Jumat, 26 April 2024

Rendah Hatilah dalam Menyampaikan Pengetahuan

 

Jika saja saya membaca buku ini sekira 30-20 tahun lalu maka kemungkinan bisa merancang sendiri pelajaran apa yang dibutuhkan. Bisa mempelajari hal yang berbasis minat, bakat serta potensi di sekitar tanpa harus terlalu banyak input pengetahuan lain.


Pada awalnya, saya merupakan tipe anak yang penurut dan percaya pada apa yang dibicarakan oleh orang dewasa. Perkataan mereka adalah sebuah kebenaran. Bahkan, nasihat orang dewasa berlandaskan suatu filsafat yang memiliki makna mendalam.


Ternyata, tidak demikian. 


Ada saatnya, ketika orang dewasa bicara kepada anak-anak hanyalah sebuah cara untuk menunjukkan kekuasaan. Hal yang dibicarakan hanyalah sebuah asumsi, opini atau sekedar cara untuk menutupi kelemahan diri. Terkadang, orang dewasa enggan terlihat  lemah di depan anak-anak. Makanya, mereka menjadi sangat banyak bicara.


Membicarakan pengalaman yang tidak relevan dengan zaman seakan hal demikian merupakan pertaruhan. Semata membanggakan diri jika mereka telah melakukan sesuatu dan jasanya layak untuk dikenang. Padahal, mereka sendiri adalah korban dari zaman yang tak berpihak pada manusia kurang beruntung.


Sebagian (besar) orang dewasa tidak menyadari jika obrolan mereka tidak relevan. Nasihat mereka hanyalah bualan untuk menutupi ketidakmampuan. Pada akhirnya, hanya terdengar seperti sekumpulan kata-kata tak bermakna. Tanpa pijakan pemikiran yang bisa dipertanggungjawabkan. 


Semestinya anak memperoleh pengetahuan yang dia butuhkan. Bukan pengetahuan yang harus diwariskan, karena benda warisan belum tentu dibutuhkan. 


Anak terikat oleh waktu dan tempat. Kami belum menjangkau setiap jengkal dunia. Jadi, perkenalkan dahulu dunia kecil sang anak.


Toh, seiring berjalannya waktu kami akan terus mencari tahu apa yang ingin kami tahu. Tanpa harus diberitahu karena kamu punya mau. 


Mau belajar menapaki hidup. Mau mencari identitas diri. Mau menggali potensi; baik potensi pribadi, potensi desa kami bahkan potensi yang sebelumnya tidak pernah dikenali.


-------------


Bahan bacaan:

R. Ibrahim, dkk. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Intima. Bandung:  (2007)


Senin, 01 April 2024

Bangga dengan Harta Produktif


Kebanggaan akan harta, itu hal lumrah bagi seorang manusia. Harta sebagai simbol dari hasil jerih payah kita setelah menghabiskan banyak waktu dan tenaga dalam bekerja. Karena harta pula, derajat Anda terangkat secara otomatis tanpa harus ada upacara penyematan lencana atau tanda pangkat.

Anda punya banyak harta maka warga pasti akan mencap sebagai orang kaya. 

Hanya saja, kebanggaan akan harta akan lebih bermakna bagi banyak orang apabila berbentuk harta produktif. Warga akan menilai Anda sebagai orang kaya yang layak dibela. Mereka yang merasakan manfaat dari kekayaan yang berlimpah akan sama merasa kehilangan jika suatu saat aset tersebut pergi. 

Andaikan kita punya sawah yang luas, maka akan banyak warga yang dilibatkan tatkala musim tanam dan musim panen tiba. Orang yang mempekerjakan banyak tenaga sama dengan sedekah yang menghidupi setidaknya tiga orang manusia. Si buruh tani, istrinya serta minimal satu orang anak. 

Apabila Tuan dan Puan bangga akan aset sebuah pabrik yang berdiri di tengah pedesaan, maka karyawan pun akan menjadi pihak yang diuntungkan. Ini bukan perkara ingin terlihat megah tetapi sebuah cara untuk menyelamatkan harta dalam jangka waktu yang lama. Wajar jika orang-orang yang berpenghasilan rendah akan menghormati Anda karena mereka pun merasakan manfaat dari kekayaan yang dimiliki.

Bahkan, pejabat negara pun menghormati Anda. 

Di mata negara, pengusaha adalah sosok penting yang harus dispesialkan. Bukan karena mereka punya banyak harta, bukan pula karena banyak gaya. Tetapi, pengusaha adalah sosok penting untuk menggerakkan ekonomi bangsa. 

Maksud saya, jika Anda ingin membanggakan diri dengan apa yang dipunya maka jadikanlah harta tidak produktif menjadi harta produktif. Saya pikir, aset bukan hanya untuk disimpan. Asal Anda tahu, uang deposito yang disimpan di bank pun akan disalurkan kepada sektor produktif dalam bentuk kredit.

Ah, kalau disimpan di bank pun akan tetap "diputar" agar harta Anda beranak. Mending "diternak" oleh si pemilik aset. Siapa tahu harta akan beranak pinak. Tentu bisa dinikmati oleh setidaknya tiga generasi. Dengan syarat, kita meninggalkan generasi yang berkualitas secara mental, moral dan spiritual.