Minggu, 08 Juni 2014

Industriawan sebagai Lokomotif Pembangunan

Sumber: Google
Perubahan masih sangat diharapkan oleh masyarakat dimanapun terlepas dari cepat atau lambatnya perubahan itu. Sebagai makhluk yang dinamis, manusia senantiasa mendambakan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Hanya saja, perbaikan seperti apa dan bagaimana yang didambakan masih bersifat bias. Manusia masih meraba-raba layaknya anak kecil belajar berjalan.
Proses belajar masyarakat itu perlu pembimbing yakni orang yang akan mengarahkan ke arah mana sebaiknya kita melangkah. Gambaran masa depan yang masih bias bisa dijelaskan oleh orang-orang yang memiliki kecakapan lebih dalam banyak hal dibandingkan dengan yang lain. Merekalah agen-agen pembaharu dalam proses pembangunan. Para agen pembaharu ini bisa seorang ulama, politisi, media  atau para entreupreuneur.
Jika dahulu pembangunan masyarakat masih dipimpin oleh para ulama yang membimbing ke arah kehidupan menurut perspektif ulama itu sendiri. Ternyata, kini para masyarakat lebih suka dipimpin oleh orang-orang yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Kepemimpinan dalam masyarakat desa yang informil sejak dahulu, kini sudah berubah menjadi pola kepemimpinan formil. Adanya lembaga pemerintahan setingkat desa, peran lokomotif pembangunan itu sedikit demi sedikit beralih. Hanya saja, itu tidak terjadi pada semua kondisi dan situasi. Pemerintah desa bisa saja hanya bersifat administratif belum bisa menjadi pengarah bagi kemajuan kehidupan masa depan.
Padamulanya, melembagakan pola kepemimpinan warga dinilai bagus untuk meningkatkan taraf hidup. Tetapi, seiring berjalannya waktu semuanya mengalami 'kegagalan' karena berbagai sebab. Orang desa sepertinya sudah memiliki pandangan sendiri tentang bagaimana mengelola hidupnya sendiri. Keakuan sudah tumbuh dalam diri warga desa karena pengaruh pendidikan, media massa dan pola meniru warga kota.
Begitupun para politisi yang secara kelembagaan menjadi pemimpin mereka, hanya berlaku dalam skala yang sangat luas. Dalam skala kecil, seperti di desa, politisi kurang mempunyai peran dominan. Celakanya, ulama pun perannya semakin berkurang seiring begitu kompleksnya kepentingan warga. Tidak hanya kebahagiaan akhirat yang diharapkan manusia, tetapi kepuasan materi dan kebebasan berkehendak juga menjadi kepentingan yang senantiasa diperjuangkan (Memudarnya Masyarakat Tradisionil, Daniel Lerner, Gadjah Mada University, 1978)
Pemimpin sebagai Penemu Solusi yang Dibutuhkan Warga Desa
Sebagaimana ditulis dalam buku Manajemen Waktu (James T. McCay, Cypress, 1979) disebutkan bahwa di abad ini orang yang akan menjadi pemimpin adalah sosok yang bisa menemukan solusi bagi masyarakat di sekitarnya. Siapa pun itu, apakah dia seorang guru, ilmuwan, politisi bahkan seorang petani. Kenapa? Karena sosok penemu ini memiliki kepedulian untuk menyelesaikan masalah orang lain. Sosok yang dibutuhkan kini bukan yang paling pintar atau pendidikannya paling tinggi juga bukan orang paling kaya. Tetapi, dialah yang kreatif juga senantiasa menginvestasikan waktunya untuk terus belajar demi bertambahnya pengetahuan dan keterampilannya.
Kreatifitasnya muncul dari bagaimana dia mencerna realita tidak hanya melulu mengele-elukan teori ilmu pengetahuan. Misalnya, ketika dahulu para ulama ortodoks senantiasa menganggap bahwa kepentingan akhirat harus selalu didahulukan sebagaimana dalil Al-Quran. Tetapi, apakah itu masih berlaku ketika ketidakberdayaan (kemisikinan warga, kebodohan berpikir) masih menjadi momok menakutkan? Mungkin kepercayaan orang terhadap teori ini semakin runtuh karena sangat tidak sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Orang justru semakin percaya pada siapa yang bisa memberikan solusi materi layaknya para konglomerat yang menyediakan pekerjaan bagi nafkah keluarganya. Jangan aneh jika orang lebih menurut kepada omongan boss daripada nasehat ustadz.
Orang yang bisa memperjuangkan kepentingan materi, kebebasan berkehendak dan kebahagiaan akhirat secara sekaligus memang jarang ditemukan. Secara sederhana, jarang kita jumpai ulama yang sekaligus pengusaha (untuk memenuhi kebutuhan materi) dan politisi (untuk menyalurkan aspirasi). Orang dengan kriteria tersebut mungkin hanya ada pada politisi berlatangbelakang pengusaha yang soleh.
Industriawan yang Bisa Memimpin seperti Rosululloh dan Para Sahabat
Apabila memperhatikan para agen pembaharu-pembangunan saat ini maka jarang memiliki kriteria politisi berlatarbelakang pengusaha yang soleh. Setiap lini seakan 'memisahkan diri'. Ulama sibuk dengan urusan ibadah ritualnya dan mengurusi akhlaq ummat. Politisi sibuk dengan berbagai program pemerintah yang harus dijalankan sehingga lupa menjaga karakter bangsa. Begitupun pengusaha enggan ikut-ikutan urusan 'akhirat'.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kompleksnya masalah warga tidak hanya diselesaikan oleh satu cara pandang saja. Tetai, harus bisa dilihat dari berbagai aspek. Hanya saja 'kebiasaan' kita untuk memberikan solusi yang terpisah membuat kita menjadi terpisah secara konsep penyelesaiannya. Misalnya, bagaimana meningatkan tarap hidup petani di desa. Banyak yang memberikan solusi dari aspek produksi saja dengan memberinay bantuan peralatan. Tetapi itu saja tidak cukup, petani perlu motifasi secara psikologi juga perlu wahana untuk belajar bahkan butuh sarana untuk terus mengembangkan potensi pribadinya. Dengan begitu, perlu banyak orang dengan latar belakang keahlian untuk turut menyelesaikannya. Celakanya, ulama di desanya _sebagai pemimpin informil_enggan turun tangan dengan alasan itu adalah urusan keduniaan.
Padahal, Islam telah menyontohkan bahwa solusi kesejahteraan adalah tidak memisahkan antara aspek duniawi dan ukhrowi. Alhasil, secara teknis para petani bisa terbantu, secara psikologis mereka termotifasi karena mereka menganggap bertani adalah bentuk ibadah kepada Alloh SWT. Bantuan dana pun bisa terselesaikan karena si kaya membantu si miskin.
Sosok yang bisa menyelesaikan problem sejenis adalah industriawan. Dia bisa memahami masalah teknis, penyandang/pengelola dana, memahami manajemen dan juga bisa memotifasi. Pemimpin formil itu bukan lagi seorang pejabat pemerintahan tetapi bisa seorang direktur dari perusahaan. Industriawan membela kepentingan ekonomi warga bila itu adalah yang dibutuhkan. Pola hubungan sosial bisa terbentuk dengan baik tanpa harus banyak 'diceramahi' karena warga menuruti kehendak positif si pengusaha. Dia  dipercaya secara konsep dan praktek bisa memberikan solusi bagi pembangunan desa di masa depan.
Jika selama ini nyaris tidak ada hubungan antara lembaga pendidikan dengan lembaga ekonomi maka sekarang justru semkin erat. Pengusaha menyubsidi kepentingan pendidikan dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi lulusannya. Pengusaha bisa membangun sarana olahraga untuk rekreasi warga dan pembinaan jasmaninya. Pembangunan mesjid dan madrasah untuk dakwah bisa berjalan karena pengusaha menyokong dalam bentuk materil ataupun imateril.
Dakwah seperti inilah yang seharusnya dilakukan. Semua aspek kehidupan tersentuh oleh konsep Islam. Pengaruh kepemimpinan secara otomatis ada dalam masyarakat tanpa ada kesan dipaksakan. Kesan bahwa idnsutrialisasi memberikan pengaruh negatif bagi kehidupan sosial tidaklah tebukti. Justru, industrialisasi menjadi lokomotif bagi pembangunan selanjutnya pada berbagai lini kehidupan. Industialisasi bukan membunuh karakter malahan membangun karakter bangsa sejak dari desa hingga kota. Industrialisasi bukan merusak alam malahan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya demi kepentingan rakyat. Jika ada yang menganggap industrialisasi itu negtif itu hanya upaya untuk melemahkan pemikiran kita sehingga kita akan terus kesulitan menyelesaikan permasalahan kehidupan.
Alhasil, warga akan merasa puas karena kreatifitasnya terasah, produktifitasnya meningkat. Bahagia karena kebutuhannya terpenuhi juga tentram karena dapat melaksanakan ibadah dengan khidmat tanpa harus memikirkan problematika kebutuhan rumah tangga. Kesejahteraan umat akan terlaksana. Hidup yang diridhoi oleh Alloh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...