Minggu, 11 Oktober 2020

Hidup di Desa Tanpa Filosofi, Bisakah?




Manusia Indonesia yang hidup di desa, tentu saja memiliki filosofi sendiri dalam mengarungi hidupnya. Perbedaan cara pandang kita _sebagai orang desa_ terhadap desa kita perlu banyak peyesuaian.

Coba kita bayangkan, mau seperti apa kehidupan kita di desa? Diam saja menunggu seperti cara pandang orang dahulu, saya pikir sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman.

Menunggu, ya menunggu pemberian Pemerintah Pusat untuk membangun desa hanya membuat kita menjadi "beban" pembangunan. Padahal, manusia Indonesia sejatinya menjadi penggerak pembangunan itu sendiri.

Saya hanya ingin mengajak bahwa hidup di desa itu harus menjadi modal utama bagi pembangunan kehidupan secara nasional bahkan secara global. Menjadi warga pedesaan bukan lagi "takdir" buruk akibat hidup ditengah serba keterbatasan. Menjadi warga desa malah menjadi modal penting dikala sedang terjadi restrukturisasi ekonomi global akibat pandemi.

Dengan perubahan filosofi menjadi filosofi yang dinamis, maka secara teori manusia dimanapun bisa menggerakan kehidupan itu sendiri. Apatah ia hidup di padang tandus seperti pedalaman Saudi Arabia. Apalagi, kita hidup di alam Indonesia yang dikaruniai banyak "modal kehidupan".

***

Dahulu, saya berpikir jika dilahirkan di desa merupakan bentuk takdir yang "terpaksa" harus diterima. Kesulitan kehidupan di desa masih dianggap sebagai hambatan untuk mencapai kemajuan. Dalam pikiran saya _dan pikiran orang-orang sekitar_ hidup di desa tidak bisa dan tidak akan pernah mendatangkan kemajuan.

Tapi, itu dahulu. Ketika kemapanan kota masih menjanjikan banyak hal. Pandemi melanda, dan bluurrr anggapan itu buyar seketika. Kehidupan kota begitu memukul perekonomian. Kerusuhan melanda, kondisi sosial menjadi penghalang bagi pembangunan peradaban yang lebih baik.

Lalu, berdasarkan laporan-laporan penelitian berbagai Lembaga, ternyata orang desa dianggap lebih tahan terhadap dampak buruk pandemi. Hanya saja, tidak semua orang desa menyadari bahwa kemampuan bertahan mereka adalah konsep hidup yang perlu diperhitungkan. Ada tren di perkotaan untuk bercocok tanam, agar kebutuhan pangan keluarga terpenuhi. Bukankah itu kebiasaan orang desa?

Nah, filosofi orang desa yang senantiasa nrimo itu harus segera diubah. Realita membuktikan jika orang desa punya kekuatan kultural untuk mengubah arah kehidupan dunia. Peradaban tidak hanya bergantung pada orang kota, justru jantung peradaban mulai bergeser ke desa.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...