Rabu, 07 Januari 2015

Makna Dibalik Setiap Usaha Pembangunan

Kisah Para Kyai dan Petani
Kisah keikhlasan para Kyai dalam membangun masyarakat sekitarnya memang sudah banyak diceritakan di berbagai media. Sejak dulu, mereka memiliki semangat yang tinggi untuk menginvestasikan waktu, tenaga, pikiran dan harta demi perkembangan di kampungnya.
Sumber : madib.blog.unair.ac.id
Sering kita menyaksikan para Kyai ini membina warga tanpa mengharapkan imbalan. Saya sendiri merasa 'heran' sekaligus takjub dengan apa yang dilakukannya. Berkaca pada hal ini, sekiranya kita perlu tahu apa motifasi yang tertanam dalam nurani para Kyai ini.  Usaha yang mereka lakukan bisa memberikan dampak positif secara materil maupun imateril.
Jika kita tanya satu per satu, mungkin akan ada banyak jawaban mengapa para Kyai ini melakukan ini semua.
Sebenarnya, apa yang mereka harapkan atas apa yang telah dilakukannya? Kenapa mereka begitu antusias membangun masyarakat?
Selanjutnya, mari kita perhatikan para petani. Dengan segenap tenaga, para petani mengolah tanah, menebar benih hingga memanen tanaman miliknya. Saya tahu persis bagaimana para petani bekerja tanpa terlalu mengkhawatirkan kegagalan. Sering juga para petani  ini mengalami gagal panen, tetapi tentu saja mereka tidak lantas berhenti menanam. Menanam dan terus menanam, itulah yang dilakukannya.
Entah apa yang ada dalam pikirannya, padahal penghasilan para petani jelas tidak banyak. Banyak sekali dari mereka yang berpenghasilan rendah.[1] Kita bisa melihat dari guratan wajahnya, betapa tidak mudah menjadi petani. Beban hidup yang ditanggung pun tidaklah kecil. Namun, ada 'sesuatu' yang mendorong mereka untuk tidak berhenti menyediakan pangan untuk kebutuhan keluarga dan masyarakat luas.
Antusiasme untuk Membangun
Usaha pembangunan memerlukan peran serta semua pihak. Usaha pembangunan bukan hanya tugas dari Pemerintah saja tetapi juga masyarakat hingga lapisan terendah. Hanya saja, terkadang kita tidak menyadari ini sehingga ada sikap tidak peduli atas proses pembangunan yang sedang terjadi. Banyak diantara kita yang mempunyai sikap menunggu hasil pembangunan itu.
Anggota masyarakat yang kurang antusias untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan bisa menjadi penghambat proses pembangunan.[2] Sudah selayaknya, sebagai warga negara kita mempunyai keinginan kuat untuk menjadikan negerinya maju dan berkembang. Dorongan kuat untuk berkembang idealnya menjadi bagian dari karakter bangsa. Namun, sepertinya motifasi itu belum tumbuh di tengah masyarakat.
Sikap kurang antusias ini bisa jadi adalah buah dari pola pendidikan dimana tidak menekankan peran setiap invidu sebagai insan pembangunan. Peserta didik tidak dibawa pada realita kehidupan di sekelilingnya. Mungkin, untuk itu Kurikulum 2013 dibentuk yakni untuk menumbuhkan karakter individu yan kreatif, inovatif dan berkesadaran.[3]
Kondisi sosial budaya yang tidak menumbuhkan antusiasme untuk membangun sebaiknya tidak "dipelihara". Mulai saat ini, kita pilah mana budaya bangsa yang bisa membawa ke arah kemajuan dan tinggalkan hal-hal yang justru merusaknya. Untuk itu, harus ada upaya untuk menumbuhkan budaya baik demi mendukung pembangunan.
Motifasi Membangun Dimulai Dari Diri Sendiri
Usaha menumbuhkan budaya baik itu bisa kita mulai dari diri sendiri dengan menumbuhkan motifasi untuk senantiasa membangun. Motifasi yang baik tentu saja akan menghasilkan budaya yang baik pula. Dalam keseharian, kita bisa saja kesulitan untuk menumbuhkan motifasi itu karena kita sendiri belum tahu apa motifasi yang ada dalam diri kita.
Setiap individu mempunyai motifasi yang khas dalam dirinya. Setiap orang berbeda satu sama lain atas motifasi apa yang 'layak' bagi dirinya. Menurut Victor Frankl, yang menjadi motifasi utama setiap manusia adalah mencari makna dari kehidupan ini.[4] Ada 3 cara bagaimana kita mencari makna : (1) dengan menciptakan sebuah karya atau melakukan perbuatan, (2) dengan mengalami sesuatu atau menghadapi seseorang, (3) dengan mengambil sikap atas penderitaan yang tidak dapat dihindari.[5] Ketika dia bisa menjawab "kenapa dia hidup?" maka dia juga bisa menjawab pertanyaan "bagaimana seharusnya dia hidup?". Hal mendasar inilah yang bisa membangkitkan setiap manusia untuk memaksimalkan peran bagi dirinya sendiri dan perannya di masyarakat.
Siapa pun di dunia ini tidak akan terlepas dari peran diri mereka  dalam anggota masyarakat. Peran anggota masyarakat itu menjadi 'penguat' bagi keutuhan masyarakat secara keseluruhan.
Pembangunan adalah Sebuah Proses Sedikit Demi Sedikit
Membangun adalah jalan setapak yang membentuk sebuah proses, bukan sebuah produk, karena selama hidup kita, tidak ada tujuan akhir ketika semuanya terhenti. Janganlah kita mengira bahwa membangun kehidupan ini ada 'akhir ' yang akan dituju. Pembangunan ini merupakan proses tiada henti dimana akan ada proses lanjutan dikala kita sudah tidak sanggup lagi untuk membangun.
Dimasa depan, akan ada anak-cucu kita yang meneruskan proses ini. Sebagaimana kita baca di buku sejarah, apabila suatu masyarakat berhenti membangun maka itu sudah menjadi awal dari kehancuran suatu peradaban. Setiap upaya yang telah kita lakukan adalah investasi masa depan bagi keberlangsungan hidup itu sendiri, walaupun upaya itu kecil. Ya, memang akan terlihat kecil jika dilihat secara kasat mata padahal itu adalah bagian kecil dari sebuah bangunan yang besar. Jika bagian kecil itu tidak ada dalam bangunan besar maka kerapuhan akan segera menghinggapinya.
Karya sekecil apapun bisa menjadi berarti apabila kita memaknainya. Upaya kecil itu memberikan makna bahwa 'jika saya tidak melakukannya maka proses pembangunan tidak akan selancar yang direncanakan'. Maka, laklukanlah upaya itu. Jangan pernah kita mendengarkan orang-orang yang mencibir upaya sederhana kita itu. Mereka yang mencibir akan merasa malu sendiri ketika upaya kita berbuah hasil yang besar karena didorong oleh keinginan yang besar.
Kehidupan kita terkait dengan orang lain, itulah yang mesti disadari. Coba kita pikirkan jika kita tidak terkait dengan orang lain? Secara alami, manusia tidak bisa berbuat banyak tanpa adanya orang lain. Karena kita saling membutuhkan. Membangun, berarti membantu orang lain. Mungkin, kita beranggapan bahwa orang-orang yang membangun adalah para pengumpul harta kekayaan. Padahal, dengan kerendahan hati mereka investasikan asset pribadinya untuk dimanfaatkan oleh banyak orang.
Profesi sebagai panggilan kemanusiaan, karena yang kita pikirkan tidak hanya diri pribadi dan orang-orang terdekat. Dari sekian banyak problematika, peran kita juga menentukan untuk mengisi setiap sisi kehidupan. Terkadang, kita tidak sadar bahwa manusia hidup dalam kebersamaan sehingga tidak berpikir bahwa apa yang kita kerjakan pada dasarnya berpengaruh besar bagi kehidupan banyak orang.
Bagaimanapun, proses kehidupan ini sebaiknya dinikmati bukan sebagai keterpaksaan. Suatu hal yang terkesan 'aneh', dalam budaya kita suka memisahkan antara bekerja dan bersenang-senang, antara profesi dan rekreasi. [6] Setiap hal yang kita lakukan sebenarnya adalah bagian 'acara bersenang'. Jika semua proses itu dinikmati maka sebenarnya tak pernah ada hari tanpa bersenang-senang. Apabila profesi yang dijalani bukan sebagai paksaan, diharapkan memberikan hasil yang maksimal.
Sikap kita lebih dari sekedar "kesiapan untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada kita." Kita menganggap tugas kita sebagai pelayanan terhadap tujuan yang lebih mulia. Sikap kita terhadap pekerjaan dan terhadap "kebosanan" di dalamnya, lebih dari sekedar latihan dalam berpikir positif. Kita melihat tanggung jawab dalam setiap profesi sebagai sebuah misi pribadi, misi untuk menyelamatkan hidup, sesuatu yang bisa dipenuhi oleh kita. Memberi makna pada pekerjaan, dalam konteks ini berarti lebih dari sekadar menyelesaikan sebuah tugas untuk memperoleh imbalan nyata, seperti uang, pengaruh, status atau gengsi.



[1] Pikiran Rakyat, 28 November 2014.
[2] ML. Jhingan, Ekonomi dan Pembangunan, hal. 47-48
[3] Depdiknas, Prakarya dan Kewirausahaan untuk SLTA
[4] Man's Serching for Meaning, hal. 49
[5] Frankl, op.cit. hal. 50
[6] Ibid., hal. 128

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...