Minggu, 21 Desember 2014

Keengganan Mendirikan Usaha: Keengganan Memimpin

Ada suatu realita unik dalam masyarakat kita, dimana banyak orang yang memiliki modal namun enggan untuk mendirikan usaha. Begitu banyak alasan yang bisa dikemukakan atas situasi yang sedang terjadi.

Berawal dari bagaimana seseorang berpikir. Cara pandang sebagian anggota masyarakat akan berwirausaha turut serta menjadikan mereka enggan untuk mendirikan perusahaan, meskipun secara finansial mereka mampu.
Pada kesempatan ini saya akan menilai pada satu aspek saja yakni bagaimana masyarakat kita menganggap arti penting pemberdayaan diri pribadi dan lingkungannya. Pemberdayaan diri tentu saja erat kaitannya dengan sikap percaya diri dan yakin akan kemampuan dirinya sendiri. Orang-orang yang berdaya bukanlah orang yang inferior _atau rendah diri_.
Saya curiga sikap inferior masih menjangkiti sebagian masyarakat. Begitu banyak ketertinggalan yang dialami belum mampu untuk dikejar. Sikap inferior ini tentu saja bisa memberikan penilaian negatif terhadap kemampuan diri sendiri. Berkenaan dengan pembahasan essay ini, ketidakerpacayan diri untuk menjadi pemimpin bisa saja mempunyai hubungan dengan keengganan seseorang untuk mendirikan perusahaan.
Sudah menjadi kepastian, bahwa menjadi seorang pengusaha sekaligus menjadi seorang pemimpin meskipun hanya memimpin dirinya sendiri. [1] Misal, seorang tukang nasi goreng yang berjualan dengan gerobak. Dia harus bisa memimpin dirinya sendiri untuk lebih disiplin. Si tukang nasi goreng tidak diperintah oleh siapa pun tetapi dia sendiri yang 'memerintah' jiwa dan raganya untuk mengerjakan setiap tugas yang dibebankan dirinya sendiri.
Kata yang 'magis' dari 'pemimpin' seakan berpengaruh pada cara pandang seseorang tentang apa pemimpin itu. Ada anggapan bahwa menjadi pemimpin adalah sama dengan mendekatkan diri pada api neraka. Dalam banyak kesempatan, ulama senantiasa mewanti-wanti betapa beratnya tanggung jawab sebagai pemimpin. Harus diakui, ulama kita cenderung mengulang-ulang hadist Nabi tentang kepemimpinan namun tidak membahas bagaimana konsep kepemimpinan itu diterapkan dalam kehidupan keseharian.
Konsep kepemimpinan hanya diidentikan dengan organisasi keagamaan dan pemerintahan. Para pemimpin seakan ditempatkan pada posisi istimewa sehingga tidak banyak orang yang 'siap' untuk menempati posisi itu. Anggapan 'magis' tadi juga mempengaruhi cara pandang orang bahwa pemimpin merupakan sosok yang harus ditempatkan di tempat terhormat. Para pemimpin tidak layak untuk 'menjadi kaya' karena harus merasakan kesusahan orang yang dipimpinnya. Bagi sebagian masyarakat, pemimpin adalah orang-orang yang tidak lagi memikirkan permasalahan duniawi sehingga kebutuhan hidupnya ditanggung oleh ummat. Betulkah begitu?
Cara pandang masyarakat ini berimbas pada bagaimana mereka menempatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Orang lebih suka 'cari aman saja' jika dihadapkan dalam persoalan kepemimpinan ini. Di tengah masyarakat, kebanyakan kita hanya menenmpatkan diri sebagai 'pengikut'. Pragamatisme ini membuat kita hanya ingin senangnya saja tetapi tidak bersedia ketika diberi tanggung jawab lebih.[2]
Menjadi pemimpin mempunyai tanggung jawab besar bila  dibandingkan dengan orang di sekelilingnya. Ketidak siapan ini menciutkan nyali seseorang untuk berbuat lebih banyak yang sudah diperbuatnya. Dapat dipahami, para pengusaha yang sudah punya sedikit karyawan enggan untuk menambah skala usahanya karena enggan untuk memperbesar tanggung jawabnya. Padahal, dengan menambah skala usaha maka dia bisa menambah manfaat atas keberadaan perusahaannya. Dalam kesehariannya, ada banyak orang yang menerima keuntungan atas produk yang dijual. Para karyawan, distributor, agen, pengecer hingga pembeli pun akan memperolah manfaat atas usahanya.
Individualisme?[3]
Menjadi pengusaha berarti memikirkan 'nasib' orang lain yang ada di bawah pengaruhnya. Turut serta untuk memecahkan permasalahan yang dialami banyak orang adalah suatu nilai kehidupan yang sangat berharga. Perlu diketahui, tidak banyak orang yang bisa melakukan hal itu. Solusi atas banyak permasalahan bisa diselesaikan sekaligus dengan berjalannya suatu perusahaan. Ada banyak orang ingin punya rumah, menikah, sekolah dan sebagainya bisa diselesaikan apabila kita membuka lapangan kerja bagi orang tersebut. Luar biasa kan?
Sudah menjadi opini umum, bahwa sikap peduli kepada sesama adalah dengan memberikan sedekah kepada orang yang tidak mampu secara ekonomi. Benarkah hanya itu? Kepedulian itu lahir dari kesadaran bahwa manusia saling berhubungan satu sama lain. Albert Einstein mengatakan bahwa kepedulian sejati adalah kepedulian kepada seluruh eksistensi, terhadap setiap butir debu sekalipun yang ada di dalamnya. Ilmu pengetahuan menunjukan bahwa kita semua berpartisipasi, menunjukan kepada kita bahwa kita semua bagian satu sama lain. Saya adalah pelindung saudara saya karena saya adalah saudara saya.
Bukankah apabila kita peduli kepada orang lain berarti kita turut serta memikirkan 'eksistensi' orang lain. Selalu ada keinginan memberikan solusi atas masalah orang lain.  Saya pikir, jangan pernah berpikir bahwa menjadi pengusaha adalah identik dengan 'mengumpulkan harta kekayaan'. Menjadi pengusaha adalah mengoptimalkan potensi kehidupan sehingga bisa memberikan 'pengaruh' baik bagi masyarakat.
Masalahnya, beranikah kita menjadi pemimpin bagi saudara kita. Bukan bermaksud untuk menjadi penguasa semata, tetapi orang terdepan yang menyodorkan solusi bagi kehidupan. Bukankah orang yang terbaik adalah orang yang memberikan manfaat bagi sesamanya. Keberanian kita untuk 'beribadah' sangat diperlukan bukan hanya menjadi orang yang biasa saja dalam beribadah. Seperti para mujahid, ibadah akan maksimal jika disertai dengan upaya memperbaiki kondisi ummat.
Walaupun kita tidak punya rencana memimpin, namun ummat sangat membutuhkannya.[4] Rencana memimpin bisa saja dicanangkan dari sekarang ketika situasi mendorong kita untuk melakukannya.
Pemimpin Berarti Mempunyai Visi dan Nilai
Dalam pikiran manusia, tertanam suatu nilai dan visi yang akan membimbingnya ke arah kehidupan yang lebih baik.[5] Visi dan nilai yang dimaksud adalah bagaimana seorang pengusaha bisa menjadikan bisnisnya sebagai tempat untuk memelihara persahabatan, melayani, kebahagiaan, persamaan hak dan sebagainya.
Ada banyak nilai yang dianut oleh manusia di dunia. Nilai-nilai yang dianut  selalu bersifat positif maka hasil yang diharapkan positif pula. Bergantung pada niat masing-masing, untuk apa dia mendirikan usaha itu. Motifasi mendapatkan keuntungan semata sepertinya tidak bisa menjadi pembimbing karena usaha bisa saja mengalami kerugian. Ada alasan kuat dan fundamental mengenai kenapa perusahaan harus didirikan.
Sebauh perusahaan bisa saja didirikan dengan maksud untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Juga, sebuah perusahaan bisa saja didirikan dengan alasan untuk memanfaatkan potensi alam yang dimiliki lingkungan sekitarnya. Apapun itu, semangat untuk membangun layaknya ada dalam diri para pengusaha karena mereka berperan penting dalam proses pembangunan terlepas besar atau kecilnya peran itu.



[1] Danah Zohar dan Ian Marshall, Spiritual Capital, 2005, Mizan, Bandung: hal. 344
[2] Ibid. hal. 151-154
[3] Ibid. hal. 238 
[4] Andi Mappiare,Psikologi Orang Dewasa, Usaha Nasional, Surabaya: hal. 40.
[5] Danah Zohar, op.cit. hal. 224-225

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...