Sabtu, 18 Juni 2016

Mengolah Informasi dan Menyebarkannya

"Setiap permasalahan tidak akan persis sama, begitupun cara penyelesaiannya. Maka biarkan setiap generasi belajar untuk menyelesaikan permasalahnya sendiri."

Mengolah Informasi
Kegiatan mengolah informasi merupakan suatu tugas yang 'tidak mudah', apalagi di tengah kekalutan global seperti sekarang ini. Begitu banyak informasi berseliweran di jagat dunia maya dimana kita tidak tahu mana yang relevan dengan situasi yang sedang kita hadapi. Mengolah informasi menjadi pekerjaan 'maha penting' apabila banyak informasi sampah yang dianggap 'penting' bagi sebagian orang tetapi dianggap tidak penting bagi yang lainnya.
Mengolah informasi juga begitu krusial ketika ada banyak pihak yang mencoba untuk menguasai informasi. Celakanya, tidak hanya informasi yang sifatnya 'kabar berita' semata tetapi informasi penting mengenai sains dan teknologi yang secara jelas bisa mengubah tatanan kehidupan ummat manusia. Informasi yang dikuasai oleh segelintir orang itu akan 'mengubah' arah hidup banyak orang. Maka dari itu, perlu orang yang punya keluasan pengetahuan untuk bertindak memilah-milah informasi yang relevan dan tidak.
Saya pribadi mengalami sendiri bagaimana kesalahan besar bisa diperbuat apabila tidak ada pengolahan informasi. Ketika sekolah dulu, saya menganggap bahwa apa yang tertulis di buku pelajaran adalah benar adanya. Bahkan saya percaya begitu saja. Bahkan, apa yang disampaikan oleh guru di ruang kelas seakan adalah suatu kebenaran yang mutlak. Saya membabi buta dalam menerima pengetahuan, walaupun tidak tahu entah darimana sumbernya. Pada akhirnya, sekarang saya mulai menemukan bahwa apa yang dibaca dan didengar tidaklah seluruhnya benar. Banyak diantaranya adalah kebohongan yang terstruktur untuk mengelabui anak muda. Entah apa tujuan dari semua itu.
Contohnya, teori kontroversial dari Charles Darwin yang mengatakan bahwa makhluk hidup mengalami evolusi hingga mengalami perubahan bentuk. Di kemudian hari, saya menemukan bahwa makhluk hidup diciptakan apa adanya seperti yang kita temui sekarang. Mereka tidak mengalami perubahan morfologi. Yang ada, makhluk hidup mengalami kepunahan dan pada akhirnya yang berhasil bertahan hiduplah yang kita temui sekarang.
Kegiatan mengolah informasi harus dilakukan oleh orang yang benar-benar paham akan arti penting sebuah informasi. Apabila informasi itu dianggap tidak relevan bahkan merusak maka sudah sepantasnya dimusnahkan. Informasi itu dikumpulkan dan direka ulang. Selayaknya ini menjadi tugas para ilmuwan dan kaum cendekiawan. Hanya saja, kesibukan kaum cendekia hanya tertuju pada kegiatan administratif dan rutin yang menjemukan. Kreatifitas mereka untuk memilah informasi dan merekontruksinya menjadi sangat tumpul.
Sangat disayangkan, kaum cendikia di lingkungan kita menjadi semacam 'pembawa kabar berita' semata bukan menjadi 'mesin pemilah informasi' yang handal. Tugas mereka, hanya menyampaikan kembali apa yang sudah diterimanya di perguruan tinggi atau media yang dibacanya. Mereka belum menjadi seorang editor yang bisa 'menentukan' mana informasi yang harus disampaikan kembali dan mana yang tidak boleh.
Kesadaran akan 'pemilahan informasi' ini perlu terus digaungkan. Jangan sampai para ilmuwan, guru, dosen, ulama dan staf humas di berbagai instansi fungsinya tidak jauh berbeda dengan pengeras suara yang menyampaikan informasi secara 'terlalu apa adanya'. Secara mental, para informan ini mesti memiliki common sense yang bisa memilah dengan bantuan Alloh SWT. Ya, apabila kita hanya mengandalkan logika dalam setiap usaha pemilahan ini maka akan terjadi begitu banyak perdebatan. Setiap individu akan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap suatu problematika.
Pemahaman seseorang terhadap suatu informasi berbeda-beda, untuk itu harus ada suatu lembaga yang terdiri dari orang-orang yang memiliki pengetahuan luas. Di dalamnya, didiskusikan mana yang bisa akan menjadi suatu pengetahuan dan disebarkan ke khalayak. Orang-orang ini datang dari berbagai kalangan dan latar belakang profesi. Mereka tidak dibatasi oleh usia dan strata pendidikan formalnya. Mereka tidak boleh bekerja di bawah tekanan. Sekumpulan orang ini bisa saja ada sekolah, lembaga pemerintahan atau perusahaan. Mereka bisa saja ditempatkan di perpustakaan atau Pusati Informasi Terpadu dengan situasi kerja terpisah dengan bagian lain. Mereka bukan tipe orang yang mudah terpengaruh oleh lingkungan, mereka independen. Justru, mereka adalah orang –orang yang punya visi untuk mengendalikan situasi.
Hasil dari proses pemilahan itu, dijadikan rujukan bagi pembangunan peradaban dimana pun. Para 'pengolah informasi' ini menjadi orang-orang di belakang layar dengan kedudukan sangat prestisius. Mereka orang-orang pilihan yang dekat dengan pemerintah, pengusaha, investor bahkan rakyat kebanyakan. Mereka bukanlah orang-orang yang menjauh dari kehidupan nyata masyarakat tetapi justru menyelaminya seakan menyatu dengan masayarakat. Baik dan buruknya kehidupan masyarakat berada di pundak mereka.

….

Memilah Informasi
Informasi datang begitu saja entah darimana sumbernya. Di era digital seperti saat ini sangat diperlukan upaya pemilahan informasi dengan seksama. Jika tidak ada proses pemilahan itu, maka dikhawatirkan akan terjadi kebingungan di tengah masyarakat. Lebih parah lagi, jika setiap orang merasa 'paling benar' karena menerima informasi dari sumber 'yang dapat dipercaya'.
Setiap informasi yang kita terima dapat dipastikan memiliki  maksud tertentu untuk apa disampaikan ke khlayak. Maka dari itu, hal yang bijaksana jika tetap berhati-hati untuk tidak menerima begitu saja setiap informasi yang diterima. Darimana saja. Jangankan dari internet dengan banyaknya informasi yang tidak 'tersensor', dari buku yang ditulis oleh 'pakar' sekalipun kita mesti mempertanyakan kebenaran informasi itu.
Dalam hal upaya kita membangun masyarakat, ada nilai-nilai yang terkandung dalam informasi. Berkenaan dengan ilmu pembangunan, sudah menjadi kewajaran apabila didasari oleh ideologi-ideologi tertentu. Apabila informasi itu datang dari negara dengan ideologi sosialisme sudah dapat diterka  itu menjadi suatu upaya propaganda. Begitu pun dengan ideologi Kapitalisme, maksud informasi itu disampaikan dan disebarkan tidak akan lepas  dari kepentingan penganutnya. 
Sebagai warga desa, terkadang kita tidak paham mana yang menjadi corak suatu ideologi. Apa yang kita anggap ilmu pengetahuan maka itulah yang diterima. Sebaiknya tidaklah begitu. Perlu ada proses 'penyesuaian' dengan nilai-nilai yang telah dianut oleh masyarakat perdesaan sejak lama. Mungkin banyak orang tua kita yang 'menyuruh' menimba ilmu ke berbagai pusat perdaban tetapi tidak memperhatikan latar belakang dari lahirnya ilmu itu. Tidaklah mengherankan apabila generasi penerusnya sok tahu mengenai bagaimana 'mengurus masyarakat'. Namun, mereka mengalami banyak kegagalan.
Kebanggaan orang tua kita akan ilmu dari kota justru bisa menjadi boomerang bagi kehidupan desa itu sendiri.  Hal yang tidak mengherankan apabila banyak desa yang tergerus oleh derap langkah pembangunan orang kota. Kepercayaan berlebihan pada orang kota membuat orang desa seakan tertipu. Padahal, itu hanyalah sifat kurang hati-hati. Karena, realitanya kita tidak bisa menutup diri akan perubahan yang terjadi. Hanya saja, kita perlu filter untuk mempertegas dan memperjelas _mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.
Informasi yang dipilah dan disajikan tidak hanya ditujukan untuk menunjukan mana kebenaran tetapi juga sebagai cara kita untuk memberikan motifasi. Pembangunan di suatu daerah, bagaimanapun perlu pribadi-pribadi yang termotifasi untuk membangun. Informasi bisa ditujukan sebagai usaha untuk mendidik masyarakat. Agen-agen pembangunan tidaklah lahir begitu saja tetapi perlu adanya upaya penyadaran untuk itu.
Memilah informasi yang memotifasi memang tidaklah mudah. Mesti ada suatu pola tertentu yang bisa menerka mana yang bisa menjadi motifasi dan mana yang justru menciutkan nyali. Apalagi di pedesaan, informasi yang disampaikan tidaklah bisa serampangan. Dimana, karakter warga desa yang bisa mudah mengacuhkan informasi. Berbeda dengan warga kota, dimana masih banyak informasi dianggap angin lalu saja.  Dalam usaha kita membangun desa, informasi ditujukan untuk memperjelas arah pembangunan itu sendiri. Ketika informasi itu menciutkan nyali, jangan terlalu berharap arah pembangunan akan sesuai dengan rencana yang telah disusun.
Pola informasi yang bisa memotifasi adalah informasi yang 'mengubah budaya'. Apabila di suatu daerah memiliki budaya yang tidak mendukung usaha pembangunan maka informasi yang dapat mengubahnya layak untuk dipilah dan disebarkan. Hal yang sudah lumrah, apabila pola komunikasi yang dirancang memang ditujukan untuk mengubah budaya suatu masyarakat. Hanya saja, dalam rangka membangun masyarakat maka informasi yang dianggap bisa membawa pada kemajuan itulah yang layak untuk disampaikan.
Di atas telah disampaikan bahwa menjadi peran ilmuwan, para pendidik dan pustakawan untuk bisa menentukan arah perubahan budaya yang dimaksud. Misalnya, dalam budaya Timur masih ada anggapan bahwa bekerja ada suatu 'keterpaksaan'. Untuk itu, perlu adanya pengumpulan informasi yang bisa menentang pemikiran demikian. Coba kita kumpulkan bagaimana suatu budaya yang menganggap bekerja adalah bagian dari gaya hidup maka merekalah yang bisa membangun bangsanya.
Ketika pemilahan itu masih berjalan, maka  masyarakat terus mengalami perubahan. Perubahan-perubahan dalam masyarakat harus 'dikawal' oleh para pengolah informasi. Mereka bertugas untuk menentukan mana perubahan yang semestinya terjadi dan mana yang tidak semestinya terjadi. Mereka laksana pengingat bagi agen pembangunan yang lain bahwa perubahan yang baik adalah perubahan yang membawa pada kemajuan, bukan sebaliknya.

Perlu ada pencirian dan penilaian kembali kebutuhan-kebutuhan informasi di dalam strategi pembangunan menyeluruh.  ….

Menyebarkan Informasi
Ketika informasi disebarkan ke khalayak, ada kemungkinan akan diterima atau mungkin ditolak. Kemungkinan untuk ditolak karena tidak sesuai dengan etika dan nilai yang dianut masyarakat. Agar informasi dapat diterima, maka harus ada maksud dan tujuan yang selaras dengan audien. Informasi yang disampaikan dengan serampangan hanya akan menghasilkan rasa frustasi. Harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan membuat masyarakat bisa tidak percaya pada informasi, meskipun itu merupakan informasi penting.
Sebagai contoh, pada ulama begitu sering menyampaikan informasi keagamaan. Namun, begitu sering juga ummat menolaknya begitu saja. Kenapa? Mungkin cara ulama tersebut menyampaikan informasi tidak sesuai dengan 'kebutuhan' masyarakat. Di abad 21 ini, ummat tidak hanya membutuhkan pengetahuan mengenai kehidupan di akhirat kelak tetapi sangat membutuhkan bagaimana seharusnya membangun kehidupan di dunia. Ketidakpercayaan sebagian masyarakat pada agama bukan karena mereka tidak percaya akan adanya Sang Maha Pencipta. Tetapi, ummat masih mempertanyakan _apakah agama bisa menjadi solusi atas permasalahan hidup yang sedang dihadapinya?
Jika komunikasi sesuai dengan harapan dan aspirasi, etika dan nilai, serta maksud dan tujuan penerimanya, maka ia berpengaruh. Informasi yang disesuaikan dengan 'kebutuhan' masyarakat justru menjadi pendorong kemajuan. Saya selalu mencari cara bagaimana mendorong kemajuan masyarakat pedesaan, dan ternyata salah satunya dengan memberikan informasi yang tepat. Mempengaruhi masyarakat dengan informasi harus berdiri di atas prinsip bahwa manusia  mempunyai kemampuan untuk mencari sendiri informasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Bagi pribadi yang 'haus informasi', tidaklah perlu mereka disuapi justru mereka akan mencari sendiri.
Ada satu sisi yang menari dari pola penyebaran informasi di tengah-tengah masyarakat. Informasi yang disampaikan akan sangat bermakna apabila adanya keterlibatan dalam proses alih informasi. Suatu informasi yang berguna bahkan akan disebarkan lagi ke orang lain. Menyebar secara spontan. Masyarakat merasa bahwa informasi yang diterima begitu penting dan harus disebarkan kembali. Informasi-informasi ini menjadi 'bekal' bagi usaha kita membangun kehidupan warga.
Masyarakat bisa menatap masa depan dengan diterimanya informasi dari para informan. Gambaran masa depan yang utuh ini bisa terbentuk apabila disertai bagaimana cara untuk mencapainya. Gambaran masa depan tidak hanya sekedar khayalan tetapi sebagai visi menatap masa depan. Tidaklah heran apabila informasi dianggap tidak penting apabila belum bisa memberikan gambaran masa depan seseorang. Walaupun informasi tidak melulu mengenai sesuatu yang belum terjadi, tetapi warga di pedesaan memiliki harapan yang sulit tercapai. Nah, harapan-harapan itulah yang mesti dipelihara.
Komunikasi menuntut penerimanya  untuk terlibat, untuk melakukan sesuatu, untuk menjadi sesuatu, dan untuk mempercayai sesuatu. Suatu ilmu pengetahuan akan 'nyantol' di otak dan hati apabila kita sudah percaya pada ilmu itu. Informasi yang disampaikan bukanlah bualan belaka. Dengan informasi, akan ada keterpaduan pola pikir masyarakat sehingga tercipta rasa kebersamaan untuk mengubah keadaan.

Sumber:
Ziaduddin Sardar, Tantang Dunia Islam Abad 21 : Menjangkau Informasi, Mizan, Bandung: 1988.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...