Minggu, 26 April 2015

Peran Lembaga Usaha sebagai Pengontrol Kondisi Sosial di Pedesaan

Permasalahan sosial akan selalu saja ada dimanapun kita berada. Entah itu masalah kemiskinan, kebodohan dan sebagainya, maka permasalahan sosial menjadi keseharian yang menarik untuk dibicarakan kemudian dicari penyelesaiannya. Ketika negeri ini menerapkan berbagai cara untuk mengawasi kehidupan warganya, maka ada sisi kelemahan dari peran Pemerintah. Dalam situasi ekonomi tidak menentu seperti sekarang, warga lebih 'mendengarkan' pihak-pihak yang bisa memenuhi kebutuhan mereka. Sebagai warga negara, kita tidak bisa terus 'menyalahkan' pemerintah ketika permasalahan sosial terus muncul ke permukaan. Justru, kita bisa membantu Pemerintah mengisi kekosongan peran pemerintah itu.
Peran warga masyarakat dalam pengendalian sosial bisa diwujudkan dengan membentuk suatu lembaga yang bisa menyelesaikan permasalahan sosial tersebut. Saya menyarankan untuk menjadikan lembaga usaha/bisnis sebagai institusi yang bisa memimpin masyarakat dalam upaya pengendalian sosial. Saya tidak menyarankan lembaga pendidikan, lembaga agama atau lembaga sejenisnya sebagai sarana pengendalian sosial karena alasan-alasan yang akan dikemukakan kemudian.
Fungsi Lembaga Kemasyarakatan
Lembaga kemasyarakatan, pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a. Memberikan pedoman kepada anggota-anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, yang terutama menyangkut kebutuhan pokoknya.
b.   Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan.
c. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control), yaitu artinya, sistem pengawasan daripada masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.[1]
Dari fungsi di atas, dapat digarisbawahi bahwa lembaga kemasyarakatan akan bisa menjadi pengendali sosial apabila bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain, keutuhan masyarakat bisa tercapai bila kebutuhan mereka bisa terpenuhi.
Dari sudut fungsinya, terdapat pembedaan operative institutions dan regulative institutions. Operative institutions yang berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun pola-pola atau tata cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan , misalnya lembaga industrialisasi. Regulative institutions bertujuan untuk mengawasi adat-istiadat atau tata kelakuan yang tidak menjadi bagian yang mutlak daripada lembaga itu sendiri, seperti lembaga hukum.[2]
Strategi Pengendalian Sosial dengan Lembaga Usaha
Pengendalian sosial merupakan segenap proses yang ditempuh sekelompok masyarakat agar sesuai dengan harapan.[3] Pengendalian sosial ada yang bersifat prefentif yakni berupa pencegahan supaya permasalahan sosial tidak terjadi. Dalam essay ini, saya memfokuskan pada upaya pengendalian sosial yang menggunakan lembaga masyarakat dimana disebut pengendalian institusional.
Pengendalian sosial dengan lembaga usaha ini bisa juga bersifat tidak resmi karena tidak menggunakan institusi yang secara resmi bertugas untuk mengendalikan kondisi sosial seperti Kepolisian. Lembaga usaha tidak memiliki wewenang resmi untuk itu, tetapi menjadi lembaga yang dirasa paling berpengaruh untuk mengendalikan kondisi sosial di pedesaan. Seperti yang sering disebut, lembaga usaha langsung 'menguasai' sumberdaya manusia dan sumberdaya modal sebagai 'sumber' permasalahan sosial.
Permasalahan sosial bisa diatasi dengan kerjasama antar para pemangku kepentingan. Tidak hanya Pemerintah, lembaga usaha yang ada bisa mengumpulkan dana untuk operasional setiap kegiatan penyelesaian masalah sosial.[4]
Pola kerjasama ini bisa diterapkan secara formal dengan membentuk Yayasan atau Lembaga Pelatihan dsb.. Sebagai warga desa, kita bisa saja mencoba menyelesaikan permasalahan dengan mandiri. Hanya saja, peran perusahaan tidak hanya bisa mengurus urusan internal organisasinya. Permasalahan di luar perusahaan juga perlu andil para pengusaha dan/atau karyawan yang ada di dalamnya. Lembaga usaha bisa memberikan solusi dengan kemampuan manajemen yang dimiliki personil perusahaan.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan memaparkan hal yang bersifat teknis. Setiap individu memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Secara strategis, setiap kegiatan yang dikelola oleh perusahaan akan memberikan kesan positif atas kehadiran perusahaan di tengah masyarakat. Secara singkat, perusahaan harus dianggap sebagai penyelesai masalah bukan malah pembawa masalah.[5]
Saya tidak sependapat pada pihak yang senantiasa memisahkan antara perusahaan dengan masyarakat di sekitarnya. Seakan, diantara keduanya ada tembok tebal yang menghalanginya untuk saling berkomunikasi. Malahan, perusahaan dianggap sebagai 'pengganggu' ketentraman kehidupan pedesaan. Justru, kita bisa membuka komunikasi diantara keduanya sehingga terjalin hubungan yang harmonis.
Sebagai warga desa, kita harus menyadari bahwa sekarang bukan lagi jaman penjajahan dimana perusahaan yang didirikan di desa bukan lagi dianggap sebagai 'raksasa' yang menguras kekayaan pribumi. Di era globalisasi, menjadi suatu keniscayaan dimana peran perusahaan tidak sebatas pada institusi yang memproduksi barang dan jasa tetapi sudah berubah menjadi kekuatan untuk menggerakan masyarakat.[6]
Menciptakan Kedisiplinan Individu[7]
Secara garis besar, strategi pengendalian sosial melalui lembaga usaha dapat dilakukan dengan membuat kesepakatan bersama antara berbagai pihak. Lembaga usaha mempunyai kemampuan untuk melakukan lobi-lobi kepada Pemerintah, tokoh masyarakat bahkan pada masyarakat sekitar lokasi usaha dalam menentukan skema situasi yang diinginkan. Apabila ada kesepakatan yang jelas, maka tidak akan ada pabrik yang membuang limbah sembarangan, pemukiman yang terlihat kumuh atau jalan raya yang rusak karena setiap pihak sudah memiliki kesepakatan untuk bersama-sama menjaga keutuhan masyarakat.
Lembaga usaha yang memiliki sumberdaya manusia terlatih, bisa turut serta memberi contoh akan kualitas manusia yang ideal di mata masyarakat. Bahkan, lembaga usaha juga turut mempengaruhi pola kehidupan bermasyarakat karena di sana ada sistem kerja terjadwal. Pola kerja terjadwal ini secara langsung berpengaruh pada karakter manusia di dalamnya.
Sebagaimana dalam sistem ekonomi Islam, salah satu tujuan dari kegiatan ekonomi itu adalah membentuk masyarakat bahagia. Dengan memperhatikan prinsip moral, kegiatan ekonomi jelas akan berpengaruh pada karakter manusia. 'Manusia ekonomi' yang dibentuk oleh prinsip Islami bukanlah pribadi yang mengeluarkan suatu kegiatan ekonomi  hanya untuk mencari kepuasan materi. Materi yang akan diperoleh tidaklah didapat dengan motif egois dan mementingkan diri sendiri sehingga akan ada sikap saling membantu dan kerjasama antara sesama anggota masyarakat.[8]
***
Manusia yang disiplin adalah salah satu ciri masyarakat industri yang ada pada lembaga usaha. Lambat laun, lembaga usaha menjadi sentra dari perubahan di masyarakat. Saya berpikir, bahwa setiap kebijakan yang ditelorkan oleh Pemerintah akan bermuara pada kepentingan bisnis. Hal itu menjadi konsekuensi logis bagi kehidupan bermasyarakat, karena darisanalah sumber penghidupan warga berasal. Juga, menjadi sifat dasar manusia yang lebih mementingkan kebutuhan dasarnya.



[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1970, hal. 74.
[2] Soekanto, op.cit, hal. 83.
[3] http://igozigozza.blogspot.in/2012/07/pengendalian-sosial-social-control.html?m=1
[4] Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam, hal. 350.
[5] Muhammad Yunus, Bank Kaum Miskin, Marjin Kiri, Depok: 2007, hal. 274.
[6] David Bornstein, Mengubah Dunia, Kewirausahaan Sosial dan Kekuatan Gagasan Baru, Insist Press, Yogyakarta: 2006, hal. 278.
[7] http://igozigozza.blogspot.in/2012/07/pengendalian-sosial-social-control.html?m=1
[8] Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam, hal. 26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...