Kamis, 28 Mei 2015

Memanfaatkan Budaya Konsumtif

Mengapa Harus Dimanfaatkan?
Dalam benak saya, ada pertanyaan kenapa kita harus bisa memahami budaya bangsa lain. Apalagi, saat ini budaya bangsa di berbagai belahan bumi cenderung mengikuti modernisasi. Artinya, budaya bangsa yang bersifat tradisional sudah mulai banyak terkikis oleh pola-pola kekinian.
Warga desa, sebagai komunitas yang agak jauh dari pusat peradaban tidak bisa mengikuti modernisasi dengan laju yang cepat. Untuk bisa memahami budaya baru, warga desa juga perlu belajar apa dan bagaimana budaya baru itu muncul. Ketika pemahaman itu ada, maka akan ada sisi positif yang bisa kita jadikan pembelajaran. Diantara budaya baru yang saya maksud itu adalah budaya konsumtif.
Dalam situasi industrialisasi, para produsen perlu memahami situasi pasar untuk  menjual produknya. Apalagi, produk yang dihasilkan oleh warga desa tidak bisa dijual begitu saja di pedesaan karena keterbatasan konsumen. Budaya konsumtif ini bisa menjadi peluang untuk memasarkan produk-produk yang dimiliki. Mengapa? Karena, budaya konsumtif sebagai perangsang bagi produktifitas si produsen itu sendiri. Apabila para konsumen bisa membeli barang atau jasa dalam jumlah banyak maka keuntungan akan lebih banyak diterima oleh produsen.
Dari sisi pembangunan pedesaan, budaya konsumtif bisa merangsang untuk menambah lapangan kerja baru. Dengan produksi yang senantiasa meningkat, maka diperlukan jumlah tenaga kerja dalam jumlah besar. Warga desa masih memiliki harapan untuk senantiasa bertumbuh di tengah ketidakpastian pembangunan di desanya sendiri. Harapan itu adalah budaya yang sedang terjadi di belahan dunia lain. Perputaran ekonomi tidak hanya terjadi di perkotaan tetapi juga akan terjadi di pedesaan.[1]
Kegiatan ekspor tidak hanya berlaku bagi perusahaan besar di perkotaan tetapi juga menjadi 'tren' bagi masyarakat pedesaan. Orientasi usaha warga desa tidak hanya melayani kebutuhan daerah terdekatnya, tetapi juga melayani permintaan dari luar negeri. Dalam situasi seperti itu, warga desa mempunyai tempat tersendiri dalam kancah perdagangan global. Meskipu berada jauh dari kota, warga desa menjadi entitas bisnis yang ikut serta menentukan laju perekonomian nasional.
Dengan informasi yang memadai, maka pengusaha di pedesaan bisa  mengikuti tren masyarakat dunia. Tidak akan pernah ada alasan sulitnya memasarkan produk hasil 'orang kampung' karena bisa menyesuaikan dengan selera warga dunia. Konsumen dengan budaya yang berbeda juga memiliki karakter yang berbeda. Dalam membuat produk pun, produsen harus bisa memperkirakan kriteria produk yang diinginkan. Maka dari itu, pemahaman akan budaya masyarakat lain teramat perlu dimiliki.[2]
Bagaimana Budaya Konsumtif Lahir?
Budaya konsumtif ini lahir di tengah masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi. Masyarakat seperti ini sudah tidak mengkhawatirkan masalah kebutuhan pokok. Fokus perhatian mereka pada konsumsi dan kesejahteraan bukan lagi pada produksi. Negara-negara yang memasuki periode ini giat membangun pusat-pusat perdagangan. Kecendrungan mereka adalah mengonsumsi barang-barang tahan lama bahkan barang mewah. [3]
Ekonomi di negara-negara Barat saat ini sudah masuk kedalam tahap ini, disusul oleh negara-negara Asia Timur. Situasi ini membawa pada ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi warganya. Ketika konsumsi warganya menurun maka terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi. Untuk meningkatkan konsumsi, maka Pemerintah setempat melaksanakan strategi yang bisa meningkatkan pendapatan warganya. Ketika pendapatan meningkat maka para produsen pun berlomba-lomba menawarkan produk mereka.
Produsen gencar mengiklankan produknya di berbagai media. Dalam hal ini iklan memperkuat nilai budaya. Iklan menawarkan nilai-nilai yang sebelumnya tidak pernah ada di tengah masyarakat. Iklan menciptakan konsep baru tentang suatu produk. Dalam masyarakat dengan ekonomi mapan, iklan tidak menawarkan kegunaan produk tetapi sudah menawarkan nilai tambah yang bisa meningkatkan 'gengsi' si konsumen. Misal, iklan makanan cepat saji tidak hanya menawarkan makanan yang 'mengenyangkan' tetapi juga menawarkan 'kesenangan apabila berkumpul di restoran'. Nilai-nilai seperti inilah yang senantiasa dicari bahkan diciptakan oleng biro-biro iklan
Iklan yang biasanya dianggap mempengaruhi permintaan sebetulnya juga berperan dalam menguatkan nilai-nilai budaya yang sudah ada dan juga dalam diseminasi selera, kebiasaan dan tata cara baru ke dalam budaya masyarakat sasaran. Peranan iklan dalam mengkampanyekan budaya konsumtif adalah menawarkan standar-standar baru bagi masyarakat mengenai bagaimana seseorang dianggap mengikuti perkembangan zaman. Dalam hal ini, iklan tidak saja dianggap sebagai 'provokator' bagi kebersahajaan masyarakat tetapi juga menawarkan kemajuan teknologi yang tentu saja bermanfaat bagi siapa pun yang menggunakannya.
Iklan merupakan sarana penawar ide-ide baru bagi terbentuknya budaya baru. Kita tidak bisa melihat perubahan budaya ini sebagai hal negatif karena bagaimana pun tidak bisa dipungkiri bahwa budaya itu dinamis. Hal yang sulit dihindari, apabila budaya itu stagnan. Hanya saja, demi perkembangan ummat manusia budaya baru itu dibentuk dan ditawarkan. Budaya baru _dalam hal ini budaya konsumtif_ menjadi perangsang bagi kemajuan ekonomi itu sendiri. Lalu, kita bisa menyimpan "budaya lama" yang sudah tidak terpakai lagi di museum.
Dalam fungsinya memenuhi kebutuhan masyarakat, kebudayaan juga berubah sejalan dengan perubahan kebutuhan itu sendiri. Perubahan ini bisa disebabkan oleh perkembangan teknologi, perubahan struktur populasi, langkanya sumber, perang, berubahnya nilai-nilai dan sebagainya. Dalam hal ini, para pemasar jeli melihat dan mengikuti perubahan kebudayaan itu dengan melakukan pengembangan dan inovasi produk.
Semakin meningkatnya jumlah wanita yang berkarier, yang merupakan gejala perubahan demografik, ternyata berdampak pada perubahan budaya dan nilai-nilai yang mendasar. Wanita bukan lagi berperan sebagai ibu rumah tangga yang hanya tahu pekerjaan dapur, berdandan dan membesarkan anak, melainkan wanita yang punya potensi dan wanita yang mengambil keputusan membeli. Waktu yang semakin sempit karena terdesak oleh pekerjaan menyebabkan wanita tidak sempat memasak makanan untuk keluarganya. Ritual pun berubah. Semakin banyak keluarga atau anggota-anggota keluarga yang makan di luar, apalagi di akhir pekan. Pernahkan terbersit dalam pikiran tentang keluarga yang sering makan di luar, berpuluh-puluh tahun lalu? Perubahan ini sudah berang tentu menjadi peluang emas bagi produsen-produsen peralatan restoran seperti lemari pendingin, kompor dan sebagainya. [4]
Masyarakat Konsumsi
Masyarakat konsumsi adalah masyarakat yang dibentuk dan dihidupi oleh konsumsi, yang menjadikan konsumsi sebagai pusat aktifitas kehidupan dengan hasrat selalu dan selalu mengkonsumsi. Dalam masyarakat konsumsi pendangan bahwa barang (komoditi) tidak lebih dari sekedar kebutuhan yang memiliki nilai tukar dan nilai guna kini pelan-pelan mulai ditinggalkan dan diganti dari komoditas menjadi tanda. Dengan demikian, konsumsi tidak dapat dipahami sebagai konsumsi nilai guna, tetapi terutama sebagai konsumsi tanda.
Dalam masyarakat konsumen hubungan manusia ditransformasikan dalam hubungan objek yang dikontrol oleh kode. Objek adalah tanda. Perbedaan status dimaknai sebagai perbedaan konsumsi tanda,  kekayaan diukur dari banyaknya tanda yang dikonsumsi. Mengkonsumsi objek tertentu menandakan kita berbeda atau dianggap sama dengan kelompok sosial tertentu, jadi kode mengambil fungsi kontrol terhadap individu.
Menurut pandangan Baudrillard, proses konsumsi dapat dianalisi dalam perspektif dua aspek yang mendasar, yaitu:
Pertama, sebagai proses signifikansi dan komunikasi, yang didasarkan pada peraturan (kode) dimana praktik-praktik konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Di sini, konsumsi merupakan sistem pertukaran, dan sepadan dengan bahasa.
Kedua, sebagai proses klasifikasi dan diferensiasi sosial, dimana kali ini objek-objek/tanda-tanda ditahbiskan bukan hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai nilai yang sesuai (aturan) dalam sebuah hirarki. Di sini konsumsi dapat menjadi objek pembahasan strategis yang menentukan kekuatan, khususnya dalam distribusi nilai yang sesuai aturan (melebihi hubungannya dengan pertanda sosial lainnya: pengetahuan, kekuasaan, seni budaya dll.)
Objek konsumsi mengontrol kita saat ini, bukan sebaliknya. Konsumen terjebak  pada irama yang dibuatnya. Ketimbang simbol-simbol, prestise yang didapat malah kita larut dalam sistemnya. Kita sering beranggapan bahwa konsumen memiliki kebebasan dalam menggunakan objek-objek, tetapi sekarang malah sebaliknya, objek-objek konsumsilah yang mengontrol kita.
Konsumsi telah menjadi basis utama pranata sosial melalui fungsi tanda linguistik. Objek-objek konsumer mengkonstitusi sistem klasifikasi dan mengakibatkan pembentukan tingkah laku. Perbedaan antara si kaya dan si miskin dapat dibedakan dari perbedaan pola-pola konsumsi yang dijalankannya.
Objek memiliki efek tatkala ia dikonsumsi dengan mentrasfer 'makna'-nya pada konsumen. Dengan begitu potensi permainan tanda tak terbatas terlembagakan, yang pada gilirannya menata masyarakat saat memberi perasaan kebebasan ilusioner pada individu.Iklan telah mengambil alih pertanggungjawaban moral masyarakat dan mengganti moralitas puritan dengan moralitas hedonistik tentang kepuasan sejati.[5]
Cara Memanfaatkan
Warga desa bisa memanfaatkan budaya konsumtif masyarakat Barat untuk mengekspor produk kreatif. Saya senantiasa percaya bahwa setiap manusia diciptakan dengan kreatifitasnya yang unik. Keunikan itulah yang senantiasa menjadi kekuatan produk-produk berkualitas ekspor. Apabila produk dengan nilai guna yang sama _misal, alat makan_ sudah beredar banyak di pasaran maka bagaimana warga desa memberikan nilai estetis pada alat makan tersebut. Bisa saja, mangkuk yang dilukis dengan berbagai warna dan objek.
Di era teknologi informasi, warga desa tidak akan kesulitan untuk bisa mengetahui kebutuhan konsumen sasaran. Ketika kita berkeinginan kuat untuk mendobrak pasar, maka informasi yang tersedia di media massa bisa menjadi sarana teramat penting yang tidak boleh diabaikan. Internet menghubungkan orang desa dengan berbagai negara sehingga memahami pola konsumsi yang mereka miliki. Dengan media massa, kita bisa tahu apa yang sedang terjadi di belahan dunia lain hari itu juga.
Perilaku konsumen sangat dipengaruhi oleh media massa. Maka dari itu, sangat disarankan untuk terus memantau media massa. Karena, seperti yang sudah dibahas di atas budaya konsumtif ini tidak bisa lepas dari peran media. Tren dan kebutuhan pasar sangat mungkin apabila kita terus mengkaji setiap pola-pola kejadian yang diberitakan media massa.
Pemerintah punya saluran tersendiri untuk menghubungkan produk dalam negeri dengan kebutuhan pasar luar negeri. Pemerintah  bisa menjembatani kedua pihak yang saling 'membutuhkan' . Informasi bisa didapat dari sumber Pemerintah karena hubungan diantara berbagai negara juga berfungsi mengumpulkan informasi. Ada saluran pemasaran yang relevan dengan kebutuhan masyarakat Barat.
Konsumen dimanapun termasuk masyarakat Barat  dipengaruhi oleh kultur dan subkultur.[6] Subkultur adalah analisis unit-unit yang penting untuk mensegmentasikan pasar yang luas dan juga merupakan unit-unit analisis yang penting untuk penelitian pemasaran. Subkultur-subkultur tersebut mewakili kelompok sasaran yang jelas untuk produk-produk tertentu dan merupakan unit-unit yang logis untuk mensegmentasi pasar yang luas. Perilaku individu sebagai konsumen dipengaruhi oleh kultur dominan maupun subkultur spesifik di mana dia berada. Subkkultur dimaksud diantaranya, subkultur kebangsaan atau etnik, subkultur agama, subkultur geografis dan regional, subkultur ras, subkultur umur, subkultur gender.
Lebih lanjut, warga desa bisa belajar  akan situasi masyarakat di luar lingkaran tempat hidupnya dengan menggunakan sarana yang tersedia banyak. Alhasil, diharapkan warga desa menjadi warga dunia yang turut serta memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemajuan kehidupannya.



[1] sweetcandy-just4me.blogspot.com/2011/11/dampak-positif-dan-negatif-dari.html
[2] Ristiyanti Prasetijo dan John JOI Ihalauw, Perilaku Konsumen, Penerbit Andi, Yogyakarta: 2005.
[3] ML. Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, hal. 188.
[4] Restiyanti, op.cit, hal. 186-189.
[5] Chaoirul Mahfud, 39 Tokoh Sosiologi Politik Dunia, Jaring Pena, Surabaya: 2009, hal. 187-194.
[6]Ristiyanti Prasetijo dan John JOI Ihalauw, Perilaku Konsumen. hal. 193.

Sabtu, 09 Mei 2015

Mengelola Isu Lingkungan di Pedesaan

Salah satu perilaku sosial yang melembaga tersebut adalah bagaimana manusia berkelompok dan bermasyarakat, dengan melakukan perubahan-perubahan yang direncanakan, yang kemudian dikenal sebagai aktifitas pembangunan.[1]

Mengelola lingkungan juga merupakan bagian dari pembangunan. Apabila kita senantiasa menganggap bahwa pembangunan adalah mendirikan berbagai sarana dan prasarana maka itu tidak tepat. Warga desa jelas memerlukan sarana dan prasarana yang sebelumnya tidak ada. Tetapi, warga desa juga perlu menjaga apa yang telah disediakan oleh Alloh SWT yakni lingkungan tempat kita tinggal.
Dalam pengelolaan lingkungan itu, perlu adanya rencana yang jelas atas target apa yang akan dicapai. Permasalahan lingkungan yang muncul, seharusnya harus bisa 'diprediksi' sejak awal. Maka dari itu, sejak awal perlu adanya pengelolaan isu yang baik supaya tidak terjadi simpang siur atas apa yang harus dilakukan.
Harus diakui, akan ada hal 'yang dikorbankan' dalam proses pembangunan itu. Maksudnya, ketika jumlah manusia bertambah maka akan ada lahan yang terpakai, pohon yang ditebang atau tanah yang diurug. Tetapi, demi kebaikan dari pembangunan itu sendiri maka kita harus bisa berkompromi kepada alam agar tetap memberikan kemurahannya untuk ummat manusia.
Saya ingin menegaskan, bahwa kemajuan teknologi yang diterapkan pada pembangunan itu mutlak dilakukan. Kita tidak perlu 'bangga' dengan kondisi alam yang masih asri tetapi sepi pembangunan. Hal itu hanya berlaku bagi orang-orang yang sudah 'muak' dengan pembangunan yang tidak beraturan. Tetapi, bagi warga desa harus ada sikap terbuka untuk menerima bahkan melahirkan teknologi yang ramah lingkungan. Jangan sampai, kita terbuai dengan keasrian lingkungan kita sehingga tertinggal dalam teknologi dan pembangunan.
Sungguh, suatu masyarakat yang mandiri dalam bidang materi dan teknologi lebih mampu menunaikan tanggungjawabnya sebagai kholifah Alloh, sebab masyarakat tersebut memiliki kendali lebih banyak atas sumberdaya dan lingkungannya. Lagi pula, suatu masyarakat yang berupaya menciptakan keadilan sosial dan pembangunan masyarakat sebenarnya bertindak sesuai dengan ajaran Islam seperti 'adl dan istishlah. Sungguh, gagasan tentang mandiri di bidang materi dan teknologi, keadilan sosial dan pembangunan masyarakat, serta keotentikan kultur, menjadikan pembangunan sebagai suatu aktifitas yang berorientasi sasaran dan nilai yang dicurahkan untuk meningkatkan kesejahteraan material, sosial, moral dan spiritual seluruh warga.[2]
Permasalahan lingkungan tidak timbul dari ketegangan antara satu pihak dengan pihak lain. Permasalahan lingkungan juga bukan sumber konflik apabila setiap pihak sudah memahami akan konsekuensi pembangunan yang dilakukan. Permasalahan lingkungan adalah bagian dari upaya untuk menyejahterakan warga desa sendiri tetapi ada resiko yang harus diambil karenanya. Maka dari itu, isu lingkungan bukan sebagai wahana untuk menimbulkan ketegangan, mencari sensasi atau malahan mencari popularitas.
Orang-orang yang bisa mengelola isu lingkungan dengan baik adalah pribadi yang berniat baik pula untuk membangun bangsanya. Justru, sebaliknya apabila ada pihak yang membuat 'kegaduhan' dengan isu lingkungan ini perlu dipertanyakan kepada siapakah sebenarnya dia berpihak? Kita sering melihat dan mendengar banyak orang yang mengatasnamakan 'aktifis lingkungan' tetapi belum bisa bersikap realistis dan memberikan solusi atas kebutuhan ummat manusia.
Saya selalu optimis bahwa setiap permasalahan akan ada solusinya. Hanya saja, kita harus melihat permasalahan lebih komprehensif. Terkadang, kita harus menggunakan 'mata elang' atau 'helicopter view' dalam melihat permasalahan lingkungan. Sehingga, dalam mengangkat isu yang akan disampaikan pun akan menuju pada suatu solusi yang konstruktif bukan malah sebaliknya, destruktif.
Isu lingkungan menjadi isu yang sangat sensitif bagi warga desa. Sebagai wilayah yang masih memiliki alam yang asri, perdesaan merasa 'dirugikan' apabila ketenangan kehidupannya diganggu. Untuk itu, isu yang diangkat harus bisa meyakinkan akan arti penting pembangunan bagi seluruh warga. Warga desa pun memiliki kepentingan akan kehidupannya, tetapi juga mereka juga punya kepentingan akan kehidupan anak-cucunya. Isu lingkungan juga harus bisa menerawang ke depan dalam arti positif. Warga desa tidak perlu ditakut-takuti akan bahaya pembangunan dimana akan terjadi marjinalisasi alias 'pengusiran orang desa'. Justru, pembangunan merupakan bentuk kepedulian kita akan masa depan generasi penerus warganya. Kita harus menyadari bahwa  zaman akan banyak berubah dan kita pun harus memiliki persiapan untuk menyambutnya.
Fokus Pengelolaan Isu
Negeri ini masih terus membangun, mulai dari desa hingga kota juga mulai dari daerah berpenduduk banyak hingga daerah terpencil yang berpenduduk jarang. Dalam essay ini saya ingin menegaskan bahwa fokus perhatian kita akan lingkungan adalah manusia itu sendiri sebagai pengelola lingkungan.
Suatu keniscayaan yang sulit untuk dipungkiri jika manusia Indonesia akan terus bertambah. Populasi penduduk menjadi acuan bagi pengelolaan isu lingkungan yang sering didengungkan. Artinya, secara sengaja kita harus membuat sistem yang akan mempengaruhi pola pikir dan pola sikap manusia dalam mengelola lingkungannya.
Dalam keseharian, kita sering melihat sampah yang berserakan dimana-mana karena ulah manusia. Juga, kerusakan hutan karena ulah tangan manusia, sungai yang tercemar juga karena sikap manusia yang tidak peduli akan lingkungannya. Dan, masih banyak lagi contoh yang menunjukan bahwa masalah lingkungan lebih banyak diakibatkan oleh manusia.[3]
Fokus pertama, pertumbuhan populasi menjadi isu dunia dimana pertambahan penduduk dunia yang mengikuti pertumbuhan secara ekponensial merupakan permasalahan lingkungan. Dampaknya, terjadinya pertumbuhan penduduk akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan sumber daya alam dan ruang.[4] Untuk itu, isu lingkungan lebih ditekankan pada bagaimana kita menyediakan ruang yang cukup bagi warga untuk tempat tinggal dan beraktifitas.
Saya yakin jika tata ruang yang baik akan berpengaruh pada perilaku warga dalam mengelola lingkungannya. Kenyamanan menjadi poin penting dalam mengelola ruang beraktifitas. Warga akan paham dengan sendirinya betapa pentingnya menjaga lingkungan agar tetap tertata dengan baik.
Fokus kedua, solusi bagi pengelolaan limbah industri dan limbah rumah tangga. Dengan bertambahnya penduduk, maka lapangan pekerjaan pun dituntut untuk bertambah. Aktifitas manusia yang jelas menghasilkan 'limbah' harus dikelola dengan baik.
Perusahaan sebagai penyedia lapangan pekerjaan sekaligus berfungsi sebagai penyelesai masalah sosial dan lingkungan. Masalah sosial dan lingkungan yang tidak diatur dengan baik oleh perusahaan ternyata memberikan dampak yang sangat besar, bahkan tujuan meraih keuntungan dalam aspek bisnis malah berbalik menjadi kerugian yang berlipat.[5]
Fokus ketiga, pencemaran paling utama di Indonesia ialah pencemaran oleh limbah domestik, oleh karena luasnya daerah pencemaran dan besarnya jumlah korban. Karena itu penanggulannya harus diberi prioritas utama. Akan tetapi umumnya masyarakat, pers dan pemerintah lebih memberi perhatian pada limbah indsutri.                Mungkin orang sudah terbiasa dengan limbah domestik. Juga, karena penanggulangan limbah industri memberi citra modern.[6]
Isu pengelolalaan limbah tidak boleh provokatif tetapi perlu merangsang warga untuk mencari solusinya sendiri. Saya berharap ada suatu rencana sistematis untuk mengelola limbah secara bersama. Jika perlu, ada bentuk investasi bersama dalam pengelolaan limbah industri dan limbah rumah tangga. Pengelolaan limbah tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah karena keterbatasan gerak dan anggaran. Warga harus berinisiatif untuk mengelola limbahnya sendiri karena warga sendiri yang akan merasakan hasil nyatanya.
Ada banyak kekhawatiran jika limbah industri akan merugikan warga. Padahal, kita perlu khawatir jika warga tidak memiliki sumber pendapatan sehingga masalah sosial akan sulit untuk diselesaikan. Prinsipnya, ketika warga sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya maka bisa diajak atau dipaksa untuk menjalankan kewajibannya yakni menjaga lingkungannya sendiri.
Fokus keempat, menyediakan tempat tinggal yang tidak 'menghamburkan' lahan. Hal ini penting  untuk mempersiapkan kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan yang berlebihan. Sebagaimana yang pernah terjadi di kota besar, lahan untuk resapan air menjadi sangat terbatas karena penggunaan yang masif. Kita tidak ingin terjadi bencana ekologi yang dikarenakan penggunaan lahan untuk pemukiman yang jelas menjadi kebutuhan dasar manusia.
Fokus kelima, menyediakan kawasan industri yang ramah lingkungan. Ini dimaksudkan, agar aktifitas manusia lebih terkonsentrasi pada satu titik. Manusia  yang berpencar justru akan merusak lahan yang masih asri.
Fokus keenam, menyediakan lapangan pekerjaan pengganti bagi eks-petani. Hal ini penting, supaya petani tidak beralih menjadi perambah hutan atau penambang liar yang jelas merusak linkungan. Hal yang lumrah, lahan pertanian berganti menjadi pemukiman dan kawasan industri. Artinya, warga desa pun tidak bisa terus-menerus menjadi petani karena keterbatasan lahan garapan. Anak-cucu para petani perlu sumber penghidupan. Daripada mereka urbanisasi ke kota _yang menimbulkan masalah baru_ lebih baik mereka tinggal di desa dengan lahan pekerjaan yang sudah tersedia.
Pendekatan penciptaan lapangan pekerjaan untuk menanggulangi masalah urbanisasi dan lahan kritis, secara langsung merupakan usaha pembangunan pedesaan. Pendekatan itu juga membantu tercapainya tujuan pemerataan pembangunan.[7]
Misalnya, dalam hal pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap. Listrik disalurkan untuk pengembangan industri yang menciptakan lapangan kerja baru untuk penduduk. Tingkat kehidupan penduduk meningkat. Tekanan penduduk terhadap lahan turun, erosi berkurang, keselamatan lahan lebih terjamin.[8]
Fokus ketujuh, perusahaan, masyarakat dan lingkungan sekitar adalah kesatuan. Jangan sampai ada upaya untuk memprovokasi diantara keduanya.
Keberhasilan Pengelolaan Isu
Keberhasilan pengelolaan isu dapat dinilai dari seberapa besar tanggung jawab masing-masing pihak memikul tanggung  jawab yang telah diberikan. Sebagai warga negara yang baik, kesadaran untuk senantiasa menjaga lingkungan menjadi modal bagi pembangunan itu sendiri.
Pembangunan merupakan hal penting bagi kemajuan masyarakat. Kegiatan ini terus digalakan dengan penuh perencanaan dimana begitu banyak hal yang harus dipertimbangkan. Termasuk, bagaimana isu lingkungan juga harus direncanakan agar kita bisa mencapai target pembangunan yang diinginkan.
Perlu adanya lembaga yang secara khusus menilai keberhasilan pengelolaan isu lingkungan di pedesaan. Lembaga itu dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat dengan menetapkan berbagai kriteria penilaian. Penilaian keberhasilan perusahaan mengelola isu adalah:
Pertama, adanya kegiatan yang menjembatani pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Kedua, ada kesepakatan yang diimplementasikan dalam keseharian.
Ketiga, tercapainya target-target kerja yang ditawarkan berbagai pihak.


[1] Leli Yulifar,  Hand Book Sosiologi Dan Antropologi Pembangunan, hal. 41.
[2] Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Infromasi, Mizan, Bandung: 1988, hal. 89.
[5] rahmatullah.com
[6] Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1983, hal. 241.
[7] Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1983, hal. 230.
[8] Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1983, hal. 176.