Selasa, 17 November 2015

Pelatihan Sumber Daya Manusia di Pedesaan (Bagian 2)

 Pelatihan sumber daya manusia di pedesaan mutlak harus dilakukan. Ini berkaitan dengan kebutuhan masyarakat desa untuk menyesuaikan dengan laju perubahan zaman. Untuk itu, harus ada prinsip-prinsip yang bisa menjadi pegangan dalam melaksanakan pelatihan.

Pendekatan Pelatihan Dalam Pembangunan
Permasalahan mendasar di pedesaan adalah SDM. Namun, apa permasalahan sumber daya manusia di pedesaan belumlah jelas. Perlu adanya identifikasi secara mendalam mengenai situasi sumber daya manusia di setiap desa. Akan ada perbedaan antara satu desa dengan desa lainnya.  Hal terlihat secara kasat mata adalah adanya kemandegan pembangunan di pedesaan. Apakah ini berarti warga desa sendiri enggan untuk membangun desanya?
Strategi yang perlu dibangun untuk meningkatkan kualitas SDM di pedesaan adalah dengan pemberdayaan warga. Pemberdayaan dilakukan dengan memotifasi individu untuk meningkatkan kemampuannya dan menentukan jalan hidupnya. Pemberdayaan ditujukan kepada warga desa dengan cara membangun mental dan spiritualnya agar memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk pelatihan bagi warga desa.
Sebelum melakukan pemberdayaan yang dimaksud harus ada tujuan yang jelas mengenai pembangunan yang diinginkan oleh warga desa. Akan ada perbedaan antara desa yang masih menjadikan pertanian sebagai sumber utama mata pencaharian warganya dengan desa industri sebagai sumber pendapatan utama warganya. Untuk itu, perlu adanya pendekatan dalam proses pemberdayaan itu. Pendekatan pelatihan yang dimaksud harus bisa memaksimalkan potensi desa dan warganya sehingga bisa tercapai pembangunan yang diharapkan.
Dari beberapa pendekatan yang ada, saya setuju apabila pelatihan di desa-desa dilakukan dengan pendekatan pemecahan masalah. Pendekatan ini berpatokan pada beberapa hal:
1.    Manusia adalah  pelaku dan pelaksana pembangunan;
2.    Menguasai permasalahan pembangunan dan pemecahannya;
3.    Menjadikan pelaku pembangunan sebagai subjek pembangunan.
Pendekatan pemecahan masalah dianggap cocok dengan kultur pedesaan yang “guyub”. Warga sebagai subjek pembangunan diajak untuk mengidentifikasi permasalahannya sendiri kemudian diajak untuk memecahkannya. Pendekatan pemecahan masalah bisa menjadi refleksi bagi setiap individu akan kapasitasnya masing-masing dalam proses pembangunan. Dengan begitu, pendekatan ini menganggap warga memiliki kemampuan dan  minat yang berbeda-beda. Dalam prakteknya, pelatihan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan setiap warga. Meski pun berbeda-beda, semua itu diharapkan akan berakhir pada tujuan bersama.
Ada 5 dimensi yang harus diperhatikan dalam memberikan pelatihan bagi warga desa yakni dimensi kemampuan, dimensi kelancaran, dimensi konsultasi, dimensi kerjasama dan dimensi membimbing. Kelima dimensi ini saling menguatkan satu sama lain. Kelimanya penting untuk diperhatikan sebagai upaya untuk menjadikan para peserta pelatihan para subjek pembangunan bukan sebagai objek pembangunan.  
Pelatihan sumber daya manusia di pedesaan sebaiknya memperhatikan dimensi kemampuan (enabling) dimana setiap individu mengetahui kemampuan dirinya. Apabila mereka mengetahuinya, dibimbing untuk menempatkan diri dimana seharusnya kemampuannya dimaksimalkan. Hanya saja, warga juga mesti memahami bahwa akan ada tantangan dan hambatan untuk memaksimalkan potensi yang mereka miliki.
Pelatihan juga harus memperhatikan dimensi kelancaran (facilitating) dan dimensi konsultasi (consultating) dimana warga diajak berkonsultasi atas masalah yang sedang dihadapi. Para pelatih/trainer bukanlah sebagai sosok yang ’serba tahu’ dan ‘serba bisa’ sehingga tidak ada sikap menggurui. Warga diajak berbicara untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Dimensi kerjasama (collaborating) dan dimensi membimbing (mentoring) juga perlu diperhatikan karena sebenarnya para pelatih/trainer sebetulnya sedang bekerjasama untuk menyelesaikan masalah masyarakat bukan sebagai ‘Sinterklas’ yang datang memberikan ’hadiah’ bagi para warga.  
Dalam tulisan ini, saya kemukakan salah satu contoh terkenal di dunia yang telah sukses mendirikan program pembinaan warga pedesaan. Di Bangladesh, ada seorang Profesor yang telah membangun Grameen Bank (Bank Desa) dimana dia fokus membantu warga desa menyelesaikan permasalahan mereka sendiri. Dari sekian banyak prinsip yang dipegangnya, ada prinsip mendasar yang kiranya perlu diterapkan dalam usaha pelatihan bagi warga pedesaan di negeri kita.
Muhammad Yunus berpendapat bahwa warga pedesaan tidak perlu diberikan pelatihan formal. Dia menerapkan pendekatan pemecahan masalah masing-masing individu warga desa. Dengan begitu, secara simultan permasalahan pedesaan yang lebih besar bisa terpecahkan. Yunus yakin bahwa semua manusia memiliki keterampilan bawaan lahir. Dia menyebutnya keterampilan bertahan hidup. Warga desa tidak perlu diajari cara bertahan hidup, mereka sudah tahu bagaimana caranya. Jadi, daripada membuang waktu mengajari mereka keterampilan baru, lebih baik memanfaatkan semaksimal   mungkin keterampilan yang sudah dimiliki. Pelatihan formal tidaklah perlu dipaksakan. Pelatihan seharusnya ditawarkan hanya saat mereka secara aktif mencarinya.
Program pelatihan bagi warga desa sebaiknya tidak menekankan pada pelatihan teknis. Malahan, warga desa perlu dimotifasi untuk membangun dirinya sendiri dan lingkungannya dengan bakat alami yang telah mereka miliki. Hal yang bersifat teknis, akan mereka pelajari  sendiri apabila dirasa perlu. Bahkan, diantara warga sendiri ada kegiatan saling bertukar pengetahuan.
Saya menyimpulkan, bahwa pendekatan apa pun yang akan   dilakukan warga desa harus memahami tujuan dari pelatihan yang diberikan. Terutama anak muda, warga desa harus memiliki impian akan masa depan desa sendiri. Apabila hal itu tidak ada, pelatihan itu kiranya tidak akan bertahan lama dan berkesinambungan. Malahan, warga hanya akan menganggap semua pelatihan yang akan diberikan sebagai ‘formalitas’ belaka.


Sumber :
Muhammad Yunus, Bank Kaum Miskin, Marjin Kiri, Depok: 2007. Hal. 141-143
Grendi Hendrastomo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, FISE-UNY, (online).

Muhammad Saeful Anwar, Membangun Ekonomi Pedesaan Melalui Strategi Konvensional, FISIP-Unjani, (online).

Kamis, 12 November 2015

Pelatihan Sumber Daya Manusia di Pedesaan (Bagian 1)

Pelatihan sumber daya manusia di pedesaan mutlak harus dilakukan. Ini berkaitan dengan kebutuhan masyarakat desa untuk menyesuaikan dengan laju perubahan zaman. Untuk itu, harus ada prinsip-prinsip yang bisa menjadi pegangan dalam melaksanakan pelatihan.

Pelatihan untuk Perubahan Masyarakat
Terdapat beberapa pandangan yang berbeda terhadap perubahan yang menjadi fenomena alamiah dalam kehidupan masyarakat (perorangan, kelompok, lembaga dan komunitas). Pandangan pertama menyatakan bahwa perubahan merupakan hakekat kehidupan sehingga realitas atau kenyataan yang tetap berlangsung secara terus-menerus dalam kehidupan masyarakat adalah perubahan itu sendiri. Pandangan kedua menyatakan bahwa pada umumnya tidak ada seseorang yang menginginkan perubahan dalam menjalankan tugas atau pekerjaannya pada suatu lembaga  dimana ia bertugas atau bekerja.
Pandangan Pertama
Menurut Rogers (1985) masyarakat pada umumnya berubah dari kategori masyarakat ekonomi agraris ke masyarakat ekonomi industri dan kemudian ke masyarakat ekonomi informasi.
Pada masyarakat ekonomi agraris, yang diduga mulai sekitar sepuluh ribu tahun yang lalu, fokus kegiatan masyarakat adalah (1) untuk memenuhi kebutuhan dasar, terutama pangan, (2) pekerjaan lebih mengandalkan kemampuan fisik dengan menggunakan alat-alat sederhana, bukan alat berwujud mesin, (3) kegiatan penduduk di bidang pertanian sehingga sebagian besar penduduk adalah petani, (4) komunikasi dilakukan melalui media satu arah, dan (5) sumber daya utama masyarakat adalah lahan pertanian.
Pada masyarakat ekonomi industri, yang dimulai di Inggris tahun 1750 sejak penemuan mesin uap, ditandai oleh (1) zone-zone perkembangan industri yang makin meluas, (2) sumber daya utama adalah energi dan modal utamanya adalah uang dan alat-alat canggih, (3) konsentrasi pekerjaan adalah di pabrik-pabrik dan sebagian terbesar tenaga kerja ialah buruh di pabrik, (4) teknologi dasar adalah mesin, dan pabrik baja sebagai institusi pemicu kemajuan, serta (5) komunikasi menggunakan media elektronika satu arah seperti radio, televisi dan film.
Pada masyarakat ekonomi informasi, yang dimulai di Amerika Serikat sekitar tahun limapuluhan, ditandai oleh : (1) kebutuhan yang makin besar terhadap sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta informasi, (2) lapangan pekerjaan yang dominan adalah di bidang informasi, (3) teknologi dasar yaitu elektronik dan komputer, (4) lembaga pemicu kemajuan adalah univeristas riset, dan (5) komunikasi antar manusia menggunakan teknologi komunikasi informasi yang interaktif.
Ketiga tingkatan perubahan masyarakat di atas mempunyai implikasi terhadap kegiatan pelatihan. Pada masyarakat ekonomi agraris, pelatihan berpusat pada pelatih sebagai sumber utama dalam proses pembelajaran. Sumber-sumber lain kurang memadai sehingga interaksi pembelajaran sangat tergantung pada keterampilan pelatih secara perorangan. Bahan belajar dalam pelatihan dianggap sebagai alat bantu bagi pelatih. Interaksi pembelajaran dalam pelatihan  mirip dengan  “banking system”, yaitu kegiatan pelatih mendepositokan pengetahuannya ke dalam otak peserta pelatihan yang dianggap sebagai penerima deposito (deposan). Pembelajaran dalam pelatihan dipandang sebagai upaya mentransfer pengetahuan kepada peserta pelatihan yang memenuhi syarat dan telah diseleksi berdasarkan persyaratan tertentu. Pembelajaran dilakukan oleh pelatih untuk peserta pelatihan.
Pada masyarakat ekonomi industri, pelatihan berpusat pada kurikulum atau program pelatihan. Bahan belajar dalam pelatihan bervariasi dan dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti pelatih, perpustakaan, media massa khususnya internet dan lingkungan sekitar. Proses pembelajaran lebih banyak menggunakan media dan teknologi pembelajaran. Peranan pelatih sama pentingnya dengan peranan pembimbing, nara sumber teknis dan tenaga kependidikan lainnya. Kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan lembaga penyelenggara pelatihan dan lingkungannya.  Pembelajaran merupakan proses penyebaran keterampilan, pengetahuan, nilai-nilai dan teknologi tertentu kepada peserta pelatihan sebanyak mungkin. Proses pembelajaran dalam pelatihan dilaksanakan oleh pelatih bersama peserta pelatihan.
Pada masyarakat ekonomi informasi, kurikulum pelatihan berpusat pada kebutuhan peserta pelatihan. Bahan pembelajaran yang berbentuk informasi melimpah, mudah diperoleh dan terdapat di mana-mana. Pembelajaran dalam pelatihan dilakukan melalui komunikasi interaktif. Peserta pelatihan diberi kebebasan untuk menggunakan berbagai sumber belajar sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Informasi adalah mendunia dan bahan pembelajaran dikaitkan dengan kepentingan kehidupan peserta didik pada era global. Peserta pelatihan dapat memaksimalkan penggunaan sumber informasi internasional melalui jaringan informasi seperti internet melalui e-learning (electronic learning) dan/atau u-learning (ubiqouitus learning). Pembelajaran menekankan pada aktifitas peserta pelatihan, sedangkan pelatih berperan sebagai fasilitator. Pelatihan menggunakan pendekatan individual dalam pembelajaran untuk peserta pelatihan yang bersifat masal.     
Pandangan Kedua
Pandangan kedua menyatakan bahwa pada umumnya tidak ada seseorang yang menginginkan perubahan dalam menjalankan tugas atau pekerjaannya pada suatu lembaga di mana ia bertugas atau bekerja. Seseorang cenderung menyenangi perubahan pada pihak lain yang dapat membantu atau mempengaruhi pemenuhan kebutuhan dan kepusan dirinya. Pada kondisi ini cenderung tidak ada karyawan bahkan seseorang staf manajer dalam suatu lembaga, mengharapkan suatu perubahan atau menginginkan supaya tugas dan pekerjaannya berbeda dengan yang biasa ia lakukan. Perubahan pun hanya menjadi buah bibir (lip-service) dalam kehidupan di lingkungan kerja dan masyarakat.
Menurut McGregor, yang memperkenalkan Teori X dan Teori Y, menyatakan bahwa terdapat dua pandangan terhadap orang-orang yang terlibat dalam suatu lembaga.
Teori X berasumsi bahwa karakteristik umum orang yang terlibat dalam lembaga adalah: (1) keinginan untuk bekerja seringan mungkin dan bertahan untuk tidak berubah, (2) supaya  pekerjaan dapat sesuai dengan keinginan lembaga maka mereka harus dimotifasi, diberi ganjaran dan hukuman, dan selalu diawasi, (3) orang-orang lebih mementingkan dirinya sendiri dan cenderung untuk mengabaikan  tugas pekerjaannya.
Sedangkan Teori Y berasumsi bahwa orang yang terlibat dalam lembaga memiliki ciri umum yaitu : (1) tidak dengan sendirinya kurang menyenangi kerja, (2) mereka mempunyai potensi untuk bertanggung jawab yang perlu didorong dalam kegiatan bersama, dan (3) pemenuhan kebutuhan sosial, pengakuan dan pengembangan diri dapat dicapai melalui kerja kelompok.
Pelatihan dapat digunakan untuk mengubah perilaku orang-orang yang memiliki kedua karakteristik tersebut  dalam lembaga, walaupun upaya merubah perilaku manusia yang memiliki ciri-ciri yang digambarkan Teori X dianggap lebih sulit dibandingkan dengan mengubah mereka yang memiliki ciri-ciri sebagaimana digambarkan dalam Teori Y.


(Sumber : Djudju Sudjana, Pendidikan dan Pelatihan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Imtima: Bandung: 2009. ) 

Selasa, 10 November 2015

Pemimpin : Penentu Tujuan Pembangunan

Menentukan tujuan pembangunan memang bukanlah perkara yang mudah. Harus ada keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin mengenai tujuan apa yang hendak dicapai. Maka dari itu, ada beberapa syarat supaya bisa menjadi ‘penentu keputusan yang bisa diandalkan’.

Apakah Kepemimpinan?
Tidaklah heran jika para pemimpin mendapat kesulitan untuk mengatur beberapa kelompok manusia agar menjalankan fungsinya tanpa pertikaian mengenai pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Setiap orang masing-masing memiliki kekuatan di dalam dirinya sendiri yang sulit untuk diselaraskan, bahwa sekalipun ia diletakan di dalam situasi dimana paling mudah untuk menyusun keharmonisan. Jika reaksi pikiran setiap individu berada didalam keadaan dimana unit-unit jiwanya tidak bisa dielaraskan dengan mudah coba pikirkan betapa sulitnya untuk menyelaraskan kelompok pikiran-pikiran sedemikian rupa hingga bekerja sama sebagai suatu kesatuan.
Pemimpin yang sukses mengembangkan dan mengarahkan energi suatu grup mastermind pasti memiliki kebijaksanaan, kesabaran, kegigihan, kepercayaan pada diri sendiri, pengetahuan tinggi mengenai reaksi pikiran dan kemampuan untuk menyesuaikan diri (dalam keadaan keseimbangan sempurna dan harmonis) hingga bisa dengan cepat mengubah keadaan tanpa memperlihatkan marah atau jengkel.
Berapa banyakkah mereka yang bisa termasuk di dalamnya?
Pemimpin yang sukses memiliki kemampuan untuk mengubah warna pikirannya, seperti bunglon, untuk menyesuaikan diri dengan setiap situasi yang timbul sehubungan dengan kepemimpinannya. Lebih lagi, di harus memiliki kemampuan untuk mengubah suatu suasana hati ke suatu hati lainnya tanpa memperlihatkan tanda-tanda marah atau kurang pengendalian diri sedikitpun. Pemimpin yang berhasil dan sukses harus memahami Tujuh Belas Prinsip Pengetahuan Keberhasilan Pribadi dan mampu mempraktekan dalam berbagai kombinasi kapanpun diperlukan.
Tujuh Belas Prinsip Pengetahuan Keberhasilan Pribadi tersebut adalah : (1) Tujuan yang tertentu, (2) prinsip kekuatan mastermind, (3) kepercayaan yang dipraktekan, (4) pribadi yang menyenangkan, (5) melangkah sedikit lebih jauh, (6) inisiatif pribadi, (7) disiplin pribadi, (8) perhatian yang terkontrol, (9) semangat, (10) imajinasi, (11) belajar dari kemalangan, (12) pemakaian waktu dan uang, (13) cara berpikir yang positif, (14) pikiran yang tepat, (15) kesehatan tubuh yang segar dan bugar, (16) kerjasa sama, (17) kekuatan alam yang terus-menerus.
Tanpa kemampuan ini, tidak ada pemimpin bisa  berkuasa, dan tanpa kekuasaan, tidak ada pemimpin yang bisa bertahan lama.[1]

Menentukan Tujuan
Suatu tujuan ialah setiap kondisi, jika sudah tercapai, akan menghilangkan akibat-akibat dari situasi yang tidak diingini. Suatu tujuan bisa saja sebagai suatu usaha untuk melepaskan dari dari suatu situasi tertentu. Bagaimanapun, tidak peduli bagaimana kita menggambarkan tujuan itu, tujuan itu mestilah dianggap sebagai suatu hasil dari seorang yang mencarinya, karena dia tidak merasa senang untuk tetap berada dalam statusnya yang lama. Seorang pemecah problema yang baik akan melaksanakan proses pemilihan tujuan itu dengan efektif.  Bahkan beberapa problema justru dapat dipecahkan tepat dalam hal ini.
Dalam menghadapi problema, langkah yang paling penting yang harus dilakukan ialah menyusun tujuan. Disinilah komunikasi itu memainkan suatu peranan yang sangat penting. Walaupun penyusunan atau penentuan tujuan itu mungkin dilakukan secara sendirian, kita sangat sering mendiskusikan dan menentukan tujuan-tujuan itu dengan orang lain. Hal ini memerlukan keterampilan komunikasi yang baik, istimewa keterampilan berbicara dan mendengarkan.
Pandangan-pandangan dan pendapat-pendapat yang dipunyai seseorang hanya dapat dipengaruhi, jika pandangan dan pendapat-pendapat itu dikomunikasikan dan diterima dengan sepantasnya. Untuk menyusun atau menentukan tujuan-tujuan dan memecahkan problema-problema itu sekaligus, kita mestilah tetap siaga terhadap faktor-faktor yang dapat memperlancar atau menghambat komunikasi.
Ada paling sedikit pertanyaan kunci yang harus ditanyakan tentang suatu tujuan. Apakah itu dikehendaki? Dapatkah dicapai? yang pertama adalah lebih penting; jika tujuan itu bukanlah sesuatu yang meringankan atau menghilangkan ketegangan-ketegangan yang anda alami, maka adalah tidak begitu berguna untuk menanyakan pertanyaan kedua. Anda haruslah menjawab pertanyaan pertama dengan segera  dalam proses pemecahan problema. Pertanyaan kedua barulah barulah kemudian.
Terlalu banyak tujuan-tujuan yang diingini sudah disisihkan, karena para pemimpin terlalu malas atau tidak cekatan untuk mengatasi pengaruh yang negatif dari pendapat-pendapat yang biasa, seperti, “Hal itu tak dapat dilakukan!” atau “ Sudah ktia coba sekali, dan tidak berhasil!”. Kita semua sadar akan begitu banyak hal – hal dan benda  yang sudah menjadi rutin sekarang ini, tapi kemarin atau waktu dulu dianggap “tidak dapat dilakukan” atau seperti tidak mungkin. Adalah jauh lebih baik untuk berbuat kesalahan dengan mencoba yang nampaknya tidak mungkin tapi dikehendaki, daripada menolaknya begitu saja.
Dengan meringkasnya, di bawah ini ada lima alasan yang biasa, mengapa penyusunan dan penetapan tujuan itu sering dilakukan dengan tidak baik.
1. Tujuan-tujuan dibuat terlalu tinggi atau terlalu rendah.
2. Tujuan-tujuan tidak sepantasnya disetujui atau tidak cukup dikomunikasikan.
3. Tujuan-tujuan diterima dengan begitu saja tanpa kritik.
4.  Tidak ada komitmen yang betul-betul dilakukan terhadap tujuan-tujuan yang dinyatakan.
5. Tujuan-tujuan yang lama tidak diperbaharui.[2]



[1] Napoleon Hill dan E. Harold Keown, Sukses dan Berhasil Melalui Keyakinan, Cahaya Abadi, 1978,
[2] James G. Robbins dan Barbara S. Jones, Komunikasi yang Efektif, Tulus Jaya, Jakarta: 1982.

Sabtu, 07 November 2015

Pendidikan Holistik-Humanistik untuk Meningkatkan Kesadaran Pembangunan Perdesaan

Kesadaran pembangunan di perdesaan tidaklah timbul begitu saja. Perlu adanya upaya sistematis untuk meningkatkan kesadaran membangun diantara warga desa. Dari berbagai upaya itu, ada salah satu cara yang bisa dianggap efektif yakni dengan menerapkan prinsip pendidikan holistik-humanistik yang dimulai sejak dini.

Pendidikan Holistik dan Humanisitik
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam dan nilai-nilai spiritual. Pendidikan ini penting bagi memastikan setiap individu merasai dan menikamti kehidupan mereka serta meghargai dan menilai semua pembelajaran, potensi dalaman seperti kecerdikan, kreatifitas dan nilai-nilai kerohanian. Pandangan humanistik (human = manusia) adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri.
Ada lima dalil utama dari psikologi humanistik, yaitu :
1.    Keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen;
2.    manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya;
3.    manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain;
4.    manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggungjawab atas pilihan-pilihannya;
5.    manusia memiliki kesadaran dan sengaja mencari makna, nilai dan kreatifitas.
Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, penerimaan pengagungan dan cinta orang lain. Kebutuhan ini disebut need for positive regard, yang terbagi lagi menjadi dua yaitu conditional positive regard (bersyarat) dan unconditional positive regard (tak bersyarat). Pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positif tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai person sehingga ia tidak bersifat defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.
Lima sifat khas orang yang berfungsi sepenuhnya (fully human being): 1) Keterbukaan pada pengalaman; 2) kehidupan eksistensial; 3) kepercayaan terhadap organisme sendiri; 4) perasaan bebas; 5) kreatifitas.
Keterbukaan pada pengalaman, orang yang berfungsi sepenuhnya adalah orang yang menerima semua pengalaman dengan fleksibel sehingga selalu timbul persepsi baru. Dengan demikian, ia akan mengalami banyak emosi (emosional) baik yang positif maupun negatif.
Kehidupan eksistensial, kualitasdari kehidupan eksistensial dimana orang terbuka terhadap pengalamannya sehingga ia selalu menemukan sesuatu yang baru dan selalu berubah dan cenderung menyesuaikan diri sebagai respons atas pengalaman selanjutnya.
Kepercayaan terhadap organisme orang sendiri, pengalaman akan menjadi hidup ketika seseorang membuka diri terhadap pengalaman itu sendiri. Dengan begitu ia akan bertingkah laku menurut apa yang dirasanya benar (timbul seketika dan intuitif) sehingga ia dapat mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi dengan sangat baik.
Perasaan bebas. Orang yang sehat secara psikologis dapat membua suatu pilihan tanpa adanya “paksaan-paksaan atau rintangan-rintangan” antara alternatif pikiran dan tindakan. Orang yang bebas memiliki perasaan berkuasa secara pribadi mengenai kehidupan dan percaya bahwa masa depan tergantung pada dirinya sendiri, tidak pada peristiwa di masa lampau sehingga ia dapat melihat sangat banyak pilihan dalam kehidupannya dan merasa mampu melakukan apa saja yang ingin dilakukannya.
Kreatifitas. Keterbukaandiri terhadap pengalaman dan kepercayaan kepada organisme mereka sendiri akan mendorong seseorang untuk memiliki kreatiftias dengan ciri-ciri bertingkah laku spontan, tidak defensif, berubah, bertumbuh dan berkembang sebagai respons atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam di sekitarnya.
 Psikologi humanistik berjasa besar dalam bidang pendidikan. Psikologi humanistik menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan melalui upaya menciptakan iklim emosional yang kondusif agar dapat membentuk pemaknaan personal.
Prinsip-prinsip belajar yang humanisti, meliputi hasrat untuk belajar, belajar berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas inisiatif sendiri dan belajar untuk perubahan.  
a. Hasrat untuk belajar. Manusia mempunyai hasrat untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabial diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan ingin tahu belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanistik. Di dalam kelas  humanistik anak-anak diberi kesempatan dan kebebasan untuk memuaskan dorongan ingin tahunya, untuk memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan berarti tentang dunia di sekitarnya.
b. Belajar yang berarti. Belajar akan mempunyaiarti atau makna apabila apa yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya, anak-anak akan belajar dengan cepat apabila yang dipelajari mempunyai arti baginya.
c. Belajar tanpa ancaman. Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan bebas ancaman. Proses belajar akan berjalan lancar manakala murid dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman yang biasanya menyinggung perasaan.
d. Belajar atas inisiatif sendiri. Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu memlilih arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motifasi dan mengulurkan kesempatan kepada murid untuk “belajar bagaimana caranya belajar”(to leran how to learn). Tidaklah perlu diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu penting, akan tetapi tidak lebih penting daripada memperoleh kecakapan untuk mencari sumber, merumuskan masalah, menguji hipotesis atau asumsi dan menilai hasil. Belajar atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian murid baik pada proses maupun hasil belajar. Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid menjadi bebas, tidak bergantung dan percaya pada diri sendiri.  Apabila murid belajar atas inisiatif sendiri, ia memliki kesempatan untuk menimbang-nimbang dan membuat keputusan, menentukan pilihan dan melakukan penilaian.
e. Belajar dan perubahan. Prinsip terakhir ialah bahwa pelajar yang paling bermanfaat ialah belajar tentang proses belajar. Di waktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat berubah dan apa yang diperoleh di sekolah sudah dipandang cukup untuk memenuhi tuntutan zaman. Saat ini perubahan merupakan fakta hidup yang sentral. Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu maju dan melaju. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat membekali orang untuk hidup dan berfungsi baik di lingkungan yang sedang berubah dan akan terus berubah.
... 
Prinsip ini tidak hanya berlaku pada pendidikan di sekolah reguler. Prinsip ini juga berlaku pada setiap bentuk pendidikan_ formal-informal, pelatihan hingga pengembangan sumberdaya manusia di perusahaan_. Semoga saja prinsip ini menjadi acuan bagi setiap bentuk pendidikan di pedesaan.


(Sumber : Makalah Psikologi Holistik dan Humanistik, slideshare.net)

Selasa, 03 November 2015

Si Pemikir yang Minoritas: Penggerak Pembangunan Perdesaan

Jika kita memperhatikan segelintir orang yang memiliki karakter pemikir, maka itulah yang bisa menjadi penggerak bagi pembangunan perdesaan. Merekalah yang bisa kita sebut 'sosok' penentu arah pembangunan. Mereka bisa siapa saja, profesi apa pun, kaya/miskin, tidak menjadi ukuran bagi keberadaan mereka.

Kelompok kecil merupakan sifat ahli pikir yang tepat. Pelajarilah dengan seksama jika kita ingin menjadi salah satu dari kelompok kecil ini, yang berpikir dengan cepat dan tepat. Sifat ini sederhana dan sudah dimengerti tapi tidak begitu mudah dilipatgandakan, karena pelipatgandaan ini membutuhkan disiplin pribadi yang lebih besar daripada yang dilatih oleh kebanyakan orang. Tapi ganjaran untuk berpikir dengan tepat ini merupakan usaha yang patut yang diperlukan untuk menerima anugerah itu. Ini terdiri dari banyak sekali nilai, diantaranya ketenangan pikiran, kebebasan pikiran, kebebasan tubuh, kebijaksanaan dan pengertian akan hukum-hukum alam, bahan-bahan yang diperlukan dalam kehidupan, dan yang lebih lagi, terdapat keselarasan dengan garis besar alam semesta, sebagaimana yang ditetapkan dan dipelihara oleh Sang Pencipta.
Tidak ada yang bisa mengingkari bahwa pikiran yang tepat merupakan modal yang tak ternilai yang tidak bisa dibeli dengan uang, atau dipinjam dari orang lain. Pikiran yang tepat ini haruslah merupakan pencapaian pribadi yang diperoleh dari kebiasaan disiplin pribadi yang terketat sebagaimana yang telah didefinisikan oleh berbagai wanita dan pria yang sukses di dalam berbagai bidang kehidupan.

Merupakan pengalaman yang paling jarang untuk menemukan seorang dimanapun juga kapanpun juga, yang hidup seorang diri, berpikir dengan pikirannya sendiri, mengembangkan kebiasaannya sendiri dan bahkan membuat sedikitpun usahanya untuk selalu seorang diri.

Kebanyakan orang merupakan pencontoh dari orang lainnya, dan banyak dari mereka merupakan penderita penyakit saraf yang lebih memilih bersama orang lain daripada sendiri. Perhatikan mereka yang kenal dengan baik, plajarilah kebiasaan mereka secara cermat dan kita akan menyadari bahwa kebanyakan dari mereka hanyalah sekedar imitasi sintetis dari orang lainnya tanpa suatu mereka bisa secara tulus menamakan diri mereka adalah sendiri.
Kebanyakan orang mengikuti, menerima dan bertindak berdasarkan pikiran dan kebiasaan orang lain, amat mirip seperti domba berkejaran satu sama lain melalui jalur yang telah ditetapkan. Sekali waktu dalam waktu yang lama, seseorang dengan kecenderungan memiliki pikiran yang tepat dan cermat akan menjauhkan diri dari orang banyak dan berani untuk berdiri sendiri. Jika kita menemukan orang seperti ini, perhatikanlah bahwa kita berhadapan dengan seorang ahli pikir.

Kemampuan Berpikir dengan Tepat
Kekuatan pikiran bisa disamakan denan sebuah taman yang subur. Tanahnya bisa diolah dengan usaha yang terorganisir, hingga bisa menghasilkan makanan, atau dikesampingkan hingga menghasilkan rumput yang tidak berguna. Pikiran yang selamanya selalu bekerja, baik semakin berkembang atau semakin menurun, membawa kesengsaraan, kesedihan dan kemiskinan atau kesuka citaan. Pikiran tidak pernah menganggur. Pikiran merupakan yang paling besar dari seluruh modal yang dipunyai ummat manusia, namun selama ini pikiranlah yang paling sedikit dimanfaatkan dan yang paling disia-siakan dari semua modal milik manusia. Kesewenang-wenangan ini pada dasarnya merupakan tidak dimanfaatkan pikiran ini.
Kemampuan berpikir merupakan kekuatan yang paling berbahaya, atau sebaliknya paling menguntungkan yang dipunyai oleh manusia, tergantung pada arah bagaimana pikiran itu digunakan. Melalui kemampuan pikiran, manusia membangun istana peradaban yang besar. Melaui kekuatan yang sama, orang lainnya menghancurkan istana itu, seakan-akan mereka terbuat dari tanah liat yang begitu tidak berdaya.
Setiap ciptaan manusia, baik yang baik ata buruk, pertama-tama diciptakan di dalam suatu pola pikiran. Semua ide-ide diangnkan melalui pikiran. Semua rencana, tujuan dan keinginan diciptakan di dalam pikiran. Dan pikiran merupakan satu-satunya tenpat dimana manusia diberi hak istimewa untuk mengendalikannya.
Pemikir yang tepat mengenali fakta-fakta kehidupan, baik yang baik maupun yang buruk dan memikul tanggungjawab untuk memisahkan dan mengatasi keduanya, memilih mana-mana yang melayani kebutuhannya dan menolak lainnya. Dia tidak terkesan oleh desas-desus. Dia bukanlah budak tapi tuan bagi emosinya sendiri. Dia hidup di antara orang-orang tanpa memberi mereka hal untuk menginjak-nginjak pikiran batinnya atau caranya berpikir.
Pendapatnya merupakan hasil dari analisa yang berasal dari kepala dingin dan bersahaja dan merupakan penyelidikan cermat mengenai fakta-fakta atau kejadian yang dapat dipercaya dari suatu fakta. Dia menggunakan nasehat orang lain tapi menyimpan hak bagi dirinya sendiri untuk menerima atau menolak nasehat itu tanpa bisa diganggu gugat.
Jika rencanaya gagal, ia segera membangun rencana-rencana lain untuk menggantikannya, tapi ia tidak pernah menyimpang dari tujuannya hanya karena kekalahan sementara. Dia merupakan ahli filsafat yang menentukan sebab-sebab dari analisa pendapatan mereka. Dia mendapatkan sebagian besar dari usahanya dengan jalan memperhatikan hukum-hukum alam dan menyesuaikan dirinya dengan hukum alam itu.
Jika ia berdo'a, permintaannya adalah agar memperoleh kebijaksanaan yang yang lebih besar lagi. Dia menolong orang lain tanpa mengharap imbalan. Kalau pun memerlukan pertolongan, dia menerima atas hal yang benar-benar dibutuhkannya.


(sumber: Napolen Hill dan E. Harold Keown, Hidup Sukses dan Berhasil Melalui Keyakinan, Cahaya Abadi, Jakarta: 1978.)

Minggu, 01 November 2015

Pendidikan Berbasis Unggulan Lokal sebagai Penunjang Pembangunan Perdesaan

Pembangunan perdesaan memerlukan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi yang ada di sekitarnya. Untuk mencapai itu, perlu adanya suatu sistem pendidikan yang menunjang pembangunan dan sesuai dengan kebutuhan di masa depan. Sebelum membangun sistem pendidikan yang dimaksud, harus ada landasan filosofis dan teori demi tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.

Pendekatan Filosofis yang Sesuai
Pendekatan filosofis bukan hanya mempertanyakan tentang hakikat dan tujuan hidup manusia (human nature and destiny) tetapi juga tentang kemungkinan pendidikan dalam arti kemampuan manusia berkembang dan menerima pengaruh dari luar terutama secara etik sehingga pertumbuhan dan perkembangan manusia itu dapat diarahkan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, berdasarkan potensi dan sifat bawaan seorang peserta didik sebagai makhkluk sosial dan sebagai invidu.
Pendekatan filosofis menghasilkan asumsi-asumsi dasar tentang hakikat dan tujuan hidup manusia, tentang sifat-sifat  dan potensi manusia untuk berkembang dan menerima pengaruh dari luar, dan nilai serta norma yang dipergunakan dalam mengarahkan perkembangan itu, dalam arti untuk mencapai tujuan pendidikan.
Teori pendidikan holisitik-humanistik. Teori ini sangat menghargai martabat individu peserta didik sebagai manusia keseluruhan. Akhir dari pendidikan adalah kemampuan individu untuk mewujudkan dirinya secara memadai. Setiap manusia dipandang sebagai suatu keseluruhan yang memiliki kebutuhan dan tujuan hidup masing-masing. Pendidikan hanya akan berhasil dalam arti bahwa individu dapat mewujudkan diri, mewujudkan segala kemampuan potensialnya menjadi nyata-apabila individu mendapat kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Proses pendidikan merupakan dialog antara pendidik dan peserta didik. Fungsi pendidik adalah memberikan kemudahan atau fasilitas untuk terjadinya perkembangan peserta didik.

Pendidikan Keilmuan dan Kecakapan Hidup
Dalam kurikulum, ada komponen yaitu budaya profesi bagi kelompok-kelompok sebagai makhluk sosial. Kelompok yang bersamaan kemampuan, minat, pengalaman dan harapan. Budaya profesi yaitu budaya berusaha, belajar dan bekerja yang dilandasi ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bekal untuk mengembangkan diri. Bekal menghadapi persaingan yang semakin berat dalam berbagai bidang kehidupan khususnya dalam memasuki pekerjaan untuk menghasilkan nafkah dan menafkahkan yang layak sebagai manusia yang bertanggung jawab terhadap sosial-ekonomi. Konsentrasi pada kecakapan hidup bertani, usaha kecil atau mengenai jasa seperti perdagangan atau jasa pelayanan.[*]
Kecakapan hidup yaitu kecakapan untuk melakukan adabtasi dan perilaku positif yang memungkinkan individu untuk melakukan reaksi secara efektif dalam menghadapi kebutuhan dan tantangan sehari. Adapun definisi yang dikemukakan oleh Unicef yaitu perubahan perilaku atau pendekatan pengembangan perilaku yang diarahkan untuk menjamin keseimbangan antara pengetahuan, sikap dan keterampilan. Definisi ini didasarkan pada penelitian yang menyarankan perlunya perubahan perilaku beresiko yang menyangkut ketidakmampuan menunjukan kompetensi pengetahuan, sikap dan keterampilan yang seharusnya.
Kecakapan hidup pada intinya lebih menekankan pada penguasaan kecakapan yang memungkinkan seseorang untuk memperoleh mental yang memadai (well being) dan kompetensi bagi kelompok remaja dalam menghadapi kenyataan kehidupan sehari-hari. Hampir semua profesional yang memiliki kajian dalam pengembangan pendidikan kecakapan hidup, setuju bahwa kecakapan hidup memiliki kaitan dengan kesehatan dan kegiatan sosial. Melalui kecakapan hidup, seseorang harus mampu melakukan eskplorasi berbagai alternatif, menimbang baik yang menguntungkan maupun yang merugikan dan membuat keputusan rasional dalam memecahkan masalah dan isu yang ada. Pada esensinya kecakapan hidup adalah keterampilan remaja untuk memahami dirinya dan potensinya dalam kehidupannya, antara lain mencakup penentuan tujuan, memecahkan masalah dan hidup bersama orang lain.
Filsafat utama dari kecakapan hidup yaitu konsep pemberdayaan diri dan keyakinan kecakapan dapat dipelajari, dimodifikasi dan ditingkatkan bersamaan dengan pengembangan diri seseorang dan penyesuaian dengan tantangan kehidupan.

Sepanjang pemberdayaan merupakan visi utama dari kecakapan hidup, sangat penting untuk memperjelas hakikat pemberdayaan. Dalam pemberdayaan mengandung konsep utama:
a.    Dapat melihat diri secara objektif dan memiliki keyakinan bahwa seseorang terbuka pada perubahan;
b.    Memiliki kecakapan untuk berubah merupakan bagian tidak terpisahkan dari diri seseorang dan dunia di sekitar kita dimana kita merupakan bagiannya dalam mengisi kehidupan;
c.    Mampu menggunakan perasaan untuk mengenali adanya kesenjangan antara kenyataan saat ini dengan yang diharapkan terjadi;
d.    Mampu menetapkan secara tepat hasil pekerjaan yang ditetapkan dan melakukan tindakan untuk mencapainya;
e.    Mampu bertindak untuk melaksanakan perencanaan kegiatan;
f.     Dalam kehidupan sehari-hari sadar akan kemampuan untuk melakukan akses dan mencari sumber-sumber serta mempengaruhi dan mengarahkan diri;
g.    Mampu mendorong orang lain untuk berdaya dalam meningkatkan kehidupannya dan mampu mempengaruhi berbagai ragam kehidupan.

Membangun Mulai dari Diri Sendiri
Pembangunan perdesaan memang harus dimulai membangun individu-individunya. Membangun sumberdaya manusia pada dasarnya ‘mengumpulkan’ modal kehidupan itu sendiri. Pendidikan yang berbasis keunggulan lokal bukanlah pendidikan yang ‘disetir’ oleh Pemerintah pusat. Selayaknya warga desa menjalankannya dalam berbagai bentuk diantaranya pendidikan formal (SD-SMP-SMA), kursus, pelatihan dsb. Begitu pun hasilnya, diharapkan bisa melahirkan generasi yang memiliki inisiatif untuk membangun desanya.



[*]Mohammad Ali dkk., Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Imtima, Bandung: 2009