Jumat, 23 Oktober 2015

Waktu sebagai Alat yang Unik

Kebanyakan orang menyadari suatu hal lagi mengenai waktu : waktu adalah alat. Terlebih pula, waktu adalah alat yang unik. Waktu tidak dapat dikumpulkan seperti uang atau ditumpuk seperti bahan-bahan baku. Kita harus menghabiskannya, apakah kita ingin atau tidak, dan dalam, jumlah tertentu, yakni 60 detik setiap menit. Waktu tidak dapat dipasang atau dimatikan seperti lampu atau mesin atau diganti seperti manusia. Waktu yang telah lewat tidak dapat ditarik kembali.
Namun, kita dapat menentukan cara kita melewatkan waktu. Seperti halnya dengan alat-alat lain, waktu itu digunakan secara efektif atau disalahgunakan.
Waktu merupakan alat kritis untuk seorang pemimpin. Curtis Jones mengemukakan bahwa pengurangan waktu untuk penyelesaian tugas-tugas seorang pekerja/pengusaha perlu perhatian yang sama banyaknya seperti yang dilakukan oleh para usahawan untuk membuat keuntungan yang sebesar mungkin. Para penerbit “Bussiner Week” menyetujui pendapat Jones bahwa alat yang paling kritis untuk perusahaan adalah waktu _ bukan uang. Lagipula Jones meramalkan, bahwa organisasi-organisasi akan mulai menugaskan pegawai staf mereka untuk membantu para manager memanfaatkan waktu mereka sebaik mungkin.
Pada kursus-kursus manajemen, mengapa manajemen waktu telah diabaikan? Dari semua alat-alat, tampaknya waktu paling sedikit dimengerti dan paling banyak disalahgunakan.
Satu sebab untuk kelalaian ini mungkin adalah kegagalan kita untuk menyadari bahwa “manajemen waktu” sesungguhnya istilah yang salah. Dalam arti yang sesungguhnya, kita tidak mengelola waktu, waktu berjalan terus di luar pengawasan kita, tanpa dapat dihentikan. Masalahnya bukanlah mengelola lonceng, tetapi mengelola diri sendiri sehubungan dengan waktu. Setelah kami menyadari – azas ini, kami mudah mengerti mengapa manajemen waktu menghadapkan kita secara langsung dengan sederetan masalah-masalah yang mengejutkan.[1]

Perspektif Masa Depan Dalam Suatu Budaya
Sebagaimana konsep perspektif masa lalu tampak berbedadari budaya yang satu ke budaya yang lain, begitu pula citra masa depan. Masa depan bersifat konseptual dan prosesual--juga masa kini dan masa lalu.
Studi mendalam untuk mengetahui bagaimana budaya-budaya berbeda dalam orientasi futuristik dan temporalnya baru dimulai. Futurisme adalah suatu gerakan yang bersifat multidisipliner dan dengan cepat  berkembang menjadi upaya intansif dan terus-menerus serta sangat penting dalam banyak disiplin ilmu. Telaah masa depan harus menggunakan sejumlah besar energi ilmiah, baik pada waktu dekat ini atau jauh nanti. Pada satu saat gerakan baru ini akan dipandang sebagai titik balik dalam sejarah perkembangan pikiran umat manusia. Jalan-jalan baru menuju cara berpikir ke depan yang belum diteliti akan berkembang. Tetapi cara-cara baru “berpikir ke depan” akan menghasilkan jarak yang lebih besar antara budaya yang secara cepat mengembangkan visi masa depannya (progresivisme) dengan budaya dimana citra masa depan baru berubah dari visi tradisional.
Ada beberapa budaya yang tampaknya memiliki keajegan citra yang kaku dalam citra masa depannya. Tingkat kejegan citra masa depan berbeda-beda di antara kelompok-kelompok budaya. Contohnya banyak. Bagi kelompok budaya tertentu, pandangan masa depan itu ditakuti dan disembunyikan dari alam pikiran.  Bagi budaya lain lagi, berpikir tentang masa depan dianggap sebagai: kegiatan mubazir, kemalasan, sejenis mimpi yang tidak perlu, aktifitas romantik yang tolol, atau sejenis kegiatan yang dilakukan oleh orang aneh atau orang jahat.
Dalam lingkungan waktu seperti itu akan berkembang citra masa depan yang stabil dan kaku. Bila ini terjadi, citra futuristik yang kaku tampaknya akan menafikan pandangan masa depan yang lain. Misalnya, citra yang jelas tentang “kehidupan seseorang pada hari nanti” (yang diyakini banyak kelompok budaya) dapat mencegah berkembangnya citra alternatif masa depan. Keajegan citra masa depan suatu kelompok budaya mungkin dapat mencegah atau menghalangi anggota kelompok budaya tersebut untuk memikirkan hal yang ada kaitannya dengan perencanaan atau berbagi cara berharap.
Betul kita tahu bahwa   dalam satu kelompok budaya terdapat perbedaan individual dalam citra masa depannya tetapi individu-individu itu cenderung mengembangkan citra masa depan yang sama dengan anggota lainnya dalam kelompok budayanya. Individu dalam budaya tampaknya meragamkan citra masa depannya ketika menjadi tua, sesuai dengan ketakutan akan kematian dan akan sesuatu yang tak teramalkan atau tak diketahui, dan sesuai dengan kemampuan  khas mereka untuk berpikir dengan model-model futuristik.
Tidak ada alasan mengapa kita tidak boleh menganggap bahwa setiap kelompok budaya mempunyai citra masa depan yang tertentu, yang boleh jadi sama atau berbeda dengan citra masa depan yang dimiliki oleh anggota kelompok budaya yang lain. Pendeknya, konsepsi waktu dan perspektif budaya yang berbeda adalah perbedaan utama diantara kelompok-kelompok budaya  dan perlu diperhatikan oleh orang-orang yang meneliti komunikasi antarbudaya.
Kemampuan mengantisipasi akibat dan menangguhkan pemuasan kebutuhan merupakan kegiatan yang diperkokoh secara kultural dan melibatkan perspektif futuristik. Penangguhan pemuatan dan antisipasi akibat sangat berkaitan dengan  kekayaan, kondisi ekonomi, dan kehidupan suatu kelompok budaya. Tetapi kelompok-kelompok budaya mempunyai cara-caranya sendiri yang tradisional dalam mengantisipasi akibat maupun menangguhkan gratifikasi. Cara yang khas ini dapat berintraksi dengan perubahan kondisi ekonomis dan sosial dan perubahan pacu kehidupan dengan bermacam-macam cara.
Dalam sebagian kelompok budaya, arah yang jelas dan tindakan masa depan dilakukan dengan menetapkan dan menggunakan berbagai macam jadwal kegiatan, dengan mengikuti langkah-langkah yang ditetapkan adat dan kebiasaan, atau dengan dengan cara-cara menciptakan suasana peluang. Kadang-kadang, benturan perspektif budaya dapat dikontraskan secara tajam.[2]

Contoh: Dua Budaya Memaknai Waktu
 Waktu dan ketepatan waktu lebih penting di Belanda. Meskipun demikian seorang Belanda di Indonesia dianjurkan untuk menepati waktu seperti ketika ia berada di negerinya sendiri. Di Indonesia, derajat ketepatan waktu yang diharapkan bergantung pada hubungan sosial; orang lebih tepat waktu terhadap seorang atasan (namun, aturan ini terdapat pula di Belanda). Orang-orang Indonesia cenderung menganggap waktu sebagai berputar (cyclical) ketimbang sebagai suatu proses lurus (linier); oleh karenaitu, mereka kurang bersifat terburu-buru. Disamping itu, orang Indonesia merasa bergantung pada kekuatan-kekuatan mistis dalam kasus-kasus yang bagi orang-orang Belanda dianggap suatu kebetulan. Ramalan-ramalan mistis penting di Indonesia: keputusan-keputusan penting harus diambil pada hari-hari baik. Pada beberapa hari tertentu bisnis tak mugkin dilakukan atau perjanjian-perjanjian tiba-tiba dibatalkan bila harinya dianggap tidak menguntungkan.[3]



[1] R. AlecMackenzie, Efisiensi Waktu untuk Manajer, Intimedia, Jakarta, hal. 14-15.
[2][2] Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat (editor), Komunikasi Antar Budaya, RemajaRosdakarya, Bandung: 2010. Hal. 124-125.
[3] Ibid. hal. 196.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...