Kamis, 10 Maret 2016

Persepsi Mengenai Alam dalam Budaya Pedesaan

Alam Indonesia begitu indah, namun kenapa masyarakat kita tidak bisa memanfaatkannya dengan maksimal? Apakah budaya kita tidak mendukung untuk terlaksananya ekploitasi dan ekplorasi alam Nusantara?

Persepsi sangat mempengaruhi bagaimana manusia berbuat. Semua berawal dari pikiran,  kita tidak bisa melihat apa yang telah terjadi sebagai sesuatu yang spontan begitu saja. Untuk itu, sebelum kita berbicara banyak mengenai kenapa pembangunan di pedesaan begitu lambat maka kita harus menelaah terlebih dahulu bagaimana orang desa mempersepsikan alam yang ada di sekitarnya.
Memahami persepsi ini penting untuk bisa menentukan pola pembangunan seperti apa yang sesuai dengan budaya setempat. Misalnya, budaya yang sangat memelihara alam sebagai sumber penghidupan tidaklah cocok apabila diterapkan pola pembangunan industrial sebagaimana yang telah terjadi di kota-kota besar. Namun, kita pun tidak bisa stagnan begitu saja tanpa melakukan apa-apa. Untuk itu, konsep-konsep yang telah ditetapkan sebaiknya bisa menjadi solusi bagi warga lokal. Dan yang terpenting, bisa 'masuk' ke dalam pola pikir warga.

Sikap Orang Timur
Nilai budaya yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha membuat kebijaksanaan Timur bersifat kontemplatif, tertuju kepada tinjauan kebenaran. Dengan demikian, berpikir kontemplatif dipandang sebagai puncak perkembangan rohani manusia. Pemikir Timur lebih menekankan segi dalam dari jiwa, dan realitas di belakang dunia empiris dianggap sebagai sesuatu yang hanya lewat dan bersifat khayalan. Timur lebih menekankan disiplin mengendalikan diri, sederhana, tidak mementingkan dunia, bahkan menjauhkan diri dari dunia. Sesuatu yang baik menurut Timur tidak terdapat hanya dalam dunia benda, tidak dengan memanipulasi alam, mengubah masyarakat dan mencari kesenangan bagi dirinya. Akan tetapi, yang baik itu diperoleh melalui pencarian zat yang satu, di dalam diri kita atau di luarnya.
Di Timur  dicari keharmonisan dengan alam, sebab alam memberi kehidupan, memberi makanan, tempat berteduh, bahan untuk seni dan sains. Nafsu untuk memperoleh hikmah atau kerinduan akan keselamatan dan kebebasan diri dari penderitaan dunia, bagi Dunia Timur cukup kuat. Ide keselamatan ini besar pengaruhnya dalam membentuk mentalitas, teori dan praktek bangsa Timur. Jalan untuk memperoleh ini semua tidak terletak pada akal budinya, tetapi dilalui melalui meditasi, tirakat (ascetic) dan mistik.
Sikap orang Timur terhadap alam adalah menyatu dengan alam, tidak  memaksakan diri dengan mengeksploitasi alam, bahkan menginginkan harmoni dengan alam karena alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kalau alam binasa, maka manusia pun akan binasa. Untuk menjaga hubungan yang harmonis terkadang muncul ekspresi kongkrit dalam bentuk hubungan mistik manusia dengan alam. Nilai kehidupan Timur yang tertinggi datang dari dalam, seperti nrimo kenyataan, mencari ketenangan dan waktu demi kesenangan, belajar dari pengalaman, menyatukan diri. Terkadang nilai spiritual yang dalam itu membuat sikap memuliakan kesendirian dan kemiskinan, menghindar untuk membangun dunia, hidup sederhana dan dekat dengan kehidupan alamiah. Ringkasnya, Dunia Timur menginginkan kekayaan hidup, bukan kekayaan benda, tenang tenteram, menyatu diri, fatalisme, pasivitas dan menarik diri.

 Sikap Orang Barat
Di Barat orang lebih condong menekankan dunia empiris sehingga mereka maju dalam sains dan teknologi. Melalui pengaruh Yunani, Barat  berkembang  dalam pengetahuan deskriptif dan spesialisasi. Dukungan sikap Barat yang lebih besar tekanannya kepada realitas dan nilai waktu menyebabkan perkembangan yang pesat dalam filsafat prosesi pengonsepan evolusi kreatif serta kemajuan. Dengan demikian, waktu mempunyai peran dalam keselamatan manusia. Manusia dengan alam menurut konsep Barat adalah terpisah. Alam sebagai dunia luar harus dieksploitasi. Hal ini terlukis dalam kata-kata: menaklukan luar angkasa, menaklukan alam dan hutan rimba.
Persepsi Islam
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."
(QS. Al-Qoshosh(28):77)

Dalam Islam, sikap pertengahan sangat dikedepankan. Islam, tidak memperbolehkan manusia untuk merusak alam, namun tidak memperbolehkan 'mendiamkan' alam. Alam sebagai sumber rezeki bagi ummat dan menjadi bentuk ibadah apabila kita memanfaatkannya.
Islam tidak pernah mengajarkan bahwa alam harus 'dibiarkan' begitu saja seakan mencari kekayaan dari alam adalah sesuatu yang terlarang. Itu keliru. Apabila ada yang menganggap bahwa memanfaatkan potensi alam bisa membawa kerusakan di muka bumi itu hanyalah akal-akalan pihak yang ingin melemahkan ummat Islam. Pemikiran itu datang dari para sufi yang seakan merasa paling soleh ketika 'menghindar dari keindahan dunia'. Padahal, dunia ini sebagai perantara bagi kita untuk masuk surga-Nya.
Sayangnya, warga desa sendiri memiliki pemikiran yang 'campur aduk' mengenai persepsi mereka tentang alam. Sedikit sekali yang menganggap alam ini sebagai sumber kehidupan sehingga harus dimanfaatkan dengan maksimal. Celakanya, para Ulama di pedesaan justru mengajarkan pemahaman yang keliru mengenai alam ini. Ulama kita lebih terpengaruh oleh ajaran Hindu-Budha yang menganggap alam harus 'dibiarkan' begitu saja.
Untuk mengubah pemikiran itu, bisa dengan cara 'revolusioner' yakni industrialisasi pedesaan. Di desa, harus ada agen pembaharu yang bisa membawa masyarakat pada kemajuan industri dengan memanfaatkan alam dan segala potensinya.

Sumber:
Ir. M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar, Eresco, Bandung: 1988.
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan Ummatnya, Salman ITB, Bandung: 1983.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...