 |
Botol bekas menjadi hiasan (Dokpri.) |
Sudah berkali-kali saya menulis kata
bermanfaat,
memanfaatkan, atau
manfaat dalam blog ini. Berkali-kali pula mempertanyakan kenapa orang-orang enggan memanfaatkan hal-hal sederhana di sekitarnya?
Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa beragam. Saya pun hanya bisa mengumpulkan beberapa jawaban walaupun belum begitu memuaskan. Diawali dengan mengamati orang-orang terdekat yang mengelilingi kehidupan sehari-hari. Ditambah, memperhatikan pula media massa yang menyampaikan hal serupa. Ada pula pemberitaan yang menyampaikan kebalikan dari realita yang ditemui tetapi tidak terserap secara indrawi. Sedikit-sedikit, membuka buku dan membaca jurnal yang tersebar di internet.
Melalui semua itu, saya mulai menyimpulkan jika perkara keengganan warga desa memanfaatkan hal sederhana bermula dari pendidikan. Kasihan juga ya, ibu-bapa guru senantiasa dijadikan objek dari akibat segala macam sesuatu yang jelek.
Namun, mau bagaimana lagi. Segalanya berhulu dari sana. Coba bayangkan, anak-anak menjalani hari dari pagi sampai sore ya di sekolah. Di rumah, mereka hanya menghabiskan waktu untuk bermain, dan beristirahat. Jangan berharap ada pelajaran tambahan dari orang tua, mereka pun lelah bekerja serta menyerahkan urusan pendidikan kepada sekolah. Bagi ibu dan bapanya, para sarjana dianggap lebih mumpuni untuk mendidik anak bangsa.
Tentu saja tidak sepenuhnya tanggungjawab sekolah. Peran orangtua pun sangat berpengaruh. Ibu dan bapak yang mengajak anaknya untuk senantiasa memanfaatkan lahan pekarangan, barang bekas, atau pengetahuan yang dimiliki maka sedikit-banyak akan membekas pada diri anak. Orangtua yang kreatif biasanya menumbuhkan anak yang kreatif pula.
Apabila orangtua enggan mengajak anak untuk memanfaatkan hal-hal sederhana, ternyata budaya kita memang tidak mendukung demikian. Memang, beberapa desa sudah punya kebiasaan untuk menggerakkan warga. Satu orang melakukan kebiasaan baik maka orang lain pun turut mengikutinya tanpa diminta.
Namun, desa saya berada di pulau Jawa bagian barat dimana industrialisasi bermodal besar sudah berlangsung lama. Masyarakat kami bukan digerakkan oleh inisiatif pribadi melainkan inisiatif para kapitalis. Entah ada hubungannya atau tidak, hal demikian mempengaruhi cara berpikir warga. Andaikan tidak ada yang menggerakkan maka kami pun enggan untuk bergerak. Inisiatif pribadi bukanlah sesuatu yang dikedepankan dalam budaya yang dianut masa kini. Saya tidak tahu jika masa lalu pun begitu.
Saya tidak mau dianggap sebagai orang yang suka menyalahkan pihak lain akan ketidakmampuan diri. Hanya saja, senantiasa ada sebab-akibat yang bisa diikuti oleh nalar umum. Apabila saat ini mata kepala sendiri melihat kenyataan sebagai sebuah akibat, maka mesti ada penjelasan sebagai sebab.
Dalam hal ini, keengganan orang untuk menggerakkan tangan memanfaatkan hal-hal sederhana di sekitarnya. Apakah ini sebab psikologis, karena budaya, pengaruh media massa, atau tidak ada upaya negara untuk menggerakkannya. Setiap orang akan melihat dari berbagai sudut pandang. Sayangnya, saya hanya warga biasa yang tidak memiliki kewenangan ilmiah untuk menyimpulkan sebuah gejala sosial. Hal yang ada hanyalah menerka-nerka.
Bagi saya, hal terpenting yang harus dipikirkan sekarang bukan penyebab dari keengganan warga untuk memanfaatkan hal-hal sederhana. Namun, bagaimana menggairahkan mereka untuk mau memanfaatkan hal-hal sederhana menjadi keharusan.
Apakah perlu ada agen penggerak yang bisa mempengaruhi khalayak. Jika mengharapkan pemerintah, saya malah skeptis. Apabila mengandalkan artis, mungkin bisa berhasil. Sebagaimana kita tahu, orang-orang lebih percaya kepada idolanya dibandingkan kepada pemimpinnya. Tentu saja, agen tersebut mesti memberi contoh yang kongkrit bukan sekedar wacana di social media.
Mereka harus bisa mengemukakan alasan jika perubahan besar senantiasa dimulai dari hal sederhana dan mendasar. Berdasarkan pengamatan saya, mengemukakan misi kebangsaan yang luas tidak serta merta dimengerti jikalau tanpa implementasi. Pola komunikasi yang baik akan terjalin jika si agen bisa menjabarkan maksud besar ke dalam tindakan-tindakan kecil.
Juga yang terpenting, warga harus bisa merasakannya dalam waktu dekat. Tidak semua orang mampu berpikiran panjang hingga jauh ke masa depan.