Selasa, 20 Januari 2015

Seni Merencanakan (1)

Pernahkan kita merasa kebingungan dengan masa depan? Atau, kita sering kebingungan bagaimana kita merencanakan masa depan? Ada banyak orang yang pandai merencanakan hidupnya, tetapi banyak juga yang kesulitan ketika harus membuat sebuah rencana _dalam hal apa pun.
Beberapa orang percaya bahwa perencanaan hanya merupakan sesuatu yang bersifat pengambilan keputusan untuk langkah di kemudian hari. Meskipun demikian, definisi yang lebih baik dari perencanaan adalah memutuskan apa yang harus kita kerjakan agar kita memperoleh hasil di kemudian hari.[1]
Merencanakan lebih tepat disebut sebagai seni daripada ilmu pengetahuan dengan segala kelebihannya. Seperti kita tahu, seni tidak mendasarkan segala pertimbangannya pada logika semata. Seni justru mengedepankan kekuatan hati untuk menciptakan harmoni yang indah. Begitu juga, ketika kita merencanakan sesuatu malahan intuisi kita yang cenderung 'bekerja'. Apabila logika yang kita kedepankan, jangan aneh bila kebingungan akan menghampiri.

Menyisihkan Waktu untuk Memikirkan Rencana
Perencanaan adalah investasi[2], demikianlah ungkapan yang harus dipegang bagi para perencana. Secara sederhana, teori investasi kerja menyatakan bahwa kita harus mempunyai kemauan untuk mengorbankan sebagian dari waktu dan energi kita saat ini serta kepuasaan jangka pendek yang kita miliki untuk memperoleh hasil yang lebih besar di masa depan.
Pastikan setiap hari untuk menyisihkan sebagian waktu untuk berpikir, mengadakan refleksi dan membuat rencana. Pertimbangkan dalam suatu waktu yang tenang untuk mengorganisasikan pikiran kita tentang kemana kita akan bepergian dan bagaimana kita akan dapat mencapai tempat tersebut pada hari tersebut. Bagi kebanyakan kita, kegiatan membuat jadwal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik sebagai bahan pekerjaan yang dilaksanakan pertama kali pada permulaan setiap hari. Bagi orang-orang lain, pelaksanaan kegiatan tersebut, terbaik dijadwalkan terakhir dalam agenda kerja harian.
Apapun juga waktu yang kita sisihkan untuk perencanaan, pastikanlah bahwa kita akan melaksanakannya. Untuk melaksanakan perencanaan agar menjadi efektif, sisihkan waktu dalam setiap jadwal kegiatan paling sedikit satu jam, atau anda akan begitu saja menghabiskan waktu. Merencanakan waktu adalah memikirkan waktu. Hal ini merupakan prioritas waktu yang tinggi maka berikanlah waktu yang layak. Bila kita hanya dapat meluangkan waktu lima atau sepuluh menit saja maka mulailah mempersiapkan masa perencanaan kita dengan segera memperoleh apa yang perlu dipersiapkan.
Orang-orang yang memandang kehidupan ini sebagai suatu pengalaman yang singkat tetapi indah, yang harus dinikamati secara penuh akan menganggap penting sebuah rencana. Mereka hidup untuk diri mereka sendiri karena menerima kenyataaan bahwa kehidupan mereka adalah milik mereka satu-satunya. Mereka menerima tanggung jawab atas apa yang terjadi terhadap perasaan mereka, kemenangan maupun kegagalan.
Kenapa Kita Harus Punya Rencana?
Kebingungan ketika menyusun rencana juga bisa saja timbul karena kita belum bisa memastikan arti penting  sebuah rencana. Bisa saja kita masih beranggapan bahwa rencana hanyalah sebuah khayalan semata atau angan-angan tak berujung. Anggapan itulah yang  bisa menghalangi pikiran sehingga sulit menerimana ide-ide.
Sebuah rencana menjadi sangat penting apabila ide kita ada yang ingin melaksanakan atau meneruskan. Tradisi kita tidak membiasakan orang untuk berpikir jauh ke depan. Tradisi kita terlalu membatasi hidup ini ya seumur hidup manusia. Padahal, kehidupan akan terus berlanjut meskipun generasi terus berganti. Agar ide kita ada yang meneruskan atau melaksanakan _bila belum terlaksana_ maka sebuah rencana perlu untuk disusun.
Memahami pola-pola kehidupan juga bisa didapat dengan menyusun sebuah rencana. Ketika menyusun sebuah rencana, maka otak kita diajak untuk berpikir dengan mencari berbagai referensi yang bisa mendukung recana itu. Dalam keseharian, mungkin kita hanya mencermati fakta tetapi belum bisa menjadikan fakta itu sebagai sumber pengetahuan. Dalam merencanakan, fakta-fakta itu menjadi referensi pertimbangan dalam menentukan hal apa yang akan kita lakukan di masa depan. Misalnya, kita hanya tahu bahwa harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik. Dengan menyusun rencana, kita bisa tahu bahwa kenaikan harga BBM bisa menjadi pertimbangan kita untuk menyusun sebuah rencana produksi di pabrik.
Memuat rencana _apalagi rencana tertulis_ menjadi upaya kita untuk bisa melakukan "penyesuaian" atas keinginan dengan kondisi yang sebenarnya. Dalam realita keseharian, ada banyak ketidakpastian menghampiri kita. Hal yang wajar jika manusia memiliki keinginan, namun terkadang ada 'ketidak sesuaian' antara keinginan dengan kenyataan. Jika kita memiliki rencana, setidaknya ada upaya untuk menyesuaikan diri sehingga kita tidak terjerembab dalam kebingungan, stress dan rasa lelah tidak berkesudahan. Sebuah rencana bisa memberikanarah penyesuaian yang sebaiknya dilakukan.
Do'a merupakan hal baik. Hanya saja, terkadang kita berdo'a kepada Alloh dalam bentuk yang 'umum'. Kita berdo' a meminta kebahagiaan namun belum bisa mendefinisikan dengan jelas kebahagiaan seperti apa yang kita butuhkan. Sebuah perencanaan, bisa menegaskan seperti apa kebahagiaan yang kita maksud. Manifestasi kebahagiaan di dunia bagi setiap orang berbeda.
Mengenal lebih jelas situasi di sekitar kita merupakan cara belajar yang baik. Dalam usaha merencanakan, biasanya kita dituntut untuk mengetahui terlebih dahulu ancaman, tantangan, hambatan dan peluang dari lingkungan di sekitar kita. Proses perancanaan akan menambah banyak pengetahuan kita tentang diri sendiri serta bagaimana bisa bekerjasama dengan orang lain. Apabila tanpa perencanaan, mungkin sekali kita tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi karena otak kita tidak diajak untuk memikirkannya.
Rencana-rencana _baik rencana usaha atau rencana hidup_sebaiknya ditulis di atas kertas. Alasannya, pertama, akan membantu kita mengenal lebih jelas apa yang kita kehendaki. Kebanyakan dari kita tidak pernah menuliskan tujuan-tujuan kita. Kita sudah merasa puas dengan hanya memikirkannya saja. Namun, pikiran itu hanya sejenak dan bila tujuan-tujuan kita hanya merupakan pikiran-pikiran saja, kita akan menanggung resiko yang tinggi untuk memiliki sedikit lebih banyak dari impian-impian di siang hari saja. Tujuan-tujuan yang tertulis kurang begitu mudah dilupakan atau lenyap dalam kegiatan rutin sehari-hari.
Kedua, dengan menuliskan  tujuan-tujuan tersebut juga akan meningkatkan keterlibatan pribadi  kita pada tujuan-tujuan tersebut. Bila anda mengambil waktu untuk memikirkan hidup dan apa yang dikehendaki dari hidup tersebut, berarti kita telah menerapkan teori investasi tentang kekaryaan pada perencanaan.[3]
Jadi, awalilah hari ini dengan menuliskan pikiran kita di atas secarik kertas. Jika tidak, pikiran akan menipu kita. Kita akan melupakan beberapa hal penting. Inilah fakta hidup, hal-hal yang tidak tercatat biasanya akan hilang.



[1] Jack Collins dan Michael Le Boef, Bekerja Lebih Pintar bukan Lebih Keras, hal. 10
[2] ibid., hal. 10
[3] Ibid., hal. 41

Rabu, 07 Januari 2015

Makna Dibalik Setiap Usaha Pembangunan

Kisah Para Kyai dan Petani
Kisah keikhlasan para Kyai dalam membangun masyarakat sekitarnya memang sudah banyak diceritakan di berbagai media. Sejak dulu, mereka memiliki semangat yang tinggi untuk menginvestasikan waktu, tenaga, pikiran dan harta demi perkembangan di kampungnya.
Sumber : madib.blog.unair.ac.id
Sering kita menyaksikan para Kyai ini membina warga tanpa mengharapkan imbalan. Saya sendiri merasa 'heran' sekaligus takjub dengan apa yang dilakukannya. Berkaca pada hal ini, sekiranya kita perlu tahu apa motifasi yang tertanam dalam nurani para Kyai ini.  Usaha yang mereka lakukan bisa memberikan dampak positif secara materil maupun imateril.
Jika kita tanya satu per satu, mungkin akan ada banyak jawaban mengapa para Kyai ini melakukan ini semua.
Sebenarnya, apa yang mereka harapkan atas apa yang telah dilakukannya? Kenapa mereka begitu antusias membangun masyarakat?
Selanjutnya, mari kita perhatikan para petani. Dengan segenap tenaga, para petani mengolah tanah, menebar benih hingga memanen tanaman miliknya. Saya tahu persis bagaimana para petani bekerja tanpa terlalu mengkhawatirkan kegagalan. Sering juga para petani  ini mengalami gagal panen, tetapi tentu saja mereka tidak lantas berhenti menanam. Menanam dan terus menanam, itulah yang dilakukannya.
Entah apa yang ada dalam pikirannya, padahal penghasilan para petani jelas tidak banyak. Banyak sekali dari mereka yang berpenghasilan rendah.[1] Kita bisa melihat dari guratan wajahnya, betapa tidak mudah menjadi petani. Beban hidup yang ditanggung pun tidaklah kecil. Namun, ada 'sesuatu' yang mendorong mereka untuk tidak berhenti menyediakan pangan untuk kebutuhan keluarga dan masyarakat luas.
Antusiasme untuk Membangun
Usaha pembangunan memerlukan peran serta semua pihak. Usaha pembangunan bukan hanya tugas dari Pemerintah saja tetapi juga masyarakat hingga lapisan terendah. Hanya saja, terkadang kita tidak menyadari ini sehingga ada sikap tidak peduli atas proses pembangunan yang sedang terjadi. Banyak diantara kita yang mempunyai sikap menunggu hasil pembangunan itu.
Anggota masyarakat yang kurang antusias untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan bisa menjadi penghambat proses pembangunan.[2] Sudah selayaknya, sebagai warga negara kita mempunyai keinginan kuat untuk menjadikan negerinya maju dan berkembang. Dorongan kuat untuk berkembang idealnya menjadi bagian dari karakter bangsa. Namun, sepertinya motifasi itu belum tumbuh di tengah masyarakat.
Sikap kurang antusias ini bisa jadi adalah buah dari pola pendidikan dimana tidak menekankan peran setiap invidu sebagai insan pembangunan. Peserta didik tidak dibawa pada realita kehidupan di sekelilingnya. Mungkin, untuk itu Kurikulum 2013 dibentuk yakni untuk menumbuhkan karakter individu yan kreatif, inovatif dan berkesadaran.[3]
Kondisi sosial budaya yang tidak menumbuhkan antusiasme untuk membangun sebaiknya tidak "dipelihara". Mulai saat ini, kita pilah mana budaya bangsa yang bisa membawa ke arah kemajuan dan tinggalkan hal-hal yang justru merusaknya. Untuk itu, harus ada upaya untuk menumbuhkan budaya baik demi mendukung pembangunan.
Motifasi Membangun Dimulai Dari Diri Sendiri
Usaha menumbuhkan budaya baik itu bisa kita mulai dari diri sendiri dengan menumbuhkan motifasi untuk senantiasa membangun. Motifasi yang baik tentu saja akan menghasilkan budaya yang baik pula. Dalam keseharian, kita bisa saja kesulitan untuk menumbuhkan motifasi itu karena kita sendiri belum tahu apa motifasi yang ada dalam diri kita.
Setiap individu mempunyai motifasi yang khas dalam dirinya. Setiap orang berbeda satu sama lain atas motifasi apa yang 'layak' bagi dirinya. Menurut Victor Frankl, yang menjadi motifasi utama setiap manusia adalah mencari makna dari kehidupan ini.[4] Ada 3 cara bagaimana kita mencari makna : (1) dengan menciptakan sebuah karya atau melakukan perbuatan, (2) dengan mengalami sesuatu atau menghadapi seseorang, (3) dengan mengambil sikap atas penderitaan yang tidak dapat dihindari.[5] Ketika dia bisa menjawab "kenapa dia hidup?" maka dia juga bisa menjawab pertanyaan "bagaimana seharusnya dia hidup?". Hal mendasar inilah yang bisa membangkitkan setiap manusia untuk memaksimalkan peran bagi dirinya sendiri dan perannya di masyarakat.
Siapa pun di dunia ini tidak akan terlepas dari peran diri mereka  dalam anggota masyarakat. Peran anggota masyarakat itu menjadi 'penguat' bagi keutuhan masyarakat secara keseluruhan.
Pembangunan adalah Sebuah Proses Sedikit Demi Sedikit
Membangun adalah jalan setapak yang membentuk sebuah proses, bukan sebuah produk, karena selama hidup kita, tidak ada tujuan akhir ketika semuanya terhenti. Janganlah kita mengira bahwa membangun kehidupan ini ada 'akhir ' yang akan dituju. Pembangunan ini merupakan proses tiada henti dimana akan ada proses lanjutan dikala kita sudah tidak sanggup lagi untuk membangun.
Dimasa depan, akan ada anak-cucu kita yang meneruskan proses ini. Sebagaimana kita baca di buku sejarah, apabila suatu masyarakat berhenti membangun maka itu sudah menjadi awal dari kehancuran suatu peradaban. Setiap upaya yang telah kita lakukan adalah investasi masa depan bagi keberlangsungan hidup itu sendiri, walaupun upaya itu kecil. Ya, memang akan terlihat kecil jika dilihat secara kasat mata padahal itu adalah bagian kecil dari sebuah bangunan yang besar. Jika bagian kecil itu tidak ada dalam bangunan besar maka kerapuhan akan segera menghinggapinya.
Karya sekecil apapun bisa menjadi berarti apabila kita memaknainya. Upaya kecil itu memberikan makna bahwa 'jika saya tidak melakukannya maka proses pembangunan tidak akan selancar yang direncanakan'. Maka, laklukanlah upaya itu. Jangan pernah kita mendengarkan orang-orang yang mencibir upaya sederhana kita itu. Mereka yang mencibir akan merasa malu sendiri ketika upaya kita berbuah hasil yang besar karena didorong oleh keinginan yang besar.
Kehidupan kita terkait dengan orang lain, itulah yang mesti disadari. Coba kita pikirkan jika kita tidak terkait dengan orang lain? Secara alami, manusia tidak bisa berbuat banyak tanpa adanya orang lain. Karena kita saling membutuhkan. Membangun, berarti membantu orang lain. Mungkin, kita beranggapan bahwa orang-orang yang membangun adalah para pengumpul harta kekayaan. Padahal, dengan kerendahan hati mereka investasikan asset pribadinya untuk dimanfaatkan oleh banyak orang.
Profesi sebagai panggilan kemanusiaan, karena yang kita pikirkan tidak hanya diri pribadi dan orang-orang terdekat. Dari sekian banyak problematika, peran kita juga menentukan untuk mengisi setiap sisi kehidupan. Terkadang, kita tidak sadar bahwa manusia hidup dalam kebersamaan sehingga tidak berpikir bahwa apa yang kita kerjakan pada dasarnya berpengaruh besar bagi kehidupan banyak orang.
Bagaimanapun, proses kehidupan ini sebaiknya dinikmati bukan sebagai keterpaksaan. Suatu hal yang terkesan 'aneh', dalam budaya kita suka memisahkan antara bekerja dan bersenang-senang, antara profesi dan rekreasi. [6] Setiap hal yang kita lakukan sebenarnya adalah bagian 'acara bersenang'. Jika semua proses itu dinikmati maka sebenarnya tak pernah ada hari tanpa bersenang-senang. Apabila profesi yang dijalani bukan sebagai paksaan, diharapkan memberikan hasil yang maksimal.
Sikap kita lebih dari sekedar "kesiapan untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada kita." Kita menganggap tugas kita sebagai pelayanan terhadap tujuan yang lebih mulia. Sikap kita terhadap pekerjaan dan terhadap "kebosanan" di dalamnya, lebih dari sekedar latihan dalam berpikir positif. Kita melihat tanggung jawab dalam setiap profesi sebagai sebuah misi pribadi, misi untuk menyelamatkan hidup, sesuatu yang bisa dipenuhi oleh kita. Memberi makna pada pekerjaan, dalam konteks ini berarti lebih dari sekadar menyelesaikan sebuah tugas untuk memperoleh imbalan nyata, seperti uang, pengaruh, status atau gengsi.



[1] Pikiran Rakyat, 28 November 2014.
[2] ML. Jhingan, Ekonomi dan Pembangunan, hal. 47-48
[3] Depdiknas, Prakarya dan Kewirausahaan untuk SLTA
[4] Man's Serching for Meaning, hal. 49
[5] Frankl, op.cit. hal. 50
[6] Ibid., hal. 128