Minggu, 08 Juni 2014

Masa Depan Bagi Orang Desa

Sumber: Google
Saya mulai memahami mengapa orang desa terlihat mengalami kesulitan membangun masa depannya. Warga desa begitu tergantung pada apa yang mereka terima dari 'dunia luar'. Peran pemerintah begitu dominan sehingga kemandirian ekonomi tidak tumbuh. Mending jika pemerintah giat melakukan pembangunan, tetapi keadaan menjadi sebaliknya apabila pemerintah enggan membangun desa sebagai hulu bagi kemandirian ekonomi nasional.
Ternyata, sebelum aspek fisik dibangun secara berkala harus ada 'pembangunan' pemikiran terlebih dahulu. Pemikiran orang desa yang masih dalam masa transisi bahkan masih tradisional menganggap masa depan adalah suatu yang ganjil. Begitu tabu ketika orang bercerita tentang bagaimana masa depan akan diciptakan. Baginya semua yang terjadi di masa depan adalah kehendak Tuhan yang tidak bisa diramalkan. Bagi mereka yang berpikir seperti itu, tidak ada kesempatan yang bisa dibuat karena kesempatan itu datang dengan sendirinya. Walaupun tidak tahu kapan kesempatan itu akan datang.
Kesempatan baru hanya ada di perkotaan, begitulah yang dipikirkan orang desa. Urbanisasi menjadi pilihan untuk mencari kesempatan baru yang dimaksud. Bagi yang tetap tinggal di desa, masih memandang sempit akan terbukanya kesempatan baru. Mekanisme perdagangan global belum menjadi acuan bahwa kesempatan selalu terbuka lebar karena orang yang jauh disana 'dianggap tidak membutuhkan apa yang kita punya'. Orang yang jauh di sana dianggap tidak punya kepentingan dengan apa yang kita diperbuat sehingga tidak terpikirkan untuk melayani kebutuhan orang yang jauh dari pelupuk mata.
Bayangan akan kekayaan yang dimiliki ternyata begitu berpengaruh pada bagaimana warga membayangkan masa depan desanya. Ukuran infrastruktur yang ingin dibangun sulit didefinisikan karena sulitnya menaksir betapa besarnya biaya yang akan dikeluarkan. Bagi warga desa, membangun infrastruktur yang mahal hanyalah urusan pemerintah.  Jarang terlintas dalam pikiran untuk membangun irigasi di desa jika ternyata biaya untuk membangunnya pun sangat tinggi. Sehingga tidak aneh sudah berpuluh tahun banyak desa yang tidak memiliki irigasi. Alhasil, pertanian pun mengalami penurunan produksi secara signifikan dari musim ke musim.
Perasaan tidak berdaya begitu menghinggapi masyarakat tradisional seperti ini. Untuk sekedar berpikir tinggi pun sepertinya hal yang tabu. Mempunyai cita-cita tinggi hanyalah pantas bagi orang yang bependidikan tinggi. Tingkat pendidikan yang rendah malahan membuat warga enggan menggunakan kecerdasan pikiran untuk menciptakan hal besar. Padahal tingkat kecerdasan manusia tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan formal yang dialaminya.
Bagi warga desa, bekerja dengan menggunakan kecerdasan pikiran hanyalah berlaku bagi orang kota setidaknya pegawai pemerintahan atau guru di sekolah. Keengganan untuk berpikir lebih maju mungkin sangat terpengaruhi oleh rangkaian kemudahan hidup yang mereka miliki. Mereka sudah merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Karunia alam sudah menjadi sumber kehidupan dan tidak perlu untuk menambahnya lagi. Jika ingin menambahnya, maka tempatnya hanyalah ada di kota. Dan, berbondong-bondonglah orang desa ke kota dengan harapan bisa bertambah kekayaannya. Bukan dengan membuka usaha di desa dengan memanfaatkan potensi yang mereka miliki.
Pikiran begitu mengakibatkan rendahnya inisiatif untuk mengembangkan segi kehidupan yang telah lama ada. Inisiatif bukanlah tidak ada dalam pikiran, tetapi semacam ada kekhawatiran untuk gagal. Dalam waktu lama, tidak adanya kemauan seperti ini mengubur segala ide yang terlontar. Bagi masyarakat tradisional menjalankan ide baru hanya akan mengundang 'masalah' baru. Resiko ketidakpastian senantiasa menghantui  kemudian menghilangkan harapan baik yang selama ini diinginkan.
Harapan yang hilang ini meredam imajinasi karena baginya imajinasi sama dengan mengkhayalkan sesuatu yang tidak mungkin. Berimajinasi seakan sesuatu yang 'haram'. Warga lebih suka melibatkan diri pada jalur profesi yang pernah ada bahkan sangat menghormati profesi formal. Makanya, melakukan hal yang berawal dari imajinasi adalah hal cenderung untuk dihindari.
Mencari tahu apa yang sedang terjadi di 'luar sana' pun tidak menjadi kebiasaan. Wajar jika imajinasi pun terbatas. Baginya waktu begitu lambat dan tempat begitu sempit. Waktu seakan terlambat karena jarang terjadi perubahan dari hari ke hari. Tempat terasa begitu sempit karena sulit membayangkan akan terjadi perubahan pada tempat tinggalnya di kemudian hari. Secara psikologi, anggapan seperti ini tidak mendorong manusia untuk mengubah kondisi. Sulit membayangkan adanya hubungan antara yang terjadi di tempat nun jauh disana dengan kondisi sekitarnya kini dan nanti.
Ketertarikan warga akan apa yang sedang terjadi di belahan dunia lain menjadikan lemahnya fungsi sarana informasi dan komunikasi. Padahal, dengan semakin canggihnya sarana sumber pengetahuan tersebut bisa membuka wacana berpikir kita. Sebagaimana diketahui, semakin banyak informasi yang diterima maka bisa merangsang imajinasi masa depan desa kita. Tak apa kita berpikir besar _dan seharusnya begitu_ tetapi kita pun bisa memulainya dengan hal-hal kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...