"Aa, ulin atuh ka kota!" saran seorang guru sekolah saya ketika berkunjung ke rumah.
Saya pun menanggapi anjuran itu hanya dengan sebuah senyuman. Tidak ada untaian kata yang terucap dari mulut. Meskipun tahu jika kalimat dari Bu Guru terucap setelah melihat saya tidak pergi ke kota sebagaimana pemuda desa lainnya. Ungkapan tidak segera ditanggapi karena dalam pikiran ada banyak opsi untuk disampaikan sebagai jawaban. Bingung pula mesti menyampaikan pilihan kata yang mana.
Opsi pertama, saya akan memberikan alasan kenapa masih berada di desa karena tidak tahu jika urbanisasi adalah sebuah tradisi. Saya pikir pergi ke kota hanyalah kebutuhan belaka. Andaikan seorang manusia tidak terdesak untuk pergi ke kota maka melangkahkan kaki meninggalkan désa bukanlah sebuah perkara yang wajib.
Opsi kedua, saya akan menyampaikan alasan keberadaan di desa karena keadaan keluarga mengharuskan tetap berada di rumah. Artinya, setiap keluarga memiliki situasi yang tidak sama. Bahkan, apabila dua keluarga bertetangga maka kami pun memiliki pilihan berbeda.
Opsi ketiga, saya punya kegiatan yang bisa dijadikan sumber kehidupan di desa. Bukanlah sesuatu yang besar tetapi harus dilestarikan karena pemberian Yang Maha Kuasa. Apabila dibiarkan begitu saja maka saya bisa dihantui rasa tidak bersyukur atas karunia yang telah diberi.
 |
Sumber: ChatGPT |
Beberapa hari setelah kedatangan Bu Guru, saya kesulitan menyingkirkan hal yang cukup mengganggu pikiran. Sebagaimana kebiasaan, menulis blog menjadi cara untuk merilis isi pikiran. Hal yang mengganggu tersebut adalah bagaimana urbanisasi bisa terbentuk serta perlukah kebiasaan tersebut dipertahankan?
Sebagaimana disampaikan di atas, ternyata tradisi urbanisasi bisa ditelusuri hingga ke dalam pikiran seorang tenaga pengajar di kampung kami. Coba bayangkan, dari mulut seorang guru sekolah terlontar ide yang didengar oleh--katakanlah seratus murid--maka akan ada seratus pemuda/pemudi yang meninggalkan désa ini. Sekaligus, akan ada seratus individu yang "menyesaki" kota besar dimana telah sesak sebelumnya. Nah, itu baru dari desa kami. Bagaimana dengan desa-desa lain di seantero negeri?
Saya pernah mendengar jika tradisi bisa terjaga atau dilestarikan warga sendiri yang berniat melakukannya. Terlebih, jika ada seorang agen giat mengusahakannya. Dalam pembicaraan kita, maka agen yang dimaksud adalah tenaga pendidik di desa. Coba bayangkan, seorang agen yang dianggap memiliki kewenangan dan kelebihan intelektual malah berpikir sebaliknya dengan program negara yang berusaha keras mengendalikan urbanisasi.
Urbanisasi bukan sesuatu yang buruk. Banyak negara yang telah melakukannya kemudian berhasil meningkatkan taraf kehidupan.
Hanya saja, urbanisasi di negeri ini bukan lagi cara yang baik untuk menggerakkan roda ekonomi. Efek buruk urbanisasi begitu nyata maka wajar jika Pemerintah pun terus menggaungkan pemerataan pembangunan. Sayangnya, ajakan ini belum menyentuh pikiran Bu Guru yang masih menganggap jika kota sebagai satu-satunya faktor kesuksesan. Sepertinya beliau tidak tahu jika ada banyak contoh urbanisasi yang gagal. Bukannya kesuksesan yang dicapai tetapi malah memperlebar jurang kemiskinan antar warga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...