Rabu, 24 Oktober 2018

Memetik Hikmah dari Kejadian Sekitar: Cara Mudah Belajar Orang Desa

Sumber : staticflickr.com
Ada suatu paradigma bahwa belajar harus di sekolah atau kuliah. Paradigma ini jelas tidak salah. Namun, membatasi diri pada belajar formal saja membuat orang tidak ingin belajar dari kejadian sehari-hari.

Memperhatikan apa yang terjadi di sekitar kita juga adalah bentuk belajar. Warga desa sangat didorong untuk terus belajar memahami apa yang terjadi. Pembelajaran ini sebagai suatu bentuk cara orang desa "bertahan hidup" di tengah perubahan zaman yang sulit diprediksi.

Sumber pembelajaran orang desa tidak melulu harus dari orang kota. Saya sering didorong untuk mencari ilmu ke kota. Namun, tidak didorong untuk mempelajari apa yang sedang terjadi di desa.

Apakah kita menyadari, bahwa kurikulum pembelajaran yang meniru orang kota membuat kita lupa akan potensi daerah sendiri. Saya mengalami hal itu. Saat ini, saya sendiri banyak 'tidak tahu' nama binatang yang hidup di sekitar rumah. Nama-nama binatang itu seakan 'asing' di telinga karena di sekolah pun tidak pernah dipelajari.

Akhir-akhir ini saya "keranjingan" memfoto hewan dan tumbuhan di sekitar rumah. Indah. Itu alasan menjadi percaya diri untuk mengirimnya di Instagram. Ada orang Eropa dan Amerika yang memuji hasil jepretan saya. Setelah beberapa kali, saya mulai sadar ternyata lingkungan sekitar menjadi sumber belajar yang "menjual".

🐍

Mencari dan terus menggali. Hal itulah yang sebaiknya ditekankan dalam pembelajaran di sekolah. Antusiasme anak-anak dalam mempelajari pengetahuan di sekitarnya sebaiknya menjadi fokus perhatian pendidikan warga desa.

Saya selalu percaya bahwa antusiasme belajar itu selalu ada dalam diri setiap orang. Namun, persepsi 'belajar harus dipaksa' masih melekat dalam persepsi masyarakat kita. Orang Indonesia sepertinya masih merasa "terjajah" sehingga belajar masih dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah.

Generasi saat ini tidak merasakan bagaimana perihnya kebodohan karena penjajahan. Hal yang dirasakan saat ini adalah persaingan global. Maka dari itu, belajar adalah untuk bersaing. Selayaknya permainan sepakbola, seseorang akan antusias "mencetak gol" untuk menjadi pemenang.

Jadi, kita belajar untuk memenangkan persaingan, bukan melawan penjajahan. Orang asing yang datang ke Indonesia bukan untuk menjajah, tetapi mereka mengajak untuk "bersaing dalam permainan".

Saya selalu "menikmati" persaingan itu. Hal yang sulit dihindari apabila orang desa menjadi bagian dari warga global. Investasi dalam berbagai bentuk akan berdatangan ke desa. Maka tidaklah terlalu pusing bagaimana sebaiknya orang desa belajar. Ya, pelajarilah apa yang ada di desa.

Menikmati persaingan, selayaknya menikmati sebuah permainan, membuat kita terus antusias untuk menggali potensi di sekitar sembari terus belajar dari "sumber luar" melalui berbagai media.

πŸŽ“

Menurut para ahli pendidikan, filosofi pembelajaran memang begitu penting untuk 'ditegaskan'. Warga desa memiliki filosofi yang agak berbeda dengan orang kota. Filosofi ini mempengaruhi persepsi mengenai pembelajaran itu sendiri.

Dalam belajar, orang kota lebih berpikir praktis karena mempunyai bayangan akan seperti apa suatu ilmu digunakan. Sedangkan, orang desa masih "mengagungkan" ilmu tanpa banyak berpikir apa kegunaan ilmu itu.

Saya agak heran, ketika di kota besar bermunculan sekolah alam. Pendidikan setingkat Sekolah Dasar, dilaksanakan di alam terbuka. Bahkan, mereka tidak belajar di dalam kelas selayaknya SD Negeri. Anak-anak dibuat nyaman belajar di "saung" tanpa kursi dan dinding pembatas. Mengherankannya lagi, di halaman sekolah ada sawah, kebun dan hewan ternak. Bukankah ini pemandangan umum di pedesaan?

πŸ“•

Saya melihat filosofi belajar yang belum meresap dalam pemikiran orang desa sangat mempengaruhi bagaimana melihat kejadian sehari-hari. Kejadian-kejadian alam bisa dianggap sebuah pembelajaran atau dianggap angin lalu saja.

Filosofi pembelajaran yang "tidak praktis" menggiring anak-anak untuk tidak berpikir praktis. Agama yang semestinya mengandung konsep praktis pun menjadi sangat tidak praktis. Apakah filosofi beragama orang desa pun turut mempengaruhi filosofi pembelajaran "ilmu praktis" pula?

Saya sependapat dengan "prinsip beragama" ala Aa Gym. Beliau benar-benar membuat "praktis" agama. Konsep beragama yang rumit dibuat praktis, tentu saja dengan implementasi di dunia nyata.

Ilmu yang terkesan khayalan, benar-benar direalisasikan. Sumber ilmu yang berasal dari teks dan konteks, disatukan tanpa banyak pemisahan. Dengan begitu, akan ada gambaran awal 'untuk apa kita belajar'.

《(Diolah dari berbagai sumber)》

Senin, 08 Oktober 2018

Mengubah Budaya Desa: Agrikultur Menjadi Industri

Sumber: okezone.com
Dasar pemikiran dari judul di atas adalah suatu kenyataan dimana di beberapa desa terjadi over populasi. Produksi pertanian sangat rendah apabila dibandingkan dengan jumlah manusia yang dipergunakan dalam produksi tersebut.

Proses urbanisasi bisa terjadi dalam waktu cepat atau lambat, bergantung daripada keadaan masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana yang disampaikan Soerjono Soekanto, proses tersebut terjadi dengan menyangkut dua aspek, yaitu:

(a) berubahnya masyarakat desa menjadi masyarakat kota;
(b) bertambahnya penduduk kota yang disebabkan oleh mengalirnya penduduk yang berasal dari desa-desa (pada umumnya disebabkan karena penduduk desa merasa tertarik oleh keadaan dikota).

Saya melihat bahwa kemungkinan pertama (huruf a) diatas menjadi penyebab akan adanya perubahan budaya di desa. Suatu desa (terutama di Pulau Jawa) -mau tidak mau- akan berubah menjadi "desa industri". Pada awalnya hanya sebuah desa dengan industri sebagai penopang kehidupan, namun lambat laun suasananya pun akan terasa seperti kota.

Contohnya, di Kabupaten Bandung masih banyak wilayah dengan administratif desa. Namun, suasananya sudah seperti kota.

πŸ”©

Perubahan budaya di desa, menurut saya perlu dilakukan. Masyarakat pertanian yang serba menggantungkan hidupnya pada alam, harus dipaksa untuk memaksimalkan potensi dirinya.

Warga desa, tidak bisa melulu berpikir untuk bergantung pada 'perubahan cuaca' saja. Tapi, warga desa harus berpikir bahwa: di lingkungannya terjadi juga 'perubahan tren konsumsi' masyarakat.

Warga desa harus mengubah cara hidup. Perubahan ini bukan sekedar gaya hidup konsumtif yang ditiru dari warga kota, namun perubahan pola produksi dari berdasarkan pola tanam menjadi berdasarkan "kebutuhan pasar".

Cara berpikir dan cara bertindak seorang industrialis memang berbeda dengan seorang petani tradisional. Lahan pertanian, tidak dipandang sebagai areal tanam "kurang berharga" tetapi juga adalah "pabrik produksi" pangan. Perbedaan persepsi ini jelas mempengaruhi bagaimana orang desa memperlakukan setiap jengkal tanah yang diinjaknya.

Tanah akan dianggap sebagai investasi yang sangat berharga. Harga tanah akan sangat mahal. Sehingga, warga desa akan "memanfaatkan" setiap jengkal tanah dengan maksimal.

Warga pedesaan sepertinya masih terkungkung dalam "persepsi profesi" yang keliru. Orang desa masih menganggap profesi hanya ada tiga yakni pegawai pemerintah, petani dan pedagang.

Profesi industrialis pun masih belum populer di pedesaan. Mungkin karena orang desa kebingungan memasarkan hasil produksi dalam industri yang tidak langsung berhadapan dengan konsumen. Tidak aneh, jika orang desa ingin jadi pengusaha maka dia akan pergi ke kota. Pikirnya, betapa sulitnya memasarkan produknya  di desa yang sepi pembeli.

🏒

Masyarakat desa akan berubah seperti "orang kota". Kenapa ini terjadi?

Warga desa akan memiliki ragam pilihan profesi. Di masyarakat industri, kejelasan jabatan dan deskripsi kerja begitu dikedepankan.

Cara berpikir yang mendasari manajemen di pertanian tradisional jauh berbeda dengan industri. Namun, bukankah segala perubahan ini diawali dengan cara manusia berpikir. Orang desa harus belajar untuk mengubah cara berpikirnya.

Perubahan pola pikir ini bisa dijalankan dengan dirangsang atau dipaksa. Dirangsang dengan pendidikan formal ataupun nonformal. Juga, tentu saja dengan cara pemaksaan dimana investasi didatangkan ke pedesaan. Para industrialis-kapitalis dirayu untuk membuka usahanya di desa. Lambat laun, perubahan pola pikir itu akan terjadi.

🏭

Kita sebagai orang desa, harus setuju terlebih dahulu pada perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Jika ada yang tidak setuju, biasanya terjadi pertentangan yang bisa menghambat tujuan pembangunan.

Ketidaksetujuan orang desa pada perubahan budaya, dapat dimengerti. Kenyamanan yang selama ini dirasakan akan 'hilang'. Namun, sadarkah kita bahwa "kenyamanan" juga bisa membuat kita terlena. Ketika dunia berlomba untuk saling mengungguli, orang desa tidak bisa 'santai-santai saja'.

《πŸ“šSoerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi》