membatasi keterbelakangan unsur-unsur kebudayaan teknologi atau materiil. Suatu gejala dewasa ini adalah bahwa timbulnya problema-problema sosial adalah disebabkan oleh keterbelakangan tersebut di atas penyalahgunaan sumber-sumber alam, demoralisasi kehidupan keluarga, angka yang tinggi dari kejahatan, sakit jiwa, merupakan akibat keterbelakangan tadi. Jalan pertama yang harus ditempuh adalah dengan menyesuaikan lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan kondisi-kondisi kemajuan serta perkembangan teknologi yang pesat tadi. Setelah hal itu diatasi, barulah dapat diatasi persoalan-persoalan yang mengganggu masyarakat.[2]
Penyesuaian terhadap kehidupan yang berkembang tersebut di atas, tergantung pada adanya suatu pengertian mengenai bekerjanya masyarakat. Pengertian tersebut dapat diperoleh dengan studi serta penelitian-penelitian ilmiah yang memerlukan ketekunan.
Pemecahan Problema Sosial
Menurut George A. Lundberg ketidaksanggupan untuk memecahkan problema sosial disebabkan oleh karena:
1. Kurangnya pengertian terhadap sifat hakekat masyarakat dan kekuatan-kekuatan yang membentuk hubungan antar manusia.
2. Kepercayaan bahwa problema-problema sosial dapat diatasi dengan semata-mata mendasarkannya pada suatu keinginan untuk memecahkan persoalan tadi, tanpa mengadakan penelitian-penelitian yang mendalam dan obyektif.
Kesukaran
Menurut Lunberg, kesukaran yang utama terletak pada kepercayaan umum bahwa hubungan-hubungan sosial tidak tunduk pada penelitian ilmiah. Dan juga, karena masyarakat percaya bahwa pemecahan-pemecahan atas problema-problema sosial telah diketahui dan tinggal diterapkan saja.
Kepercayaan tersebut keliru sekali, oleh karena setiap problema sosial harus diteliti agar diketahui faktor-faktornya agar supaya diketemukan cara-cara untuk mengatasinya. Perencanaan sosial bukanlah semata-mata menjadi tugas para ahli dan petugas-petugas negara, akan tetapi memerlukan dukungan dari masyarakat, oleh karena masyarakat tersangkut di dalamnya. Suatu perencanaan sosial tak akan berarti banyak, apabila individu-individu tidak belajar untuk menelaah gajala-gejala sosial secara objektif sehingga dia dapat turut serta dalam perencanaan tersebut.
Prasyarat
Menurut Ogburn dan Nimkoff, prasyarat suatu perencanaan sosial yanng efektif adalah:
1. Adanya unsur modern dalam masyarakat yang mencakup suatu sitem ekonomi dimana telah dipergunakan uang, urbanisasi yang teratur, intelegensia di bidang teknik dan ilmu pengetahuan, dan suatu sistem administrasi yang baik.
2. Adanya sistem pengumpulan keterangan dan analisa yang baik.
3. Terdapatnya sikap publik yang baik terhadap usaha-usaha perencanaan sosial tersebut.
4. Adanya ppimpinan ekonomis dan politik yang progresif.
Selanjutnya, untuk melaksanakan perencanaan sosial tersebut dengan baik, diperlukan organisasi yang baik, yang berarti adanya disiplin di satu pihak serta hilangnya kemerdekaan di pihak lainnya. Suatu konsentrasi wewenang juga  diperlukan untuk merumuskan dan menjalankan perencanaan tersebut  agar supaya perencanaan tadi tidak terseret oleh perubahan-perubahan sebagai akibat dari tekanan-tekanan atau kepentingan-kepentingan dari golongan-golongan yang established dalam masyarakat.
Sebagai masyarakat yang sedang berada dalam periode transisi, warga desa perlu perencanaan sosial, dengan syarat tersebut diatas. Yang pokok adalah, bahwa perencanaan sosial tersebut mengalami proses institusionalisasi dan bahkan internalisasi dalam diri warga masyarakat desa.





[1]  Sepenuhnya disadur dari Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975, hal. 294-295.
[2]  Lembaga ekonomi bisa menjadi sarana yang sesuai dengan perubahan yang sedang terjadi.

Kamis, 20 November 2014

Bersahabat dengan Investor Asing

Sumber : google.com
Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo berkunjung ke luar negeri untuk menghadiri 3 forum internasional secara berurutan yakni Forum Apec, forum Asean dan forum G-20. Dalam pertemuan tersebut, beliau secara lugas mengundang para investor dari berbagai negara untuk menanamkan dananya di Indonesia pada berbagai sektor.
Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia sudah masuk ke dalam arena perdagangan bebas dimana investasi asing bisa dengan mudah masuk ke tanah air. Apabila ada yang berminat membuka usahanya di Indonesia maka siapa pun tidak berhak untuk menghalangi. Pemerintah berjanji memberikan berbagai fasilitas yang diperlukan bagi para investor terutama investor yang ingin bergerak di bidang kemaritiman.
Saya berpikir bahwa di masa depan kita jangan heran apabila ada pengusaha asing yang bermaksud mendirikan usahanya di desa tempat  tinggal kita. Sebagai warga desa, kita tidak bisa menghalang-halangi orang untuk membuka usahanya. Sebagaimana banyak perusahaan yang sudah ada, pabrik-pabrik atau lahan-lahan milik perusahaan asing berada di tengah-tengah lahan milik warga desa. Derasnya investasi asing, memberikan pengaruh bagi kondisi sosial dan ekonomi warga desa.
Sebagai warga desa, hendaknya kita mempunyai sikap yang proporsional atas berdatangannya investor asing. Sangat tidak bijak jika kita 'mengusir ' mereka begitu saja dengan alasan akan 'memeras' kekayaan alam milik kita. Juga tidak baik jika kita hanya menjadi 'penonton' saja atas aktifitas perusahaan dimana sebagai warga kita tidak dilibatkan. Suatu dilema, satu sisi investasi diundang masuk hingga ke desa-desa tetapi di sisi lain bisa saja ada penolakan warga lokal karena berbagai alasan.
Sebagai warga lokal (pribumi) sebaiknya orang desa mempunyai daya tawar. Apabila perusahaan membawa serta modalnya ke desa maka harus ada timbal balik bagi kebaikan warga desa sendiri. Bukan sebaliknya, lingkungan pedesaan menjadi rusak akibat aktifitas perusahaan. Itulah yang sering terjadi di banyak tempat karena 'lemahnya' daya tawar masyarakat desa sendiri. Ketika perusahaan asing datang dengan segala kemegahannya, warga seperti 'terkejut'. Padahal tidak harus begitu, malahan kita anggap mereka sebagai rekan bisnis yang akan memberikan banyak keuntungan.
Bagaimanapun, perusahaan asing itu sengaja diundang oleh Pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya. Terlepas dari segala kontroversi, perusahaan asing dibutuhkan untuk turut serta menggerakan roda perekonomian nasional. Investasi asing _dengan modal yang besar dan manajemen berpengalaman_ dianggap lebih mampu memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di daerah di seluruh Indonesia. Sebenarnya ini menjadi peluang bagi pengusaha lokal untuk 'belajar' dan menjalin  kerja sama demi kepentingan bersama.
Untuk memperkuat daya tawar warga desa maka sebaiknya warga desa meyodorkan beberapa persyaratan atas pendirian usaha, diantaranya:
·  Menanamkan investasi di pedesaan harus turut serta membuka lapangan kerja baru sebanyak mungkin. Mendahulukan usaha padat karya akan lebih bijaksana dibandingkan usaha padat modal.
·  Perusahaan harus turut serta membangun infrastruktur desa dimana dananya diambil dari sebagian keuntungan usaha.
·  Perusahaan harus menjamin kenyamanan bagi warga. Jangan sampai keberadaan perusahaan justru membuat perubahan tatanan kehidupan menjadi lebih buruk. Perusahaan jangan menjadi 'perusak' lingkungan pedesaan yang sudah asri.
· Perusahaan harus memiliki peranan sosial di tengah warga desa. Malahan perusahaan sebaiknya menjadi lokomotif bagi pembangunan desa sendiri.

Warga desa sebaiknya memiliki proposal kerjasama yang jelas. Melalui aparat Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, masyarakat bisa mengajukan berbagai tawaran kerjasama yang saling menguntungkan. Warga bisa menjadi 'pengawas' yang baik keberlangsungan usaha. Begitupun, perusahaan bisa menjalankan aktifitasnya dengan lancar. Saya berharap jangan ada konflik antara perusahaan dengan warga sekitar sebagaimana yang sering dilihat di media massa. Mungkin, konflik terjadi karena tidak proposal kerjasama yang bisa disepakati antara keduabelah pihak.

Selasa, 18 November 2014

Penanggulangan Kerusakan Lingkungan : Penciptaan Lapangan Pekerjaan di Sektor Non-Pertanian

Tekanan penduduk terhadap luas lahan bersumber pada bertambahnya penduduk petani, sedangkan luas lahan tidak bertambah.

Akibatnya, nisbah  lahan terhadap petani makin kecil dan pendapatan petani semakin menurun. Nisbah itu dapat diperbesar dengan memperbesar luas lahan atau memperkecil jumlah petani. Di Jawa, luas lahan tidak dapat lagi ditambah tanpa menimbulkan masalah lingkungan, seperti rusaknya hutan. Pilihan yang tinggal ialah memperkecil jumlah petani. Memindahkan petani, misalnya transmigrasi, mempunyai efek demikian. Cara lain ialah untuk menyalurkan petani ke lapangan pekerjaan di sektor non-pertanian di daerah pedesaan. Dalam hal ini jumlah penduduk, dan dengan demikian kepadatan penduduk, tidak berkurang. Akan tetapi, tekanan penduduk terhadap lahan akan berkurang. Sebab, tekanan penduduk terhadap lahan tidak ditentukan oleh jumlah penduduk total, melainkan oleh jumlah petani.
Pertanian pada dasarnya adalah usaha pemanfaatan energi matahari melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan. Dari hasil fotosintesis itu, oleh tumbuhan dan hewan dihasilkan berbagai macam bahan berguna untuk makanan, bahan bakar, bahan bangunan dan lain-lain.
Pengalihan Subsidi Energi
Petani memerlukan luas lahan yang besar untuk kehidupannya, yaitu diperkirakan rata-rata mnimal 0,7 hektar. Untuk mengurangi kebutuhan lahan, harus digunakan energi dalam bentuk yang padat, yaitu BBM, gas alam, batubara dan listrik. Dengan energi itu dapat dikembangkan industri. Sebagian petani dapat disalurkan ke sektor non-pertanian itu, sehingga sebenarnya yang terjadi ialah menghidupi sebagian petani itu dengan subsidi energi yang didatangkan dari daerah lain.
Dengan demikian, terjadi pergesaran kehidupan sebagian petani dari energi matahari yang diubah menjadi bahan organik melalui fotosintesis ke energi non-fotosintesis yang bersifat padat. Karena subsidi energi yang bersifat padat ini, pedesaan lalu dapat mendukung kepadatan penduduk yang tinggi.
Fungsi energi itu adalah untuk menggerakan mesin yang menaikan produksi per orang per satuan waktu. Misalnya, apabila tanpa mesin seseorang dapat membuat sebuah kursi bambu dalam dua hari, dengan mesin ia dapat membuat dua buah kursi dalam sehari. Mesin juga berfungsi agar orang tidak tersiksa oleh pekerjaannya. Misalnya, transpor barang dengan memikul atau mendorong gerobak yang berat merupakan suatu siksaan. Transpor dengan kendaraan bermotor akan lebih manusiawi. Mesin itu kita jadikan budak kita. Dengan itu martabat manusia dinaikan. Dalam menggunakan mesin harus dijaga agar mesin tidak mengambil kesempatan kerja orang. Tetapi, justru agar mesin itu menciptakan lapangan kerja baru. Jadi, ada pergeseraran pekerjaan  orang dari jenis yang tidak manusiawi ke jenis yang manusiawi. Tujuan pengembangan industri ialah  untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang dapat memberikan pekerjaan penuh dengan pendapatan untuk hidup layak.
Industri yang sangat mungkin untuk dikembangkan di daerah pedesaan ialah industri pasca panen. Dengan industri ini, hasil pertanian ini akan mendapat nilai tambah. Misalnya, buah dapat diolah menjadi sari buah, bambu menjadi mebel, buah dan karet menjadi berbagai macam barang. Nilai tambah itu semakin besar, makin tinggi permintaan akan barang itu dan mutu hasil industri itu. Nilai tambah yang tinggi dapat menjadi sumber kehidupan baru.
Dapat juga dikembangkan industri yang tidak menggunakan hasil pertanian sebagai bahan mentahnya. Misalnya industri alat pertanian dan industri keramik. Industri yang dikembangkan, tentulah sangat bergantung pada keadaan masing-masing tempat, antara lain tersedianya bahan mentah. Misalnya, di daerah Priangan, Jawa Barat industri pasca panen ikan.
Berkurangnya Tekanan Penduduk
Dengan berkurangnya tekanan penduduk terhadap lahan, kerusakan hutan untuk digunakan sebagai lahan pertanian juga berkurang. Dengan demikian hutan lebih mudah untuk dijaga keselamatannya. Apabila hutan yang rusak tidak terjamah, dalam kebanyakan hal hutan dapat pulih kembali dengan kekuatannya sendiri, karena adanya curah hujan yang cukup di banyak daerah di Indonesia. Di daerah dengan erosi yang sudah lanjut,juga musim kemarau yang panjang proses pemulihan itu akan lambat, dan perlu bantuan orang. Jenis yang akan tumbuh kembali secara spontan di daerah itu akan tergantung pada biji yang ada dan akan terbawa masuk, misalnya oleh angin. Suatu suksesi akan terjadi, sehingga akhirnya akan terjadi hutan lebat.
Berkurangnya tekanan penduduk juga akan menurunkan kekuatan dorong dari desa untuk pindah ke kota. Selain itu kesempatan kerja yang baik di desa akan mengurangi daya tarik kota. Dengan demikian laju urbanisasi dapat dihambat.

Pendekatan penciptaan lapangan pekerjaan untuk menanggulangi masalah urbanisasi dan lahan kritis, secara langsung merupakan usaha pembangunan pedesaan. Pendekatan itu juga membantu tercapainya tujuan pemerataan pembangunan.[1]

[1]  Sepenuhnya disadur dari Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Otto Soemarwoto. Djambatan. Jakarta: 1983. Hal. 227.

Minggu, 16 November 2014

Seni Mempengaruhi Massa

Ibnu Saud adalah Penguasa Negeri Arab yang memerintah dengan kepribadiannya yang kuat dan kekuatan tangan kanannya. Seorang pria yang hebat, luar biasa, penuh gairah hidup dan berpengaruh. Seorang raksasa yang terangkat ke luar dari segala kekacauan dan kesengsaraan Gurun Pasir…untuk memerintah.
Ibnu Saud, Raja Diraja, agung dan tenang, memerintah Gurun Pasir dengan keadilan dan hukuman-hukuman yang patut dicontoh. Ia telah menorehkan kehendaknya pada masyarakat yang sukar diperintah dalam kerajaannya yang luas.
Ia hidup tanpa kemegahan ataupun upacara-upacara. Syeh atau budak; kaya atau miskin, semua mempunyai hak untuk bersilaturahmi di hadapannya; semua disambut sebagai tamunya. Semua datang atas tanggung jawab masing-masing, karena ia berkuasa atas Hidup dan Mati, dan tidak mengenal ampun dalam pengambilan keputusan. Ia duduk di dalam istananya di Mekkah atau di dalam Balai Pertemuannya di Riyadh, dengan jubah Arabnya yang sederhana menutupi tubuhnya; mukanya bagaikan elang dan pundaknya yang kekar menjorok ke muka selagi ia menerima bawahannya, mendengarkan ikrar atau keluhan mereka, atau memberikan perintah singkat kepada pegawainya. [1]
***
Begitulah sepenggal kisah tentang seorang raja pendiri Kerajaan Arab Saudi yang kekuasaannya begitu luas dan menjadi negeri terluas di Timur Tengah. Saya bukan hendak menceritakan ketokohan seseorang karena khawatir pada 'mengangungkan' seseorang yang belum tentu bisa menjadi panutan. Mungkin, ada sisi negatif dari seseorang yang sebenarnya tidak patut untuk dicontoh.
Dari kisah yang saya baca, ada pelajaran penting yang bisa dipetik. Salah satunya tentang bagaimana kita mempengaruhi khalayak ramai supaya bisa menerima ide-ide yang kita lontarkan. Pertama, ternyata perlu adanya visi mempengaruhi khalayak. Untuk apa kita mempengaruhi mereka. Jika untuk kebaikan, kenapa tidak kita punya niat ke arah sana.
Kedua, mempengaruhi orang bukan untuk berkuasa, tetapi melayani. Pelayanan terbaik harus diberikan maka akan ada timbal balik yang baik pula. Walaupun terkadang tidak semua orang bisa terpengaruh, tetapi setidaknya ada keinginan orang lain untuk mengikuti apa yang kita sampaikan.
Ketiga, dalam rangka mempengaruhi khalayak sebaiknya kita memperhatikan kebutuhan mereka. Seseorang yang ingin membangun masyarakatnya tidak cukup dengan melontarkan konsep-konsep tentang perbaikan kehidupan, tetapi harus punya cara untuk memberikan jalan pemenuhan kebutuhan anggota masyarakat. Ini buksn untuk 'menyuap' demi diterimanya sebuah ide tetapi bentuk kepedulian akan sesama yang seharusnya terjalin erat.
Keempat, cobalah pikirkan apa yang akan kita 'wariskan' untuk generasi selanjutnya. Jelas terlihat, banyak orang-orang 'besar' yang mewariskan sesuatu untuk generasi selanjutnya. Mereka begitu berpengaruh bahkan setelah mereka meninggal. Ketika ada keinginan untuk 'mewariskan' sesuatu, maka dia akan berusaha untuk 'menancapkan' pengaruh kebaikan dalam kehidupan kesehariannya.
Perubahan Sulit Dilakukan
Jangan heran ketika perubahan sulit dilakukan di tengah kehidupan bermasyarakat. Kita ingin kemajuan dari hari ke hari tetapi begitu sulitnya mempengaruhi orang untuk bersama-sama menuju ke kemajuan itu.
Perlu ada 'seni' untuk mempengaruhi orang dimana memang tidak ditemukan ilmu pasti. Mempengaruhi orang untuk kebaikan itu perlu adanya keikhlasan hati untuk bersama-sama memperbaiki diri. Melayani dengan sepenuh hati, akan memancarkan energi luar biasa bagi perubahan di sekelilingnya.
Konsep sehebat apapun, sepertinya sulit terealisasi jika keikhlasan hati itu tidak ada. Perlu diingat, teori pembangunan itu hanyalah sebagian kecil dari cara untuk membangun desa kita. Selebihnya, perlu ada keinginan kuat dan kelapangan dada untuk menjalani setiap proses dari pembangunan itu.



[1] HC. Amstrong. Jejak Sang Penguasa. 1986. Hal. 228

Kamis, 06 November 2014

Filosopi Hidup 'Cukup', Masih Berlakukah?

Pernahkah kita bertanya, kenapa terjadi banyak 'kemandekan' dalam kehidupan bermasyarakat? Ketika terjadi banyak kemajuan di negeri orang, justru kita tidak mengalami perubahan berarti dalam beberapa tahun terakhir.
Salah satu jawaban dari pertanyaan diatas adalah karena adanya perasaan puas dalam hati dan pikiran kita. Kita merasa tenang dengan apa yang telah didapatkan. Dengan anggapan, bahwa sudah sepantasnya kita bersyukur atas apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepada ummat manusia. Hidup berkecukupan seakan menjadi cara hidup paling bijaksana dalam menata kehidupan masa kini dan menyongsong masa depan.
Saya tidak bermaksud mengecilkan arti penting hidup sederhana, tetapi saya ingin menegaskan bahwa hidup sederhana bukan berarti hidup 'apa adanya'. Hidup sederhana suatu cara yang ditempuh dengan tidak menghamburkan banyak harta. Sedangkan, hidup apa adanya menperlihatkan gaya hidup orang yang tidak mau berubah menjadi lebih baik lagi. Tidak punya ambisi.
Tadi pagi saya menonton Apa Kabar Indonesia (TV One), yang menceritakan bagaimana para nelayan yang merasa cukup dengan penghasilan yang diperoleh. Tetapi, narasumber menyatakan bahwa harus ada perubahan pola pikir supaya ada keinginan dari para nelayan untuk meningkatkan penghasilannya. Dengan begitu, diharapkan ada optimalisasi potensi kelautan yang ada di Indonesia.
Begitulah, bangsa yang tidak mau bertumbuh tentunya akan mundur. Adakalanya bangsa yang sedang berkembang,  digulingkan oleh gerakan reaksi massa. Kita telah melihat hal ini terjadi dengan Rusia, Jerman, Italia, Spanyol dan Amerika. Dan kadang-kadang, suatu bangsa yang sedang merosot, tiba-tiba hidup lagi dan berkembang. Karena adanya perubahan ke arah kemajuan.
Merasa cukup bisa juga berarti bentuk keengganan untuk berpikir. Kemandegan berpikir berawal dari anggapan bahwa otak kita hanya berfungsi sebagai alat untuk mengingat dan mengahapal fakta-fakta semata. Padahal, otak kita punya potensi yang sangat besar apabila digunakan berpikir. Bagian yang kreatif dari otak, banyak yang mengabaikannya. Padahal, berpikir menjadi cara untuk mempertahankan eksistensi diri dan eksistensi kehidupan itu sendiri. "Cogito ergo Sum" atau "Aku berpikir, maka itu aku ada", begitulah Descartes berujar.[1]
Memang, kondisi di luar diri kita terkadang 'memaksa' kita untuk 'menerima kenyataan'. Sering kita merasa hidup ini tidak adil. Banyak kemalangan menimpa kehidupan ini. Namun, kondisi di luar diri kita tidak perlu mempengaruhinya. Kekuatan pikiran dan jiwa kita akan memberikan 'pencerahan' akan jalan hidup mana yang harus dilalui. Sekian panjang jalan terjal yang dilalui, tidak mesti menghentikan indahnya hidup ini. Kenyamanan hidup tidak hanya timbul karena kondisi di sekeliling kita yang nyaman tetapi hati dan pikiran kita yang membuatnya nyaman.
Kampanyekan Perbaikan Bukan Kecukupan
Kalau kita bisa memandang ke masa depan dan melihat perdagangan atau industri, maka kita melihat masa lima puluh tahun mendatang dengan penuh ketakjuban oleh sejumlah perbaikan. Seandainya kita bisa menghidupkan pemilik toko klontong yang sudah meninggal lima puluh tahun silam maka dia akan tercengang dengan adanya supermarket yang tumbuh dimana-mana. Ia tak akan mempercayai matanya sendiri. Sudah pasti anak-anak kita akan melakukan banyak hal yang kita sangka mustahil _pada awalnya. Dan cucu-cicit kita malah melakukan lebih banyak lagi.
Tidak ada organisasi manusia yang sempurna. Ini harus selalu diingat oleh kita semua. Tak akan ada tempat dimana kita bisa mengatakan bahwa suatu hal 'sudah cukup baik'. Itulah sebabnya pekerjaan kreatif begitu menggairahkan lagi menarik, serta begitu menguntungkan.
Melancarkan kampanye perbaikan akan membuat setiap orang mau belajar. Ia akan rajin belajar dari buku-buku atau dari orang lain, sebab beberapa dari pekerjaannya meminta lebih banyak pengetahuan daripada yang ia miliki. Hanya orang yang malas dan sombonglah menyangka bahwa ia telah cukup banyak. Begitu dia menjadi tukang memperbaiki, ia mencari-cari pengetahuan demi pengetahuan.
Tak peduli apa pun profesi yang kita pilih, di suatu tempat di dunia ini akan ditemukan orang yang telah memperkembangkan diri sampai ke taraf yang paling tinggi. Kadang-kadang tampil seorang innovator dari dusun yang jauh dari keramaian kota. Banyak orang-orang desa yang menyumbangkan perbaikan bagi kehidupan di dunia ini. [2]
Seringkali seseorang mempunyai pikiran sesat bahwa ia sudah mencapai akhir pengetahuannya mengenai bidang pekerjaannya. Pengetahuan dan penemuan tak pernah kunjung berakhir. Selalu ada saja yang baru. Henry Ford pernah mengatakan 'stabilitas adalah ikan mati yang hanyut mengalir. Stabilitas satu-satunya yang kami kenal dalam negara ini adalah perubahan".
Merasa Cukup Bukan Berarti Terhindar dari Resiko
Kebanyakan dari kita menghendaki kepastian, keamanan dan terlalu banyak dari kita menduga bahwa perubahan berarti resiko. Kenyataannya ialah bahwa perbaikan-perbaikan terus menerus yang akan menjamin keselamatan kehidupan. Saya ingin menegaskan sekali lagi di sini, bukankah pakaian yang sudah usang tidak digemari lagi kemudian datang model pakaian baru yang justru laku. Perubahan selalu terjadi, di bidang mana saja. Perubahan akan membawa kepada kesuksesan asal semuanya dilakukan dengan tepat dan mengenai sasarannya.



[1] Dale Carnegie. What Make Value. Hal. 106
[2] Ibid. Hal. 112.

Senin, 03 November 2014

Perbaikan Terus-menerus

Manusia adalah makhluk satu-satunya yang maju terus. Setiap hewan yan lebih rendah telah mencapai taraf tertentu dan tak naik lebih tinggi. Semua singa adalah sama. Semua berang-berang membangun rumahnya dengan cara yang sama. Hewan rendah tak mengadakan perbaikan-perbaikan, tetapi beberapa orang di beberapa negara mengadakan perbaikan-perbaikan. Maju terus.
Lebah-lebah memperoleh teknik yang menakjubkan sebagai ahli bangunan dan organisator-organisator. Kemudian, setelah mereka mencapai suatu titik tertentu, mereka berhenti. Rupa-rupanya mereka mencapai suatu limit. Mereka tak maju dan tak berkembang terus.
Ketika bangsa manusia tampil, mereka tak lebih unggul dari kera-kera, sebegitu jauh mengenai badannya. Tetapi ada kekuatan baru dalam bentuk manusia. Mereka bisa membuat barang-baran. Mereka bisa menciptakan dan memperbaiki. Mereka menajamkan batu-batu sampai menjadi pisau dan batang kayu menjadi tombak-tombak. Mereka membangun tempat-tempat berlindung. Mereka menjadikan suara yang menjadi kata-kata.
Waktu mereka belajar bagaimana cara membikin api dan melumerkan besi serta menggunakan roda-roda, mulailah mereka maju pesat. Mereka menjadi unggul ketika mereka belajar bagaimana menggunakan alat-alat. Kemudian datanglah peradaban gelombang demi gelombang.
Dimana-mana suatu bangsa naik sampai ke taraf yang lebih tinggi untuk beberapa lama. Biasanya bangsa demikian mencapai suatu batas untuk kemudian ditumbangkan oleh bangsa-bangsa lebih rendah. Sejarah umat manusia adalah kisah kejayaan dan keruntuhan. Di jaman purba, bangsa yang peradabannya paling tinggi dirobohkan oleh bangsa-bangsa yang lebih rendah. Tetapi akhirnya selalu ada saja  beberapa bangsa maju terus dan setiap gelombang kemajuan melonjak lebih tinggi dari yang terdahulu.
Bangsa monyet tetaplah monyet. Mereka menerima apa yang mereka temukan. Tetapi mereka tak pernah memperbaiki. Mereka mungkin bisa menggunakan sepotong batu jam, tetapi tak nanti mereka menggosoknya lebih tajam. Mereka memang punya semacam otak, tetapi bukan otak yang kreatif.
Tak pernah kita mendengar bahwa binatang-binatang yang terlatih dalam sirkus mengadakan perbaikan-perbaikan dalam ketangkasan mereka. Mereka semata-mata melaksanakan apa yang diajarkan kepada mereka, tetapi tak lebih.[1]
Belum Menjadi Tradisi
Dalam kehidupan keseharian masyarakat kita, perbaikan terus-menerus belum menjadi tradisi. Kita hanya melihat setiap kegiatan dicapai dalam batas tertentu. Saya juga kurang paham kenapa ada semacam pembatasan dari setiap keinginan warga. Masyarakat kita cenderung mudah puas dengan apa yang ada. Saya pikir bukan saatnya lagi kita beranggapan begitu. Dalam persaingan global saat ini, hanya orang-orang yang selalu memperbaiki diri yang bisa bertahan.
Bangsa-bangsa yang memimpin peradaban saat ini adalah bangsa-bangsa yang terus-menerus mengadakan perbaikan. Akal sehatnya mengatakan bahwa kehidupan harus 'berubah'. Perubahan menjadi suatu keniscayaan. Otak-otak kreatif selalu terangsang untuk berpikir menemukan hal-hal baru. Sebagaimana ungkapan 'aku ada karena aku berpikir', kreatifitas menghasilkan kemajuan baik secara personal maupun komunal.
Jika perubahan menjadi tradisi, kita tidak harus bersusah payah untuk membangun kehidupan. Perbaikan akan menjadi kebiasaan yang dianggap lumrah, tidak ada perasaan terpaksa. Kerja keras menjadi kebiasaan, bukan keharusan. Alhasil, kemapanan hidup yang diinginkan akan datang dengan sendirinya.
Rencana-rencana yang sudah disusun bisa dijalankan sebagaimana mestinya. Dengan niat perbaikan, kita bisa menikmati proses dari perubahan itu sendiri. Kepuasan hidup menjadi ciri dari orang-orang yang mengadakan perbaikan. Tidak akan pernah ada warga yang selalu merasa sulit menata kehidupan. Karena, semua beranggpan bahwa ini adalah 'bagian dari proses'.
Entah apa yang dipikirkan masyarakat kita. Kehidupan ini seakan selesai sampai di sini. Padahal ada masa depan yang harus disongsong. Ada generasi masa depan yang membutuhkan kehidupan lebih baik dari hari ini. Jika kita merasa 'cukup' dengan apa yang ada, jangan salahkan jika kita terus tertinggal dari orang lain.
Mulai dari Hal Sederhana
Ada banyak kemajuan ummat manusia dimulai dari hal-hal sederhana. Para petani yang selalu berpikir untuk menambah produktifitas pertaniannya. Ada pedagang yang berinovasi untuk merangsang pembeli. Atau, seorang tukang bangunan yang memperbaiki cara kerjanya agar lebih cepat dan rapih. Dan masih banyak lagi contoh.
Jika ada niat dalam hati, kita akan menemukan cara lebih baik dari sebelumnya untuk bertindak. Darimana kita mendapatkan pengetahuan itu? Dari Alloh. Dia akan memberikan 'pencerahan' pada kita. Dengan do'a, Alloh akan memberikan pengetahuan yang semakin luas demi perubahan yang semakin baik.



[1]  Dr. Dale Carnegie. Sukses dan Kaya terjemahan What Makes Value?. Hal. 103.