Minggu, 26 April 2015

Peran Lembaga Usaha sebagai Pengontrol Kondisi Sosial di Pedesaan

Permasalahan sosial akan selalu saja ada dimanapun kita berada. Entah itu masalah kemiskinan, kebodohan dan sebagainya, maka permasalahan sosial menjadi keseharian yang menarik untuk dibicarakan kemudian dicari penyelesaiannya. Ketika negeri ini menerapkan berbagai cara untuk mengawasi kehidupan warganya, maka ada sisi kelemahan dari peran Pemerintah. Dalam situasi ekonomi tidak menentu seperti sekarang, warga lebih 'mendengarkan' pihak-pihak yang bisa memenuhi kebutuhan mereka. Sebagai warga negara, kita tidak bisa terus 'menyalahkan' pemerintah ketika permasalahan sosial terus muncul ke permukaan. Justru, kita bisa membantu Pemerintah mengisi kekosongan peran pemerintah itu.
Peran warga masyarakat dalam pengendalian sosial bisa diwujudkan dengan membentuk suatu lembaga yang bisa menyelesaikan permasalahan sosial tersebut. Saya menyarankan untuk menjadikan lembaga usaha/bisnis sebagai institusi yang bisa memimpin masyarakat dalam upaya pengendalian sosial. Saya tidak menyarankan lembaga pendidikan, lembaga agama atau lembaga sejenisnya sebagai sarana pengendalian sosial karena alasan-alasan yang akan dikemukakan kemudian.
Fungsi Lembaga Kemasyarakatan
Lembaga kemasyarakatan, pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a. Memberikan pedoman kepada anggota-anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, yang terutama menyangkut kebutuhan pokoknya.
b.   Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan.
c. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control), yaitu artinya, sistem pengawasan daripada masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.[1]
Dari fungsi di atas, dapat digarisbawahi bahwa lembaga kemasyarakatan akan bisa menjadi pengendali sosial apabila bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain, keutuhan masyarakat bisa tercapai bila kebutuhan mereka bisa terpenuhi.
Dari sudut fungsinya, terdapat pembedaan operative institutions dan regulative institutions. Operative institutions yang berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun pola-pola atau tata cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan , misalnya lembaga industrialisasi. Regulative institutions bertujuan untuk mengawasi adat-istiadat atau tata kelakuan yang tidak menjadi bagian yang mutlak daripada lembaga itu sendiri, seperti lembaga hukum.[2]
Strategi Pengendalian Sosial dengan Lembaga Usaha
Pengendalian sosial merupakan segenap proses yang ditempuh sekelompok masyarakat agar sesuai dengan harapan.[3] Pengendalian sosial ada yang bersifat prefentif yakni berupa pencegahan supaya permasalahan sosial tidak terjadi. Dalam essay ini, saya memfokuskan pada upaya pengendalian sosial yang menggunakan lembaga masyarakat dimana disebut pengendalian institusional.
Pengendalian sosial dengan lembaga usaha ini bisa juga bersifat tidak resmi karena tidak menggunakan institusi yang secara resmi bertugas untuk mengendalikan kondisi sosial seperti Kepolisian. Lembaga usaha tidak memiliki wewenang resmi untuk itu, tetapi menjadi lembaga yang dirasa paling berpengaruh untuk mengendalikan kondisi sosial di pedesaan. Seperti yang sering disebut, lembaga usaha langsung 'menguasai' sumberdaya manusia dan sumberdaya modal sebagai 'sumber' permasalahan sosial.
Permasalahan sosial bisa diatasi dengan kerjasama antar para pemangku kepentingan. Tidak hanya Pemerintah, lembaga usaha yang ada bisa mengumpulkan dana untuk operasional setiap kegiatan penyelesaian masalah sosial.[4]
Pola kerjasama ini bisa diterapkan secara formal dengan membentuk Yayasan atau Lembaga Pelatihan dsb.. Sebagai warga desa, kita bisa saja mencoba menyelesaikan permasalahan dengan mandiri. Hanya saja, peran perusahaan tidak hanya bisa mengurus urusan internal organisasinya. Permasalahan di luar perusahaan juga perlu andil para pengusaha dan/atau karyawan yang ada di dalamnya. Lembaga usaha bisa memberikan solusi dengan kemampuan manajemen yang dimiliki personil perusahaan.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan memaparkan hal yang bersifat teknis. Setiap individu memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Secara strategis, setiap kegiatan yang dikelola oleh perusahaan akan memberikan kesan positif atas kehadiran perusahaan di tengah masyarakat. Secara singkat, perusahaan harus dianggap sebagai penyelesai masalah bukan malah pembawa masalah.[5]
Saya tidak sependapat pada pihak yang senantiasa memisahkan antara perusahaan dengan masyarakat di sekitarnya. Seakan, diantara keduanya ada tembok tebal yang menghalanginya untuk saling berkomunikasi. Malahan, perusahaan dianggap sebagai 'pengganggu' ketentraman kehidupan pedesaan. Justru, kita bisa membuka komunikasi diantara keduanya sehingga terjalin hubungan yang harmonis.
Sebagai warga desa, kita harus menyadari bahwa sekarang bukan lagi jaman penjajahan dimana perusahaan yang didirikan di desa bukan lagi dianggap sebagai 'raksasa' yang menguras kekayaan pribumi. Di era globalisasi, menjadi suatu keniscayaan dimana peran perusahaan tidak sebatas pada institusi yang memproduksi barang dan jasa tetapi sudah berubah menjadi kekuatan untuk menggerakan masyarakat.[6]
Menciptakan Kedisiplinan Individu[7]
Secara garis besar, strategi pengendalian sosial melalui lembaga usaha dapat dilakukan dengan membuat kesepakatan bersama antara berbagai pihak. Lembaga usaha mempunyai kemampuan untuk melakukan lobi-lobi kepada Pemerintah, tokoh masyarakat bahkan pada masyarakat sekitar lokasi usaha dalam menentukan skema situasi yang diinginkan. Apabila ada kesepakatan yang jelas, maka tidak akan ada pabrik yang membuang limbah sembarangan, pemukiman yang terlihat kumuh atau jalan raya yang rusak karena setiap pihak sudah memiliki kesepakatan untuk bersama-sama menjaga keutuhan masyarakat.
Lembaga usaha yang memiliki sumberdaya manusia terlatih, bisa turut serta memberi contoh akan kualitas manusia yang ideal di mata masyarakat. Bahkan, lembaga usaha juga turut mempengaruhi pola kehidupan bermasyarakat karena di sana ada sistem kerja terjadwal. Pola kerja terjadwal ini secara langsung berpengaruh pada karakter manusia di dalamnya.
Sebagaimana dalam sistem ekonomi Islam, salah satu tujuan dari kegiatan ekonomi itu adalah membentuk masyarakat bahagia. Dengan memperhatikan prinsip moral, kegiatan ekonomi jelas akan berpengaruh pada karakter manusia. 'Manusia ekonomi' yang dibentuk oleh prinsip Islami bukanlah pribadi yang mengeluarkan suatu kegiatan ekonomi  hanya untuk mencari kepuasan materi. Materi yang akan diperoleh tidaklah didapat dengan motif egois dan mementingkan diri sendiri sehingga akan ada sikap saling membantu dan kerjasama antara sesama anggota masyarakat.[8]
***
Manusia yang disiplin adalah salah satu ciri masyarakat industri yang ada pada lembaga usaha. Lambat laun, lembaga usaha menjadi sentra dari perubahan di masyarakat. Saya berpikir, bahwa setiap kebijakan yang ditelorkan oleh Pemerintah akan bermuara pada kepentingan bisnis. Hal itu menjadi konsekuensi logis bagi kehidupan bermasyarakat, karena darisanalah sumber penghidupan warga berasal. Juga, menjadi sifat dasar manusia yang lebih mementingkan kebutuhan dasarnya.



[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1970, hal. 74.
[2] Soekanto, op.cit, hal. 83.
[3] http://igozigozza.blogspot.in/2012/07/pengendalian-sosial-social-control.html?m=1
[4] Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam, hal. 350.
[5] Muhammad Yunus, Bank Kaum Miskin, Marjin Kiri, Depok: 2007, hal. 274.
[6] David Bornstein, Mengubah Dunia, Kewirausahaan Sosial dan Kekuatan Gagasan Baru, Insist Press, Yogyakarta: 2006, hal. 278.
[7] http://igozigozza.blogspot.in/2012/07/pengendalian-sosial-social-control.html?m=1
[8] Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam, hal. 26.

Kamis, 16 April 2015

Menakar Semangat Belajar Remaja di Pedesaan

Pada tulisan ini, saya ingin mencoba untuk mengira-ngira seperti apa semangat belajar para remaja siswa SMP dan SMA di pedesaan. Apakah semangat belajar mereka ada hubungannya dengan cita-cita yang tertanam dalam dirinya. Lalu, bagaimana lingkungan pedesaan turut mempengaruhi semangat belajar mereka.
Sesuai judul di atas, agaknya sulit untuk menakar semangat belajar remaja di pedesaan. Perlu ada penelitian lebih lanjut untuk mengetahui seberapa besar semangat mereka untuk belajar. Hanya saja, secara kasat mata kita bisa tahu bahwa remaja mengalami penurunan semangat belajar mereka. Sepertinya, orientasi sekolah sudah bukan lagi tempat untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tetapi sebagai tempat untuk 'mengisi waktu' semata.
Secara kasat mata, remaja kita menganggap belajar adalah aktifitas yang melelahkan dan tidak menarik. Meskipun tidak semuanya begitu, masih banyak remaja kita yang tidak suka sekolah. Pertanyaannya, apakah mereka benar-benar tidak ingin belajar atau mereka tidak ingin belajar di sekolah?
Menyemangati Belajar
Sebagaimana kita tahu, semangat belajar setiap siswa berbeda-beda. Untuk itu, sebaiknya kita tahu kenapa hal itu terjadi. Dalam hal ini, motifasi belajar para siswa perlu ditingkatkan dengan cara memberikan gambaran masa depan kepada mereka. Bagi remaja, masa depan masih menjadi teka-teki dimana belum bisa menentukan keputusan secara mantap jalan hidup mana yang akan ditempuh.
Sebagai orang dewasa, sebaiknya kita memberikan gambaran mengenai masa depan sejak dini. Jangan sampai para remaja kehilangan pegangan. Dalam proses belajar, remaja-remaja di pedesaan harus mempunyai gambaran jelas mengenai situasi desanya di kemudian hari.
Filosofi hidup orang desa yang beranggapan bahwa masa depan itu terjadi begitu saja _tanpa sebuah perencanaan_ sepertinya sudah tidak relevan lagi dengan kehidupan modern saat ini. Kita tahu, apa yang terjadi di negeri ini _baik dan buruknya_ itu semua atas perencanaan sejak jauh-jauh hari. Hanya saja, kita tahu kapan dan dimana rencana itu dibuat. Yang kita tahu, akibat dari dilaksanakannya rencana itu sudah menghampiri kehidupan pribadi kita.
Remaja kita harus sudah bisa membuat rencana-rencana masa depan, terlepas apakah itu akan berhasil atau tidak. Pada waktu belajar, mereka sudah dihadapkan pada realita kehidupan yang dinamis dan penuh resiko. Bagi manusia, belajar adalah bentuk usaha untuk beradaptasi atas lingkungan di sekitarnya. Belajar, juga sebagai usaha untuk membawa lingkungan supaya lebih baik lagi.
Apabila remaja kita menganggap sekolah sebagai batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan, itu sah saja. Lalu, bagaimana orang dewasa di sekitarnya bisa menawarkan pilihan pekerjaan lain selain yang mereka idamkan. Misalnya, seseorang berkeinginan menjadi dokter tetapi ternyata dia mengalami kekurangan secara akademis maka orang di sekitarnya bisa menawarkan pekerjaan yang cocok dengannya. Ini semua kembali kepada salah satu esensi pembangunan nasional yakni membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya.
Bagi remaja di desa _berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi_ , pilihan-pilihan itu begitu sedikit. Wajar, jika mereka belum bisa menentukan profesi apa yang akan dijalani nanti. Juga, orang dewasa belum bisa menjelaskan dengan gamblang pilihan-pilihan bagi mereka. Seakan, orang tua di pedesaan 'membiarkan' si anak menentukan keinginannya sendiri tanpa bimbingan. Terlebih, para orang tua belum bisa membaca minat dan bakat yang ada pada diri anaknya. Masih jauh, apabila sampai membimbingnya supaya minat dan bakatnya itu tersalurkan.
Semangat dan Cita-cita
Permasalahan timbul, ketika pelajaran di sekolah tidak bisa menunjang cita-cita mereka. Pelajar tidak termotifasi untuk belajar ketika tidak bisa menemukan hubungan belajar  dengan tercapainya cita-cita mereka. Pelajar harus diyakinkan bahwa pelajaran yang mereka terima bisa diterapkan di kemudian hari dan bisa menunjang cita-cita mereka.
Hamzah B. Uno (2013: 4) menyebutkan bahwa motivasi intrinsik adalah motivasi yang telah ada dalam diri individu misalnya keinginan berhasil, dorongan dan kebutuhan belajar, serta harapan akan cita-cita.[1] Motifasi ini tidak timbul begitu saja karena perlu adanya proses pencarian jati diri dari setiap individu siswa. Sebagai anggota masyarakat, kita hanya bisa mengarahkan mereka pada cita-cita yang mereka idamkan.
Pada setiap siswa, cita-cita itu memang berbeda. Bagi warga desa, memang tidak bisa mengakomodir semua keinginan dari setiap anak. Hanya saja, _seperti yang digambarkan di atas_ kita bisa memberikan mereka berbagai pengetahuan aplikatif mengenai begitu banyak profesi di dunia ini. Bagi remaja, mereka akan menemukan cita-cita mereka sendiri baik itu cepat atau lambat.
Semangat dan Persepsi
Belajar merupakan cara untuk mengubah pola pikir kita. Persepsi manusia tentang dunia akan terus berubah seiring dengan bertambahnya pengetahuan mereka. Begitu pun remaja, persepsinya tentang dunia masih begitu sempit. Untuk itu, perlu upaya membawa mereka pada realita  dunia yang sebenarnya.
Remaja sebaiknya belajar bagaimana suatu peradaban dibangun di masa lalu, juga bagaimana peradaban dibangun di masa depan. Sejak remaja, generasi saat ini  harus sudah diajarkan pola-pola pembangunan suatu masyarakat di dunia. Mereka harus menyadari bahwa semua ini tidak terjadi begitu saja tetapi ada suatu proses panjang sehingga ketika mereka lahir sudah ada banyak kemajuan. Masa kini, remaja sudah menikmati hasil dari pembangunan sehingga tidak merasakan 'pahir-ketir'-nya kehidupan di masa lampau. Bukan harus mengajak mareka untuk merasakan kepahitan itu, tetapi ajaklah pada situasi masa depan yang akan mereka isi di kemudian hari. [2]
Persepsi remaja tentang desanya sangat penting untuk ditekankan. Saya berharap, formalitas belajar tidak menumpulkan kepedulian mereka terhadap realita lingkungan hidup yang sebenarnya. Apa yang sedang terjadi harus mereka pahami bukan dilihat sebagai kejadian yang berlalu begitu saja. Pendekatan kontekstual seperti ini diharapkan akan merangsang para remaja untuk mempelajari kehidupannya sendiri.
Pola belajar yang sudah dibangun tidak cukup dengan memberikan mereka fakta-fakta tertulis tetapi juga menghadapkannya pada fakta tidak tertulis. Pikiran manusia bisa memahami apa yang sedang dan akan terjadi pada dirinya. Dalam pada itu, pembelajaran akan dirasa manfaatnya segera karena ilmu pengetahuan bisa menjadi solusi atas permasalahan yang kerap terjadi. [3]
Motifasi dari Dalam Diri
Motivasi ekstrinsik adalah keinginan belajar yang dipengaruhi oleh rangsangan dari luar individu. Tujuan siswa melakukan kegiatan belajar adalah untuk mencapai tujuan yang terletak di luar aktivitas belajar. Dimyati dan Mudjiono (2009: 90-91) juga menjelaskan bahwa motivasi ekstrinsik adalah dorongan terhadap perilaku seseorang yang bersumber dari luar diri individu. Contohnya siswa belajar karena ikut-ikutan temannya. Hamzah B. Uno (2013: 4) menyebutkan motivasi ekstrinsik sebagai motivasi yang timbul karena rangsangan dari luar individu seperti adanya penghargaan, lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik.[4]
Memotifasi remaja bisa dilakukan dengan menyediakan lingkungan belajar yang aman, nyaman dan menarik perhatian mereka. Warga dan pemerintah desa tidak hanya berkewajiban menyediakan ruang kelas bagi belajar siswa tetapi sudah saatnya untuk membuat 'laboratorium hidup' bagi siswa. Desa menjadi tempat belajar paling efektif bagi siswa dimana mendorong mereka untuk menemukan formulasi belajar menurut cara mereka sendiri.
Para guru sepertinya belum percaya bahwa para siswa yang 'malas' sebenarnya membutuhkan situasi yang dianggap 'kongkrit'. Mereka kesulitan untuk menemukan hubungan antara belajar teori di kelas dengan aplikasi dalam kehidupan keseharian mereka. Secara teori, pikiran secara alami akan mencari makna dari hubungan individu dengan lingkungan sekitarnya. [5] Untuk itu, perlu adanya konsep belajar yang menginternalisasikan teori-teori yang sudah ada. Konsep-konsep ditemukan oleh siswa melalui observasi mereka di lapangan.
Saya pribadi mendorong diberlakukannya Kurikulum 2013 yang mendekatkan siswa pada lingkungannya. 'Laboratorium hidup' ini bisa menjadi inpirasi siswa untuk menentukan cita-cita mereka di kemudian hari. Lingkungan sekitar merupakan kondisi riil bagi siswa untuk menemukan konsep-konsep kehidupan yang akan menjadi pegangannya di kemudian hari.




[1]  Gordella Nugraheni , Penerapan Metode Discovery Untuk Meningkatkan Motivasi Dan Prestasi Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial Siswa Kelas IV SD Negeri Krebet Kecamatan Panjatan Kabupaten Kulon Progo,  Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, 2014, hal. 33.
[3] Gordella Nugraheni, hal. 35.
[4] Ibid. hal. 33.

Rabu, 01 April 2015

Ketika Investor Enggan Membuka Usaha Padat Karya

"Buruh tahunan setiap bangsa merupakan kekayaan yang pada mulanya memasok bangsa dengan segala kenyamanan hidup yang diperlukan." (Adam Smith, Wealth of Nations dalam ML  Jinghan)

Penduduk yang bertambah tidak disambut sebagai sumber pembentukan modal. Mungkin itulah yang persepsi masyarakat kita dalam menanggapi pertambahan penduduk. Malahan investor sepertinya tidak menganggap sumberdaya manusia ini sebagai modal malahan menjadi 'sumber permasalahan' bisnis yang tidak kunjung selesai.
Tren investasi saat ini sudah beralih kepada investasi non-produktif. Para pemilik modal lebih suka berinvestasi di bursa saham, properti, logam mulia dan jasa keuangan lainnya. Para pemegang modal sepertinya kurang tertarik untuk menanamkan modalnya pada usaha padat karya karena resiko yang dianggap tinggi. Pola investasi ini ternyata berpengaruh kuat pada lapangan kerja dimana jarang dibukanya lapangan kerja baru.
Dalam perekonomian kita, investor layaknya sebagai 'pemberi nafkah'. Para investor belum bisa memetik hasil maksimal apabila membuka usaha padat karya. Sebaiknya, Pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan bagi pengusaha yang mau mempekerjakan banyak orang.
Perbedaan Persepsi Mengenai Bisnis
Kalau boleh saya berpendapat, sepertinya ada persepsi yang 'tidak sinkron' antara buruh dengan para pengusaha. Para pengusaha senantiasa melihat aktifitas usaha sebagai tempat untuk berkarya dan mencari keuntungan. Sedangkan, para buruh melihat kegiatan perusahaan semata-mata sebagai alat pemenuhan kebutuhan.
Perbedaan persepsi ini menjadikan ketidakseimbangan daya tawar diantara keduanya. Para buruh tidak bisa menaikan 'nilai'-nya dimata pengusaha sedangkan para pengusaha dilihat sebagai 'pemeras keringat' buruh. Menurut saya, persepsi ini lahir dari sikap komunis yang terlalu 'mengagungkan' buruh dan menganggap jelek para kapitalis/pemilik modal. Pada kenyataannya, keduanya ada saling ketergantungan yang sulit untuk dipisahkan.
Dapat dipahami, apabila para investor enggan untuk membuka usaha padat karya karena keberadaan buruh tidak dapat mendongkrak keuntungan maksimal yang diharapkan. Untuk itu, lahirlah konsep manajemen berbasis sumberdaya manusia yang sangat mengedepankan kreatifitas buruh sebagai modal tidak ternilai. Sayangnya, konsep ini baru bisa diterapkan di industri kreatif yang sangat bergantung pada kreatifitas manusia. Tetapi, di masa depan konsep ini juga bisa diterapkan di industri manufaktur/pengolahan yang bisa mengedepankan 'kreatifitas' pekerja dalam bekerja.
Permasalahan kreatifitas buruh harus dilihat dari latar belakang sistem pendidikan yang dijalaninya. Pendidikan yang tidak bisa menelorkan buruh yang terampil memang sudah menjadi problem akut di negara terbelakang seperti Indonesia.[1] Sebagai warga desa, semestinya kita sudah mempersiapkan pola pendidikan yang menunjang dunia usaha sejak jauh-jauh hari. Kita tidak bisa terlalu berharap pada pendidikan formal yang ada karena keterbatasan waktu dan tenaga pengajar yang ada. Untuk itu, peran serta seluruh lapisan masyarakat sangat diperlukan untuk bisa memahamkan 'calon pekerja' pada situasi kerja yang sebenarnya. Sehingga, kelak para pekerja bisa 'berimprovisasi' dalam berkompetisi untuk mencapai target yang diharapkan.
Masyarakat Pedesaan Harus Meyakinkan Investor
Menyambut industrialisasi pedesaan, perlu adanya  persiapan untuk meyakinkan investor bahwa calon tenaga kerja siap untuk bergabung dengan industri yang akan dibangun. Di sisi ini, para calon investor akan melihat desa kita kawasan yang sudah siap untuk dibangun industri. Ketersediaan para calon tenaga kerja yang dibutuhkan menjadi pertimbangan penting ketika para pengusaha akan memutuskan bentuk usahanya kelak.
Persiapan calon tenaga kerja bisa dilakukan oleh lembaga pelatihan kerja yang khusus mendidik anak-anak muda untuk siap terjun ke dunia kerja. Lembaga pelatihan ini menjadi alat untuk meyakinkan investor bahwa desa kita siap untuk menawarkan tenaga kerja siap pakai. Apabila calon tenaga kerja yang ditawarkan bisa menunjang usaha, maka pengadaan mesin-mesin tidak perlu dilakukan karena dengan sumberdaya manusia yang ada justru bisa meningkatkan produktifitas hingga tingkat yang diinginkan.
Warga desa sebaiknya bisa meyakinkan investor _lokal maupun internasional_ bahwa desanya layak untuk dijadikan tempat membuka usaha. Lebih khusus lagi, investor diyakinkan pada tersedianya calon tenaga kerja yang terampil, berkompetensi serta memiliki mental yang siap untuk berkompetisi.
Warga desa juga semestinya memahami bahwa di era ekonomi pasar bebas, tenaga kerja harus bisa memiliki daya jual. Pasar tenaga kerja harus menawarkan orang-orang yang bisa berkontribusi maksimal dalam dunia usaha. Calon tenaga kerja yang ada harus sudah siap dengan segala kemungkinan di dunia kerja bukan tenaga kerja yang 'masih coba-coba'.
Hal di atas bisa dibangun, apabila orang desa sudah memiliki persepsi bahwa posisi pengusaha tidak bertindak sebagai 'pemberi sedekah'. Pengusaha adalah pihak yang 'membutuhkan' jasa para calon karyawan. Untuk itu, masyarakat pencari kerja harus menjadikan dirinya sebagai individu yang sedang menjual keahliannya pada yang membutuhkan. Apabila paradigma yang mengatakan buruh berada di 'bawah ketiak' pengusaha, maka masih bisa dipahami buruh seperti tidak berdaya dan tidak memiliki posisi tawar yang kuat.
Menumbuhkan Budaya Industri di Pedesaan
Budaya industri tidak mendukung, hal ini terlihat ketika masyarakat kita masih menganggap 'rendah' pekerjaan di industri manufakturing. Masyarakat masih menganggap pekerjaan di bidang jasa lebih bergengsi dibanding pekerjaan-pekerjaan manual yang menggunakan keterampilan tangan.
Kurikulum pendidikan menengah, terutama pendidikan menengah umum, tidak mempersiapkan lulusannya untuk memasuki dunia kerja.  Kurikulum SMK, walaupun lebih relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, tidak cukup spesifik untuk memenuhi kebutuhan industri.  Alhasil, lulusan SLTA kurang berminat bekerja di bidang industri.[2]
Bagi kita, sulit untuk memungkiri bahwa masyarakat Indonesia belum memiliki budaya industri yang merata di seluruh wilayahnya. Sebagian masyarakat Indonesia yang berbudaya agraris belum bisa memaknai perubahan budaya ke arah industrialiasasi sebagai momentum untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik.
Sebagaimana kita ketahui, masyarakat agraris masih bergantung pada hasil bumi semata. Masyarakat agraris belum punya pemikiran untuk mengolah hasil bumi itu supaya memiliki nilai tambah di pasaran. Warga petani masih menganggap hasil panen sebagai produk akhir dari proses panjang kegiatan bercocok tanam dan beternak yang ditekuninya. Sudah lumrah, jika petani kita menjual hasil panennya dalam bentuk bahan mentah. Keengganan mengolah ini membentuk karakter individu dimana tidak terangsang untuk berinovasi dan berkreasi berbeda dari apa yang selama ini dilakukan.[3]
Masyarakat agraris juga masih menganggap bahwa status dan posisi seseorang dalam masyarakat ditentukan oleh warisan. Sedangkan, masyarakat industri memandang posisi seseorang ditentukan oleh kecakapannya. Berdasarkan itu, masyarakat desa belum punya motifasi kuat untuk meningkatkan kecakapannya dalam pekerjaan. Bagi warga desa, belajar hanya ada di sekolah sehingga tidak menjadikan pekerjaan sebagai tempat untuk belajar. Padahal, industri sangat membutuhkan orang-orang yang memiliki motifasi untuk meningkatkan keterampilannya.[4]





[1] ML. Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, hal. 520.
[2] Perencanaan Kebutuhan SDM Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi 2012-2014, hal. 75.
[3] Charless Issawi MA, Pilihan Dari Muqoddimah:  Filsafat Islam Tentang Sejarah, Ibnu Kholdun, Tintamas, 1976.
[4]Siti Irene Astuti D. Pandangan Hidup Masyarakat Industri, google.com.

Penduduk Bertambah, Industri Pun Bertumbuh

Kekhawatiran akan bertambahnya penduduk tidak bisa diimbangi dengan bertambahnya lapangan kerja, ternyata tidak berlaku bagi Ibnu Kholdun. Beliau menerangkan bahwa suatu pemerintahan yang baik, dengan memajukan industri, bisa menambah jumlah penduduknya dan memperbesar kekayaannya.[1]
Suatu keniscayaan, bahwa penduduk bumi akan terus bertambah dari waktu ke waktu meskipun dengan laju pertumbuhan yang melambat. Begitu pun penduduk desa, jumlahnya akan terus bertambah seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Mungkin luput dari perhatian, pertambahan ini akan menimbulkan permasalahan apabila tidak dikelola dengan baik. Warga desa akan mengalami imbas negatif dari bertambahnya jumlah penduduk ini seperti minimnya lapangan kerja, penyempitan lahan untuk pemukiman, ketiadaan sarana kesehatan dan sebagainya.
Untuk itu, warga desa perlu memikirkan situasi ini jauh-jauh hari. Warga desa perlu perencanaan yang baik dalam mengelola sumberdaya manusianya. Hal krusial yang paling sensitif dan mendesak adalah bagaimana warga desa sendiri menyediakan lapangan pekerjaan bagi generasi penerusnya. Ini perlu dilakukan, supaya anak muda tidak  urbanisasi ke kota besar dimana disana pun daya tampungnya sudah tidak mencukupi. Apabila lapangan pekerjaan sudah tersedia, maka infrastruktur lain bisa mengikuti karena dengannya penduduk bisa mengeluarkan biaya untuk memenuhinya.
Industrialisasi pedesaan sudah menjadi keniscayaan. Warga desa tidak bisa berdiam diri 'menonton' kemajuan kota tetapi juga harus bisa menjadi 'pemain' dari kemajuan itu. Investasi mendesak untuk dilakukan demi terciptanya lapangan kerja baru. Menambah jumlah industri adalah salah satu strategi pengelolaan penduduk terbaik karena bisa menjadi sarana pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Sarana kesehatan dan pendidikan akan mengikuti apabila sumber pendapatan penduduk tersedia.
Ketika jumlah penduduk bertambah, kita semua tidak sekedar merasa khawatir akan efek negatifnya tetapi juga bisa melihat ini sebagai investasi masa depan. Saat ini, para ahli manajemen sudah mulai menyadari akan arti pentingnya pengembangan potensi sumberdaya manusia. Apabila kita melihat bertambahnya manusia adalah bertambahnya aset masyarakat maka akan ada upaya maksimal untuk 'mengelolanya'.
Persepsi ini akan membawa para pemegang kepentingan akan memikirkan bagaimana menjadikan setiap manusia yang ada sebagai sarana untuk menjawab tantangan global. Saat ini, produktifitas industri yang berorientasi ekspor sangat dibutuhkan. Hal ini untuk bisa mengimbangi neraca perdagangan internasional yang sedang dijalankan oleh Indonesia. Seperti di Cina, warganya sangat tertantang untuk memproduksi apa saja yang bisa dijual di luar negeri. Bagi orang China, perdagangan bebas merupakan tantangan yang menggairahkan untuk diambil manfaatnya. Bukan sebaliknya, perdagangan bebas dianggap sebagai 'serangan mematikan' potensi.[2]
Industri sebagai Pengendali Penyebaran Penduduk
Pengendalian jumlah penduduk sebaiknya tidak menjadi alasan Pemerintah untuk tidak menumbuhkan industri di seantero negeri. Malahan pertumbuhan industri di daerah sebagai 'sarana utama' untuk mengendalikan jumlah penduduk di daerah. Industri menjadi wahana bagi penduduk untuk bisa mengontrol diri akan mobilitas mereka sehingga pola penyebarannya lebih tertata.
Namun, pertumbuhan industri di daerah tidak hanya tugas Pemerintah tetapi juga harus ada andil warga daerahnya sendiri. Warga daerah harus menyadari sejak hari ini bahwa pengendalian jumlah penduduk oleh pemerintah bermaksud untuk memberikan kesempatan merata kepada seluruh warga negara. Kesempatan yang merata akan merangsang kreatifitas warga untuk turut serta membangun daerahnya sendiri. Dengan demikian, segala potensi dan sumberdaya akan tercurahkan bagi kegiatan sosial-ekonomi daerah.
Poin penting dari pernyataan Ibnu Kholdun di atas adalah bagaimana pemerintah dan warganya mampu menumbuhkan industri seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Dalam hal ini, perlu ada upaya sistematis dan terencana dari semua pihak untuk bisa mengimbangi keduanya.
Pertama, kesadaran ini harus disebarkan kepada seluruh lapisan masyarakat. Warga harus paham bahwa lapangan kerja tidak tersedia begitu saja tetapi harus dibuat dan disediakan. Di tengah masyarakat, sudah menjadi mafhum bahwa seorang anak akan mencari kerja sendiri ketika dia dewasa kelak. Para orang tua seakan tidak mempunyai 'kewajiban' untuk menyediakan lapangan kerja bagi keluarganya.
Kita juga harus memahami bahwa tidak semua orang berminat menjadi wirausahawan. Untuk itu, perlu upaya memberikan kesempatan berkarya bagi para 'calon pekerja'. Industri diyakini mampu menyediakan sarana untuk berkarya bagi mereka yang berpotensi untuk itu.
Kedua, menumbuhkan tradisi industri. Tradisi untuk mengolah belum tumbuh di tengah masyarakat kita. Jika kita melihat masyarakat Jepang, disana industri sudah menjadi tradisi yang tumbuh sejak lama. Kegiatan mengolah bahan menjadi barang siap pakai seakan menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi masyarakat Jepang. Tidaklah aneh, jika orang Jepang berlomba untuk membuat produk terbaik di dunia.
Ketiga, menumbuhkan tradisi berinvestasi.
Permasalahan Buruh
Permasalahan buruh sering mengemuka belakangan ini. Situasi ekonomi membuat buruh menuntut upah lebih tinggi dari sebelumnya. Untuk itu, sebelum semua itu mengemuka maka sebaiknya ada antisipasi sehingga permasalahan buruh tidak menjadi besar.
Industri seharusnya menjadi solusi bagi problem yang timbul dari bertambahnya jumlah penduduk. Industri semestinya menjadi lokomotif bagi penyelesaian atas ekses negatif 'meledaknya' jumlah penduduk. Apabila direncanakan dengan baik, industri akan membawa pada keterlibatan banyak orang untuk membangun daerahnya sendiri.
Adanya industri bukan menjadi biang dari masalah perburuhan yang sering dikemukakan banyak orang. Industri merupakan sarana penghimpun sumberdaya yang dimiliki oleh suatu daerah. Industri dipercaya bisa memicu meningkatnya kualitas sumberdaya manusia. Apabila prinsip ini diterapkan, maka pengusaha akan lebih mengedepankan pembinaan karyawannya dibandingkan dengan 'menukarnya' dengan tenaga robot. Sebelum permasalahan muncul, harus ada persamaan persepsi bahwa industri didirikan bukan sebagai tempat untuk mengeksploitasi tenaga manusia.
Permasalahan buruh bisa juga timbul karena ketidakpuasan buruh akan posisi mereka di dalam industri itu sendiri. Industrialis semestinya memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya pada buruh. Perusahaan semestinya 'memelihara' assetnya ini dengan menerapkan pola pembinaan dan pola pelatihan secara berkala. Pihak manajemen harus punya mimpi untuk membesarkan usahanya hingga level tertinggi. Manajemen harus menganggarkan dana untuk berinvestasi pada aspek sumberdaya manusia. Industrialis harus sadar bahwa di masa depan keberlangsungan industri yang digelutinya berada di tangan para penerusnya.
Konsep di atas memang terdengar idealis, tetapi sebagaimana dikemukakan Ibnu Kholdun bahwa industri adalah sumber 'kekayaan' bagai seluruh lapisan masyarakat. Industri bukan hanya sebagai sumber kekayaan para pengusaha atau pemilik modal. Prinsip kerjasama untuk kemajuan bersama, akan membawa pada perubahan tatanan masyarakat ke arah yang lebih baik.



[1] Charless Issawi MA, Pilihan Dari Muqoddimah:  Filsafat Islam Tentang Sejarah, Ibnu Kholdun, Tintamas, 1976, Hal. 130.
[2] I Wibowo, Belajar Dari Cina: Bagaimana Cina Merebut Peluang Dalam Era Globalisasi, Kompas, Jakarta: 2007, Hal. 62.