Kisah
Para Kyai dan Petani
Kisah keikhlasan para Kyai dalam membangun
masyarakat sekitarnya memang sudah banyak diceritakan di berbagai media. Sejak
dulu, mereka memiliki semangat yang tinggi untuk menginvestasikan waktu,
tenaga, pikiran dan harta demi perkembangan di kampungnya.
Sumber : madib.blog.unair.ac.id |
Sering kita menyaksikan para Kyai ini membina
warga tanpa mengharapkan imbalan. Saya sendiri merasa 'heran' sekaligus takjub
dengan apa yang dilakukannya. Berkaca pada hal ini, sekiranya kita perlu tahu
apa motifasi yang tertanam dalam nurani para Kyai ini. Usaha yang mereka lakukan bisa memberikan dampak
positif secara materil maupun imateril.
Jika kita tanya satu per satu, mungkin akan ada
banyak jawaban mengapa para Kyai ini melakukan ini semua.
Sebenarnya,
apa yang mereka harapkan atas apa yang telah dilakukannya? Kenapa mereka begitu
antusias membangun masyarakat?
Selanjutnya, mari kita perhatikan para petani. Dengan
segenap tenaga, para petani mengolah tanah, menebar benih hingga memanen
tanaman miliknya. Saya tahu persis bagaimana para petani bekerja tanpa terlalu
mengkhawatirkan kegagalan. Sering juga para petani ini mengalami gagal panen, tetapi tentu saja
mereka tidak lantas berhenti menanam. Menanam dan terus menanam, itulah yang
dilakukannya.
Entah apa yang ada dalam pikirannya, padahal
penghasilan para petani jelas tidak banyak. Banyak sekali dari mereka yang
berpenghasilan rendah.[1] Kita bisa melihat dari guratan wajahnya,
betapa tidak mudah menjadi petani. Beban hidup yang ditanggung pun tidaklah
kecil. Namun, ada 'sesuatu' yang mendorong mereka untuk tidak berhenti menyediakan
pangan untuk kebutuhan keluarga dan masyarakat luas.
Antusiasme
untuk Membangun
Usaha pembangunan memerlukan peran serta semua
pihak. Usaha pembangunan bukan hanya tugas dari Pemerintah saja tetapi juga
masyarakat hingga lapisan terendah. Hanya saja, terkadang kita tidak menyadari
ini sehingga ada sikap tidak peduli atas proses pembangunan yang sedang
terjadi. Banyak diantara kita yang mempunyai sikap menunggu hasil
pembangunan itu.
Anggota masyarakat yang kurang antusias untuk
berperan serta dalam kegiatan pembangunan bisa menjadi penghambat proses
pembangunan.[2] Sudah selayaknya, sebagai warga negara kita
mempunyai keinginan kuat untuk menjadikan negerinya maju dan berkembang. Dorongan
kuat untuk berkembang idealnya menjadi bagian dari karakter bangsa.
Namun, sepertinya motifasi itu belum tumbuh di tengah masyarakat.
Sikap kurang antusias ini bisa jadi adalah buah
dari pola pendidikan dimana tidak menekankan peran setiap invidu sebagai insan
pembangunan. Peserta didik tidak dibawa pada realita kehidupan di sekelilingnya.
Mungkin, untuk itu Kurikulum 2013 dibentuk yakni untuk menumbuhkan karakter
individu yan kreatif, inovatif dan berkesadaran.[3]
Kondisi sosial budaya yang tidak menumbuhkan
antusiasme untuk membangun sebaiknya tidak "dipelihara". Mulai saat
ini, kita pilah mana budaya bangsa yang bisa membawa ke arah kemajuan dan
tinggalkan hal-hal yang justru merusaknya. Untuk itu, harus ada upaya untuk menumbuhkan
budaya baik demi mendukung pembangunan.
Motifasi Membangun Dimulai Dari Diri Sendiri
Usaha menumbuhkan budaya baik itu bisa
kita mulai dari diri sendiri dengan menumbuhkan motifasi untuk senantiasa
membangun. Motifasi yang baik tentu saja akan menghasilkan budaya yang baik
pula. Dalam keseharian, kita bisa saja kesulitan untuk menumbuhkan motifasi itu
karena kita sendiri belum tahu apa motifasi yang ada dalam diri kita.
Setiap individu mempunyai motifasi yang khas
dalam dirinya. Setiap orang berbeda satu sama lain atas motifasi apa yang
'layak' bagi dirinya. Menurut Victor Frankl, yang menjadi motifasi utama setiap
manusia adalah mencari makna dari kehidupan ini.[4] Ada 3 cara bagaimana kita mencari makna : (1)
dengan menciptakan sebuah karya atau melakukan perbuatan, (2) dengan mengalami
sesuatu atau menghadapi seseorang, (3) dengan mengambil sikap atas penderitaan
yang tidak dapat dihindari.[5] Ketika dia bisa menjawab "kenapa dia
hidup?" maka dia juga bisa menjawab pertanyaan "bagaimana seharusnya
dia hidup?". Hal mendasar inilah yang bisa membangkitkan setiap manusia
untuk memaksimalkan peran bagi dirinya sendiri dan perannya di masyarakat.
Siapa pun di dunia ini tidak akan terlepas dari
peran diri mereka dalam anggota
masyarakat. Peran anggota masyarakat itu menjadi 'penguat' bagi keutuhan
masyarakat secara keseluruhan.
Pembangunan adalah Sebuah Proses Sedikit Demi Sedikit
Membangun adalah jalan setapak yang membentuk
sebuah proses, bukan sebuah produk, karena selama hidup kita, tidak ada
tujuan akhir ketika semuanya terhenti. Janganlah kita mengira bahwa membangun
kehidupan ini ada 'akhir ' yang akan dituju. Pembangunan ini merupakan proses
tiada henti dimana akan ada proses lanjutan dikala kita sudah tidak sanggup
lagi untuk membangun.
Dimasa depan, akan ada anak-cucu kita yang
meneruskan proses ini. Sebagaimana kita baca di buku sejarah, apabila suatu
masyarakat berhenti membangun maka itu sudah menjadi awal dari kehancuran suatu
peradaban. Setiap upaya yang telah kita lakukan adalah investasi masa depan bagi
keberlangsungan hidup itu sendiri, walaupun upaya itu kecil. Ya, memang akan
terlihat kecil jika dilihat secara kasat mata padahal itu adalah bagian kecil
dari sebuah bangunan yang besar. Jika bagian kecil itu tidak ada dalam bangunan
besar maka kerapuhan akan segera menghinggapinya.
Karya sekecil apapun bisa menjadi
berarti apabila kita memaknainya. Upaya kecil itu memberikan makna bahwa 'jika
saya tidak melakukannya maka proses pembangunan tidak akan selancar yang
direncanakan'. Maka, laklukanlah upaya itu. Jangan pernah kita mendengarkan
orang-orang yang mencibir upaya sederhana kita itu. Mereka yang mencibir akan
merasa malu sendiri ketika upaya kita berbuah hasil yang besar karena didorong
oleh keinginan yang besar.
Kehidupan kita terkait dengan orang
lain, itulah yang mesti disadari. Coba kita pikirkan jika kita tidak terkait
dengan orang lain? Secara alami, manusia tidak bisa berbuat banyak tanpa adanya
orang lain. Karena kita saling membutuhkan. Membangun, berarti membantu orang
lain. Mungkin, kita beranggapan bahwa orang-orang yang membangun adalah para
pengumpul harta kekayaan. Padahal, dengan kerendahan hati mereka investasikan
asset pribadinya untuk dimanfaatkan oleh banyak orang.
Profesi sebagai panggilan kemanusiaan, karena
yang kita pikirkan tidak hanya diri pribadi dan orang-orang terdekat. Dari
sekian banyak problematika, peran kita juga menentukan untuk mengisi setiap
sisi kehidupan. Terkadang, kita tidak sadar bahwa manusia hidup dalam
kebersamaan sehingga tidak berpikir bahwa apa yang kita kerjakan pada dasarnya
berpengaruh besar bagi kehidupan banyak orang.
Bagaimanapun,
proses kehidupan ini sebaiknya dinikmati bukan sebagai keterpaksaan. Suatu hal
yang terkesan 'aneh', dalam budaya kita suka memisahkan antara bekerja dan
bersenang-senang, antara profesi dan rekreasi. [6] Setiap hal yang kita lakukan sebenarnya adalah
bagian 'acara bersenang'. Jika semua proses itu dinikmati maka sebenarnya tak
pernah ada hari tanpa bersenang-senang. Apabila profesi yang dijalani bukan
sebagai paksaan, diharapkan memberikan hasil yang maksimal.
Sikap kita lebih dari sekedar "kesiapan
untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada kita." Kita menganggap
tugas kita sebagai pelayanan terhadap tujuan yang lebih mulia. Sikap kita
terhadap pekerjaan dan terhadap "kebosanan" di dalamnya, lebih dari
sekedar latihan dalam berpikir positif. Kita melihat tanggung jawab dalam
setiap profesi sebagai sebuah misi pribadi, misi untuk menyelamatkan hidup,
sesuatu yang bisa dipenuhi oleh kita. Memberi makna pada pekerjaan,
dalam konteks ini berarti lebih dari sekadar menyelesaikan sebuah tugas untuk
memperoleh imbalan nyata, seperti uang, pengaruh, status atau gengsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...