Kamis, 29 Oktober 2015

Hambatan Bagi Penggunaan Metode-metode Manajemen Belanda (Dan Asing Lainnya) di Indonesia

Menghadapi era globalisasi seperti sekarang ini, warga desa harus bisa menyesuaikan diri dengan pola-pola kerja warga asing. Ini berguna ketika investasi asing sudah masuk ke pedesaan, warga desa diharapkan tidak hanya menjadi ‘penonton’ tetapi juga bisa menjadi ’pemain’.

Perbandingan Antara Penyelenggaraan Organisasi Kerja Indonesia dan Belanda
Bagi orang Belanda di Indonesia terdapat pola budaya Indonesia yang berbeda dari pola budayanya sendiri, dan yang harus diperhitungkan bila berhubungan dengan organisasi-organisasi di Indonesia. Dimensi individualisme-kolektivisme merupakan satu-satunya dimensi dalam semua budaya Barat mempertentangkan diri dengan budaya-budaya Asia. Ini mengimplikasikan bahwa organisasi-organisasi kerja di Negeri-negeri Asia cenderung berfungsi secara berbeda dari organisasi-organisasi kerja di negeri-negeri Barat dalam sejumlah aspek.
a.    Hubungan antara majikan dan pegawai bersifat moral ketimbang bersifat kalkulatif.
b.    Para pegawai mempunyai kewajiban-kewajiban besar terhadap kaum kerabat mereka.
c.    Dalam kontrak-kontrak bisnis, hubungan lebih utama daripada tugas.
d.    Ada kebutuhan yang kuat akan harmoni dan pemeliharaan hubungan.
e.    Pendapat-pendapat ditetapkan secara kolektif.

Perbedaan-perbedaan dalam penyelenggaraan antara organisasi-organisasi kerja Indonesia dan organisasi-organisasi kerja Belanda membatasi penerapan metode-metode manajemen Belanda di Indonesia. Tentu saja terdapat suatu batas untuk menerapkan metode-metode manajemen dari negeri asing mana pun, khususnya dari Amerika Serikat dan dari Jepang. Saya tidak menggunakan istilah metode-metode manajemen “Barat” karena terdapat banyak perbedaan budaya antara negeri-negeri “Barat” yang berlainan; perbedaan-perbedaan ini dan implikasi-implikasinya bagi praktik manajemen sering diremehkan. Meskipun demikian, sejumlah hambatan yang dibahas berikut ini berlaku untuk metode-metode manajemen Belanda dan Amerika.

Seleksi pegawai harus mempetimbangkan faktor-faktor etnik dan keluarga.
Imbalan berdasarkan prestasi kerja jarang terjadi.
Penilaian langsung atas prestasi kerja adalah sulit.
Pemecatan pegawai secara kultural tidak diharapkan.
Metode-metode bagi pengembangan manajemen harus menghindari konfrontasi langsung.
Para perantara mempunyai suatu peranan yang penting.
Dari waktu ke waktu “gotong-royong” dapat dilaksanakan.
Model-model  manajemen pastisipatif tidak terdapat di Indonesia.
Orang-orang menginginkan perbedaan-perbedaan status.
Kesopanan yang formal dan pengendalian emosi penting sekali.
Ketepatan waktu dan ketelitian teknis membutuhkan suatu proses belajar yang panjang.
Secara teoritis simpati terhadap kaum yang lemah jangan diharapkan.


(Sumber: Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat (editor), Komunikasi Antar Budaya, Rosda, Bandung: 2010.) 

Minggu, 25 Oktober 2015

Persepsi sebagai Faktor Penyesuaian Diri Kehidupan Pedesaan

Kehidupan pedesaan yang ‘unik’ perlu penyesuaian diri dalam menjalaninya. Dalam kenyataannya, tidak semua orang siap untuk menjalani keunikan hidup di desa.
Ada sejumlah faktor psikologis dasar yang memiliki pengaruh kuat terhadap dinamika penyesuaian diri, yaitu : kebutuhan, motifasi, persepsi, kemampuan dan kepribadian.

Persepsi sebagai Faktor Penyesuaian Diri
Setiap individu dalam menjalani hidupnya selalu memiliki persepsi sebagai hasil penghayatannya terhadap berbagai stimulus yang berasal dari lingkungannya. Tidak jarang perpsepsi dipahami sebagai suatu perncerminan yang sempurna tentang realitas. Padahal sesungguhnya tidak demikian. Setidaknya ada tiga alasan yang mendukung bahwa persepsi itu bukanlah cerminan dari realitas.
Pertama, indera yang dimiliki oleh manusia tidak dapat memberikan respons terhadap semua aspek yang ada dalam lingkungan. Kedua, manusia seringkali melakukan persepsi terhadap stimulus-stimulus yang pada kenyataannya tidak ada. Ketiga, persepsi manusia itu tergantung pada apa yang diharapkan, pengalaman yang dimilikinya dan motifasi yang ada pada dirinya. Dengan demikian, persepsi sesungguhnya bukanlah merupakan suatu gambaran yang persis sama dengan realitas yang ada, melainkan gambaran yang perwujudannya sudah diwarnai oleh interpretasi individu.
Jadi, persepsi sesungguhnya merupakan proses menginterpretasikan dan mengorganisasikan pola-pola stimulus yang berasa dari lingkungan. Dalam pengertian ini, terdapat dua unsur penting yakni interpretasi dan pengorganisasian. Interpretasi itu amat penting dalam suatu persepsi karena realitas yang ada di dunia ini amat bervariasi sehingga tidak jarang memerlukan upaya pemahaman dari individu agar menjadi bermakna bagi individu yang bersangkutan. Sedangkan pengorganisasian diperlukan dalam persepsi karena berbagai informasi yang sampai pada reseptor individu tidak jarang ada yang membingungkan dan tak terorganisasikan. Agar infromasi yang sampai pada reseptor itu dapat menjadi jelas dan bermakna, maka individu masih perlu mengorganisasikannya ketika informasi itu diterima oleh reseptor. 
Persepsi juga dapat diartikan sebagai cara-cara dimana individu menginterpretasikan informasi yang diperoleh berdasarkan pada pemahaman individu itu sendiri. Dengan kata lain, individu menyadari adanya kehadiran suatu stimulus, tetapi individu itu menginterpretasikan stimulus tersebut. Dalam definisi ini terkandung dua makna, yakni: pertama, persepsi itu tergantung pada sensasi-sensasi yang diasarkan pada infromasi sensori dasar (basic sensory information); kedua, sensasi-sensasi itu memerlukan interpretasi agar persepsi dapat terjadi. Informasi dasar disini adalah informasi yang sesungguhnya terjadi yang sampai pada alat indera kita.
Misalnya, suara lonceng tanda masuk sekolah yang sampai pada telinga para siswa. Jadi, para siswa tidak akan mendengar suara lonceng tanda masuk itu jiika suara lonceng itu memang tidak ada. Namun, bagaimana lonceng tanda masuk itu mempengaruhi para siswa untuk bergegas masuk kelas atau tidak, sangat tergantung pada bagaimana interpretasipada siswa terhadap suara itu. Disinilah letak terjadinya persepsi.
Persepsi seseorang memiliki pengaruh yang berarti terhadap dinamika penyesuaian diri karena persepsi memiliki peranan penting dalam perilaku, yaitu:
a.    Sebagai pembentukan pengembangan sikap terhadap suatu objek atau peristiwa. Ini berarti akan berpengaruh terhadap perilaku penyesuaian diri yang lebih terarah.
b.    Sebagai  pengembangan fungsi-fungsi kognitif,afektif dan konatif sehingga berpengruh terhadap penyesuaian yang lebih utuh dan proporsional sesuai dengan pertimbangan dan pengalaman-pengalaman yang relevan.
c.    Meningkatkan keaktifan, kedinamisan dan kesadaran terhadap lingkungan sehingga dapat menggerakan motifasi untuk penyesuaian diri secara lebih sadar.
d.    Meningkatkan pengamatan dan penilaian secara objektif terhadap lingkungan sehingga perilaku penyesuaian diri menjadi lebih rasional dan realistis.
e.    Mengembangkan kemampuan mengelola pengalaman dalam kehidupan sehari-hari secara berkelanjutan sehingga dapat mendorong ke arah proses  sosialisasi yang semakin mantap.[1]

Menyesuaikan Diri dengan Lingkungan Pedesaan
Bagaimana seseorang mempersepsikan linkungan sekitarnya begitu penting untuk bisa menyesuaikan diri. Warga desa bisa menyesuaikan diri karena menganggap desa sebagai sumber kehidupan. Berbeda, apabila menganggap desa sebagai sumber ‘kesengsaraan’. Persepsi ini sangat kuat mempengaruhi bagaimana kita memanfaatkan anugerah yang diberikan oleh Alloh SWT. Para petani menganggap desa sebagai sumber penghidupan sehingga senantiasa berpikir bagaimana memanfaatkan alam yang tersedia. Tidak hanya petani, setiap warga desa yang beranggapan begitu akan melihat desa sebagai ‘modal potensial’ bagi kehidupan masa depan.  
Jika warga desa mempunyai persepsi positif tentang desanya maka itu menjadi modal utama sebelum begitu banyak pembangunan dilakukan. Pembangunan masa depan desa tidak hanya melulu aspek fisik tetapi juga harus diawali dengan membangun persepsi warga tentang desa sendiri. Apabila warga desa belum bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya, maka sepertinya rencana pembangunan yang sudah dicanangkan akan sulit tercapai


[1] Mohammad Asrori, Psikologi Pembelajaran, Wacana Prima, Bandung: 2008.

Jumat, 23 Oktober 2015

Waktu sebagai Alat yang Unik

Kebanyakan orang menyadari suatu hal lagi mengenai waktu : waktu adalah alat. Terlebih pula, waktu adalah alat yang unik. Waktu tidak dapat dikumpulkan seperti uang atau ditumpuk seperti bahan-bahan baku. Kita harus menghabiskannya, apakah kita ingin atau tidak, dan dalam, jumlah tertentu, yakni 60 detik setiap menit. Waktu tidak dapat dipasang atau dimatikan seperti lampu atau mesin atau diganti seperti manusia. Waktu yang telah lewat tidak dapat ditarik kembali.
Namun, kita dapat menentukan cara kita melewatkan waktu. Seperti halnya dengan alat-alat lain, waktu itu digunakan secara efektif atau disalahgunakan.
Waktu merupakan alat kritis untuk seorang pemimpin. Curtis Jones mengemukakan bahwa pengurangan waktu untuk penyelesaian tugas-tugas seorang pekerja/pengusaha perlu perhatian yang sama banyaknya seperti yang dilakukan oleh para usahawan untuk membuat keuntungan yang sebesar mungkin. Para penerbit “Bussiner Week” menyetujui pendapat Jones bahwa alat yang paling kritis untuk perusahaan adalah waktu _ bukan uang. Lagipula Jones meramalkan, bahwa organisasi-organisasi akan mulai menugaskan pegawai staf mereka untuk membantu para manager memanfaatkan waktu mereka sebaik mungkin.
Pada kursus-kursus manajemen, mengapa manajemen waktu telah diabaikan? Dari semua alat-alat, tampaknya waktu paling sedikit dimengerti dan paling banyak disalahgunakan.
Satu sebab untuk kelalaian ini mungkin adalah kegagalan kita untuk menyadari bahwa “manajemen waktu” sesungguhnya istilah yang salah. Dalam arti yang sesungguhnya, kita tidak mengelola waktu, waktu berjalan terus di luar pengawasan kita, tanpa dapat dihentikan. Masalahnya bukanlah mengelola lonceng, tetapi mengelola diri sendiri sehubungan dengan waktu. Setelah kami menyadari – azas ini, kami mudah mengerti mengapa manajemen waktu menghadapkan kita secara langsung dengan sederetan masalah-masalah yang mengejutkan.[1]

Perspektif Masa Depan Dalam Suatu Budaya
Sebagaimana konsep perspektif masa lalu tampak berbedadari budaya yang satu ke budaya yang lain, begitu pula citra masa depan. Masa depan bersifat konseptual dan prosesual--juga masa kini dan masa lalu.
Studi mendalam untuk mengetahui bagaimana budaya-budaya berbeda dalam orientasi futuristik dan temporalnya baru dimulai. Futurisme adalah suatu gerakan yang bersifat multidisipliner dan dengan cepat  berkembang menjadi upaya intansif dan terus-menerus serta sangat penting dalam banyak disiplin ilmu. Telaah masa depan harus menggunakan sejumlah besar energi ilmiah, baik pada waktu dekat ini atau jauh nanti. Pada satu saat gerakan baru ini akan dipandang sebagai titik balik dalam sejarah perkembangan pikiran umat manusia. Jalan-jalan baru menuju cara berpikir ke depan yang belum diteliti akan berkembang. Tetapi cara-cara baru “berpikir ke depan” akan menghasilkan jarak yang lebih besar antara budaya yang secara cepat mengembangkan visi masa depannya (progresivisme) dengan budaya dimana citra masa depan baru berubah dari visi tradisional.
Ada beberapa budaya yang tampaknya memiliki keajegan citra yang kaku dalam citra masa depannya. Tingkat kejegan citra masa depan berbeda-beda di antara kelompok-kelompok budaya. Contohnya banyak. Bagi kelompok budaya tertentu, pandangan masa depan itu ditakuti dan disembunyikan dari alam pikiran.  Bagi budaya lain lagi, berpikir tentang masa depan dianggap sebagai: kegiatan mubazir, kemalasan, sejenis mimpi yang tidak perlu, aktifitas romantik yang tolol, atau sejenis kegiatan yang dilakukan oleh orang aneh atau orang jahat.
Dalam lingkungan waktu seperti itu akan berkembang citra masa depan yang stabil dan kaku. Bila ini terjadi, citra futuristik yang kaku tampaknya akan menafikan pandangan masa depan yang lain. Misalnya, citra yang jelas tentang “kehidupan seseorang pada hari nanti” (yang diyakini banyak kelompok budaya) dapat mencegah berkembangnya citra alternatif masa depan. Keajegan citra masa depan suatu kelompok budaya mungkin dapat mencegah atau menghalangi anggota kelompok budaya tersebut untuk memikirkan hal yang ada kaitannya dengan perencanaan atau berbagi cara berharap.
Betul kita tahu bahwa   dalam satu kelompok budaya terdapat perbedaan individual dalam citra masa depannya tetapi individu-individu itu cenderung mengembangkan citra masa depan yang sama dengan anggota lainnya dalam kelompok budayanya. Individu dalam budaya tampaknya meragamkan citra masa depannya ketika menjadi tua, sesuai dengan ketakutan akan kematian dan akan sesuatu yang tak teramalkan atau tak diketahui, dan sesuai dengan kemampuan  khas mereka untuk berpikir dengan model-model futuristik.
Tidak ada alasan mengapa kita tidak boleh menganggap bahwa setiap kelompok budaya mempunyai citra masa depan yang tertentu, yang boleh jadi sama atau berbeda dengan citra masa depan yang dimiliki oleh anggota kelompok budaya yang lain. Pendeknya, konsepsi waktu dan perspektif budaya yang berbeda adalah perbedaan utama diantara kelompok-kelompok budaya  dan perlu diperhatikan oleh orang-orang yang meneliti komunikasi antarbudaya.
Kemampuan mengantisipasi akibat dan menangguhkan pemuasan kebutuhan merupakan kegiatan yang diperkokoh secara kultural dan melibatkan perspektif futuristik. Penangguhan pemuatan dan antisipasi akibat sangat berkaitan dengan  kekayaan, kondisi ekonomi, dan kehidupan suatu kelompok budaya. Tetapi kelompok-kelompok budaya mempunyai cara-caranya sendiri yang tradisional dalam mengantisipasi akibat maupun menangguhkan gratifikasi. Cara yang khas ini dapat berintraksi dengan perubahan kondisi ekonomis dan sosial dan perubahan pacu kehidupan dengan bermacam-macam cara.
Dalam sebagian kelompok budaya, arah yang jelas dan tindakan masa depan dilakukan dengan menetapkan dan menggunakan berbagai macam jadwal kegiatan, dengan mengikuti langkah-langkah yang ditetapkan adat dan kebiasaan, atau dengan dengan cara-cara menciptakan suasana peluang. Kadang-kadang, benturan perspektif budaya dapat dikontraskan secara tajam.[2]

Contoh: Dua Budaya Memaknai Waktu
 Waktu dan ketepatan waktu lebih penting di Belanda. Meskipun demikian seorang Belanda di Indonesia dianjurkan untuk menepati waktu seperti ketika ia berada di negerinya sendiri. Di Indonesia, derajat ketepatan waktu yang diharapkan bergantung pada hubungan sosial; orang lebih tepat waktu terhadap seorang atasan (namun, aturan ini terdapat pula di Belanda). Orang-orang Indonesia cenderung menganggap waktu sebagai berputar (cyclical) ketimbang sebagai suatu proses lurus (linier); oleh karenaitu, mereka kurang bersifat terburu-buru. Disamping itu, orang Indonesia merasa bergantung pada kekuatan-kekuatan mistis dalam kasus-kasus yang bagi orang-orang Belanda dianggap suatu kebetulan. Ramalan-ramalan mistis penting di Indonesia: keputusan-keputusan penting harus diambil pada hari-hari baik. Pada beberapa hari tertentu bisnis tak mugkin dilakukan atau perjanjian-perjanjian tiba-tiba dibatalkan bila harinya dianggap tidak menguntungkan.[3]



[1] R. AlecMackenzie, Efisiensi Waktu untuk Manajer, Intimedia, Jakarta, hal. 14-15.
[2][2] Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat (editor), Komunikasi Antar Budaya, RemajaRosdakarya, Bandung: 2010. Hal. 124-125.
[3] Ibid. hal. 196.

Kamis, 15 Oktober 2015

Bekerja Keras adalah Ibadah

Apa tujuan hidup manusia dilahirkan ke dunia ini? Tentunya pasti mempunyai misi dan visi yang jelas dan terarah. Karena manusia di dunia ini adalah ciptaan Alloh SWT, maka manusia itu wajib tunduk kepada aturan-aturan Yang Maha Pencipta. “Dan Aku (Alloh) tidak menjadikan jin dan manusia, melainkan untuk menyembah Aku.” (QS. Adz-Dzariyat (51) ayat 56)).
Kata ‘menyembah’ dalam ayat tersebut di atas berasal dari kata dasar sembah. Apakah sembah itu? Sholat, puasa, zakat dan haji itu sendiri, bukanlah merupakan sembah sebagaimana diartikan menurut kebanyakan orang dan masyarakat selama ini. Rukun-rukun itu  merupakan alat untuk menciptakan karakter (sikap mental) kepatuhan dalam manusia. Semua itu adalah sebagai alat untuk memacu atau mendorong manusia agar beramal sholeh, berbuat kebajikan. Puncak dari amal sholeh itu adalah kerja keras untuk kemaslahatan bagi seluruh makhluk hidup di muka bumi.
Jadi pengertian menyembah atau beribadah menurut pengertian yang hakiki, tidaklah cukup hanya sebatas yang bersifat ritual saja. Akan tetapi, harus mampu mempraktekan, mengaplikasikan, mengaktualisasikan dalam amal (perbuatan) dan kehidupan sehari-hari, yang bermanfaat baik bagi sendiri maupun masyarakat. Oleh karena itu, sehubungan dengan tujuan hidup manusia di dunia ini, Alloh SWT tegas-tegas menyatakan dalam Al-Qur’an suci, surat Al-Balad ayat 4 : “Sesungguhnya Kami (Alloh) menciptakan  manusia agar bekerja keras dan berjuang mati-matian.”
Kata ibadat jangan sekali-kali diartikan hanya sebatas yang bersifat ritual saja, tetapi lebih dituntut untuk dipraktekan dalam aksi-aksi nyata dan positif. Aksi-aksi nyata yang bermanfaat itu disebut amal-sholeh. Al-Qur’an lebih menuntut amal sholeh daripada sekedar ucapan belaka, karena amal-amal sholeh (perbuatan-perbuatan) baik dan nyata itulah yang membawa kemajuan dan kemenangan.
Mengapa aksi-aksi nyata dan positif lebih diutamakan daripada sekedar lafaz saja? Sebab, hanya perbuatan-perbuatan aktual sajalah yang membawa suatu bangsa menuju prestasi yang gilang gemilang. Tidak cukup hanya sekedar mengucapkan ‘beriman’ tanpa diikuti dengan ‘amal-amal sholeh’ (kerja keras dan aksi-aksi nyata). Iman tanpa kerja keras, tanpa aksi nyata yang positif ibarat tanaman tanpa pupuk dan disirami air. Ia akan layu, kering, lumpuh dan akhirnya mati.
Iman itu baru sempurna, subur dan kokoh kalau disertai dengan amal sholeh. Sebab kekuasaaan dan keunggulan itu bisa diraih hanya dengan kerja keras dan aksi nyata sebagai syarat dari iman.  Makna kekuasaan bukan saja dalam arti jabatan dan pangkat, namun dalam arti luas, bisa berbentuk kekuasaan dalam bidang ekonomi dan keuangan, kekuasaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kekuasaan dalam bidang pertahanan dan keamanan dan lain-lain. Untuk mencapai segala bentuk kekuasaan itu tidak lain kecuali hanya melalui aksi-aksi atau praktek-praktek nyata, yang puncaknya adlah kerja keras serta siap menghadapi segala resiko.
Jadi, jangan keliru dalam memahami amal sholeh. Pengertian amal sholeh jangan dipahami secara sempit dan dangkal, hanya dipahami sebatas bersifat ritual dan seremonial semata. Pemahaman seperti ini sangat berbahaya. Pengertain amal sholeh yang lebih hakiki adalah berbentuk kerja keras, aksi-aksi nyata yang positif dan bersikap mental mandiri.

(Disadur dari Suparman Sumahamijaya, dkk. Pendidikan Karakter Mandiri dan Kewiraswastaan, Angkasa, Bandung: hal. 21-25).



Kamis, 08 Oktober 2015

Kesadaran yang Dipaksakan untuk Meningkatkan Produktifitas Pertanian

Ada suatu cara untuk meningkatkan produktifitas pertanian di perdesaan. Salah satunya dengan mengadakan konsolidasi lahan. Lahan-lahan yang terpetak-petak dalam ukuran kecil bisa disatukan menjadi  lebih besar demi efektiftas dan efisiensi lahan. Konsolidasi lahan pertanian dimaksudkan sebagai salah satu bentuk pengelolaan usaha pertanian dalam rangka peningkatan produksi pertanian, khususnya produksi pangan.
Di satu pihak, perkembangan ekonomi yang pesat akhir-akhir ini telah mengancam keberlangsungan usaha pertanian, terutama di wilayah pertanian yang berbatasan dengan perkotaan. Pengembangan usaha yang berorientasi ekonomi telah mendorong peningkatan akses trasnportasi, terutama pembangunan jaringan jalan, pengembangan aneka industri dengan pembangunan kawasan industrinya, pembangunan perumahan, perkantoran, pasar dan sebagainya. Semua kegiatan pembangunan ekonomi ini membutuhkan lahan pertanian ke penggunaan lain di luar pertanian.
Di pihak lain, kebutuhan pangan dan produksi pertanian lainnya terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, perubahan selera dan kebutuhan produk pertanian berkualitas.[1]
Di tengah berbagai kepentingan di atas, upaya pemenuhan pangan dan produksi berbagai komoditas pertanian lainnya perlu terus diperbarui, disesuaikan dengan kondisi terkini dan selalu mendahulukan pemenuhan permintaan pasar. Situasi ini harus diakui sebagai suatu dilema karena dihadapkan pada pilihan yang sulit. Apakah harus merelakan terjadinya fragmentasi, konversi atau alih fungsi lahan? Jika hal ini tidak dapat dihindarkan apakah tersedia lahan pengganti atau apakah  dapat dilkukan ekstensifikasi? Dalam konteks inilah upaya melakukan konsolidasi lahan pertanian menjadi sangat penting, khususnya dalam upaya menyediakan bahan pangan/produksi pertanian dan mendorong keberlanjutan pembangunan berbagai aspek pada sektor pertanian.
Untuk tanaman pangan, Daywin (1999) mencatat bahwa konsolidasi lahan dimulai di Jepang sekitar tahun 1890 oleh petani sendiri selama 50 tahun. Setelah masa itu, sekitar 2,1 juta ha lahan sawah bersistem irigasi selesai dikonsolidasikan dan kemudian memasuki era modernisasi pertanian dengan memperkenalkan mesin-mesin pertanian, seperti traktor, mesin penanam, mesin pemanen dan lain-lain. Langkah operasional konsolidasi dilakukan dalam beberapa tahapan, yakni (a) pengaturan kembali letak sawah dengan bentuk dan petak tertentu, disesuaikan dengan sistem irigasi dan drainasenya; (b) perencanaan jalan usaha tani, (c) perencanaan perbaikan lapisan kedap (hard pan) untuk peningkatan daya sanggah (bearing capacity) bagi alat dan mesin pertanian, (d) perencanaan sistem irigasi dengan pembangunan saluran primer hingga kuarter serta pengaturan pemberian air pada pertanaman, dan (e) perencanaan sistem drainase untuk pelepasan air pada petakan hingga saluran pembuangan.
Jika konsolidasi lahan akan dilakukan, peran kelompok tani (poktan) atau gabungan kelompok tani (gapoktan) sangatlah penting. Kehadiran kelembagaan petani gapoktan saat ini semakin dikenal sebagai wadah “federasi kelompok tani” yang mampu menjembatani kepentingan petani dengan pembina (atau pemangku kepentingan lainnya).
Hubungan sosial yang erat antara pengurus dengan anggotanya (kelompok tani) dapat dinilai sebagai salah satu modal utama dalam kebersamaan membangun. Namun demikian, kurangnya fasilitas berusaha dengan kemampuan sumberdaya manusia yang terbatas perlu didukung oleh perencana pendamping yang memadai jika konsolidasi lahan pangan akan menjadi salah satu program pengembangan sentra produksi pangan.
Rencana tataruang dan wilayah dapat dipakai sebagai payung hukum yang menjamin pemanfaatan lahan untuk berbagai keperluan. Dengan memiliki legalitas peruntukan lahan, pemerintah pusat ataupun daerah dapat merencanakan perbaikan kinerja dan pengembangan usaha tani pangan berkelanjutan. Penegakan hukum yang kuat dengan ketersediaan peraturan yang memadai (termasuk perarutan daerah), kompetensi pejabat yang berwenang, dan koordinasi pengendalian yang intensif diharapkan dapat membendung pengurangan alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian di berbagai wilayah di Indonesia.



[1] www.litbang.pertanian.go.id/buku/konversi.fragmentasi.lahan/BAB.V-4.pdf

Kamis, 01 Oktober 2015

Mempengaruhi Massa dengan Tulisan

Beberapa hari ini saya membaca sebuah buku yang bercerita tentang dengan beberapa buku yang mempengaruhi kondisi dunia.[1] Dari buku itu, ada hikmah yang bisa diambil dimana sebagai penulis kita bisa mempengaruhi banyak orang melalui tulisan kita.
Sejak dulu, pikiran manusia bisa dipengaruhi oleh tulisan dalam buku ataupun selebaran. Kini, buku tidak hanya dalam bentuk cetak manual tetapi juga dalam bentuk digital. Maka dari itu, suatu yang sangat  bermanfaat apabila bisa menulis dan menyebarkan pikiran kita di internet. Di era digital, tulisan di dunia maya bisa mempengaruhi banyak orang karena begitu mudahnya ide kita tersebar ke seluruh dunia.
Pengaruh itu mungkin tidak terasa dalam waktu dekat, tetapi perlu proses. Suatu ide yang tersampaikan akan masuk kedalam pikiran kemudian timbulah kesadaran akan ide yang dimaksud. Banyak contoh, bagaimana suatu komunitas bahkan bangsa dari suatu negara  bisa tergerak pikirannya karena sebuah tulisan. Contohnya, Thomas Paine  yang menulis buku Common Sense (Fikiran Sehat) dimana telah mempengaruhi banyak warga koloni di Amerika untuk memisahkan diri dari Kerajaan Inggris.
Tulisan merupakan bentuk ajakan bagi masyarakat untuk berubah dari kondisi sebelumnya. Disadari atau tidak, karya satra pun mengajak orang untuk mengubah kondisi lingkungannya. Kita perhatikan Harry Potter yang telah memberikan warna bagi generasi muda saat ini. Dengannya, banyak orang terpengaruh untuk menerima kultur pop yang sebelumnya tidak ada. Positifnya, Harry Potter membawa penggemarnya untuk berani ‘bermimpi’ tanpa harus merasa terkekang oleh tradisi lama yang selama ini ada. Harry Potter ‘menyihir’ pola pikir generasi saat ini dimana selalu ada harapan dari setiap situasi. Berimajinasi adalah sesuatu yang ‘normal’, kira-kira begitulah.
Tulisan di era digital juga bisa menjadi manifestasi cita-cita masa depan yang belum tercapai. Banyak artikel, essay, blog dll. di internet yang memberikan saran positif bagi masa depan negeri ini. Apabila Pemerintah peka, ada banyak saran yang bisa diterima dari masyarakat _tanpa harus menggaji seorang staf ahli_ untuk perbaikan kehidupan bangsa ini.
Saya juga merasa bahwa internet bisa menjadi sarana untuk mempengaruhi banyak orang bahkan Pemerintah. Maka dari itu, menuliskan ide dan isi hati dalam bentuk tulisan sangat diperlukan untuk bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik.   



[1] Robert Downs, Buku-buku yang Merobah Dunia, Pustaka Sarjana, Jakarta: 1959.