Sabtu, 23 Juni 2018

Insinyur Memimpin Desa


Lihatlah, desa kita 'nyaris tidak ada apa-apa'. Mau jadi apa?

Desa kita perlu dibangun. Tetapi, dibangun apa?

Pertanyaan itu ada dalam otak para insinyur. Bukan otak para pedagang. Pedagang kurang tertarik membangun karena sulit mencari untung. Sedangkan insinyur, punya otak 'pencipta' dimana bagi mereka untung datang belakangan.

'Imajinasi' sang insinyur adalah 'anugerah Illahi' yang  terhubung dengan alam semesta, bahkan hingga ke 'tempat yang jauh dari jangkauan'.

Para insinyur berpikir teknis. Tetapi, tentu saja mereka pun tidak akan melupakan sisi humanis karena kita tidak sedang hidup di negara atheis. Pola pikir teknis sangat diperlukan dalam pembangunan karena bisa melihat alam ini sebagai sistem yang dibangun bukan sistem yang 'terbangun begitu saja'.

Pemimpin dari kalangan 'teknisi' senantiasa memiliki ambisi mengisi hari. Bukan berarti dari kalangan lain tidak punya ambisi, hanya saja persepsinya tentang 'membangun' dirasa kurang 'realistis'. Bahayanya, bila pemimpin menganggap pembangunan sebagai 'proses mistis'. Maksudnya, banyak pemimpin di desa yang lebih mengutamakan upacara adat dengan maksud baik hanya saja pengaruhnya sangat minim bagi kesejahteraan. Pandangan ini sejalan dengan ML. Jhingan yang menganggap bahwa upacara adat yang menghamburkan banyak biaya 'tidak berguna' bagi kesejahteraan manusia.

'Efektifitas dan efisiensi', itulah yang jarang ditemukan di pemimpin 'non-teknisi'. Memimpin sering menggunakan ilusi dan intuisi tanpa perhitungan materi. Di zaman serba 'kecerdasan buatan', perhitungan untung-rugi niscaya menjadi sesuatu yang harus diikuti.

Istilah 'memanusiakan' manusia sering datang dari ilmuwan sosial. Tak jarang sikap ini menuduh para insinyur tidak melihat pembangunan dari sisi manusia. Hanya saja, jika tidak merangsang dengan kemajuan teknologi maka daya ungkit pembangunan nyaris tidak ada.

Mungkin persepsi bahwa kapitalisme merusak membuat ilmuwan sosial menjadi sinis terhadap kemajuan materi. Banyak yang mengira bahwa kemajuan membuat lubang menganga antara si kaya dan si miskin. Namun, apakah bisa kekayaan menjadi merata?

Kemajuan teknologi harus menjadi katalisator. Insinyur punya pemikiran seperti itu. Mereka layak memimpin desa bahkan yang terpencil sekalipun.


Minggu, 10 Juni 2018

Kepemimpinan di Pedesaan: Kultural atau Struktural?

Masih ada yang tidak sadar bahwa kepemimpinan tidak hanya struktural/formal tetapi juga ada/masih berlaku kepemimpinan kultural/informal di pedesaan.

Sebagai contoh,
seorang Kyai tentu saja pemimpin kultural dimana tidak ada jabatan formal yang diembannya. Namun, keputusan pembangunan di pedesaan masih dipegang olehnya. Arah pembangunan seperti apa yang diinginkan masih bergantung padanya. Setidaknya, begitulah yang terjadi di banyak desa.

Fokus perhatian kepemimpinan di pedesaan beralih dari waktu ke waktu. Siapa yang bisa memenuhi 'kebutuhan' warga maka dia yang dianggap 'layak memimpin'.

Membentuk lembaga formal _seperti lembaga non-profit_, belum tentu menjadi efektif dan efisien demi pembangunan pedesaan.

Pergeseran 'kebutuhan'. Setidaknya itulah yang  sering saya lihat di pedesaan.  Jika dahulu lembaga non-profit begitu mempengaruhi pembangunan, saat ini lembaga seperti dianggap belum bisa menjawab persoalan 'klasik' di desa.

Kita soroti masalah kemiskinan. Apakah ini bisa terselesaikan oleh lembaga non-profit? Jelas tidak.

Masalah kesejahteraan hanya bisa diselesaikan oleh lembaga profit alias perusahaan. Hanya institusi bisnis yang bisa menyediakan lapangan kerja untuk mengatasi masalah kemiskinan.

Maka dari itu, model kepemimpinan pun 'bergeser'. Jika dulu pemimpin kharismatik bisa mengatur warga desa maka sekarang pemimpin 'pemenuh kebutuhan' yang bisa menggerakan.

Pemimpin pemenuh  kebutuhan bisa lahir dari struktur pemerintahan, usahawan atau agamawan. Itu hanya sumber individunya. Namun, praktiknya lembaga apa pun bisa jadi sarana. Tidak ada patokan jelas apakah pemimpin yang masuk struktur atau di luar struktur kelembagaan yang ada yang 'dianggap layak memimpin'.

Maksudnya, jika sebuah struktur kelembagaan dibentuk pun, warga desa bisa sulit diatur. Di era demokrasi, sebuah wewenang tidak menempel otomatis pada jabatan formal.

Jangan heran jika seorang administrator pemerintahan  sekedar 'pengisi formulir' tetapi urusan  pelaksanaan 'pemimpin berpengaruh'-lah yang 'bisa menggerakan'.