Jumat, 31 Juli 2015

Memilih Profesi Menurut Al-Qur'an

Ada beberapa profesi yang menandakan ketahanan suatu bangsa apabila digeluti dengan maksimal. Hal tersebut termaktub dalam Al-Qur’an, hanya saja kaum Muslimin tidak menyadari hal ini. Kita bisa melihat negara-negara maju seperti Eropa, Amerika, Jepang dan Korea bagaimana mereka sangat memaksimalkan bidang-bidang dibawah ini.

Perniagaan/Perdagangan
…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba... 
(QS. AlBaqoroh ayat 275)

Pertanian/Bercocok Tanam dan Industri Manufaktur
Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat Makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka Mengapakah mereka tidak bersyukur?
 (QS. Yasin ayat 34-35)

Peternakan 
Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka; Maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya mereka makan. Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman…
(QS. Yasin ayat 72-73)
..dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).
(QS. An-Nahl ayat 80)
Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.
(QS. An-Nahl ayat 5-6)

Transportasi
Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,  dan (dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (seperti mobil, kereta api, kapal terbang dll.)
(QS. AN-Nahl ayat 7-8)

Perikanan dan Kelautan
Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
(QS. An-Nahl ayat 14)
Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu Lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.
(QS. Fathir ayat 12)

Perkapalan dan Perdagangan Internasional
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
(QS. Ibrahim ayat 32)
Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia -Nya dan Mudah-mudahan kamu bersyukur.
(QS. Al-Jatsiyah ayat 12)


Sumber bacaan: Prof. Dr. H. Mahmud Yunus. Kesimpulan Isi Al-Qur’an. Hidakarya Agung. Jakarta: 1978.

Senin, 27 Juli 2015

Kekeringan : Alloh Memperingatkannya Sejak Dulu


dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqoroh ayat 155)

Sejak lama Alloh SWT sudah memperingatkan bahwa akan  memberikan cobaan berupa kekurangan pangan. Kekeringan yang terjadi saat ini semestinya bisa menjadi pelajaran bahwa ayat-ayat Al-Qur’an sangat relevan dengan kehidupan keseharian kita. Al-Qur’an tidak hanya berbicara mengenai kehidupan akhirat tetapi juga memberikan petunjuk bagaimana kita menjalani kehidupan di dunia ini.
Kekeringan yang mengakibatkan kegagalan panen bagi banyak petani di Nusantara merupakan pertanda bahwa ayat-ayat Alloh itu benar adanya. Ummat Islam wajib mengimani kondisi ini sebagai cobaan dari Alloh. Dengan mental yang kuat, Insya Alloh kita bisa melewati semua ini.

Kesabaran, itulah solusi yang diberikan Alloh untuk kita. Artinya, kita mesti sabar dalam artian sabar yang dinamis bukan statis. Sabar yang senantiasa mencari solusi bagi setiap situasi. Semoga, ini menjadi pelajaran penting bagi kemajuan peradaban manusia di masa depan.


Sumber bacaan : Tafsir Al-Qur’an Basa Sunda, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 1982.

Kamis, 23 Juli 2015

Pertumbuhan Dunia Modern : Acuan Bagi Warga Perdesaan

Berikut adalah beberapa catatan yang berasal dari buku Pertumbuhan Dunia Modern, semoga bisa menjadi acuan/pertimbangan  berpikir kita sebagai pembaca.

Renaissance  itu bersifat “faustis”, tetapi sifat yang dimaksud itu bukanlah usaha perseorangan untuk melepaskan diri dari segala sesuatu, tetapi kehendak yang tak pernah puas akan menyelami diri sendiri dengan jalan menyerahkan diri kepada hal yang mutlak atau tak terhingga. Sifat perseorangan yang rasionalistis hampir tak tampak. Cita – cita dan ilmu pengetahuan yang eksak dan berdiri sendiri belum tumbuh diantara cita-cita yang dikemukakan beramai-ramai tentang menyelami alam dengan cara keagamaan dan tasawuf.[1]
“Tak mungkin manusia berusaha menghampiri Tuhan, jika Tuhan tak menghampiri manusia”.[2]
Merleau Ponty, ahli filsafat dan ilmu jiwa Perancis, mengemukakan tiga tanda yang khas dari Eropa dalam kelakuan dan sikap:
1.       Adalah sifat Eropa yang khas untuk mengadaan perbedaan yang jela antara pribadi dan dunia. Dalam banyak peradaban lain, dunia lebih dipandang sebagai semacam selubung atau sebuah barang yang bulat yang pernuh artinya, yang menunjukan dan memberikan tempatnya masing-masing kepada manusia, daripada sebagai sebuah objek yang harus diselidiki nilai kebenarannya.
2.       Faham tentang pekerjaan adalah sifat khas Eropa. Pekerjaan itu bisa ditafsirkan sebagai usaha untuk mengubah dunia.
3.       Sifat Eropa yang khas adalah faham tentang negara sebagai lingkungan pergaulan manusia, tempat kebebasan dapat diwujudkan.[3]

Peranan yang sangat penting dalam batin Eropa : soal objektifitas, teknik dan kebebasan.
1)      Soal objektifitas, menurut anggapan yang biasa, atau oleh dikatakan menurut anggapan yang sewajarnya, objektf ialah barang apa yang ditunjukan oleh objek-objek, benda-benda dan keadaan di sekitar kita dan barang apa, yang dapat kita lihat atau rasa sebagai subjek. Hal itu ialah pendirian realistis, pendirian dalam hidup sehari-hari dan juga dalam praktek ilmu pengetahuan.
2)      Teknik dipandang sebagai alat untuk mengubah dunia. Jiwa Eropa telah melahirkan teknik sebagai alat penolong manusia yang paling berkuasa untuk menguasai kenyataan lahir.
Bangsa Eropa _dan bangsa Barat pada umumnya_ menerima dunia sebagai tantangan, yang ia harus bertindak terhadapnya. Hal itu bukan kenyataan yang pasti, tetapi satu kewajiban. Bukan ketentuan dunia itu ada, akan tetapi pertanyaan “apakah dunia itu sebenarnya?”, yang harus didahulukan. Dunia itu ialah dunia menurut pikiran dan perbuatan kita, bukan kaki langit yang meliputi segala-galanya.
3)      Faham tentang negara sebagai lingkungan pergauan manusia tempat mewujudkan kebebasan. Kita dapaat menarik kesimpulan bahwa jiwa Eropa selalu menghubungkan dan memikiran soal persekutuan politik dengan soal perseorangan manusia.[4]

Para ahli pikir berpikir pada masa lampau telah diganggi dengan pertanyaan, kalau-kalau kebudayaan Eropa sungguh dapat dipandang sebagai kesatuan. Apabila mereka menyeldiki bagian-bagian dan anasir-anasirnya, yang membantu pembentukan Eropa, maka pertelaan yang didapatnya, misalnya, ialah :
1.       Peradaban kuno, boleh dikatakan juga peradaban Yunani-Romawi, yang tetap terus juga menjalankan pengaruhnya, setelah negeri kuno itu binasa;
2.       Agama kristen sebagai pelajaran keselamatan sendiri dan keselamatan umum;
3.       Ilmu pengetahuan modern dengan hasratnya yang tak dapat ditahan akan mendapat keterangan yang berdasarkan akal dan penguasaan kenyataan.
Optimisme yang tak dapat dibinasakan dari watak manusia itulah yang menghendakinya. Kita manusia tidak dapat hidup, jika tidak ada pengharapan. Apabilapun alasan yang mengenai pokok mendesakan kesimpulan kepada kita, bahwa pengharapan itu sebenarnya sudah tidak ada lagi, maka kemauanlah yang menang dan melahirkan sebuah gambaran, sebuah persangkaan, sebuah faham, yang memungkinkan kita melanjutkan perjalanan kita.[5]

Gambaran, tanggapan dan pengertian tidak mencerminkan kenyataan.
Tetapi, semua itu bukanlah fantasi belaka atau angan-angan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan kenyataan : ia adalah alat atau alat penolong _’lambang’ atau ‘tanda’, menurut kata orang sekarang _ untuk menunjukan kenyataan.
Kenyataan lebih banyak isi dan seluk beluknya dan pada alat-alat penolong intelektuil yang kita pakai itu. Tetapi kalau alat-alat penolong itu tidak dipergunakan, maka tak dapat kita membicarakan kenyataan.[6]

Kalau memikirkan sejarah, perlu digunakan skema. Kita sekalian mempunyai tanggapan yang barangkali amat samar tentang berbagai peristiwa dalam sejarah, bukan tanggapan tentang peristiwa-peristiwa yang tak ada hubungannya antara-antara sesamanya, tetapi tanggapan tentang perhubungan dan pertalian antara peristiwa-peristiwa itu sesamanya.
Boleh dikatakan : kita sekalian mempunyai sebuah ‘gambaran’.[7]



[1] RF. Beerling, Prof. Dr., Pertumbuhan Dunia Modern,  Pusataka Rakyat, Jakarta: Hal. 123.
[2] RF. Beerling, Prof. Dr., Pertumbuhan Dunia Modern,  Pusataka Rakyat, Jakarta: Hal. 121.
[3] RF. Beerling, Prof. Dr., Pertumbuhan Dunia Modern,  Pusataka Rakyat, Jakarta: Hal. 23.
[4] RF. Beerling, Prof. Dr., Pertumbuhan Dunia Modern,  Pusataka Rakyat, Jakarta: Hal. 24-27.
[5] RF. Beerling, Prof. Dr., Pertumbuhan Dunia Modern,  Pusataka Rakyat, Jakarta: Hal. 28.
[6] RF. Beerling, Prof. Dr., Pertumbuhan Dunia Modern,  Pusataka Rakyat, Jakarta: Hal. 36.
[7] RF. Beerling, Prof. Dr., Pertumbuhan Dunia Modern,  Pusataka Rakyat, Jakarta: Hal. 37.

Minggu, 12 Juli 2015

Warisan Ilmu untuk Pembangunan Pedesaan

"Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit; Maka Inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakini(nya)." (QS. Ar-Rum ayat 56)
  
"Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS. Al-Mujadillah ayat 11)

Industri sebagai Pranata Ilmiah
Apabila kita membicarakan pranata pengemban ilmu pengetahuan maka biasanya yang terlintas dalam kiran kita adalah lembaga pendidikan seperti sekolah. Hal itu menjadi dapat dipahami karena fokus perhatian masyarakat akan ilmu pengetahuan hanya tertuju pada lembaga pendidikan formal.
Situasi di atas seakan sudah maklum. Sehingga, apabila seseorang ingin menuntut ilmu maka akan berbondong-bondong masuk sekolah hingga perguruan tinggi. Tetapi, apakah kita pernah memperhatikan jika sebenarnya institusi yang menjaga ilmu pengetahuan agar tetap lestari adalah instusi bisnis/industri. Kenapa?
Alasan pertama, industri senantiasa melakukan inovasi.
Kedua, industri berkaitan langsung dengan kebutuhan manusia.
Ketiga, industri secara aktif mengaplikasikan ilmu sehingga tidak mudah terlupakan.
Keempat, industri mewariskan ilmu beserta hasil penerapannya _terwujud secara fisik.
Kelima, industri diisi oleh orang-orang yang menyerap ilmu dari lapangan.
Saya berpikir bahwa dunia industri bisa mengemban kewajiban bagi umat manusia untuk menguasai ilmu pengetahuan.
Islam mendorong umatnya menuntut ilmu pengetahuan dan mengkaji teknologi.  Islam menetapkan bahwa setiap ilmu hasil ciptaan atau hasil buatan yang diperlukan umat Islam, maka hukum pemenuhannya adalah fardu kifayah. Artinya, bila pada tubuh umat tidak terdapat kelompok yang jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan umat tersebut, maka seluruh umat menanggung dosa.
Al-Imam Al-Ghazali berkata , "Apabila ilmu dan karya-karya yang dimiliki nonmuslim lebih baik dan lebih utama dari yang dimiliki kaum muslimin, maka kaum muslimin berdosa dan kelak mereka dituntut atas kelalaian itu."
Sa'id Hawwa memberikan pandangannya tentang ilmu-ilmu yang dibutuhkan kaum muslimin, "Kami mencatat ada ribuan ilmu pengetahuan yang semuanya tidak dianggap fardlu kifayah bagi umat Islam, fardlu kifayah bukan berarti hanya sebatas orang yang mengetahui (melakukannya) saja, tetapi harus ada kelompok orang yang memenuhi kebutuhan umat."
Pendapat Ibnu Taimiyyah tentang hal itu lebih jauh lagi. Dia berkata, "Pekerjan-pekerjaan yang bersifat fardlu kifayah apabila tidak dilaksanakan akan berubah menjadi fardlu a'in, terutama bila yang lain tidak mampu mengerjakannya. Kalau masyarakat membutuhkan tenaga pertanian, tekstil atau teknil sipil, maka itu merupakan tugas wajib yang bisa dipaksakan penguasa apabila ahlinya menolak."[1]
Mari kita membandingkan dengan dunia pendidikan formal, dimana ilmu pengetahuan hanya dibahas dan disampaikan dari generasi ke generasi. Lalu, bagaimana kita bisa menguji relevansi ilmu pengetahuan itu? Tentu saja, dunia industri sebagai 'denyut nadi' masyarakat modern yang bisa mengujinya.  Dunia industri sajalah yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat. Begitu pun, ilmu pengetahuan yang lestari adalah ilmu yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat.
Kata kuncinya adalah'kebutuhan masyarakat', begitulah bagaimana ilmu pengetahuan akan bisa terwariskan secara alami dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bisa saja, ada ilmu pengetahuan yang dianggap 'usang' sehingga tidak relevan lagi dengan kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan suatu tempat. Pada situasi itu, industri sebagai lokomotif pembangunan akan 'menentukan' mana ilmu pengetahuan yang harus disimpan di museum dan mana ilmu yang harus dikembangkan kemudian diterapkan di masyarakat.
Apabila ilmu pengetahuan sudah berada pada titik 'keusangannya' maka Pemerintah pun sudah tidak sanggup memaksakan untuk menerapkannya. Ini hukum pasar. Saya berkeyakinan, jika pemerintah pun akan memilih ilmu pengetahuan yang sesuai dengan tujuan pembangunan negara. Jika tidak sesuai, buat apa memaksakan sesuatu yang justru bisa membawa kepada kekacauan pembangunan.

Formalisasi Ilmu: Mewariskan Konsep Industri sebagai Ibadah
Mengajarkan ilmu tidak harus selalu pada institusi pendidikan formal. Hal itulah yang luput dari perhatian masyarakat saat ini. Dalam hal menuntut ilmu,fokus perhatian kita saat ini hanyalah tertuju pada sekolah-perguruan tinggi. Kita terkadang menyepelekan ilmu pengetahuan yang bersumber dari seseorang/pihak yang dianggap tidak memiliki 'sertifikat' di bidangnya.[2]
Apabila masyarakat masih beranggapan demikian, maka sulit rasanya ilmu pengetahuan akan berkembang sesuai dengan kebutuhan. Karena, sekolah-perguruan tinggi tidak mengajarkan 'semua hal' yang diperlukan dalam menjalani profesi. Misalnya, ilmu mengenai bagaimana membangun rumah tidak hanya bisa didapatkan di jurusan arsitektur di universitas tetapi juga bisa didapatkan dari 'tukang bangunan' di desa-desa tempat kita tinggal.
Dalam Islam, proses pewarisan ilmu itu sebagai bentuk ibadah yang memiliki nilai tinggi di sisi Alloh SWT. Berdasarkan motif itu,  maka proses pewarisan ilmu dari generasi ke generasi akan berlangsung secara alami. Hanya saja, permasalahan timbul ketika tidak ada institusi yang bisa menghubungkan diantara pewaris dan yang diwarisi. Warga desa belum dapat menunjuk dan menentukan kemana mereka bisa memperoleh keahlian yang dibutuhkan. Untuk itu, perlu ada sarana yang dianggap paling efektif _dan tentu saja gratis.
Sarana untuk proses pewarisan itu adalah industri yang bisa dianggap paling efektif. Bukan sarana pelatihan kerja, bukan sekolah formal ataupun program pemerintah yang dijadikan sarana tetapi industri berdasarkan alasan yang disampaikan diawal essay ini.
Berikut adalah hadist yang menerangkan bahwa mengajarkan keahlian adalah bentuk ibadah dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT.[3]
Dari Abu Dzar ra. Ia berkata : "Aku bertanya kepada Rosululloh SAW, "Apa yang dapat menyelamatkan seseorang dari neraka?"
Nabi SAW menjawab , "Beriman kepada Alloh."
Aku bertanya, "Wahai Nabi, apakah amal yang mengiringi iman itu?"
Nabi menjawab, "Engkau memberikan sebagian dari karunia Alloh."
Aku bertanya," Wahai Nabiyuulloh, kalau ia seorang miskin yang tidak dapat memberikan sesuatu?"
Nabi menjawab, "Ia lakukan amar ma'ruf dan  nahi mungkar."
Aku bertanya, "Kalau seandainya ia tidak bisa amar ma'ruf dan  nahi mungkar?"
Nabi menjawab, "Memberi pertolongan/mengajar orang yang tidak mempunyai keterampilan (kerajinan tangan).”
Aku bertanya, "Wahai Rosululloh, bagaimana pendapatmu kalau orang itu sendiri tidak mempunyai keahlian?"
Nabi menjawab, "Menolong orang teraniaya."
 Aku bertanya, "Wahai Nabiyulloh, bagaimana pandanganmu kalau orang itu lemah tidak bisa menolong orang yang teraniaya?"
Nabi menjawab, " Apa yang engkau kehendaki  dari kebaikannmu untuk engkau tinggalkan bagi saudaramu? Agar dia bisa menjaga diri jangan sampai mengganggu orang lain."
Aku bertanya, "Wahai Rosululloh, apakah menurut pendapatmu jika ia melakukan (perbuatan) itu, ia akan masuk surga?"
Nabi menjawab, "Tidak ada seorang mu'min pun yang mencari salah satu dari sifat-sifat utama ini, melainkan sifat itu akan menarik tangannya sehingga ia memasukkannya ke syurga.
(HR. Baihaqi)
***
Kodifikasi ilmu pengetahuan perlu dilakukan, dalam arti setiap ilmu harus dikumpulkan dalam bentuk buku atau tulisan digital. Industri memfasilitasi ini semua sehingga si terwaris memiliki pijakan untuk mengembangkan ilmu.
Formalisasi ilmu pengetahuan yang saya kemukakan disini dimaksudkan agar kita tidak terlalu terpaku pada pengetahuan yang berasal dari sekolah-perguruan tinggi. Sebagaimana kita maklumi, ilmu bisa bersumber dari mana saja tanpa terlepas siapa yang menyampaikan ilmu itu.
Hanya saja, masyarakat masih mempertentangkan ilmu pengetahuan yang sifatnya informal. Menurutnya, keabsahan ilmu pengetahuan masih diragukan. Apalagi ilmu yang belum diteliti dan dibuktikan secara empiris. Budaya kelilmuan yang terlalu 'formal' seperti kita membuat 'strata' tersendiri sehingga kalangan 'non akademik' merasa tidak berhak untuk menelorkan ilmu yang tercetus dari hasil pemikirannya.
Padahal, ilmuwan sendiri sebetulnya sudah memaklumi bahwa sumber ilmu bisa darimana saja_apalagi ilmu sosial_ yang notabene penuh dengan ketidakpastian. Stuart Chase menyatakan bahwa ilmu adalah suatu metode untuk memperoleh pengetahuan dan memecahkan masalah. Sejarah manusia menunjukan 6 macam metode:
-          Bermohon kepada yang ghoib;
-      Bermohon kepada kekuasaan duniawi – lebih tua lebih baik;
-          Intuisi;
-          Akal sehat;
-          Logika murni;
-          Metode ilmiah.
Bertolak dari  metode keenam itu Chase merumuskan ilmu sebagai usaha untuk menemukan pola rangkaian peristiwa (fenomena).[4]
 Pengetahuan diperlukan untuk menjadi dasar dari langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki masyarakat. Maka dari itu ada pertimbangan pragmatis,  sesuai dengan aspirasi pembangunan kita.[5] Masyarakat saat ini tidak perlu laagi untuk 'berdebat' tentang ilmu mana dan seperti apa yang bisa 'dijadikan' rujukan bagi pembangunan pedesaan. Saya sendiri selalu menilai bahwa ilmu yang dapat digunakan/diaplikasikan itulah yang dipilih. Terdengar pragmatis, tetapi begitulah manusia modern melihat ilmu pengetahuan. Kecenderungan untuk meninggalkan ilmu pengetahuan yang sudah usang sudah menjadi sesuatu yang 'lumrah'.
Manusia modern senantiasa memiliki keinginan untuk  berubah ke arah kemajuan (perubahan dan perombakan secara asasi susunan dan corak) suatu masyarakat. Perubahan manusia modern dari statis ke dinamis, dari tradisional ke rasional, dan selanjutnya. Maka dari itu, dengan jalan merubah cara berpikir masyarakat sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi segala perangkat kehidupan dan tatacara semaksimal mungkin. Dan, inilah sebenarnya arti penting ilmu pengetahuan pembangunan yang membawa masyarakat di pedesaan ke arah kehidupan yang lebih 'mudah' dalam segala hal.
Modernisasi dengan ilmu pengetahuan ini serasi dengan fitrah kejadian manusia yang hidup dan meningkatkan taraf hidupnya ke arah yang lebih tinggi, yang lebih baik. Jadi, warga desa jangan hanya 'nyaman' dalam kondisi yang 'biasa seperti dulu' tetapi harus ada keinginan untuk mengubah kondisi sekitarnya. Hal yang terkesan 'aneh', ketika warga desa ingin terlihat modern justru mereka pergi ke kota bukannya menjadikan desanya menjadi modern.
Warga desa pun tidak perlu khawatir dengan proses modernisasi di desa karena sejalan dengan pengertian da'wah dalam arti revolusioner. Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk lebih modern. Saya tak habis pikir, apabila ada segolongan orang yang menolak modernisasi dengan alasan bahwa modernisasi berasal dari Barat. Namun, alasan itu akan terpatahkan karena itu sama saja dengan 'mengucilkan' diri dari pergaulan internasional dan saat ini sudah tidak ada lagi daerah yang tidak terhubung dengan dunia global.
Modernisasi pun sejalan dengan sejalan pula dengan pengertian ishlah dalam arti luas. Karena, tujuan modernisasi adalah "industrialisasi penduduk"/industrialization of the population.[6] Perbaikan kehidupan bagi ummat Islam merupakan ibadah yang memiliki nilai tinggi. Apalagi, manusia memiliki tugas untuk memakmurkan bumi. Secara spiritual, modernisasi sebenarnya memenuhi nilai-nilai keagamaan yang ada dalam diri manusia.
Industrialisasi penduduk ini dengan jalan menghentikan program baru pembangunan bidang pertanian karena dianggap akan menghambat industrialisasi itu sendiri.[7] Kita bertekad  untuk tidak membangun lagi sarana baru dibidang pertanian, misalnya membangun waduk, saluran irigasi (kanal), sumur artesis dll, kecuali hal itu sifatnya mendesak diperlukan. Jika tidak, maka cukup memperbaiki dan memugar apa yang telah ada. Kebijakan ini dilakukan karena kita tidak sedang mengadakan revolusi pertanian. Sikap dan tindakan itu dilakukan dan diperlukan untuk revolusi industri dan memelihara kekayaan hasil bumi yang ada agar meningkat produksinya.
Semua keinginan itu tidak lepas dari pengetahuan tentang strategi yang terencana yang kita saksikan yaitu bagaimana Barat secara licik berusaha mengalihkan perhatian pembangunan negeri-negeri Islam ke arah pembangunan pertanian. Untuk itu, mereka tidak segan-segan memberikan biaya dan bantuan untuk kebutuhan pembangunan irigasi dan sarana pertanian lainnya dalam upaya menghalangi usaha memajukan bidang industri. Program mereka adalah bagaimana agar negeri-negeri Islam terus lemah dan tetap tergantung kepada mereka (negara-negara industri).
***
Berdasarkan konsep pengetahuan yang mendukung industri inilah maka saya berkeyakinan akan terjadi proses pewarisan ilmu pengetahuan yang berkesinambungan. Kaum muda di pedesaan sepertinya akan memiliki motifasi tinggi untuk menggali lebih banyak ilmu pengetahuan karena ilmu tersebut dianggap berguna bagi mereka. Saya juga berpendapat bahwa tidak perlu ada lagi 'penggiringan' dalam proses belajar karena generasi muda memiliki intuisi untuk mengikuti kebutuhan mereka akan pengetahuan. Pribadi yang aktif akan memandang bahwa menggali ilmu pengetahuan dan mengeksplorasi alam merupakan bagian dari penghambaan diri kepada Alloh SWT.
Generasi penerus di pedesaan akan melihat industrialisasi pedesaan sebagai budaya warisan leluhur yang harus dijaga dan terus dikembangkan. Mereka tidak lagi melihat warisan leluhur hanya berupa nilai-nilai lama yang sudah tidak 'relevan' lagi dengan kebutuhan ummat manusia. Saya salut pada masyarakat Tionghoa yang menjadikan industri dan bisnis sebagai budaya warisan dari orang tua. Mereka memiliki motifasi tinggi untuk meneruskan apa yang telah dirintis oleh para orang tua.[8]


[1] Abdurrahman AlBaghdadi, Islam Bangkitlah, Gema Insani Press, Jakarta: 1991. Hal. 102-103.
[2] Fazriyati dalam AGORA Vol. 3, No. 1, (2015), hal. 98
[3] Maftuh Ahnan, Filsafat Manusia, Bintang Pelajar, Hal. 376-378.
[4] PN. Usman Tampubolon, Matemasi Ilmu-Ilmu Sosial (Essay) dalam Krisis Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Pembangunan Di Dunia Ketiga, PLP2M, Yogyakarta: 1984, hal. 80.
[5] Toety Herati Noerhadi, Analisa dan Pemahaman dalam Metodologi Ilmu-Ilmu Sosial (essay) dalam Krisis Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Pembangunan Di Dunia Ketiga, PLP2M, Yogyakarta: 1984. hal. 35
[6] Rosihan Anwar dalam Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam dan Ummatnya, Perpustakaan Salman ITB, Bandung:  1983, h. 195.
[7] Abdurrahman Al-Baghdadi, Islam Bangkitlah, Gema Insani Press, Jakarta: 1991. Hal. 114.
[8] Fazriyati dalam AGORA Vol. 3, No. 1, (2015), hal. 101.