Kamis, 23 Juli 2015

Pertumbuhan Dunia Modern : Acuan Bagi Warga Perdesaan

Berikut adalah beberapa catatan yang berasal dari buku Pertumbuhan Dunia Modern, semoga bisa menjadi acuan/pertimbangan  berpikir kita sebagai pembaca.

Renaissance  itu bersifat “faustis”, tetapi sifat yang dimaksud itu bukanlah usaha perseorangan untuk melepaskan diri dari segala sesuatu, tetapi kehendak yang tak pernah puas akan menyelami diri sendiri dengan jalan menyerahkan diri kepada hal yang mutlak atau tak terhingga. Sifat perseorangan yang rasionalistis hampir tak tampak. Cita – cita dan ilmu pengetahuan yang eksak dan berdiri sendiri belum tumbuh diantara cita-cita yang dikemukakan beramai-ramai tentang menyelami alam dengan cara keagamaan dan tasawuf.[1]
“Tak mungkin manusia berusaha menghampiri Tuhan, jika Tuhan tak menghampiri manusia”.[2]
Merleau Ponty, ahli filsafat dan ilmu jiwa Perancis, mengemukakan tiga tanda yang khas dari Eropa dalam kelakuan dan sikap:
1.       Adalah sifat Eropa yang khas untuk mengadaan perbedaan yang jela antara pribadi dan dunia. Dalam banyak peradaban lain, dunia lebih dipandang sebagai semacam selubung atau sebuah barang yang bulat yang pernuh artinya, yang menunjukan dan memberikan tempatnya masing-masing kepada manusia, daripada sebagai sebuah objek yang harus diselidiki nilai kebenarannya.
2.       Faham tentang pekerjaan adalah sifat khas Eropa. Pekerjaan itu bisa ditafsirkan sebagai usaha untuk mengubah dunia.
3.       Sifat Eropa yang khas adalah faham tentang negara sebagai lingkungan pergaulan manusia, tempat kebebasan dapat diwujudkan.[3]

Peranan yang sangat penting dalam batin Eropa : soal objektifitas, teknik dan kebebasan.
1)      Soal objektifitas, menurut anggapan yang biasa, atau oleh dikatakan menurut anggapan yang sewajarnya, objektf ialah barang apa yang ditunjukan oleh objek-objek, benda-benda dan keadaan di sekitar kita dan barang apa, yang dapat kita lihat atau rasa sebagai subjek. Hal itu ialah pendirian realistis, pendirian dalam hidup sehari-hari dan juga dalam praktek ilmu pengetahuan.
2)      Teknik dipandang sebagai alat untuk mengubah dunia. Jiwa Eropa telah melahirkan teknik sebagai alat penolong manusia yang paling berkuasa untuk menguasai kenyataan lahir.
Bangsa Eropa _dan bangsa Barat pada umumnya_ menerima dunia sebagai tantangan, yang ia harus bertindak terhadapnya. Hal itu bukan kenyataan yang pasti, tetapi satu kewajiban. Bukan ketentuan dunia itu ada, akan tetapi pertanyaan “apakah dunia itu sebenarnya?”, yang harus didahulukan. Dunia itu ialah dunia menurut pikiran dan perbuatan kita, bukan kaki langit yang meliputi segala-galanya.
3)      Faham tentang negara sebagai lingkungan pergauan manusia tempat mewujudkan kebebasan. Kita dapaat menarik kesimpulan bahwa jiwa Eropa selalu menghubungkan dan memikiran soal persekutuan politik dengan soal perseorangan manusia.[4]

Para ahli pikir berpikir pada masa lampau telah diganggi dengan pertanyaan, kalau-kalau kebudayaan Eropa sungguh dapat dipandang sebagai kesatuan. Apabila mereka menyeldiki bagian-bagian dan anasir-anasirnya, yang membantu pembentukan Eropa, maka pertelaan yang didapatnya, misalnya, ialah :
1.       Peradaban kuno, boleh dikatakan juga peradaban Yunani-Romawi, yang tetap terus juga menjalankan pengaruhnya, setelah negeri kuno itu binasa;
2.       Agama kristen sebagai pelajaran keselamatan sendiri dan keselamatan umum;
3.       Ilmu pengetahuan modern dengan hasratnya yang tak dapat ditahan akan mendapat keterangan yang berdasarkan akal dan penguasaan kenyataan.
Optimisme yang tak dapat dibinasakan dari watak manusia itulah yang menghendakinya. Kita manusia tidak dapat hidup, jika tidak ada pengharapan. Apabilapun alasan yang mengenai pokok mendesakan kesimpulan kepada kita, bahwa pengharapan itu sebenarnya sudah tidak ada lagi, maka kemauanlah yang menang dan melahirkan sebuah gambaran, sebuah persangkaan, sebuah faham, yang memungkinkan kita melanjutkan perjalanan kita.[5]

Gambaran, tanggapan dan pengertian tidak mencerminkan kenyataan.
Tetapi, semua itu bukanlah fantasi belaka atau angan-angan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan kenyataan : ia adalah alat atau alat penolong _’lambang’ atau ‘tanda’, menurut kata orang sekarang _ untuk menunjukan kenyataan.
Kenyataan lebih banyak isi dan seluk beluknya dan pada alat-alat penolong intelektuil yang kita pakai itu. Tetapi kalau alat-alat penolong itu tidak dipergunakan, maka tak dapat kita membicarakan kenyataan.[6]

Kalau memikirkan sejarah, perlu digunakan skema. Kita sekalian mempunyai tanggapan yang barangkali amat samar tentang berbagai peristiwa dalam sejarah, bukan tanggapan tentang peristiwa-peristiwa yang tak ada hubungannya antara-antara sesamanya, tetapi tanggapan tentang perhubungan dan pertalian antara peristiwa-peristiwa itu sesamanya.
Boleh dikatakan : kita sekalian mempunyai sebuah ‘gambaran’.[7]



[1] RF. Beerling, Prof. Dr., Pertumbuhan Dunia Modern,  Pusataka Rakyat, Jakarta: Hal. 123.
[2] RF. Beerling, Prof. Dr., Pertumbuhan Dunia Modern,  Pusataka Rakyat, Jakarta: Hal. 121.
[3] RF. Beerling, Prof. Dr., Pertumbuhan Dunia Modern,  Pusataka Rakyat, Jakarta: Hal. 23.
[4] RF. Beerling, Prof. Dr., Pertumbuhan Dunia Modern,  Pusataka Rakyat, Jakarta: Hal. 24-27.
[5] RF. Beerling, Prof. Dr., Pertumbuhan Dunia Modern,  Pusataka Rakyat, Jakarta: Hal. 28.
[6] RF. Beerling, Prof. Dr., Pertumbuhan Dunia Modern,  Pusataka Rakyat, Jakarta: Hal. 36.
[7] RF. Beerling, Prof. Dr., Pertumbuhan Dunia Modern,  Pusataka Rakyat, Jakarta: Hal. 37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...