Minggu, 12 Juli 2015

Warisan Ilmu untuk Pembangunan Pedesaan

"Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit; Maka Inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakini(nya)." (QS. Ar-Rum ayat 56)
  
"Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS. Al-Mujadillah ayat 11)

Industri sebagai Pranata Ilmiah
Apabila kita membicarakan pranata pengemban ilmu pengetahuan maka biasanya yang terlintas dalam kiran kita adalah lembaga pendidikan seperti sekolah. Hal itu menjadi dapat dipahami karena fokus perhatian masyarakat akan ilmu pengetahuan hanya tertuju pada lembaga pendidikan formal.
Situasi di atas seakan sudah maklum. Sehingga, apabila seseorang ingin menuntut ilmu maka akan berbondong-bondong masuk sekolah hingga perguruan tinggi. Tetapi, apakah kita pernah memperhatikan jika sebenarnya institusi yang menjaga ilmu pengetahuan agar tetap lestari adalah instusi bisnis/industri. Kenapa?
Alasan pertama, industri senantiasa melakukan inovasi.
Kedua, industri berkaitan langsung dengan kebutuhan manusia.
Ketiga, industri secara aktif mengaplikasikan ilmu sehingga tidak mudah terlupakan.
Keempat, industri mewariskan ilmu beserta hasil penerapannya _terwujud secara fisik.
Kelima, industri diisi oleh orang-orang yang menyerap ilmu dari lapangan.
Saya berpikir bahwa dunia industri bisa mengemban kewajiban bagi umat manusia untuk menguasai ilmu pengetahuan.
Islam mendorong umatnya menuntut ilmu pengetahuan dan mengkaji teknologi.  Islam menetapkan bahwa setiap ilmu hasil ciptaan atau hasil buatan yang diperlukan umat Islam, maka hukum pemenuhannya adalah fardu kifayah. Artinya, bila pada tubuh umat tidak terdapat kelompok yang jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan umat tersebut, maka seluruh umat menanggung dosa.
Al-Imam Al-Ghazali berkata , "Apabila ilmu dan karya-karya yang dimiliki nonmuslim lebih baik dan lebih utama dari yang dimiliki kaum muslimin, maka kaum muslimin berdosa dan kelak mereka dituntut atas kelalaian itu."
Sa'id Hawwa memberikan pandangannya tentang ilmu-ilmu yang dibutuhkan kaum muslimin, "Kami mencatat ada ribuan ilmu pengetahuan yang semuanya tidak dianggap fardlu kifayah bagi umat Islam, fardlu kifayah bukan berarti hanya sebatas orang yang mengetahui (melakukannya) saja, tetapi harus ada kelompok orang yang memenuhi kebutuhan umat."
Pendapat Ibnu Taimiyyah tentang hal itu lebih jauh lagi. Dia berkata, "Pekerjan-pekerjaan yang bersifat fardlu kifayah apabila tidak dilaksanakan akan berubah menjadi fardlu a'in, terutama bila yang lain tidak mampu mengerjakannya. Kalau masyarakat membutuhkan tenaga pertanian, tekstil atau teknil sipil, maka itu merupakan tugas wajib yang bisa dipaksakan penguasa apabila ahlinya menolak."[1]
Mari kita membandingkan dengan dunia pendidikan formal, dimana ilmu pengetahuan hanya dibahas dan disampaikan dari generasi ke generasi. Lalu, bagaimana kita bisa menguji relevansi ilmu pengetahuan itu? Tentu saja, dunia industri sebagai 'denyut nadi' masyarakat modern yang bisa mengujinya.  Dunia industri sajalah yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat. Begitu pun, ilmu pengetahuan yang lestari adalah ilmu yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat.
Kata kuncinya adalah'kebutuhan masyarakat', begitulah bagaimana ilmu pengetahuan akan bisa terwariskan secara alami dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bisa saja, ada ilmu pengetahuan yang dianggap 'usang' sehingga tidak relevan lagi dengan kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan suatu tempat. Pada situasi itu, industri sebagai lokomotif pembangunan akan 'menentukan' mana ilmu pengetahuan yang harus disimpan di museum dan mana ilmu yang harus dikembangkan kemudian diterapkan di masyarakat.
Apabila ilmu pengetahuan sudah berada pada titik 'keusangannya' maka Pemerintah pun sudah tidak sanggup memaksakan untuk menerapkannya. Ini hukum pasar. Saya berkeyakinan, jika pemerintah pun akan memilih ilmu pengetahuan yang sesuai dengan tujuan pembangunan negara. Jika tidak sesuai, buat apa memaksakan sesuatu yang justru bisa membawa kepada kekacauan pembangunan.

Formalisasi Ilmu: Mewariskan Konsep Industri sebagai Ibadah
Mengajarkan ilmu tidak harus selalu pada institusi pendidikan formal. Hal itulah yang luput dari perhatian masyarakat saat ini. Dalam hal menuntut ilmu,fokus perhatian kita saat ini hanyalah tertuju pada sekolah-perguruan tinggi. Kita terkadang menyepelekan ilmu pengetahuan yang bersumber dari seseorang/pihak yang dianggap tidak memiliki 'sertifikat' di bidangnya.[2]
Apabila masyarakat masih beranggapan demikian, maka sulit rasanya ilmu pengetahuan akan berkembang sesuai dengan kebutuhan. Karena, sekolah-perguruan tinggi tidak mengajarkan 'semua hal' yang diperlukan dalam menjalani profesi. Misalnya, ilmu mengenai bagaimana membangun rumah tidak hanya bisa didapatkan di jurusan arsitektur di universitas tetapi juga bisa didapatkan dari 'tukang bangunan' di desa-desa tempat kita tinggal.
Dalam Islam, proses pewarisan ilmu itu sebagai bentuk ibadah yang memiliki nilai tinggi di sisi Alloh SWT. Berdasarkan motif itu,  maka proses pewarisan ilmu dari generasi ke generasi akan berlangsung secara alami. Hanya saja, permasalahan timbul ketika tidak ada institusi yang bisa menghubungkan diantara pewaris dan yang diwarisi. Warga desa belum dapat menunjuk dan menentukan kemana mereka bisa memperoleh keahlian yang dibutuhkan. Untuk itu, perlu ada sarana yang dianggap paling efektif _dan tentu saja gratis.
Sarana untuk proses pewarisan itu adalah industri yang bisa dianggap paling efektif. Bukan sarana pelatihan kerja, bukan sekolah formal ataupun program pemerintah yang dijadikan sarana tetapi industri berdasarkan alasan yang disampaikan diawal essay ini.
Berikut adalah hadist yang menerangkan bahwa mengajarkan keahlian adalah bentuk ibadah dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT.[3]
Dari Abu Dzar ra. Ia berkata : "Aku bertanya kepada Rosululloh SAW, "Apa yang dapat menyelamatkan seseorang dari neraka?"
Nabi SAW menjawab , "Beriman kepada Alloh."
Aku bertanya, "Wahai Nabi, apakah amal yang mengiringi iman itu?"
Nabi menjawab, "Engkau memberikan sebagian dari karunia Alloh."
Aku bertanya," Wahai Nabiyuulloh, kalau ia seorang miskin yang tidak dapat memberikan sesuatu?"
Nabi menjawab, "Ia lakukan amar ma'ruf dan  nahi mungkar."
Aku bertanya, "Kalau seandainya ia tidak bisa amar ma'ruf dan  nahi mungkar?"
Nabi menjawab, "Memberi pertolongan/mengajar orang yang tidak mempunyai keterampilan (kerajinan tangan).”
Aku bertanya, "Wahai Rosululloh, bagaimana pendapatmu kalau orang itu sendiri tidak mempunyai keahlian?"
Nabi menjawab, "Menolong orang teraniaya."
 Aku bertanya, "Wahai Nabiyulloh, bagaimana pandanganmu kalau orang itu lemah tidak bisa menolong orang yang teraniaya?"
Nabi menjawab, " Apa yang engkau kehendaki  dari kebaikannmu untuk engkau tinggalkan bagi saudaramu? Agar dia bisa menjaga diri jangan sampai mengganggu orang lain."
Aku bertanya, "Wahai Rosululloh, apakah menurut pendapatmu jika ia melakukan (perbuatan) itu, ia akan masuk surga?"
Nabi menjawab, "Tidak ada seorang mu'min pun yang mencari salah satu dari sifat-sifat utama ini, melainkan sifat itu akan menarik tangannya sehingga ia memasukkannya ke syurga.
(HR. Baihaqi)
***
Kodifikasi ilmu pengetahuan perlu dilakukan, dalam arti setiap ilmu harus dikumpulkan dalam bentuk buku atau tulisan digital. Industri memfasilitasi ini semua sehingga si terwaris memiliki pijakan untuk mengembangkan ilmu.
Formalisasi ilmu pengetahuan yang saya kemukakan disini dimaksudkan agar kita tidak terlalu terpaku pada pengetahuan yang berasal dari sekolah-perguruan tinggi. Sebagaimana kita maklumi, ilmu bisa bersumber dari mana saja tanpa terlepas siapa yang menyampaikan ilmu itu.
Hanya saja, masyarakat masih mempertentangkan ilmu pengetahuan yang sifatnya informal. Menurutnya, keabsahan ilmu pengetahuan masih diragukan. Apalagi ilmu yang belum diteliti dan dibuktikan secara empiris. Budaya kelilmuan yang terlalu 'formal' seperti kita membuat 'strata' tersendiri sehingga kalangan 'non akademik' merasa tidak berhak untuk menelorkan ilmu yang tercetus dari hasil pemikirannya.
Padahal, ilmuwan sendiri sebetulnya sudah memaklumi bahwa sumber ilmu bisa darimana saja_apalagi ilmu sosial_ yang notabene penuh dengan ketidakpastian. Stuart Chase menyatakan bahwa ilmu adalah suatu metode untuk memperoleh pengetahuan dan memecahkan masalah. Sejarah manusia menunjukan 6 macam metode:
-          Bermohon kepada yang ghoib;
-      Bermohon kepada kekuasaan duniawi – lebih tua lebih baik;
-          Intuisi;
-          Akal sehat;
-          Logika murni;
-          Metode ilmiah.
Bertolak dari  metode keenam itu Chase merumuskan ilmu sebagai usaha untuk menemukan pola rangkaian peristiwa (fenomena).[4]
 Pengetahuan diperlukan untuk menjadi dasar dari langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki masyarakat. Maka dari itu ada pertimbangan pragmatis,  sesuai dengan aspirasi pembangunan kita.[5] Masyarakat saat ini tidak perlu laagi untuk 'berdebat' tentang ilmu mana dan seperti apa yang bisa 'dijadikan' rujukan bagi pembangunan pedesaan. Saya sendiri selalu menilai bahwa ilmu yang dapat digunakan/diaplikasikan itulah yang dipilih. Terdengar pragmatis, tetapi begitulah manusia modern melihat ilmu pengetahuan. Kecenderungan untuk meninggalkan ilmu pengetahuan yang sudah usang sudah menjadi sesuatu yang 'lumrah'.
Manusia modern senantiasa memiliki keinginan untuk  berubah ke arah kemajuan (perubahan dan perombakan secara asasi susunan dan corak) suatu masyarakat. Perubahan manusia modern dari statis ke dinamis, dari tradisional ke rasional, dan selanjutnya. Maka dari itu, dengan jalan merubah cara berpikir masyarakat sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi segala perangkat kehidupan dan tatacara semaksimal mungkin. Dan, inilah sebenarnya arti penting ilmu pengetahuan pembangunan yang membawa masyarakat di pedesaan ke arah kehidupan yang lebih 'mudah' dalam segala hal.
Modernisasi dengan ilmu pengetahuan ini serasi dengan fitrah kejadian manusia yang hidup dan meningkatkan taraf hidupnya ke arah yang lebih tinggi, yang lebih baik. Jadi, warga desa jangan hanya 'nyaman' dalam kondisi yang 'biasa seperti dulu' tetapi harus ada keinginan untuk mengubah kondisi sekitarnya. Hal yang terkesan 'aneh', ketika warga desa ingin terlihat modern justru mereka pergi ke kota bukannya menjadikan desanya menjadi modern.
Warga desa pun tidak perlu khawatir dengan proses modernisasi di desa karena sejalan dengan pengertian da'wah dalam arti revolusioner. Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk lebih modern. Saya tak habis pikir, apabila ada segolongan orang yang menolak modernisasi dengan alasan bahwa modernisasi berasal dari Barat. Namun, alasan itu akan terpatahkan karena itu sama saja dengan 'mengucilkan' diri dari pergaulan internasional dan saat ini sudah tidak ada lagi daerah yang tidak terhubung dengan dunia global.
Modernisasi pun sejalan dengan sejalan pula dengan pengertian ishlah dalam arti luas. Karena, tujuan modernisasi adalah "industrialisasi penduduk"/industrialization of the population.[6] Perbaikan kehidupan bagi ummat Islam merupakan ibadah yang memiliki nilai tinggi. Apalagi, manusia memiliki tugas untuk memakmurkan bumi. Secara spiritual, modernisasi sebenarnya memenuhi nilai-nilai keagamaan yang ada dalam diri manusia.
Industrialisasi penduduk ini dengan jalan menghentikan program baru pembangunan bidang pertanian karena dianggap akan menghambat industrialisasi itu sendiri.[7] Kita bertekad  untuk tidak membangun lagi sarana baru dibidang pertanian, misalnya membangun waduk, saluran irigasi (kanal), sumur artesis dll, kecuali hal itu sifatnya mendesak diperlukan. Jika tidak, maka cukup memperbaiki dan memugar apa yang telah ada. Kebijakan ini dilakukan karena kita tidak sedang mengadakan revolusi pertanian. Sikap dan tindakan itu dilakukan dan diperlukan untuk revolusi industri dan memelihara kekayaan hasil bumi yang ada agar meningkat produksinya.
Semua keinginan itu tidak lepas dari pengetahuan tentang strategi yang terencana yang kita saksikan yaitu bagaimana Barat secara licik berusaha mengalihkan perhatian pembangunan negeri-negeri Islam ke arah pembangunan pertanian. Untuk itu, mereka tidak segan-segan memberikan biaya dan bantuan untuk kebutuhan pembangunan irigasi dan sarana pertanian lainnya dalam upaya menghalangi usaha memajukan bidang industri. Program mereka adalah bagaimana agar negeri-negeri Islam terus lemah dan tetap tergantung kepada mereka (negara-negara industri).
***
Berdasarkan konsep pengetahuan yang mendukung industri inilah maka saya berkeyakinan akan terjadi proses pewarisan ilmu pengetahuan yang berkesinambungan. Kaum muda di pedesaan sepertinya akan memiliki motifasi tinggi untuk menggali lebih banyak ilmu pengetahuan karena ilmu tersebut dianggap berguna bagi mereka. Saya juga berpendapat bahwa tidak perlu ada lagi 'penggiringan' dalam proses belajar karena generasi muda memiliki intuisi untuk mengikuti kebutuhan mereka akan pengetahuan. Pribadi yang aktif akan memandang bahwa menggali ilmu pengetahuan dan mengeksplorasi alam merupakan bagian dari penghambaan diri kepada Alloh SWT.
Generasi penerus di pedesaan akan melihat industrialisasi pedesaan sebagai budaya warisan leluhur yang harus dijaga dan terus dikembangkan. Mereka tidak lagi melihat warisan leluhur hanya berupa nilai-nilai lama yang sudah tidak 'relevan' lagi dengan kebutuhan ummat manusia. Saya salut pada masyarakat Tionghoa yang menjadikan industri dan bisnis sebagai budaya warisan dari orang tua. Mereka memiliki motifasi tinggi untuk meneruskan apa yang telah dirintis oleh para orang tua.[8]


[1] Abdurrahman AlBaghdadi, Islam Bangkitlah, Gema Insani Press, Jakarta: 1991. Hal. 102-103.
[2] Fazriyati dalam AGORA Vol. 3, No. 1, (2015), hal. 98
[3] Maftuh Ahnan, Filsafat Manusia, Bintang Pelajar, Hal. 376-378.
[4] PN. Usman Tampubolon, Matemasi Ilmu-Ilmu Sosial (Essay) dalam Krisis Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Pembangunan Di Dunia Ketiga, PLP2M, Yogyakarta: 1984, hal. 80.
[5] Toety Herati Noerhadi, Analisa dan Pemahaman dalam Metodologi Ilmu-Ilmu Sosial (essay) dalam Krisis Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Pembangunan Di Dunia Ketiga, PLP2M, Yogyakarta: 1984. hal. 35
[6] Rosihan Anwar dalam Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam dan Ummatnya, Perpustakaan Salman ITB, Bandung:  1983, h. 195.
[7] Abdurrahman Al-Baghdadi, Islam Bangkitlah, Gema Insani Press, Jakarta: 1991. Hal. 114.
[8] Fazriyati dalam AGORA Vol. 3, No. 1, (2015), hal. 101.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...