Kamis, 27 Agustus 2015

Transformasi Ekonomi Perdesaan

Salah satu hal yang paling krusial dalam
transformasi ekonomi adalah adalah bagaimana memperluas pilihan
masyarakat perdesaan dalam mencapai kesejahteraan hidupnya.
Industrialisasi di perkotaan dan urbanisasi selama ini dan hingga
beberapa dekade ke depan tidak dapat menjadi andalan transformasi
ekonomi, mengingat telah terjadinya overurbanisasi di banyak
kawasan perkotaan, utamanya kota metropolitan dan kota-kota besar
lainnya. Oleh karenanya transformasi perdesaan harus berlangsung
secara signifikan. Transformasi di perdesaan berlangsung melalui
dua perspektif. Dari perspektif struktur ekonomi, kawasan perdesaan
harus mampu menumbuhkan penyerapan tenaga kerja di sektor offfarm
terutama melalui melalui pengembangan bioindustri perdesaan
beserta sektor-sektor agro services dan kegiatan usahatani lainnya.
Dari perspektif petani, diperlukan adanya transformasi petani di
kawasan perdesaan, dari sosok petani yang dominan bekerja hanya
bercocok tanam on-farm saja, menjadi petani yang lebih kompleks
dan terdiversifikasi ke arah petani industrial dan/atau petani berbasis
agro services.

Tahap selanjutnya dari transformasi ekonomi akan semakin dicirikan
oleh semakin dominannya sektor-sektor jasa dalam kontribusi
nilai tambah. Pertanian di masa ini merupakan pertanian yang
sudah melewati tahap pertanian industrial dimana kontribusi
terbesar sistem pertanian dalam menopang kesejahteraan petani
dan kehidupan perdesaan adalah dari fungsi-fungsi yang bersifat
multifungsi terutama dari sektor agro services-nya, disamping agroindustri
dan pertanian on-farm.

Konsekuensi dari transformasi ekonomi perdesaan adalah
perubahan pemahaman atau redefinisi ulang istilah petani. Definisi
petani yang dicirikan oleh sosok perkerja dengan curahan waktu dan
sumber pendapatan dari kegiatan pertanian on-farm sudah tidak lagi
memadai dan membatasi prospek pengembangan sumber insani
pertanian yang maju. Sosok petani di masa depan akan terbagi atas
tiga kelompok tani. Pertama, petani dengan dengan curahan waktu
dan sumber pendapatan penuh atau sebagian besar dari kegiatan
on-farm (petani penuh, petani tipe pertama). Kedua, petani dengan
curahan waktu dan sumber pendapatan kegiatan on-farm dan offfarm
dan non-farm yang berimbang (petani paruh waktu, petani
tipe kedua). Ketiga, petani dengan curahan waktu dan sumber
pendapatan yang sebagian besar bersumber dari kegiatan off-farm
dan non-farm (petani jasa, petani tipe ketiga). Ciri dasar ketiga tipe
petani di atas adalah basis aktivitasnya di perdesaan dan besarnya
keterkaitan aktivitasnya dengan kegiatan-kegiatan budidaya
pertanian, pertanian bioindustrial dan atau kegiatan-kegiatan jasa
berbasis pertanian (agro services).[1]



[1] Dokumen Pendukung Konsep Strategi Induk Pembangunan Pertanian {SIPP} 2013 – 2045,hal. 255-257

Kamis, 20 Agustus 2015

Hasrat Berkelompok, Modal Tak Ternilai Bagi Warga Desa


Dalam hubungan kemasyarakatan, ada modal yang tidak ternilai dimana bisa memperkokoh gerakan roda perekonomian dan sosial. Modal tersebut harus dipelihara demi kepentingan bersama.

Hasrat ingin berkelompok
Didalam hubungan antara manusia dengan manusia lain, yang paling penting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat hubungan-hubungan tadi. Reaksi tersebutlah yang menyebabkan tindakan seseorang menjadi bertambah luas.
Sejak dilahirkan manusia sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan, yaitu:
pertama, Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain yang berada disekelillingnya (yaitu masyarakat).
kedua, Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam di sekelilingnya. [1]

Syarat disebut kelompok sosial
Setiap himpunan manusia bisa dinamakan kelompok sosial dengan beberapa syarat:
Pertama, Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan sebahagian dari kelompok yang bersangkutan, 
Kedua,  Ada sehubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota lainnya, 
Ketiga,  Terdapat suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tesebut dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama dll.. tentunya faktor mempunyai musuh bersama, misalnya, bisa juga menjadi faktor pengikat/pemersatu.[2]

Unsur-unsur community sentiment
Satu,  Seperasaan : unsur perasaan akibat seseorang berusaha untuk mengindentifikasikan dirinya dengan sebanyak mungkin orang dalam keompok tersebut, sehingga kesemuanya dapat menyebutkan dirinya sebagai 'kelompok kita', 'perasaan kita' dsb.. perasaan demikian terutama timbul apabila orang-orang tersebut mempunyai kepentingan yang sama didalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Unsur seperasaan tersebut harus memenuhi memenuhi kebutuhan-kebutuhan kehidupan dengan 'altruism' yang lebih menekankan pada perasaan solider dengan orang lain. Pada unsur seperasaan, kepentingan-kepentingan si individu diselaraskannya dengan kepentingan-kepentingan kelompoknya, sehingga dia merasakan kelompoknya sebagai darah dagingnya sendiri.
Dua, Sepenanggungan : Setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok dan keadaan masyarakat sendiri memungkinkan bahwa peranannya tadi dijalankan, sehingga dia mempunyai kedudukan yang pasti dalam struktur sosial masyarakatnya.     
Tiga, Saling memerlukan : Individu yang tergabung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya tergantung pada community-nya yang meliputi kebutuhan fisik maupun kebutuhan-kebutuhan psikologisnya. Kelompok yang tergabung dalam masyarakat setempat tadi, memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik seseorang, misalnya atas makanan dan perumahan. Secara psikologis, individu akan mencari perlindungan pada kelompoknya apabila dia berada dalam ketakutan dsb.. Perwujudan yang nyata daripada individu terhadap kelompoknya _yaitu masyarakat setempat_ adalah pelbagai kebiasaan masyarakat perikelakuan-perikelakuan tertentu yang secara khas merupakan ciri masyarakat itu. Suatu contoh yang mungkin dapat memberikan penjelasan yang lebih terang adalah aneka macam logat bahasa masing-masing masyarakat setempat.[3]



[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi : Suatu Pengantar, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta: 1970, Hal. 94.
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi : Suatu Pengantar, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta: 1970, Hal. 94-95.
[3] Soerjono Soekanto, Sosiologi : Suatu Pengantar, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta: 1970, Hal. 118.

Kamis, 13 Agustus 2015

Manajemen Sumber Daya Manusia : Pendekatan Sistem Sosial

Pendekatan sistem sosial
Pendekatan ini berkembang mengikuti perkembangan aliran pemikiran yang semakin menghendaki perlakuan yang kebih manusiawi bagi para karyawan dalam suatu organisasi, seperti aliran Behavior Revisionist (1955-1970) dan Era Kesejahteraan (1930-sekarang).
Dalam masa perkembangan ini, makin disadari bahwa pengelolaan SDM dalam organisasi bukanlah suatu proses yang sederhana. Banyak faktor yang mempengaruhi baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Oleh karena itu manajemen SDM harus ditempatkan sebagai suatu sistem sosial yang berada di dalam dan menjadi sub-sistem dari pendekatan sistem manajemen. Dalam pendekatan ini, maka falsafah manajemen yang digunakan adalah contingency management.[1]

Kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial
Setiap manusia mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhinya, yang antara lan adalah kebutuhan yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai makhluk sosial , seperti kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan akan rasa diterima kehadirannya oleh masyarakat lingkungannya, kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya.[2]

Jangkauan luas MSDM
Dengan pendekatan sistem sosial ini, maka manajemen SDM menjadi luas jangkauannya, karena tidak saja masalah yang terjadi dalam organisasi sebagai “inner central” dari sistem itu, tetapi juga menyangkut lingkungan organisasi sebagai “outer extended system”, seperti serikat buruh, masyarakat sekitar, pelanggan, pesaing, pemasok, pemegang saham, lembaga keuangan dan Pemerintah.[3]
Manusia tidak hanya alat produksi
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa manajemen sumber daya manusia menempatkan tenaga kerja dalam organisasi tidak hanya sebagai alat produksi. Lebih dari itu, tenaga kerja merupakan kekayaan/aset organisasi, yang berbentuk – sumberdaya manusia yang mempunyai cita, rasa dan karsa yang berbeda-beda, sehingga harus dikelola dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Pendekatan sistem sosial yang menempatkan manusia sesuai dengan harkatnya sebagai makhluk sosial.[4]

Tujuan pokok MSDM
Seluruh kegiatan melalui fungsi-fungsi manajemen sumberdaya manusia tersebut diarahkan untuk mewujudkan sasaran pokok MSDM, yaitu mendayagunakan secara optimal sumberdaya manusia dalam suatu organisasi melalui terciptanya suatu kondisi ketenagakerjaan yang memenuhi semboyan 3 TEPAT, yaitu tepat orang, tepat jabatan dan tepat waktu (the right man on the raight job at the right time). Kondisis semacam ini hanya  mungkin terjadi bila setiap manusia di dalam organisasi itu mencapai tingkat prestasi kerja yang tinggi. Dengan perkataan lain, sumberdaya manusia yang dimiliki tersebut mampu mengembangkan produktifitas kerjanya sampai tingkat yang maksimal.
Sasaran pokok ini dicapai melalui sasaran antara  berbentuk terciptanya kemampuan kerja (ability to work) dan kemaun kerja  (willingness to work) dari tenaga kerja yang dimiliki organisasi tersebut.
Kemauan dan kemampuan kerja merupakan dua syarat dasar yang harus dimiliki seseorang untuk berprestasi di dalam pekerjaan yang dilakukannya.
Kemampuan kerja berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan, bakat, minat dan pengalaman yang dibutuhkan seseorang agar dapat menyelesaikan tugas-tugas yang harus dilaksanakan sesuai dengan pekerjaan/jabatan yang didudukinya. Sedangka kemauan kerja merupakan perwujudan dari tinggi rendahnya motifasi yang bersumber dari dorongan berbentuk kebutuhan dan keingintahuan tertentu yang menyebabkan seseorang melakukan tingkah laku tertentu pula. Tingkah laku yang dimaksud adalah kehendak untuk melaksanakan tugas-tugas yang harus dilakukan sesuai dengan pekerjaan/jabatan yang didudukinya itu.
Seorang tenaga kerja tanpa kemampuan kerja, tidak akan dapat mencapai prestasi kerja pada tingkat yang optimal, walaupun kemauan kerjanya tinggi. Sebaliknya, seorang tenaga kerja dengan kemampuan kerja yang tinggi tetapi tidak memiliki kemauan kerja, akan menunjukan prestasi kerja yang rendah pula.[5]



[1] Bambang Wahyudi, Manajemen Sumberdaya Manusia, Sulita. Bandung: 1991. Hal. 6.
[2] Bambang Wahyudi, Manajemen Sumberdaya Manusia, Sulita. Bandung: 1991. Hal. 7.
[3] Bambang Wahyudi, Manajemen Sumberdaya Manusia, Sulita. Bandung: 1991. Hal. 7.
[4] Bambang Wahyudi, Manajemen Sumberdaya Manusia, Sulita. Bandung: 1991. Hal. 11.
[5] Bambang Wahyudi, Manajemen Sumberdaya Manusia, Sulita. Bandung: 1991. Hal. 18.