Minggu, 18 November 2018

Keguyuban Orang Desa, Masih Adakah?

Gambar: http://ppid.sukoharjokab.go.id/
Ikatan apa yang bisa menyatukan orang desa di tengah arus globalisasi seperti ini?

***

Pertanyaan diatas sulit dijawab karena beberapa alasan (setidaknya menurut pengamatan penulis), diantaranya:

Pertama, kultur keagamaan orang desa yang sudah 'memisahkan'  diri dari kehidupan riil masyarakat. Orang dulu, beragama sekaligus membangun desa. Tokoh-tokoh agama tidak hanya memimpin ritual tetapi juga memimpin aktifitas aktual. Saya baca profil Teungku Daud Beureuh di Aceh, Kiai Hasyim Asy'ari di Jawa, dan juga Kiai Ahmad Dahlan, mereka benar-benar membangun masyarakat dalam ranah aktual. Hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan dasar warga diperhatikan. Mulai dari pengairan di sawah, perdagangan di pasar, pendidikan hingga kesehatan diperhatikan.

Kedua, kebutuhan yang semakin beragam. Orang desa zaman dahulu, memiliki profesi yang cenderung seragam yakni sebagai petani atau nelayan. Namun, saat ini profesi warisan leluhur tersebut tidak mendominasi masyarakat desa.

Karena adanya perubahan pola kehidupan masyarakat itu, maka ikatan pun terkesan melonggar. Misalnya, di desa saya sulit sekali menggerakan warga untuk suatu kegiatan karena 'jadwal kerja' yang berbeda-beda. Pada akhirnya, kegiatan yang biasanya dilakukan swadaya menjadi dikerjakan secara profesional alias dibayar. Kegiatan membangun jalan desa, saat ini tidak bisa lagi dikerjakan sukarela karena kendala 'kesibukan masing-masing'.

🚜

Saya belajar mengenai keguyuban ini dari orang Cina. Di tengah jumlah penduduk yang padat, justru keguyuban itu semakin kuat.
Saya melihat bahwa keguyuban itu terus 'langgeng' karena mereka tahu apa yang ingin mereka capai bersama. Sebagai manusia, kita paham bahwa tujuan hidup di dunia ini ingin hidup sejahtera.

Maaf, dalam budaya masyarakat pribumi -apalagi Sunda-, keinginan untuk sejahtera bersama itu rasanya tidak ada. Mungkin, masih ada orang yang melanggengkan 'kasta sosial'.

Perbedaan kekayaan itu hal yang lumrah, hanya saja orang kaya itu "lupa" bahwa supaya mereka tetap kaya bukan dengan 'menjaganya' tetapi 'mengembangkannya'. Dan tentu saja, mengembangkan kekayaan itu perlu melibatkan orang lain.

Ikatan yang terkesan 'pragmatis' itu seperti mengesampingkan ikatan setumpah dan sedarah. Hanya saja, slogan tentang ikatan sebangsa dan setanah air yang sering didengungkan banyak orang justru melupakan tujuan bernegara yang sebenarnya yakni mencapai kesejahteraan bersama.

Ada keinginan kuat untuk maju bersama, menjadi ikatan yang relevan di era globalisasi seperti sekarang ini. Apabila keinginan untuk sejahtera itu hanya untuk diri sendiri, ternyata tidak berlangsung lama. Dalam satu generasi, kekayaan itu bisa habis.

Apabila ada keinginan untuk sejahtera bersama, maka orang dengan kasta sosial lebih tinggi akan 'mengangkat' saudaranya. Kelanggengan kesejahteraan terbukti telah terjadi bagi masyarakat yang mau saling membantu sama-lain.

πŸš›

Berbagi.
Kata itulah yang mesti dipegang oleh orang desa. Para taipan dengan kekayaan 'seabreg' itu mengumpulkan kekayaan tidak sekedar bentuk keserakahan, tetapi keinginan untuk berbagi.

Pertanyaan: "untuk apa kita hidup di dunia?", bisa dijawab dengan jelas bagi orang-orang Cina. Maaf, persepsi mengenai berbagi sepertinya masih sempit dalam budaya pribumi. Berbagi itu tidak hanya "memberi secara cuma-cuma", tetapi "membantu memenuhi kebutuhan orang yang membutuhkan".

Menyediakan ribuan bahkan jutaan lapangan kerja adalah bentuk berbagi yang tidak 'menyinggung' harga diri. Bekerja merupakan cara untuk mengaktualisasikan diri dan meningkatkan harga diri. Seorang suami merasa dihargai jika memiliki pekerjaan. Akan berbeda rasanya, jika dia mendapatkan rezeki karena diberi.

Kembali kepada kata kunci "kebutuhan". Menelisik kebutuhan setiap individu dan berusaha membantu memenuhinya merupakan bentuk gotong-royong dan bentuk keguyuban yang 'tidak akan ditelan zaman'.

Coba bandingkan dengan konsep gotong-royong yang masih bersifat "sukarela". Jangankan di kota, di desa pun konsep itu sudah mulai luntur. Karena desakan kebutuhan itu tadi, bekerja secara sukarela rasanya enggan. Keengganan itu dapat dimaklumi, karena seorang suami lebih mementingkan anak-istri.

🚜

Industrialisasi kerap dianggap sebagai biang keladi dari melonggar ikatan keguyuban di desa. Industrialisasi sering dianggap mengalihkan tujuan hidup bermasyarakat pada sikap materialistis.

Namun, saya mencoba untuk "menerima takdir"  jika waktu dan tempat mengalami perubahan. Di desa, harus menjalani industrialisasi. Tentu saja, harus ada ikatan baru demi terjalinnya kehidupan yang berkelanjutan. Industri hanya sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama. Industri bukan biang keladi dari sikap mementingkan diri sendiri. Karena, jika tanpa industri bagaimana warga desa bisa menghidupi dirinya sendiri?

Sumber:
Sori Ersa Siregar & Kencana Tirta Widya, Liem Sioe Liong: Dari Futching ke Mancanegara, Pustaka Merdeka, 1988.
Gareth Alexander, Silent Invasion: Orang Cina di Asia Tenggara. versi e-book.

Rabu, 24 Oktober 2018

Memetik Hikmah dari Kejadian Sekitar: Cara Mudah Belajar Orang Desa

Sumber : staticflickr.com
Ada suatu paradigma bahwa belajar harus di sekolah atau kuliah. Paradigma ini jelas tidak salah. Namun, membatasi diri pada belajar formal saja membuat orang tidak ingin belajar dari kejadian sehari-hari.

Memperhatikan apa yang terjadi di sekitar kita juga adalah bentuk belajar. Warga desa sangat didorong untuk terus belajar memahami apa yang terjadi. Pembelajaran ini sebagai suatu bentuk cara orang desa "bertahan hidup" di tengah perubahan zaman yang sulit diprediksi.

Sumber pembelajaran orang desa tidak melulu harus dari orang kota. Saya sering didorong untuk mencari ilmu ke kota. Namun, tidak didorong untuk mempelajari apa yang sedang terjadi di desa.

Apakah kita menyadari, bahwa kurikulum pembelajaran yang meniru orang kota membuat kita lupa akan potensi daerah sendiri. Saya mengalami hal itu. Saat ini, saya sendiri banyak 'tidak tahu' nama binatang yang hidup di sekitar rumah. Nama-nama binatang itu seakan 'asing' di telinga karena di sekolah pun tidak pernah dipelajari.

Akhir-akhir ini saya "keranjingan" memfoto hewan dan tumbuhan di sekitar rumah. Indah. Itu alasan menjadi percaya diri untuk mengirimnya di Instagram. Ada orang Eropa dan Amerika yang memuji hasil jepretan saya. Setelah beberapa kali, saya mulai sadar ternyata lingkungan sekitar menjadi sumber belajar yang "menjual".

🐍

Mencari dan terus menggali. Hal itulah yang sebaiknya ditekankan dalam pembelajaran di sekolah. Antusiasme anak-anak dalam mempelajari pengetahuan di sekitarnya sebaiknya menjadi fokus perhatian pendidikan warga desa.

Saya selalu percaya bahwa antusiasme belajar itu selalu ada dalam diri setiap orang. Namun, persepsi 'belajar harus dipaksa' masih melekat dalam persepsi masyarakat kita. Orang Indonesia sepertinya masih merasa "terjajah" sehingga belajar masih dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah.

Generasi saat ini tidak merasakan bagaimana perihnya kebodohan karena penjajahan. Hal yang dirasakan saat ini adalah persaingan global. Maka dari itu, belajar adalah untuk bersaing. Selayaknya permainan sepakbola, seseorang akan antusias "mencetak gol" untuk menjadi pemenang.

Jadi, kita belajar untuk memenangkan persaingan, bukan melawan penjajahan. Orang asing yang datang ke Indonesia bukan untuk menjajah, tetapi mereka mengajak untuk "bersaing dalam permainan".

Saya selalu "menikmati" persaingan itu. Hal yang sulit dihindari apabila orang desa menjadi bagian dari warga global. Investasi dalam berbagai bentuk akan berdatangan ke desa. Maka tidaklah terlalu pusing bagaimana sebaiknya orang desa belajar. Ya, pelajarilah apa yang ada di desa.

Menikmati persaingan, selayaknya menikmati sebuah permainan, membuat kita terus antusias untuk menggali potensi di sekitar sembari terus belajar dari "sumber luar" melalui berbagai media.

πŸŽ“

Menurut para ahli pendidikan, filosofi pembelajaran memang begitu penting untuk 'ditegaskan'. Warga desa memiliki filosofi yang agak berbeda dengan orang kota. Filosofi ini mempengaruhi persepsi mengenai pembelajaran itu sendiri.

Dalam belajar, orang kota lebih berpikir praktis karena mempunyai bayangan akan seperti apa suatu ilmu digunakan. Sedangkan, orang desa masih "mengagungkan" ilmu tanpa banyak berpikir apa kegunaan ilmu itu.

Saya agak heran, ketika di kota besar bermunculan sekolah alam. Pendidikan setingkat Sekolah Dasar, dilaksanakan di alam terbuka. Bahkan, mereka tidak belajar di dalam kelas selayaknya SD Negeri. Anak-anak dibuat nyaman belajar di "saung" tanpa kursi dan dinding pembatas. Mengherankannya lagi, di halaman sekolah ada sawah, kebun dan hewan ternak. Bukankah ini pemandangan umum di pedesaan?

πŸ“•

Saya melihat filosofi belajar yang belum meresap dalam pemikiran orang desa sangat mempengaruhi bagaimana melihat kejadian sehari-hari. Kejadian-kejadian alam bisa dianggap sebuah pembelajaran atau dianggap angin lalu saja.

Filosofi pembelajaran yang "tidak praktis" menggiring anak-anak untuk tidak berpikir praktis. Agama yang semestinya mengandung konsep praktis pun menjadi sangat tidak praktis. Apakah filosofi beragama orang desa pun turut mempengaruhi filosofi pembelajaran "ilmu praktis" pula?

Saya sependapat dengan "prinsip beragama" ala Aa Gym. Beliau benar-benar membuat "praktis" agama. Konsep beragama yang rumit dibuat praktis, tentu saja dengan implementasi di dunia nyata.

Ilmu yang terkesan khayalan, benar-benar direalisasikan. Sumber ilmu yang berasal dari teks dan konteks, disatukan tanpa banyak pemisahan. Dengan begitu, akan ada gambaran awal 'untuk apa kita belajar'.

《(Diolah dari berbagai sumber)》

Senin, 08 Oktober 2018

Mengubah Budaya Desa: Agrikultur Menjadi Industri

Sumber: okezone.com
Dasar pemikiran dari judul di atas adalah suatu kenyataan dimana di beberapa desa terjadi over populasi. Produksi pertanian sangat rendah apabila dibandingkan dengan jumlah manusia yang dipergunakan dalam produksi tersebut.

Proses urbanisasi bisa terjadi dalam waktu cepat atau lambat, bergantung daripada keadaan masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana yang disampaikan Soerjono Soekanto, proses tersebut terjadi dengan menyangkut dua aspek, yaitu:

(a) berubahnya masyarakat desa menjadi masyarakat kota;
(b) bertambahnya penduduk kota yang disebabkan oleh mengalirnya penduduk yang berasal dari desa-desa (pada umumnya disebabkan karena penduduk desa merasa tertarik oleh keadaan dikota).

Saya melihat bahwa kemungkinan pertama (huruf a) diatas menjadi penyebab akan adanya perubahan budaya di desa. Suatu desa (terutama di Pulau Jawa) -mau tidak mau- akan berubah menjadi "desa industri". Pada awalnya hanya sebuah desa dengan industri sebagai penopang kehidupan, namun lambat laun suasananya pun akan terasa seperti kota.

Contohnya, di Kabupaten Bandung masih banyak wilayah dengan administratif desa. Namun, suasananya sudah seperti kota.

πŸ”©

Perubahan budaya di desa, menurut saya perlu dilakukan. Masyarakat pertanian yang serba menggantungkan hidupnya pada alam, harus dipaksa untuk memaksimalkan potensi dirinya.

Warga desa, tidak bisa melulu berpikir untuk bergantung pada 'perubahan cuaca' saja. Tapi, warga desa harus berpikir bahwa: di lingkungannya terjadi juga 'perubahan tren konsumsi' masyarakat.

Warga desa harus mengubah cara hidup. Perubahan ini bukan sekedar gaya hidup konsumtif yang ditiru dari warga kota, namun perubahan pola produksi dari berdasarkan pola tanam menjadi berdasarkan "kebutuhan pasar".

Cara berpikir dan cara bertindak seorang industrialis memang berbeda dengan seorang petani tradisional. Lahan pertanian, tidak dipandang sebagai areal tanam "kurang berharga" tetapi juga adalah "pabrik produksi" pangan. Perbedaan persepsi ini jelas mempengaruhi bagaimana orang desa memperlakukan setiap jengkal tanah yang diinjaknya.

Tanah akan dianggap sebagai investasi yang sangat berharga. Harga tanah akan sangat mahal. Sehingga, warga desa akan "memanfaatkan" setiap jengkal tanah dengan maksimal.

Warga pedesaan sepertinya masih terkungkung dalam "persepsi profesi" yang keliru. Orang desa masih menganggap profesi hanya ada tiga yakni pegawai pemerintah, petani dan pedagang.

Profesi industrialis pun masih belum populer di pedesaan. Mungkin karena orang desa kebingungan memasarkan hasil produksi dalam industri yang tidak langsung berhadapan dengan konsumen. Tidak aneh, jika orang desa ingin jadi pengusaha maka dia akan pergi ke kota. Pikirnya, betapa sulitnya memasarkan produknya  di desa yang sepi pembeli.

🏒

Masyarakat desa akan berubah seperti "orang kota". Kenapa ini terjadi?

Warga desa akan memiliki ragam pilihan profesi. Di masyarakat industri, kejelasan jabatan dan deskripsi kerja begitu dikedepankan.

Cara berpikir yang mendasari manajemen di pertanian tradisional jauh berbeda dengan industri. Namun, bukankah segala perubahan ini diawali dengan cara manusia berpikir. Orang desa harus belajar untuk mengubah cara berpikirnya.

Perubahan pola pikir ini bisa dijalankan dengan dirangsang atau dipaksa. Dirangsang dengan pendidikan formal ataupun nonformal. Juga, tentu saja dengan cara pemaksaan dimana investasi didatangkan ke pedesaan. Para industrialis-kapitalis dirayu untuk membuka usahanya di desa. Lambat laun, perubahan pola pikir itu akan terjadi.

🏭

Kita sebagai orang desa, harus setuju terlebih dahulu pada perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Jika ada yang tidak setuju, biasanya terjadi pertentangan yang bisa menghambat tujuan pembangunan.

Ketidaksetujuan orang desa pada perubahan budaya, dapat dimengerti. Kenyamanan yang selama ini dirasakan akan 'hilang'. Namun, sadarkah kita bahwa "kenyamanan" juga bisa membuat kita terlena. Ketika dunia berlomba untuk saling mengungguli, orang desa tidak bisa 'santai-santai saja'.

《πŸ“šSoerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi》

Jumat, 21 September 2018

Memanfaatkan Infrastruktur Jalan Tol dan Rel Kereta Api

Sumber: detik.com
Tulisan ini saya fokuskan pada pembangunan jalan tol dan jalan kereta api. Kedua infrastruktur ini mempunyai ciri khas dalam merangsang pembangunan di daerah. Kedua infrastruktur ini bisa menjadi alat distribusi utama bagi industri-industri di daerah.

Sumber: goodnewsfromindonesia.id
Kalangan industri kurang "puas" menggunakan jalan arteri karena akan dihalangi oleh kemacetan di sana-sini. Jalan tol dan kereta api jelas memberi pengaruh besar dalam biaya distribusi barang yang diproduksi. Kalangan industri biasanya "bergairah" berinvestasi di daerah dimana ada kemudahan distribusi.

Walaupun industri itu berada di daerah 'terpencil', apabila barang hasil produksi bisa disalurkan dengan aman dan nyaman maka biasanya industri bertumbuh di sana.

Kebetulan, di daerah saya Kabupaten Garut akan dibangun jalan tol dan pengaktifan kembali jalan kereta api. Rel kereta ini sebetulnya  sudah ada sejak jaman penjajahan. Namun, tidak berfungsi lagi karena berbagai alasan. Sedangkan jalan tol, dibangun sebagai terusan jalan tol Purbaleunyi.

Isu pembangunan ini menjadi hangat karena masyarakat "seperti belum siap" menerima perubahan. Padahal, cepat atau lambat perubahan itu akan ada. Karena, perubahan itu adalah "hukum alam".


πŸš‚***

Persepsi kita sebagai warga desa mengenai infrastruktur begitu penting. Saya masih melihat ada dualisme pandangan antara orang yang mendukung penuh pembangunan infrastuktur dan sebaliknya.

Perbedaan pandangan ini memang sangat mendasar. Para pendukung pembangunan infrastruktur menginginkan daerahnya berubah menjadi lebih maju. Meskipun ada banyak hal yang 'dikorbankan', laju zaman menuntut adanya "pemenuhan kebutuhan".

Sedangkan, para penentang pembangunan infrastruktur berdalih bahwa kehidupan pedesaan harus dikembalikan seperti sedia kala. Sayangnya, para penentang ini pun belum bisa memberikan 'solusi tandingan' demi sebuah kemajuan pedesaan.

🚈***

Bagi masyarakat, infrastruktur bisa dilihat sebagai sarana menuju perubahan yang lebih baik. Namun, bisa juga pembangunan infrastruktur justru dianggap 'menghancurkan' tatanan yang sudah ada.

Apabila warga desa menganggap infrastruktur jalan tol dan rel kereta api sebagai sarana pembantu pembangunan, maka harus ada dukungan penuh. Meskipun akan ada resiko dalam proses realisasinya. Bentang alam yang sudah ada akan mengalami perubahan. Bahkan, tatanan sosial kemasyarakatan bisa mengalami perubahan.

Masyarakat desa yang dihuni oleh petani, suatu saat bisa berubah menjadi masyarakat industri. Namun, itulah cara kita menyediakan lapangan kerja untuk kesejahteraan.

Apabila proyek sudah berjalan, kita manfaatkan saja demi kemajuan bersama. Daripada kita ramai-ramai menolak, mending kita jadikan itu sebagai sarana menuju kemajuan desa kita sendiri. Penolakan dengan alasan apapun, akan lebih 'lemah' dari sisi argumentasi karena manfaat kedua infrastruktur itu lebih besar dibanding resikonya.

🚍***

Semua yang akan dibangun, berawal dari pikiran manusia. Apabila cara kita berpikir berbeda, maka wajar akan terjadi perbedaan pendapat dalam melihat bagaimana seharusnya desa kita dibangun. Saya sendiri pendukung industrialisasi pedesaan. Maka, saya mendukung apa pun yang bisa menggeliatkan industri di pedesaan.

Saat ini, kita harus "melihat" dengan pikiran kita. Maksudnya, kita bayangkan manfaat dari sebuah pembangunan bukan sekedar melihat 'kerusakan' yang terlihat secara kasat mata. Itulah, dasar pemikiran dari sebuah pembangunan. Apabila kita sudah memahami apa yang  dibutuhkan, maka cara kita memandang masa depan desa cenderung menuju arah kemajuan _bukan sebaliknya.

《(Tulisan diolah dari berbagai sumber)》

Rabu, 05 September 2018

Pohon Belajar



Dalam belajar, kita ikuti filosofi pohon. Seperti pohon, kita awali belajar dengan pelajaran dasar layaknya akar. Akar itu kuat menghujam tanah, juga menyerap saripati tanah untuk pertumbuhannya.

Al-Qur'an dan As-Sunnah layaknya akar. Batang layaknya minat dan bakat yang sudah ada sejak lahir. Sedangkan, daun dan ranting adalah ilmu yang "menyesuaikan" dengan lingkungan. Akhirnya, maka akan ada buah yang bisa "dipetik".

Minat dan bakat, harus menjadi yang utama dipelajari setelah pelajaran dasar. Kenapa? Karena ilmu yang berkenaan dengan minat dan bakat bisa dipelajari dengan "semangat" dan tidak perlu "disuruh-suruh". Ilmu yang berkenaan dengan minat dan bakat menjadi "acuan" akan seperti apa seseorang di masa depan. Layaknya, batang pohon maka minat dan bakat kuat meskipun diterpa angin dan hujan.

Terakhir, ilmu lain yang menyesuaikan dengan kebutuhan. Ilmu-ilmu itu akan sangat banyak sesuai dengan kebutuhan di sepanjang hidupnya.

Kamis, 30 Agustus 2018

Keotentikan Kultural: Modal Berselancar di Dunia Digital

Keotentikan kultural merupakan modal kita untuk "memenuhi" konten di dunia digital. Meskipun Barat punya teknologi informasi super canggih, tetapi kontennya kita bisa isi dengan "sumber lokal".
Pernahkah kita berpikir, bagaimana mengisi media sosial yang menjadi keseharian kita. Sudah banyak bukti, bahwa media sosial dengan menampilkan 'konten lokal' punya "follower" setia. Pengikutnya, tidak hanya saudara senegara tetapi juga saudara dari mancanegara.
Konsep ini sudah saya coba di Instagram. Saya menampilkan kondisi alam sekitar desa mulai dari flora, fauna hingga suasana kesehariannya. Ternyata, ada banyak orang yang tidak saya kenal menyukainya. Sayangnya, Bahasa Inggris saya yang jelek membuat saya kurang komunikatif.

Keotentikan kultural merupakan gagasan yang perlu dipertimbangkan dalam menghadapi era informasi digital. Hal ini tidak saja berarti bahwa kultur-kultur tradisional, lingkungan dan nilai-nilai  harus dihormati. Tetapi, juga berarti bahwa sistem-sistem tradisional harus dilihat sebagai sumber kekuatan dan solusi-solusi untuk masalah yang dihadapi masyarakat harus diupayakan didalamnya.

Pertama, keotentikan kultural memerlukan penekanan atas pembangunan yang berasal dari kultur-kultur pedesaan dan perlindungan atas kultur-kultur tradisional dari serbuan pola-pola konsumsi Barat dan barang-barang konsumsi yang mencerminkan kemahakuasaan teknologi. Diperlukan rasa hormat yang dalam terhadap norma-norma, bahasa, keyakinan-keyakinan, kesusateraan dan kesenian, serta ke-prigel-an masyarakat _ faktor-faktor yang membuat hidup masyarakat itu kaya dan bermakna.

Kedua, arti keotentikan kultural ialah bahwa sistem-sistem tradisional -yang ternyata secara ekologis lebih sehat dan berorientasi konservasi daripada sistem-sistem modern -- harus dilindungi dan dibantu.

Misalnya, di banyak negara berkembang masih terdapat sistem-sistem pengobatan tradisional. Bila sistem-sistem itu didukung, dikembangkan dan dipadukan dengam sistem pengobatan modern, maka sistem kesehatan di Dunia Ketiga akan semakin meningkat mutunya, dan kebergantungan pada perusahaan-perusahaan  farmasi pun akan tereduksikan.

Begitupula, teknik-teknik perumahan tradisional, metode-metode perikanan dan teknologi-teknologi lokal harus menjadi komponen-komponen dasar pembangunan yang bersifat mandiri. Sebagaimana kita tahu, teknik-teknik tradisional justru lebih mampu bertahan di tengah kondisi keterbatasan finansial. Saya sendiri mengalami bagaimana sistem pertanian tradisional masih bisa diterapkan dibandingkan sistem pertanian "modern" yang padat modal. Saya pernah merasa "tersandera" ilmu dari Barat yang diperoleh di perkuliahan. Setelah berusaha keras untuk diterapkan, ternyata kendala biaya lagi-lagi menjadi halangan.

Dengan demikian, hal-hal ini merupakan sebagian dari blok-blok bangunan dasar bagi pengertian baru tentang pembangunan.

(Sumber: Ziaduddin Sardar, Tantangan Abad 21)

Senin, 20 Agustus 2018

Memahami Pola Kehidupan Sehari-hari

Jika suatu perjalanan hidup seseorang bisa dipahami polanya, maka dia tidak perlu "was-was" akan masa depannya. Seorang manusia bisa menerawang masa depannya meskipun saat ini dia belum bisa mewujudkan apa yang dipikirkannya.

Saya membaca novel Origin karya Dan Brown. Disana ditulis, bahwa masa depan ummat manusia bisa 'diprediksi' dengan pola-pola komputerisasi. Namun, tentu saja harus ada data yang relevan.

Selanjutnya, bagaimana kita memahami pola-pola kehidupan sehari-hari tanpa aplikasi komputer?

πŸ”ƒ

Saya mencoba belajar memahami cara berpikir anak kecil. Maksudnya, pola-pola pikiran itu diharapkan bisa membawa kita pada "bagaimana cara manusia belajar". Setelah tahu, orang dewasa tidak perlu lagi bersusah payah membuat "kurikulum" yang bersifat general.

Bila anak sudah punya cara belajar sendiri, dia akan memahami sendiri pola-pola di kehidupannya sendiri.

Pola belajar anak kecil ini sangat penting untuk "dipatenkan". Maksudnya, dia sendiri harus tahu bagaimana cara belajar yang khas untuk dirinya dan tidak bisa ditiru orang lain. Kekhasan cara belajar membawa pada apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak perlu dilakukan. Dia akan fokus.

πŸ”

Salah satu cara memahami pola adalah dengan mencermati siklus. Dengan mempergunakan tak lebih dari ilmu hitung sederhana (dan kerja keras), anda dapat memperoleh pengetahuan tentang siklus. Dengan melihat berapa kali dan berapa teratur masing-masing siklus berulang di masa lalu, anda akan memperoleh gagasan akan pentingnya hal itu. 

Dan dengan memproyeksikan semua siklus-siklus penting ke masa depan, anda dapat memperoleh gambaran tentang akan apa yang ada di depan.

πŸ”„

Saya senantiasa menekankan untuk mengoptimalkan peran "pikiran" kita dalam mengarungi hari. Dari beberapa sumber, saya mulai menemukan bahwa peran pikiran untuk memahami pola-pola kehidupan begitu penting.

Pikiran kita begitu kompleks, namun itulah letak kelebihannya. Janganlah kita menyepelekan orang yang suka 'berkhayal' karena dengannya pola-pola itu akan tergambar. Para pemikir abad-21 senantiasa menemukan ide-ide bagi perkembangan hidup di dunia karena mereka suka "berkhayal". Kompleksnya keseharian manusia justru membawa manusia pada kesempurnaan karena di dalamnya terdapat petunjuk 'yang tersembunyi'.

πŸ”

Pola-pola kehidupan itu saat ini menjadi 'ilmu tersendiri'. Dengannya, kita memahami selera konsumen, mobilitas manusia, bahkan komputer bisa memprediksi pola hubungan seseorang untuk menentukan jodohnya.


Pola-pola keseharian itu bisa kita dokumentasikan dalam komputer. Siapa tahu di masa depan amat berguna bagi perkembangan kehidupan generasi mendatang.

(Tulisan diolah dari berbagai sumber)

Sabtu, 04 Agustus 2018

Selasa, 31 Juli 2018

Menegaskan Tujuan atau Meramalkan Capaian

Tujuan menjadi sangat berarti dalam usaha kita membangun kehidupan. Tujuan sangat erat kaitannya dengan kondisi masa depan.  Maka tidak aneh antara tujuan dan realita masa depan sering berbeda, itu karena tidak tegasnya sebuah tujuan.

'Martabat' manusia yang tinggi yakni memiliki akal menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lain. Sepengetahuan saya, kekuatan akal ini tidak hanya mencerna apa yang ada di depan mata tetapi juga diajak untuk berimajinasi.

Surga dan neraka adalah imajinatif. Namun, dengan keyakinan banyak orang berusaha untuk mencapai atau menghindarinya. Sayangnya, fungsi akal ini menjadi 'salah kaprah' karena dogma agama yang tidak pada tempatnya.

Ketika orang Atheis tidak percaya agama karena dianggap tidak bisa merekayasa kondisi didunia, maka kaum agamis harus meyakinkan diri bahwa masa depan dunia tidak lepas dari agama. Agama tidak hanya berbicara moral belaka tetapi juga harus membicarakan konsep perbaikan lingkungan.

*

Akal kita menjadi sarana 'peramal' masa depan. Apabila ahli komputer sudah bisa meramal masa depan dengan teknologi informasi, maka kita sebagai orang Islam seharusnya sudah bisa memperkiralan kondisi masa depan berdasarkan begitu banyak petunjuk dari Alloh. Akal kita diyakini punya kemampuan luar biasa untuk memahami masa depan.

Kuncinya, filosofi hidup diatur oleh 'kekuatan ghoib' sudah tidak bisa lagi diterapkan. Realitanya Alloh memberikan 'keleluasaan' pada manusia untuk mengatur hidupnya.

Ahli filsafat bersikukuh untuk memahami realita. Bahkan mereka berusaha mempengaruhi cara berpikir ummat manusia agar masa depan dunia berjalan sesuai dengan persepsinya.

Orang yang memegang filosofis agamis, mempengaruhi cara berpikir khalayak agar jalan kehidupan tidak jauh dari aturan Tuhan. Kaum filosofis atheis atau sekuler pun, mereka kuat untuk mempengaruhi khalayak agar hidup berjalan sesuai 'keinginannya'.

**

Tujuan manusia hidup menjadi sangat relatif bahkan cenderung abstrak. Para ilmuwan yang anti-Tuhan, belum puas mencari-cari cara untuk memahami tujuan akhir hidup di dunia. Mau kemana kita?

Ketika para agamawan memberikan bimbingan, sayangnya dianggap 'memalingkan' diri dari kenyataan. Jika hidup untuk menuju alam ghaib, kenapa kita susah-payah bergelut dengan kehidupan dunia?.

***

Tujuan masih ada dalam pikiran manusia. Kata Napoleon Hill, apa saja yang dipikirkan manusia pada dasarnya akan kejadian. Memikirkan, terus memikirkan dan merencanakan, baik strategis maupun teknis.

****

Kita hidup dimana sebuah tujuan menjadi sangat berarti. Kenapa? Karena, kita hidup dalam sebuah sistem. Mungkin, tidak banyak yang paham bahwa kita hidup ada saling keterkaitan antara satu sama lain.

Sebuah sistem kehidupan dibentuk oleh kita sebagai 'pelaksana' kehidupan ini. Walaupun kita bersikeras untuk mengubah kehidupan, seperti sulit apabila kita belum paham bagaimana sistem kehidupan berjalan.

*****

Sebuah capaian kehidupan, bagaimana pun itu, sangat berkorelasi dengan kehidupan sebelumnya. Itu sebuah proses.

Persiapan. Itu yang diperlukan.

Pencapaian apa pun boleh kita ramalkan sebelumnya. Bukan berusaha melawan takdir, tetapi 'memahami' takdir. Alloh memiliki ilmu bagaimana manusia hidup di dunia ini hingga akhir kiamat. Hanya saja, kita perlu 'cara' untuk memahami ilmu Alloh.

Cara memahami ilmu Alloh, diyakini oleh banyak ilmuwan dengan menggunakan 'otak'. Otak bisa menangkap 'sinyal' dari manapun dimana kita memahami 'hal-hal' misterius.

Contohnya, begitu banyak ilmuwan seperti Thomas Alfa Edison bisa membuka misteri alam dengan memaksimalkan kemampuan otaknya. Katanya, otak manusia itu hanya digunakan sekitar 10 % dari kemampuan yang sebenarnya.

Saya sendiri belum bisa melihat hubungan antara tujuan kita dengan pemahaman kita akan ilmu Alloh. Pemahaman akan masa depan dan tujuan akan masa depan bisa kita sadari keberadaannya dengan pikiran kita sendiri. Para pemimpin masyarakat biasanya mempunyai kemampuan memahami realita dan tujuan bagi pembangunan kehidupan di masa depan.

******

Akan selalu hubungan antara tujuan dan capaian, begitu pun ketika kita berusaha meramalkannya.

Jumat, 20 Juli 2018

Alat: Jika Tidak Digunakan, Ya Tidak Bermanfaat

Coba lihat disekeliling kita, begitu banyak alat yang bisa kita gunakan. Berapa banyak  yang sudah digunakan dengan optimal?

Alat sesederhana seperti sapu pun jarang digunakan. Bila sering, kenapa lingkungan kita masih kotor. Sampah berserakan dimana-mana.

Bila kita punya sebilah golok, buat digunakan apa? Untuk membuat kerajinan, menebang pohon atau 'membunuh orang'?

Alat bisa berfungsi jika ADA RENCANA.
Untuk urusan rencana ini, saya ingin menekankan bahwa kita tidak usah membatasi diri. Persepsi kita tentang hari akhirat dan kematian semestinya bukan membatasi kita untuk punya 'rencana masa depan' bagi anak-cucu.
Warisan tidak hanya materi, tetapi juga 'warisan immateri' berupa ide-ide dan rencana aksi demi mendapatkan ridho Illahi.

Saya menyaksikan sendiri, bagaimana suatu komunitas menjadi 'kebingungan' karena tidak adanya kompas. Layaknya kapal yang ditinggal mati oleh nahkodanya, komunitas itu terombang-ambing tanpa jelas tujuan. Para kru kapal pun bingung harus berbuat apa karena tidak ada 'dokumen rencana pelayaran'.

Sebuah rencana -yang sederhana pun- merupakan sebuah 'seni olah jiwa'. Di dalamnya, kita diajak bewisata tanpa harus kemana-mana. Berselancar dalam dimensi waktu yang belum teralami. Keinginan untuk memahami dan mensejahterakan diri adalah motifasi tinggi untuk terus 'menyelami jiwa kita sendiri'.

Investasi.
Itulah kata yang belum 'merasuk' ke dalam pemikiran kita. Kita sering menyalahkan orang asing yang berinvestasi di dalam negeri, tetapi dana pribadi kita sendiri hanya 'disimpan' untuk 'kesenangan pribadi'.

Kepemilikan alat adalah bentuk investasi. Tentu saja, mesti digunakan. Namun, setidaknya alat-alat itu jadi sarana 'memudahkan produksi'.

Apabila jiwa kita masih 'jiwa konsumsi' maka dengan alat kita bisa mengubah menjadi 'jiwa produksi'. Itu saya alami. Dengan smartphone, saya tidak hanya berupaya menghabiskan kuota tetapi juga memfoto lingkungan sekitar untuk mengikuti lomba.

Alhamdulillah. Bagi saya alat adalah suatu sarana untuk 'mengekspresikan diri'. Alat mengubah isi pikiran dari kenyataan. Sekali lagi, kuncinya adalah isi pikiran. Pikiran kita mesti penuh dengan pikiran positif. Dengannya, alat akan menjadi sangat bermakna.

Kita bisa paham bahwa alat hanya 'seonggok' materi tidak bernyawa. Kitalah yang harus 'memberinya nyawa'.

Alat pun memang bisa mengurangi pekerja jika tidak bijaksana. Makanya berpikir lebih berulang kali untuk membeli alat itu lebih baik daripada hanya mendatangkan perubahan tidak terduga. Misalnya, mesin pengerek padi bisa mengurangi jumlah pekerja saat panen dalam jumlah yang signifikan.

Alat jelas bisa meningkatkan produksi. Itu pun jika kita punya jiwa produksi. Bagi orang Asia Timur, memproduksi barang sudah menjadi budaya positif. Budaya itu sangat menunjang kemajuan perdagangan. Dengan alat, akan ada banyak jumlah barang yang diproduksi. Biarpun menumpuk di gudang, ada produk yang bisa dijual.


***

Alat, benar-benar bermanfaat jika kita cermat. Alat akan menjadi pemicu kemajuan, tentu saja asal kita mau.

Sabtu, 23 Juni 2018

Insinyur Memimpin Desa


Lihatlah, desa kita 'nyaris tidak ada apa-apa'. Mau jadi apa?

Desa kita perlu dibangun. Tetapi, dibangun apa?

Pertanyaan itu ada dalam otak para insinyur. Bukan otak para pedagang. Pedagang kurang tertarik membangun karena sulit mencari untung. Sedangkan insinyur, punya otak 'pencipta' dimana bagi mereka untung datang belakangan.

'Imajinasi' sang insinyur adalah 'anugerah Illahi' yang  terhubung dengan alam semesta, bahkan hingga ke 'tempat yang jauh dari jangkauan'.

Para insinyur berpikir teknis. Tetapi, tentu saja mereka pun tidak akan melupakan sisi humanis karena kita tidak sedang hidup di negara atheis. Pola pikir teknis sangat diperlukan dalam pembangunan karena bisa melihat alam ini sebagai sistem yang dibangun bukan sistem yang 'terbangun begitu saja'.

Pemimpin dari kalangan 'teknisi' senantiasa memiliki ambisi mengisi hari. Bukan berarti dari kalangan lain tidak punya ambisi, hanya saja persepsinya tentang 'membangun' dirasa kurang 'realistis'. Bahayanya, bila pemimpin menganggap pembangunan sebagai 'proses mistis'. Maksudnya, banyak pemimpin di desa yang lebih mengutamakan upacara adat dengan maksud baik hanya saja pengaruhnya sangat minim bagi kesejahteraan. Pandangan ini sejalan dengan ML. Jhingan yang menganggap bahwa upacara adat yang menghamburkan banyak biaya 'tidak berguna' bagi kesejahteraan manusia.

'Efektifitas dan efisiensi', itulah yang jarang ditemukan di pemimpin 'non-teknisi'. Memimpin sering menggunakan ilusi dan intuisi tanpa perhitungan materi. Di zaman serba 'kecerdasan buatan', perhitungan untung-rugi niscaya menjadi sesuatu yang harus diikuti.

Istilah 'memanusiakan' manusia sering datang dari ilmuwan sosial. Tak jarang sikap ini menuduh para insinyur tidak melihat pembangunan dari sisi manusia. Hanya saja, jika tidak merangsang dengan kemajuan teknologi maka daya ungkit pembangunan nyaris tidak ada.

Mungkin persepsi bahwa kapitalisme merusak membuat ilmuwan sosial menjadi sinis terhadap kemajuan materi. Banyak yang mengira bahwa kemajuan membuat lubang menganga antara si kaya dan si miskin. Namun, apakah bisa kekayaan menjadi merata?

Kemajuan teknologi harus menjadi katalisator. Insinyur punya pemikiran seperti itu. Mereka layak memimpin desa bahkan yang terpencil sekalipun.


Minggu, 10 Juni 2018

Kepemimpinan di Pedesaan: Kultural atau Struktural?

Masih ada yang tidak sadar bahwa kepemimpinan tidak hanya struktural/formal tetapi juga ada/masih berlaku kepemimpinan kultural/informal di pedesaan.

Sebagai contoh,
seorang Kyai tentu saja pemimpin kultural dimana tidak ada jabatan formal yang diembannya. Namun, keputusan pembangunan di pedesaan masih dipegang olehnya. Arah pembangunan seperti apa yang diinginkan masih bergantung padanya. Setidaknya, begitulah yang terjadi di banyak desa.

Fokus perhatian kepemimpinan di pedesaan beralih dari waktu ke waktu. Siapa yang bisa memenuhi 'kebutuhan' warga maka dia yang dianggap 'layak memimpin'.

Membentuk lembaga formal _seperti lembaga non-profit_, belum tentu menjadi efektif dan efisien demi pembangunan pedesaan.

Pergeseran 'kebutuhan'. Setidaknya itulah yang  sering saya lihat di pedesaan.  Jika dahulu lembaga non-profit begitu mempengaruhi pembangunan, saat ini lembaga seperti dianggap belum bisa menjawab persoalan 'klasik' di desa.

Kita soroti masalah kemiskinan. Apakah ini bisa terselesaikan oleh lembaga non-profit? Jelas tidak.

Masalah kesejahteraan hanya bisa diselesaikan oleh lembaga profit alias perusahaan. Hanya institusi bisnis yang bisa menyediakan lapangan kerja untuk mengatasi masalah kemiskinan.

Maka dari itu, model kepemimpinan pun 'bergeser'. Jika dulu pemimpin kharismatik bisa mengatur warga desa maka sekarang pemimpin 'pemenuh kebutuhan' yang bisa menggerakan.

Pemimpin pemenuh  kebutuhan bisa lahir dari struktur pemerintahan, usahawan atau agamawan. Itu hanya sumber individunya. Namun, praktiknya lembaga apa pun bisa jadi sarana. Tidak ada patokan jelas apakah pemimpin yang masuk struktur atau di luar struktur kelembagaan yang ada yang 'dianggap layak memimpin'.

Maksudnya, jika sebuah struktur kelembagaan dibentuk pun, warga desa bisa sulit diatur. Di era demokrasi, sebuah wewenang tidak menempel otomatis pada jabatan formal.

Jangan heran jika seorang administrator pemerintahan  sekedar 'pengisi formulir' tetapi urusan  pelaksanaan 'pemimpin berpengaruh'-lah yang 'bisa menggerakan'.

Kamis, 31 Mei 2018

Apa Sarana yang Paling Cocok Untuk Perubahan Sosial di Desa Kita?

Mau lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, industri atau lembaga nirlaba, itu bergantung pada 'kebutuhan'. Setiap waktu dan tempat memiliki cerita yang berbeda. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, begitu pepatah bilang.

Pemikiran itu bercermin di desa saya sendiri. Dimana saat ini lembaga pendidikan sudah sulit untuk 'mengubah' kondisi sosial. Mungkin karena kebutuhan zaman. Dahulu pendidikan begitu 'dibutuhkan', sekarang pendidikan menjadi 'pilihan'.

Untuk itu, harus ada upaya menelaah terlebih dahulu apa kebutuhan desa kita. Perbedaan kebutuhan ini diharapkan bisa menjadi dasar untuk menentukan sarana apa yang cocok bagi perubahan sosial di desa. Bagaimana kita menelaah kebutuhan, itu juga bukan perkara gampang.

Dalam menentukan kebutuhan itu, sangat dipengaruhi oleh filsafat hidup yang dianut. Teori dengan perhitungan matematis sepertinya sulit mengukur kebutuhan itu. Namun, filsafat hidup, dimana tidak perlu perhitungan matematis, bisa menentukan dengan 'cepat'.

Filosofi desa industrialis -seperti di Jepang- berbeda dengan negara agraris -seperti di Jawa Barat- dalam menentukan kebutuhan itu. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara kita memandang "masa depan". Filosofi kaum industrialis akan melihat masa depan 'harus diciptakan'. Bagi kaum agraris, masa depan 'tercipta begitu saja'.

Sebagai contoh, saya tinggal di desa yang sama dengan orang tua saya. Kondisinya sama. Ada banyak pesawahan, hutan dan dekat dengan jalur tranportasi antar kota. Namun, orang tua saya 'keukeuh' melihat masa depan desa sebagai wilayah pertanian sebagaimana biasanya. Ayah saya banyak berinvestasi di bidang pertanian.

Saya berpikir sebaliknya. Desa ini harus menjadi desa industri. Saya melihat di masa depan akan semakin banyak orang yang membutuhkan pekerjaan. Dan itu, hanya bisa dipenuhi oleh sektor industri.

***

Melihat kondisi itu, mesti ada 'kesepemahaman' mengenai filosofi mana yang akan dianut. Untuk mengakomodirnya, perlu ada pionir/pemimpin yang membawa dan 'memaksa' ke arah perubahan yang diinginkan.

Rabu, 25 April 2018

PIKIRAN YANG GEMBIRA

Suasana pikiran yang gembira dan optimis berhadapan dengan kesulitan-kesulitan membangkitkan tenaga dalam diri kita yang dapat melawan kesulitan-kesulitan itu dan segera memungkinkan kita melihat dengan terang kembali, bertindak dengan cerdik dan mendapat hasil-hasil yang diinginkan, daripada terus jadi korban dari pikiran kalut kita sendiri dan suasana-suasana yang telah ditariknya pada kita.
Kalau anda cenderung menyalahkan suatu peristiwa kepada orang lain atau hal-hal di luar kemampuan anda -atau dikatakan "nasib buruk" -kesampingkanlah semua sikap mental yang merusak ini dan kendalikanlah diri sendiri. Bertekadlah untuk mengubah seluruh tinjaun hidup anda dalam waktu singkat. Ini dapat dilakukan.
Dan, dengan gembira anda akan menyadari bahwa tidak ada kejadian yang kebetulan itu, bahwa selamanya ada tenaga penggerak di balik kejadian yang bagaimanapun tak berarti.

(Dale Carnegie)

Selasa, 24 April 2018

PENDIDIKAN MENENGAH YANG TERABAIKAN

Di negara terbelakang, termasuk Indonesia, mengabaikan fokus pada pendidikan menengah. Profesor Lewis menganggap orang-orang dengan pendidikan menengah sebagai "perwira dan perwira cadangan" dari suatu sistem ekonomi dan sosial.
Sebagian kecil warga melanjutkan ke perguruan tinggi, tetapi jumlah personil yang diperlukan dengan pendidikan tinggi sangatlah kecil dimana rata-rata negara yang berpenduduk sampai lima juta dapat menguasainya dengan cukup baik tanpa memiliki universitas sendiri.
Pejabat bisnis tingkat menengah dan atas hampir seluruhnya terdiri dari produk sekolah menengah, dan produk ini juga merupakan tulang punggung administrasi negara.
Selain itu, pendidikan pertanian, pendidikan orang dewasa dan program latihan kerja diabaikan. Pendidikan orang dewasa akan membantu mengubah pandangan petani, mengasah keterampilannya dalam mengambil keputusan dan memberikan informasi yang diperlukan tentang praktek pertanian mutakhir.
Pada perekonomian yang berorientasi pertanian, pendidikan ini mempunyai tujuan ganda. Ia menyiapkan anak-anak berpindah ke kota untuk mendapatkan pekerjaan di bidang nonpertanian. Kedua, ia memompa keterampilan dan pengetahuan teknik pertanian yang baru dan lebih baik.
Di samping pendidikan formal, kepada anak-anak harus pula diberikan PENDIDIKAN KEJURUAN.
(Kutipan Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, ML. Jhingan. H. 526-8)