Kamis, 12 November 2015

Pelatihan Sumber Daya Manusia di Pedesaan (Bagian 1)

Pelatihan sumber daya manusia di pedesaan mutlak harus dilakukan. Ini berkaitan dengan kebutuhan masyarakat desa untuk menyesuaikan dengan laju perubahan zaman. Untuk itu, harus ada prinsip-prinsip yang bisa menjadi pegangan dalam melaksanakan pelatihan.

Pelatihan untuk Perubahan Masyarakat
Terdapat beberapa pandangan yang berbeda terhadap perubahan yang menjadi fenomena alamiah dalam kehidupan masyarakat (perorangan, kelompok, lembaga dan komunitas). Pandangan pertama menyatakan bahwa perubahan merupakan hakekat kehidupan sehingga realitas atau kenyataan yang tetap berlangsung secara terus-menerus dalam kehidupan masyarakat adalah perubahan itu sendiri. Pandangan kedua menyatakan bahwa pada umumnya tidak ada seseorang yang menginginkan perubahan dalam menjalankan tugas atau pekerjaannya pada suatu lembaga  dimana ia bertugas atau bekerja.
Pandangan Pertama
Menurut Rogers (1985) masyarakat pada umumnya berubah dari kategori masyarakat ekonomi agraris ke masyarakat ekonomi industri dan kemudian ke masyarakat ekonomi informasi.
Pada masyarakat ekonomi agraris, yang diduga mulai sekitar sepuluh ribu tahun yang lalu, fokus kegiatan masyarakat adalah (1) untuk memenuhi kebutuhan dasar, terutama pangan, (2) pekerjaan lebih mengandalkan kemampuan fisik dengan menggunakan alat-alat sederhana, bukan alat berwujud mesin, (3) kegiatan penduduk di bidang pertanian sehingga sebagian besar penduduk adalah petani, (4) komunikasi dilakukan melalui media satu arah, dan (5) sumber daya utama masyarakat adalah lahan pertanian.
Pada masyarakat ekonomi industri, yang dimulai di Inggris tahun 1750 sejak penemuan mesin uap, ditandai oleh (1) zone-zone perkembangan industri yang makin meluas, (2) sumber daya utama adalah energi dan modal utamanya adalah uang dan alat-alat canggih, (3) konsentrasi pekerjaan adalah di pabrik-pabrik dan sebagian terbesar tenaga kerja ialah buruh di pabrik, (4) teknologi dasar adalah mesin, dan pabrik baja sebagai institusi pemicu kemajuan, serta (5) komunikasi menggunakan media elektronika satu arah seperti radio, televisi dan film.
Pada masyarakat ekonomi informasi, yang dimulai di Amerika Serikat sekitar tahun limapuluhan, ditandai oleh : (1) kebutuhan yang makin besar terhadap sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta informasi, (2) lapangan pekerjaan yang dominan adalah di bidang informasi, (3) teknologi dasar yaitu elektronik dan komputer, (4) lembaga pemicu kemajuan adalah univeristas riset, dan (5) komunikasi antar manusia menggunakan teknologi komunikasi informasi yang interaktif.
Ketiga tingkatan perubahan masyarakat di atas mempunyai implikasi terhadap kegiatan pelatihan. Pada masyarakat ekonomi agraris, pelatihan berpusat pada pelatih sebagai sumber utama dalam proses pembelajaran. Sumber-sumber lain kurang memadai sehingga interaksi pembelajaran sangat tergantung pada keterampilan pelatih secara perorangan. Bahan belajar dalam pelatihan dianggap sebagai alat bantu bagi pelatih. Interaksi pembelajaran dalam pelatihan  mirip dengan  “banking system”, yaitu kegiatan pelatih mendepositokan pengetahuannya ke dalam otak peserta pelatihan yang dianggap sebagai penerima deposito (deposan). Pembelajaran dalam pelatihan dipandang sebagai upaya mentransfer pengetahuan kepada peserta pelatihan yang memenuhi syarat dan telah diseleksi berdasarkan persyaratan tertentu. Pembelajaran dilakukan oleh pelatih untuk peserta pelatihan.
Pada masyarakat ekonomi industri, pelatihan berpusat pada kurikulum atau program pelatihan. Bahan belajar dalam pelatihan bervariasi dan dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti pelatih, perpustakaan, media massa khususnya internet dan lingkungan sekitar. Proses pembelajaran lebih banyak menggunakan media dan teknologi pembelajaran. Peranan pelatih sama pentingnya dengan peranan pembimbing, nara sumber teknis dan tenaga kependidikan lainnya. Kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan lembaga penyelenggara pelatihan dan lingkungannya.  Pembelajaran merupakan proses penyebaran keterampilan, pengetahuan, nilai-nilai dan teknologi tertentu kepada peserta pelatihan sebanyak mungkin. Proses pembelajaran dalam pelatihan dilaksanakan oleh pelatih bersama peserta pelatihan.
Pada masyarakat ekonomi informasi, kurikulum pelatihan berpusat pada kebutuhan peserta pelatihan. Bahan pembelajaran yang berbentuk informasi melimpah, mudah diperoleh dan terdapat di mana-mana. Pembelajaran dalam pelatihan dilakukan melalui komunikasi interaktif. Peserta pelatihan diberi kebebasan untuk menggunakan berbagai sumber belajar sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Informasi adalah mendunia dan bahan pembelajaran dikaitkan dengan kepentingan kehidupan peserta didik pada era global. Peserta pelatihan dapat memaksimalkan penggunaan sumber informasi internasional melalui jaringan informasi seperti internet melalui e-learning (electronic learning) dan/atau u-learning (ubiqouitus learning). Pembelajaran menekankan pada aktifitas peserta pelatihan, sedangkan pelatih berperan sebagai fasilitator. Pelatihan menggunakan pendekatan individual dalam pembelajaran untuk peserta pelatihan yang bersifat masal.     
Pandangan Kedua
Pandangan kedua menyatakan bahwa pada umumnya tidak ada seseorang yang menginginkan perubahan dalam menjalankan tugas atau pekerjaannya pada suatu lembaga di mana ia bertugas atau bekerja. Seseorang cenderung menyenangi perubahan pada pihak lain yang dapat membantu atau mempengaruhi pemenuhan kebutuhan dan kepusan dirinya. Pada kondisi ini cenderung tidak ada karyawan bahkan seseorang staf manajer dalam suatu lembaga, mengharapkan suatu perubahan atau menginginkan supaya tugas dan pekerjaannya berbeda dengan yang biasa ia lakukan. Perubahan pun hanya menjadi buah bibir (lip-service) dalam kehidupan di lingkungan kerja dan masyarakat.
Menurut McGregor, yang memperkenalkan Teori X dan Teori Y, menyatakan bahwa terdapat dua pandangan terhadap orang-orang yang terlibat dalam suatu lembaga.
Teori X berasumsi bahwa karakteristik umum orang yang terlibat dalam lembaga adalah: (1) keinginan untuk bekerja seringan mungkin dan bertahan untuk tidak berubah, (2) supaya  pekerjaan dapat sesuai dengan keinginan lembaga maka mereka harus dimotifasi, diberi ganjaran dan hukuman, dan selalu diawasi, (3) orang-orang lebih mementingkan dirinya sendiri dan cenderung untuk mengabaikan  tugas pekerjaannya.
Sedangkan Teori Y berasumsi bahwa orang yang terlibat dalam lembaga memiliki ciri umum yaitu : (1) tidak dengan sendirinya kurang menyenangi kerja, (2) mereka mempunyai potensi untuk bertanggung jawab yang perlu didorong dalam kegiatan bersama, dan (3) pemenuhan kebutuhan sosial, pengakuan dan pengembangan diri dapat dicapai melalui kerja kelompok.
Pelatihan dapat digunakan untuk mengubah perilaku orang-orang yang memiliki kedua karakteristik tersebut  dalam lembaga, walaupun upaya merubah perilaku manusia yang memiliki ciri-ciri yang digambarkan Teori X dianggap lebih sulit dibandingkan dengan mengubah mereka yang memiliki ciri-ciri sebagaimana digambarkan dalam Teori Y.


(Sumber : Djudju Sudjana, Pendidikan dan Pelatihan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Imtima: Bandung: 2009. ) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...