Rabu, 01 April 2015

Ketika Investor Enggan Membuka Usaha Padat Karya

"Buruh tahunan setiap bangsa merupakan kekayaan yang pada mulanya memasok bangsa dengan segala kenyamanan hidup yang diperlukan." (Adam Smith, Wealth of Nations dalam ML  Jinghan)

Penduduk yang bertambah tidak disambut sebagai sumber pembentukan modal. Mungkin itulah yang persepsi masyarakat kita dalam menanggapi pertambahan penduduk. Malahan investor sepertinya tidak menganggap sumberdaya manusia ini sebagai modal malahan menjadi 'sumber permasalahan' bisnis yang tidak kunjung selesai.
Tren investasi saat ini sudah beralih kepada investasi non-produktif. Para pemilik modal lebih suka berinvestasi di bursa saham, properti, logam mulia dan jasa keuangan lainnya. Para pemegang modal sepertinya kurang tertarik untuk menanamkan modalnya pada usaha padat karya karena resiko yang dianggap tinggi. Pola investasi ini ternyata berpengaruh kuat pada lapangan kerja dimana jarang dibukanya lapangan kerja baru.
Dalam perekonomian kita, investor layaknya sebagai 'pemberi nafkah'. Para investor belum bisa memetik hasil maksimal apabila membuka usaha padat karya. Sebaiknya, Pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan bagi pengusaha yang mau mempekerjakan banyak orang.
Perbedaan Persepsi Mengenai Bisnis
Kalau boleh saya berpendapat, sepertinya ada persepsi yang 'tidak sinkron' antara buruh dengan para pengusaha. Para pengusaha senantiasa melihat aktifitas usaha sebagai tempat untuk berkarya dan mencari keuntungan. Sedangkan, para buruh melihat kegiatan perusahaan semata-mata sebagai alat pemenuhan kebutuhan.
Perbedaan persepsi ini menjadikan ketidakseimbangan daya tawar diantara keduanya. Para buruh tidak bisa menaikan 'nilai'-nya dimata pengusaha sedangkan para pengusaha dilihat sebagai 'pemeras keringat' buruh. Menurut saya, persepsi ini lahir dari sikap komunis yang terlalu 'mengagungkan' buruh dan menganggap jelek para kapitalis/pemilik modal. Pada kenyataannya, keduanya ada saling ketergantungan yang sulit untuk dipisahkan.
Dapat dipahami, apabila para investor enggan untuk membuka usaha padat karya karena keberadaan buruh tidak dapat mendongkrak keuntungan maksimal yang diharapkan. Untuk itu, lahirlah konsep manajemen berbasis sumberdaya manusia yang sangat mengedepankan kreatifitas buruh sebagai modal tidak ternilai. Sayangnya, konsep ini baru bisa diterapkan di industri kreatif yang sangat bergantung pada kreatifitas manusia. Tetapi, di masa depan konsep ini juga bisa diterapkan di industri manufaktur/pengolahan yang bisa mengedepankan 'kreatifitas' pekerja dalam bekerja.
Permasalahan kreatifitas buruh harus dilihat dari latar belakang sistem pendidikan yang dijalaninya. Pendidikan yang tidak bisa menelorkan buruh yang terampil memang sudah menjadi problem akut di negara terbelakang seperti Indonesia.[1] Sebagai warga desa, semestinya kita sudah mempersiapkan pola pendidikan yang menunjang dunia usaha sejak jauh-jauh hari. Kita tidak bisa terlalu berharap pada pendidikan formal yang ada karena keterbatasan waktu dan tenaga pengajar yang ada. Untuk itu, peran serta seluruh lapisan masyarakat sangat diperlukan untuk bisa memahamkan 'calon pekerja' pada situasi kerja yang sebenarnya. Sehingga, kelak para pekerja bisa 'berimprovisasi' dalam berkompetisi untuk mencapai target yang diharapkan.
Masyarakat Pedesaan Harus Meyakinkan Investor
Menyambut industrialisasi pedesaan, perlu adanya  persiapan untuk meyakinkan investor bahwa calon tenaga kerja siap untuk bergabung dengan industri yang akan dibangun. Di sisi ini, para calon investor akan melihat desa kita kawasan yang sudah siap untuk dibangun industri. Ketersediaan para calon tenaga kerja yang dibutuhkan menjadi pertimbangan penting ketika para pengusaha akan memutuskan bentuk usahanya kelak.
Persiapan calon tenaga kerja bisa dilakukan oleh lembaga pelatihan kerja yang khusus mendidik anak-anak muda untuk siap terjun ke dunia kerja. Lembaga pelatihan ini menjadi alat untuk meyakinkan investor bahwa desa kita siap untuk menawarkan tenaga kerja siap pakai. Apabila calon tenaga kerja yang ditawarkan bisa menunjang usaha, maka pengadaan mesin-mesin tidak perlu dilakukan karena dengan sumberdaya manusia yang ada justru bisa meningkatkan produktifitas hingga tingkat yang diinginkan.
Warga desa sebaiknya bisa meyakinkan investor _lokal maupun internasional_ bahwa desanya layak untuk dijadikan tempat membuka usaha. Lebih khusus lagi, investor diyakinkan pada tersedianya calon tenaga kerja yang terampil, berkompetensi serta memiliki mental yang siap untuk berkompetisi.
Warga desa juga semestinya memahami bahwa di era ekonomi pasar bebas, tenaga kerja harus bisa memiliki daya jual. Pasar tenaga kerja harus menawarkan orang-orang yang bisa berkontribusi maksimal dalam dunia usaha. Calon tenaga kerja yang ada harus sudah siap dengan segala kemungkinan di dunia kerja bukan tenaga kerja yang 'masih coba-coba'.
Hal di atas bisa dibangun, apabila orang desa sudah memiliki persepsi bahwa posisi pengusaha tidak bertindak sebagai 'pemberi sedekah'. Pengusaha adalah pihak yang 'membutuhkan' jasa para calon karyawan. Untuk itu, masyarakat pencari kerja harus menjadikan dirinya sebagai individu yang sedang menjual keahliannya pada yang membutuhkan. Apabila paradigma yang mengatakan buruh berada di 'bawah ketiak' pengusaha, maka masih bisa dipahami buruh seperti tidak berdaya dan tidak memiliki posisi tawar yang kuat.
Menumbuhkan Budaya Industri di Pedesaan
Budaya industri tidak mendukung, hal ini terlihat ketika masyarakat kita masih menganggap 'rendah' pekerjaan di industri manufakturing. Masyarakat masih menganggap pekerjaan di bidang jasa lebih bergengsi dibanding pekerjaan-pekerjaan manual yang menggunakan keterampilan tangan.
Kurikulum pendidikan menengah, terutama pendidikan menengah umum, tidak mempersiapkan lulusannya untuk memasuki dunia kerja.  Kurikulum SMK, walaupun lebih relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, tidak cukup spesifik untuk memenuhi kebutuhan industri.  Alhasil, lulusan SLTA kurang berminat bekerja di bidang industri.[2]
Bagi kita, sulit untuk memungkiri bahwa masyarakat Indonesia belum memiliki budaya industri yang merata di seluruh wilayahnya. Sebagian masyarakat Indonesia yang berbudaya agraris belum bisa memaknai perubahan budaya ke arah industrialiasasi sebagai momentum untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik.
Sebagaimana kita ketahui, masyarakat agraris masih bergantung pada hasil bumi semata. Masyarakat agraris belum punya pemikiran untuk mengolah hasil bumi itu supaya memiliki nilai tambah di pasaran. Warga petani masih menganggap hasil panen sebagai produk akhir dari proses panjang kegiatan bercocok tanam dan beternak yang ditekuninya. Sudah lumrah, jika petani kita menjual hasil panennya dalam bentuk bahan mentah. Keengganan mengolah ini membentuk karakter individu dimana tidak terangsang untuk berinovasi dan berkreasi berbeda dari apa yang selama ini dilakukan.[3]
Masyarakat agraris juga masih menganggap bahwa status dan posisi seseorang dalam masyarakat ditentukan oleh warisan. Sedangkan, masyarakat industri memandang posisi seseorang ditentukan oleh kecakapannya. Berdasarkan itu, masyarakat desa belum punya motifasi kuat untuk meningkatkan kecakapannya dalam pekerjaan. Bagi warga desa, belajar hanya ada di sekolah sehingga tidak menjadikan pekerjaan sebagai tempat untuk belajar. Padahal, industri sangat membutuhkan orang-orang yang memiliki motifasi untuk meningkatkan keterampilannya.[4]





[1] ML. Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, hal. 520.
[2] Perencanaan Kebutuhan SDM Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi 2012-2014, hal. 75.
[3] Charless Issawi MA, Pilihan Dari Muqoddimah:  Filsafat Islam Tentang Sejarah, Ibnu Kholdun, Tintamas, 1976.
[4]Siti Irene Astuti D. Pandangan Hidup Masyarakat Industri, google.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...