Minggu, 08 Juni 2014

Golongan Transisional


Resensi Buku Memudarnya Masyarakat Tradisional, Daniel Lerner, Gadjah Mada University, 1978.
Sumber : Google
Golongan transisional ini memang mempunyai tempat tersendiri dalam lingkup budaya masyarakat modern. Ketika modernisasi terus berlanjut maka mereka berusaha menempatkan diri pada situasi yang 'menengah'. Golongan ini memandang bahwa dunia semakin meluas dalam artian selalu ada harapan diluar lingkungan terdekatnya. Meskipun golongan ini belum bisa mencapai gaya kosmopolitan sebagaimana kaum modern. Mereka berada pada situasi 'mengambang' menunggu perkembangan selanjutnya namun tidak ekspansif dengan giat membuat perubahan.
Mungkin kebanyakan dari kita adalah golongan transisional. Menurut Lord Maculay, dalam kebudayaan modern seperti saat ini berlaku 'kebudayaan akal' dimana imajinasi kesuksesan ditentukan oleh semakin cerdasnya seseorang atau semakin efisiennnya seseorang menggunakan kemampuannya. Berbeda dengan dulu yang masih berlaku 'kebudayaan keberanian' dimana kesuksesan diukur dengan kesetiaan seseorang pada tradisinya juga keberanian dalam menghadapi tantangan berbahaya (halaman 132).  Mungkin, kita masih menganggap bahwa kesuksesan dapat diukur secara perhitungan materil tetapi kitapun masih enggan meninggalkan kesetiaan akan tradisi. Memang begitulah ciri golongan transisional, terkatung-katung antara sikap tradisional tetapi belum memiliki sikap modern.
Golongan transisional menganggap dunia ini berkembang dan meluas. Ada keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman hanya saja belum punya kemampuan untuk menyamai masyarakat modern yang bersikap kosmopolitan. Latar belakang mereka yang lahir di kota kecil atau pedesaan belum bisa terhapus karena pengaruh lingkungan di masa pertumbuhannya. Ketika terjadi kegamangan dalam jiwanya _antara mengikuti sikap modern tetapi tidak melanggar kesetiaan pada tradisi_ maka kebanyakan dari mereka meninggalkan tanah kelahirannya. Golongan transisional biasanya berurbanisasi untuk memenuhi keinginannya.
Dalam memenuhi keinginannya, tidak hanya raganya saja yang berpindah tetapi juga jiwanya. Cara berpikir yang kurang terbuka dengan perlahan diubah menjadi lebih bisa mellihat berbagai kemungkinan. Hanya saja, golongan tradisonal secara tegas belum punya keberanian untuk mengatasi kesulitannya. Kebanyakan dari mereka 'sekedar coba-coba' dan 'ikut-ikutan' dalam banyak hal. Dalam menentukan pilihan, mereka masih mengekor pada apa yang sudah ada. Jika melihat seseorang sukses dalam satu bidang profesi maka ada keinginan untuk menirunya.
Golongan ini belum bisa membedakan antara keharusan menjalani profesi itu atau keinginan/hasrat yang timbul dari lubuk hati yang terdalam. Harapan-harapan yang mereka idamkan tidaklah sejelas golongan modern. Jika orang modern sudah bisa 'merekayasa masa depan' maka golongan transisional ini masih meraba-raba dalam kegelapan. Tapi itu lebih baik dibandingkan orang tradisional yang hanya diam saja dalam kegelapan. Tanpa memiliki keinginan untuk bergerak maju ke depan.
Karena sifatnya yang masih meraba-raba, maka konsep kebahagiaan yang mereka miliki masih bias. Kadang mereka tidak puas dengan apa yang terjadi, tetapi bingung harus berbuat apa. Mereka sering tidak puas dengan profesi  yang sedang dijalani. Ukuran kebahagiaan adalah seberapa banyak penghasilan yang mereka dapat. Untuk itu, mobilisasi jiwa dan raga menjadi cara yang banyak ditempuh dengan harapan akan mendapatkan penghasilan yang lebih dari biasanya. Walaupun caranya belum tahu secara tegas harus bagaimana. Ilmu pengetahuan yang dimiliki belum cukup untuk meretas jalan kemasa depan.
Celakanya, ketidakpuasan ini malahan membuat mereka sedikti melupakan konsep kabahagiaan yang sudah diterimanya dari orang tua ketika masih kanak-kanak. Imajinasi bahwa kebagiaan itulah dengan masuknya manusia ke dalam sorga, lambat laun memudar. Bagi mereka, perasaan tidak puas selalu berisfat meteri bukan kepuasan rohani. Sekularisasi merajarela tanpa bisa dikendalikan. Para alim ulama tidak bisa mengontrol karena mereka pun tidak bisa membari contoh dan solusi atas kemalangan yang dihadapi.
Jika para ulama tradisional selalu memberikan ceramah tentang tindakan ritual rohani untuk mendapatkan kebahagiaan, maka kaum transisional justru cenderung berorientasi tindakan ekonomi. Baginya, agama hanyalah sebagai 'pengisi waktu luang', bukan sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan dunia. Golongan transisionil cenderung rasional, artinya kepuasan akal menjadi ukuran. Konsep-konsep irasional masih  mereka pegang, hanya saja tidak ekstrem. Mereka lebih suka mengikuti konsep yang praktis dari semua lini dan bisa dilihat dengan mata telanjang. Konsep-konsep yang datang dari Kitab Suci _walaupun mengenai urusan dunia_ kurang dipercayai.
Solusi untuk Mengakomodasi Golongan Transisional
Islam sudah mewanti-wanti hal ini akan terjadi. Untuk itu, solusi yang diberikan tidak bersifat parsial. Tidak memisahkan antara pencapaian materi duniawi dengan pencapaian kepuasan rohani. Konsep kebahagiaan begitu jelas/tegas yakni tercapai kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Sosok yang bisa mengakomodir mereka adalah sosok yang memiliki/mengorganisir dana, kemampuan manajemen yang baik, membela kepentingan ekonomi dan memiliki pemahaman agama yang baik. Walaupun sosok seperti itu jarang ditemukan. (selanjutnya baca Industriawan Lokomotif Pembangunan di www. ayomembangundesa.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...