Ada suatu realita unik
dalam masyarakat kita, dimana banyak orang yang memiliki modal namun enggan
untuk mendirikan usaha. Begitu banyak alasan yang bisa dikemukakan atas situasi
yang sedang terjadi.
Berawal dari bagaimana seseorang berpikir. Cara
pandang sebagian anggota masyarakat akan berwirausaha turut serta menjadikan
mereka enggan untuk mendirikan perusahaan, meskipun secara finansial mereka
mampu.
Pada kesempatan ini saya akan menilai pada satu
aspek saja yakni bagaimana masyarakat kita menganggap arti penting pemberdayaan
diri pribadi dan lingkungannya. Pemberdayaan diri tentu saja erat kaitannya
dengan sikap percaya diri dan yakin akan kemampuan dirinya sendiri. Orang-orang
yang berdaya bukanlah orang yang inferior _atau rendah diri_.
Saya curiga sikap inferior masih menjangkiti
sebagian masyarakat. Begitu banyak ketertinggalan yang dialami belum mampu
untuk dikejar. Sikap inferior ini tentu saja bisa memberikan penilaian negatif
terhadap kemampuan diri sendiri. Berkenaan dengan pembahasan essay ini, ketidakerpacayan
diri untuk menjadi pemimpin bisa saja mempunyai hubungan dengan keengganan
seseorang untuk mendirikan perusahaan.
Sudah menjadi kepastian, bahwa menjadi seorang
pengusaha sekaligus menjadi seorang pemimpin meskipun hanya memimpin dirinya
sendiri. [1] Misal, seorang tukang nasi goreng yang
berjualan dengan gerobak. Dia harus bisa memimpin dirinya sendiri untuk lebih
disiplin. Si tukang nasi goreng tidak diperintah oleh siapa pun tetapi dia
sendiri yang 'memerintah' jiwa dan raganya untuk mengerjakan setiap tugas yang
dibebankan dirinya sendiri.
Kata yang 'magis' dari 'pemimpin' seakan
berpengaruh pada cara pandang seseorang tentang apa pemimpin itu. Ada anggapan
bahwa menjadi pemimpin adalah sama dengan mendekatkan diri pada api neraka.
Dalam banyak kesempatan, ulama senantiasa mewanti-wanti betapa beratnya
tanggung jawab sebagai pemimpin. Harus diakui, ulama kita cenderung
mengulang-ulang hadist Nabi tentang kepemimpinan namun tidak membahas bagaimana
konsep kepemimpinan itu diterapkan dalam kehidupan keseharian.
Konsep kepemimpinan hanya diidentikan dengan organisasi
keagamaan dan pemerintahan. Para pemimpin seakan ditempatkan pada posisi
istimewa sehingga tidak banyak orang yang 'siap' untuk menempati posisi itu. Anggapan
'magis' tadi juga mempengaruhi cara pandang orang bahwa pemimpin merupakan
sosok yang harus ditempatkan di tempat terhormat. Para pemimpin tidak layak
untuk 'menjadi kaya' karena harus merasakan kesusahan orang yang dipimpinnya. Bagi
sebagian masyarakat, pemimpin adalah orang-orang yang tidak lagi memikirkan permasalahan
duniawi sehingga kebutuhan hidupnya ditanggung oleh ummat. Betulkah begitu?
Cara pandang masyarakat ini berimbas pada
bagaimana mereka menempatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Orang lebih
suka 'cari aman saja' jika dihadapkan dalam persoalan kepemimpinan ini. Di
tengah masyarakat, kebanyakan kita hanya menenmpatkan diri sebagai 'pengikut'.
Pragamatisme ini membuat kita hanya ingin senangnya saja tetapi tidak bersedia
ketika diberi tanggung jawab lebih.[2]
Menjadi pemimpin mempunyai tanggung jawab besar
bila dibandingkan dengan orang di
sekelilingnya. Ketidak siapan ini menciutkan nyali seseorang untuk berbuat
lebih banyak yang sudah diperbuatnya. Dapat dipahami, para pengusaha yang sudah
punya sedikit karyawan enggan untuk menambah skala usahanya karena enggan untuk
memperbesar tanggung jawabnya. Padahal, dengan menambah skala usaha maka dia
bisa menambah manfaat atas keberadaan perusahaannya. Dalam kesehariannya, ada
banyak orang yang menerima keuntungan atas produk yang dijual. Para karyawan,
distributor, agen, pengecer hingga pembeli pun akan memperolah manfaat atas
usahanya.
Individualisme?[3]
Menjadi pengusaha berarti memikirkan 'nasib'
orang lain yang ada di bawah pengaruhnya. Turut serta untuk memecahkan
permasalahan yang dialami banyak orang adalah suatu nilai kehidupan yang sangat
berharga. Perlu diketahui, tidak banyak orang yang bisa melakukan hal itu. Solusi
atas banyak permasalahan bisa diselesaikan sekaligus dengan berjalannya suatu
perusahaan. Ada banyak orang ingin punya rumah, menikah, sekolah dan sebagainya
bisa diselesaikan apabila kita membuka lapangan kerja bagi orang tersebut. Luar
biasa kan?
Sudah menjadi opini umum, bahwa sikap peduli
kepada sesama adalah dengan memberikan sedekah kepada orang yang tidak mampu
secara ekonomi. Benarkah hanya itu? Kepedulian itu lahir dari kesadaran bahwa
manusia saling berhubungan satu sama lain. Albert Einstein mengatakan bahwa
kepedulian sejati adalah kepedulian kepada seluruh eksistensi, terhadap setiap
butir debu sekalipun yang ada di dalamnya. Ilmu pengetahuan menunjukan bahwa
kita semua berpartisipasi, menunjukan kepada kita bahwa kita semua bagian satu
sama lain. Saya adalah pelindung saudara saya karena saya adalah saudara saya.
Bukankah apabila kita peduli kepada orang lain
berarti kita turut serta memikirkan 'eksistensi' orang lain. Selalu ada
keinginan memberikan solusi atas masalah orang lain. Saya pikir, jangan pernah berpikir bahwa
menjadi pengusaha adalah identik dengan 'mengumpulkan harta kekayaan'. Menjadi
pengusaha adalah mengoptimalkan potensi kehidupan sehingga bisa memberikan
'pengaruh' baik bagi masyarakat.
Masalahnya, beranikah kita menjadi pemimpin
bagi saudara kita. Bukan bermaksud untuk menjadi penguasa semata, tetapi orang
terdepan yang menyodorkan solusi bagi kehidupan. Bukankah orang yang terbaik
adalah orang yang memberikan manfaat bagi sesamanya. Keberanian kita untuk
'beribadah' sangat diperlukan bukan hanya menjadi orang yang biasa saja dalam
beribadah. Seperti para mujahid, ibadah akan maksimal jika disertai dengan
upaya memperbaiki kondisi ummat.
Walaupun kita tidak punya rencana memimpin,
namun ummat sangat membutuhkannya.[4] Rencana memimpin bisa saja dicanangkan dari sekarang
ketika situasi mendorong kita untuk melakukannya.
Pemimpin Berarti Mempunyai Visi dan Nilai
Dalam pikiran manusia, tertanam suatu nilai dan
visi yang akan membimbingnya ke arah kehidupan yang lebih baik.[5] Visi dan nilai yang dimaksud adalah bagaimana
seorang pengusaha bisa menjadikan bisnisnya sebagai tempat untuk memelihara
persahabatan, melayani, kebahagiaan, persamaan hak dan sebagainya.
Ada banyak nilai yang dianut oleh manusia di
dunia. Nilai-nilai yang dianut selalu
bersifat positif maka hasil yang diharapkan positif pula. Bergantung pada niat
masing-masing, untuk apa dia mendirikan usaha itu. Motifasi mendapatkan
keuntungan semata sepertinya tidak bisa menjadi pembimbing karena usaha bisa
saja mengalami kerugian. Ada alasan kuat dan fundamental mengenai kenapa perusahaan
harus didirikan.
Sebauh perusahaan bisa saja didirikan dengan
maksud untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Juga, sebuah perusahaan bisa
saja didirikan dengan alasan untuk memanfaatkan potensi alam yang dimiliki
lingkungan sekitarnya. Apapun itu, semangat untuk membangun layaknya ada dalam
diri para pengusaha karena mereka berperan penting dalam proses pembangunan
terlepas besar atau kecilnya peran itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...