Minggu, 14 Desember 2014

Pola Pembangunan Para Konglomerat

"Diatas kesakralan properti, peradaban bergantung."
(Andrew Carnegie, 1889)

Hal yang menarik untuk dicermati, bagaimana para konglomerat menjalankan bisnisnya. Namun, hal yang harus pertama kita ketahui adalah 'apa yang ada di pikiran para konglomerat ini'. Hanya saja, kita tidak punya cara untuk mengetahui isi pikiran mereka. Mengetahui pola pembangunan kehidupannya adalah hal yang paling mungkin dilakukan.
Para konglomerat ini mempunyai peranan kunci dalam proses pembangunan masyarakat. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan, sebaiknya kita tidak perlu menilai para konglomerat sebagai 'pribadi yang serakah'. Pemikiran picik itu datang karena kita tidak bisa menerima 'jasa' mereka sebagai lokomotif pembangunan. Sosok-sosok kreatif seperti mereka masih diperlukan di era modern seperti sekarang ini. Terlepas dari kontroversi yang mungkin timbul, alangkah baiknya jika kita bisa mengambil pelajaran penting dari apa yang telah mereka lakukan.
Carnegie dan Era Baja
Salah satu orang yang akan  saya bicarakan disini adalah Andrew Carnegie. Pria kelahiran Skotlandia ini adalah seorang yang kaya dengan membangun korporasi pabrik besi dan baja terbesar di seluruh Amerika. Carnegie datang dari Skotlandia saat ia masih bocah berumur 12 tahun. Ia memulai kariernya dengan bekerja sebagai seorang pesuruh di pabrik kapas, yang kemudian berlanjut dengan menjadi karyawan di sebuah kantor telegraf dan di perusahaan Pennsylvania Railroad. Pada tahun 1865, ketika umurnya belum mencapai 30 tahun, ia sudah melakukan investasi yang sangat pintar dan berpandangan jauh ke depan. Ia berkonsentrasi pada besi. Dalam beberapa tahun saja ia telah menguasai atau memiliki saham di perusahaan yang membangun jembatan besi, rel kereta api dan lokomotif. Sepuluh tahun kemudian, pabrik baja yang ia bangun di Sungai Monongahela di Pennsylvania menjadi yang terbesar di Amerika.
Kekuasaan Carnegie tidak terbatas pada pabrik-pabrik baja saja. Ia juga menguasai bisnis batu bara dan arang, biji besi dari Danau Superior, satu armada kapal uap di Danau Besar, kota pelabuhan di Danau Erie, serta jalur rel kereta api yang saling berhubungan. Perusahaan Carnegie, bersama belasan perusahaan sekutunya, bisa meminta perjanjian yang menguntungkan dari perusahaan kereta api dan pelayaran. Pertumbuhan industri yang tak tertandingi seperti ini tak pernah terjadi sebelumnya di Amerika.[1]
Liem Sioe Liong
Lahirnya Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) No. 1 Tahun 1967 serta Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Tahun 1968, telah memberikan angin segar yang berhasil merangsang para pemilik modal untuk mengembangkan dunia usaha di Indonesia. Kesempatan emas ini ternyata tidak disia-siakan oleh para pengusaha (dalam dan luar negeri) termasuk diantaranya Liem Sioe Liong alis Sudono Salim, yang pada tahun 1945-1949 hanya dikenal sebagai pemasok utama kebutuhan Divisi Diponegoro di Jawa Tengah.
Namun, dalam waktu singkat semenjak Pemerintahan Orde Baru, pengusaha kelahiran Fujien, RRC ini berhasil membangun imperium bisnis di Indonesia dan luar negeri. Melalui Salim Economic Development Coorporation (SEDC) di Jakarta dan First Pacific Company di Hong Kong, Liem Sioe Liong telah mengembangkan usahanya sedemikian rupa.[2]
Ada Peran Wirausahawan dalam Pembangunan
Kata wiraswasta atau 'pengusaha' diambil dari bahasa Perancis 'entreupreuneur' yang padamulanya berarti pemimpin musik atau pertunjukan lainnya. Dalam ilmu ekonomi, seorang pengusaha berarti seorang pemimpin ekonomi yang mempunyai kemampuan untuk mendapatkan peluang secara berhasil memperkenalkan mata dangan baru, teknik baru, sumber pemasukan baru, juga merangkum pabrik, peralatan, manajemen dan tenaga buruh yang diperlukan serta mengorganisasikannya kedalam suatu teknik pengoperasian.
Apapun bentuk tatanan ekonomi dan politik suatu negara, kewirasawastaan merupakan faktor penting bagi pembangunan ekonomi. Di negara sosialis, negara bertindak sebagai pengusaha. Begitu juga halnya di negara terbelakang dimana pengusaha swasta kurang berani mengambil resiko usaha baru. Sedangkan pada masyarakat kapitalis maju, pengusaha swasta memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi.[3]
Peranan pengusaha dibagi menjadi: kapitalis, manajer dan pengusaha. Jadi pengusaha menyediakan dana dan sumber lainnya, mengawasi dan mengkoordinasikan sumber produktif, serta merencanakan, mengadakan pembaharuan dan mengambil keputusan pokok. Pada perusahaan kecil, fungsi tersebut dapat dilaksanakan oleh pengusaha sendiri. Dia memiliki kekayaan yang menjadi satu dengan perusahaannya yang terbuka terhadap resiko bisnis. Dia berperan serta sepenuhnya secara terus-menerus dalam proses produktif yang sebenarnya.
Ciri utama pengusaha industri kecil tidak terletak pada kesukaannya berpetualang, maupun motifasinya untuk menghasilkan laba, tetapi kemampuannya memimpin orang lain dalam usaha bersama dan kecenderungannya mengadakan penemuan baru. Pada tahap awal industrialisasi, melimpahnya penemuan baru tersebut adalah karena sifat dasar teknologi yang memerlukan peran serta langsung dan segera dari pengusaha.[4]
Mengutamakan Ilmu Pengetahuan
Bagi para konglomerat, ilmu pengetahuan menjadi hal utama. Dengannya, hal-hal yang diharapkan bisa dijabarkan dalam bentuk rencana. Ilmu pengetahuan bisa membawa manusia kepada majunya peradaban. Ada banyak bukti bagaimana ilmu pengetahuan menjadi jalan bagi perubahan kehidupan masyarakat.
Tentu saja, dengan iImu pengetahuan kerajaan bisnis mereka bisa dibangun. Perusahaan yang didirikan memerlukan strategi bisnis yang terarah. Inovasi dan kreatifitas menjadi 'ruh' perjalanan usaha para konglomerat. Semangat itu ternyata tidak begitu saja lahir. Ada semacam proses panjang sehingga 'terbentuk' budaya dari masing-masing individu dan kelompok yang melahirkan produktifitas.
Menurut Porter dalam I Wibowo, [5]producktivity culture (budaya produktif) sebagai akibat dari semangat persaingan antar bangsa yang hanya terjadi setelah munculnya gejala globalisasi. Globalisasi tidak hanya membuat manusia dan barang berputar ke seluruh dunia, tetapi juga menimbulkan persaingan keras antar bangsa. Bangsa-bangsa bersaing satu sama lain untuk mencari keunggulan. Demi memenangkan persaingan, sebuah bangsa harus memiliki productivity culture.
Budaya produktif itu menghasilkan serangkaian nilai: innovation as good, competion is good, accountability is good, high regulatory standards are good, investment in capabilities and technology is a necessity, employess are assets, connectivity and networks are essential, education and skills are essential to support more productive work, dsb.. Ketika kultur atau nilai-nilai semacam ini muncul (dimunculkan), maka sebuah bangsa akan sanggup bersaing di arena bebas dunia.
Semangat bersaing itu merangsang para pengusaha untuk terus menggali segala kemungkinan bagi perubahan. Cara-cara yang bisa digunakan dipelajari dengan seksama sebelum akhirnya digunakan dalam kegiatan usahanya. Semangat bersaing pula yang merangsang mereka menjadi pribadi yang ingin terus belajar dan tidak pernah puas dengan pengetahuan yang dimiliki.
Liem Sioe Liong mendirikan Yayasan Prasetya Mulya yang bergerak di bidang pendidikan. Andrew Carnegie mendirikan perpustakaan dan membiayai penelitian tentang pembangunan sumberdaya manusia. Diantara hasil penilitiannya yang terkenal adalah kerjasamanya dengan Napoleon Hill mengenai bagaimana jalan menuju sukses beratus orang yang berpengaruh di Amerika.
Berdasarkan hal di atas, kiranya dapat diambil pelajaran bagaimana ilmu pengetahuan memiliki arti penting bagi kemajuan suatu bangsa. Keinginan untuk terus 'mencari tahu' menjadi ciri manusia-manusia 'berkualitas tinggi'. Hal yang lumrah jika para konglomerat bisa 'menguasai dunia' karena apa yang sedang terjadi di dunia dipahaminya dengan baik. Dengan begitu, mereka pun memberi respon positif atas setiap kejadian.
Strategi Pembangunan : Ilmu yang Bisa Dipelajari
Dari kedua tokoh di atas, kita bisa menyimpulkan bagaimana mereka menerapkan strategi pembangunan bisnisnya. Padamulanya, para konglomerat senantiasa memiliki rencana jangka panjang yang dimanifestasikan dalam strategi bisnis di kemudian hari. Tidak banyak orang yang memiliki sebuah rencana jangka panjang. Tidak banyak pula orang yang bisa 'menerawang' hingga jauh ke masa depan. Untuk itu, strategi yang telah diterapkan bisa dipelajari dengan seksama dan kemudian ditiru serta dimodifikasi. Warga dunia memperhatikan bahwa para konglomerat turut serta merencanakan 'bagaimana dunia berjalan sesuai dengan rencana'.
Para konglomerat juga senantiasa menginvestasikan dananya dalam berbagai bentuk properti seperti rumah, pabrik, kendaraan dan sebagainya. Bagaimanapun, properti menjadi ciri yang dapat terlihat dari majunya peradaban suatu bangsa. Entah kapan, generasi masa depan akan menikmati hasil dari apa  yang telah dibangun orang generasi saat ini. Generasi saat ini juga menikmati hasil investasi para pendahulunya.
Investasi-investasi yang dilakukan tentu saja secara langsung membuka lapangan kerja di berbagai bidang. Apabila kita ingin membuka lapangan kerja bagi generasi setelah kita maka berinvestasi menjadi cara yang lumrah. Budaya berinvestasi sudah selayaknya digalakan sehingga menjadi kebiasaan di tengah masyarakat kita.



[1] Garis Besar Sejarah Amerika, Halaman 204.
[2] Sori Ersa Saragih dan Kencana Tirta Widya, Liem Sioe Liong: Dari Futching Ke Mancanegara, 1989.
[3] ML. Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, 1993, hal. 535.
[4] Ibid., hal. 536.
[5] I Wibowo, Belajar dari Cina, Kompas, 2007, hal. 212 & 218

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...