Sabtu, 11 Oktober 2014

Kurikulum Pemecahan Masalah

Sumber : gurupembaharu.com
Darimana Datangnya Keinginan untuk Memecahkan Masalah
Awalnya saya tidak paham kenapa selalu memikirkan banyak hal. Ada banyak masalah kehidupan yang membuat saya penasaran. Rasa penasaran itu begitu 'mengganggu' pikiran. Ketika belum ada jawabannya, saya terus mencari bahkan dengan resiko harus menginvestasikan waktu, tenaga dan uang lebih besar dari biasanya. Ketika berada dalam kesendirian, terbayang sesuatu yang menjadi pertanyaan saya, kenapa hal ini dan itu terjadi? Kenapa begini? Kenapa begitu? Bagaimana memecahkan persoalan ini dan itu? Dan sebagainya.
Bertahun-tahun saya mencoba untuk memahami cara berpikir saya sendiri. Lalu, akhir-akhir ini saya mulai tahu bahwa ternyata saya termasuk orang yang suka memecahkan masalah.
Karakter itu terbentuk begitu lama. Perasaan tidak puas akan apa yang sudah didapat semakin menguatkan karakter itu. Saya lebih tertarik belajar dengan otodidak dibandingkan mengikuti pola pendidikan formal yang sudah ada. Bukan pendidikannya yang salah, tetapi dulu saya tidak paham atas apa yang dibutuhkan.
Ternyata, untuk orang-orang seperti saya perlu dihadapkan pada situasi yang menantang dan tidak monoton. Ketertarikan pada situasi itu _yang kadang kacau_ menjadi semacam 'kesenangan' bagi saya. Apabila saya sudah bisa menyelesaikan tantangan itu maka ada kepuasan yang luar biasa.
Hingga kini, saya sendiri belum menemukan jawaban pasti kenapa ada keinginan untuk memecahkan masalah. Apakah itu semata-mata kepuasan atau dorongan batin. Namun, saya mulai punya kesimpulan sementara bahwa keinginan untuk memecahkan masalah adalah sebagian dari insting manusia untuk mempertahan diri/eksistensi diri. Secara naluriah mahkluk hidup akan 'berperilaku' sedemikian rupa untuk mempertahan dirinya. Seekor binatang akan membuat sarang untuk berteduh atau mencari makanan karena lapar.
Begitu juga manusia, masalah yang dihadapi tidak hanya tempat tinggal dan makanan sehingga secara naluriah akan mencoba untuk memecahkan masalah itu. Kompleksitas masalah manusia menuntut manusia untuk terus berpikir dan bekerja dalam rangka memecahkan masalah itu. Sehingga, lahirlah begitu banyak ilmu pengetahuan yang berisi cara untuk memecahkan suatu masalah kehidupan.
Lingkungan Memberikan Stimulasi
Kebingungan kembali menyelimuti saya ketika sebagian besar orang di sekitar saya tidak tertarik untuk memecahkan masalahnya sendiri. Ada banyak orang di sekitar saya yang hanya 'memecahkan masalah kebutuhan dasar' saja. Ketidaktertarikan mereka untuk memecahkan masalah juga menjadi perhatian saya saat ini.
Ada 'perang batin' dalam diri saya. Dalam keseharian, banyak perbedaan pendapat dan perbedaan cara berpikir antara saya dan kebanyakan orang. Saya tertarik untuk memecahkan masalah kehidupan pedesaan, sebagian orang justru tidak peduli. Mereka justru sibuk berpikir bagaimana memenuhi kebutuhannya dasarnya sendiri.
Anehnya, saya tidak terpengaruh. Banyak orang yang mengkritik saya dengan berbagai cara.  Saya bergeming. Dalam hal ini saya merasa 'sendirian'. Tetapi saya ikuti saja intuisi.
Kemudian, ketika saya mulai merasakan perbedaan yang menyolok itu _ saya yakin bahwa rangsangan lingkungan terhadap karakter manusia sangat dominan. Saya sendiri besar di keluarga petani dan guru. Sebagai petani saya sering berinteraksi dengan alam. Sebagai anak guru, saya didekatkan dengan buku dan media informasi lainnya. Mungkin, otak saya 'diisi' oleh begitu banyak permasalahan kehidupan yang sebenarnya tidak saya alami dan saya lihat secara nyata. Juga, otot saya terbiasa digunakan sehingga selalu ada keinginan untuk mempermudah kerja tanpa harus mengurangi produktifitas yang sudah ada.
Terbentuklah Pola Pikir
Dari rangsangan lingkungan itu : terbentuklah pola pikir.
Itulah yang ingin saya sampaikan pada tulisan ini. Saya punya angan bagaimana caranya lebih banyak lagi orang seperti saya yang tertarik memecahkan masalah. Dengan begitu, kompleksitas permasalahan kehidupan ini bisa terselesaikan dengan cepat.
Perlu adanya suatu lingkungan yang mendukung orang _terutama anak-anak_ supaya punya pola pikir pemecah masalah. Lingkungan itu harus menjadi wahana pendidikan baik formal maupun informal. Jikalau memungkinkan, kurikulum itu terbentuk dari pengalaman saya selama ini. Pendidikan perlu dihadapkan pada permasalahan hidup yang nyata. Bukan sekedar simulasi, tetapi kita jujur saja pada kenyataan pahit yang sedang dialami bangsa ini.
Saya belum punya bayangan rinci bagaimana bentuk pembelajaran yang dimaksud. Namun, saya mulai berpikir untuk memasukan kegiatan mengembala domba pada kurikulum. Mengapa? Dengan mengembala domba, kita bisa terbiasa menghadapi situasi tidak terduga. Si domba bisa saja mengamuk atau tenang mengikuti 'arahan' anak gembala. Juga, mengembala adalah bentuk latihan kepemimpinan dasar  dimana sebelum memimipin manusia kita bisa belajar dulu memimpin domba. Di lapangan, kita akan menemukan berbagai kendala _masalah_ dimana menjadi tantangan tersendiri untuk menyelesaikannya.
Kemudian, ketika kita tidak bisa menemukan pemecahan atas masalah yang sedang dihadapi maka buku dan media informasi lainnya bisa menjadi sumber pengetahuan gratis. Selama ini, tidak terjadi hubungan antara peran buku dengan problematika nyata karena keduanya tidak dianggap sebagai sumber pembelajaran.
Ada banyak litratur yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan akan 'nempel' jika dipraktekan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud bukan nalar saja, tetapi juga pengetahuan bagaimana seseorang bermasyarakat. Dalam tata kehidupan komunal, justru pentingnya ilmu pengetahuan akan sangat terasa. Kita saling membutuhkan satu sama lain. Sebagaimana disebutkan di atas, semakin banyak orang yang terlibat maka problematika bisa lebih cepat terselesaikan.
Secara naluriah, manusia ada keinginan untuk memecahkan masalah secara bersama-sama karena kita makhluk sosial. Apabila si peserta didik dihadapkan pada situasi sulit maka secara berkelompok mereka akan 'berdiskusi' bagaimana menyelesaikan masalah itu. Kemudian, secara bersama menyelesaikannya.
***

Di akhir tulisan ini, saya ingin mengajak kepada para pembaca mari menjadikan pendidikan yang kita jalani sebagai media untuk menyelesaikan problematika kehidupan. Pendidikan bukan sekedar tren atau usaha meningkatkan prestise saja, tetapi itu adalah sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...