Minggu, 31 Agustus 2014

Keseimbangan Alam di Desa Peralihan


Sumber : google.com
Alhamdulillah, masa panen padi telah tiba di desa kami. Banyak petani yang bersuka cita dengan hasil panennya. Meskipun pada musim ini hasil panen tidak sebagus musim sebelumnya, kami bersyukur masih ada yang bisa kami peroleh dari investasi yang kami tanamkan. Ada banyak harapan dari seorang petani, tetapi tentu saja ada juga hal tidak terduga yang bisa mengurangi harapan kita.
Ada banyak hal yang bisa mempengaruhi berkurangnya hasil panen. Diantaranya, air yang  mulai menyusut karena tidak ada hujan juga unsur hara yang belum kembali ke kondisi normal. Namun, penyebab yang paling dominan adalah hama tikus yang menyerang pesawahan di desa kami.
Mungkin, bulan-bulan ini musimnya tikus beranak-pinak sehingga mereka membutuhkan banyak makanan. Populasinya semakin meningkat tidak tertahankan.  Ada banyak lubang tikus dimana-mana. Mereka menyerang padi secara massif bahkan cenderung bergerombol. Para petani kewalahan bila harus mengusir mereka satu-persatu.
Saya mulai berpikir, kenapa ini bisa terjadi? Jawabannya ada banyak kemungkinan. Pertama, sumber pangan alami tikus mulai berkurang; Kedua, predator dari tikus yang mulai berkurang.
Manusia sebagai makhluk yang menempati urutan teratas rantai makanan, memang terkadang tidak memperhatikan arti penting menjaga keseimbangan alam. Kita hanya berpikir untuk menikmati kepuasan pribadi yang sifatnya sesaat. Dalam jangka panjang, efek dari ketidakseimbangan alam adalah _salahsatunya_ populasi hewan pengerat yang tidak proporsional dengan jumlah makanan mereka. Para tikus yang seharusnya punya sumber pangan alami sendiri, kini tidak tersedia dalam jumlah yang cukup. Sumber pangan mereka saling berebut dengan manusia. Hutan-hutan yang tadinya menyediakan banyak buah-buahan dan biji-bijian, kini sudah berkurang karena desakan pembangunan.
Selain sumber pangan mereka, pohon-pohon itu juga sebagai tempat bersangnya burung hantu yang menjadi predator alami si tikus. Menjadi kebiasaan jelek warga desa, menebang pohon sembarangan dengan alasan menghalangi pemandangan. Padahal, pohon-pohon bisa menjadi sarana untuk mengendalikan populasi tikus di sekitar areal pertanian atau di sekitar rumah.
Proyek Membangun Hutan Kecil di Tengah Pemukiman dan Areal Pertanian
Saya mulai menyadari manfaat belajar Biologi di sekolah. Hanya saja tidak ada usaha untuk menerapkan pengetahuan yang telah kita peroleh di kelas. Kelemahannya di situ. Padahal, jika ada proyek sekolah untuk mengurangi populasi tikus ini bisa menjadi pelajaran berharga. Manfaat yang diperoleh pun sangat besar. Anak-anak semakin paham akan arti penting menjadi lingkungan di sekitarnya.
Untuk solusi jangka panjang, sebaiknya ada upaya untuk menambah populasi pohon-pohon berkayu di sekitar rumah dan pesawahan. Apabila memungkinkan, anak-anak sekolah diajak untuk membangun hutan kecil. Proyek ini sebaiknya didukung oleh pihak Pemerintah Desa yang menyediakan lahan. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyadarkan akan arti penting  adanya hutan kecil di desa kita yang notebene adalah desa peralihan. Kondisi alamnya sudah tidak seasri dahulu, untuk itu harus ada rencana penataan kembali supaya tidak semua lahan digunakan untuk menanam padi atau mendirikan bangunan.

Proyek pembangunan hutan kecil ini seharusnya masuk dalam rencana tata ruang desa. Warga sebaiknya punya pemikiran yang sama tentang kondisi lingkungan desa di masa depan. Visi pembangunan lingkungan desa dapat terwujud dalam seberapa besar kepedulian llingkungan warganya.

Minggu, 24 Agustus 2014

Menentukan Proyek Berdasarkan Sasaran Pembangunan

Hal wajar jika warga desa kebingungan untuk menentukan sasaran pembangunan desanya sendiri. Pada tahun-tahun mendatang, akan ada banyak proyek yang harus dilaksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan Undang-undang Desa. Anggaran yang sudah disiapkan dari pusat harus terserap karena dianggap sesuai dengan perencanaan yang telah diajukan. Namun, sistem perencanaan bottom up alias inisiatif berasal dari bawah_ akan mengalami kesulitan karena warga desa sendiri masih mengalami kebingungan menentukan sasaran pembangunan desanya sendiri.
Apa sasaran pembangunan desa kita?
Sebelum berbicara banyak tentang suatu proyek yang akan diprioritaskan, tentu saja kita harus membicarakan secara matang tentang sasaran pembangunan desa kita. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk menentukan sasaran tersebut. Semua pihak seyogyanya diajak bicara. Memang, dari sekian banyak kepentingan harus ada ketegasan untuk menentukannya sejak awal.
Sumber : google.com
1) Menjadi desa yang nyaman. Memiliki tempat tinggal yang nyaman adalah impian banyak orang, maka sasaran pembangunan desa kita arahkan kesana. Jangan sampai semua dana yang terserap tidak menjadikan desa kita menjadi tempat tinggal yang tidak nyaman untuk ditinggali. Terlalu banyak pembangunan fisik yang justru mengubah karakter desa yang identik dengan keasriannya.
2)    Pusat industri, perdagangan, perikanan, pariwisata atau pusat pertanian. Selanjutnya, sebagai warga desa kita harus secara tegas memilih mau dijadikan 'tempat apa' desa kita di masa depan nanti. Lihat saja potensi di sekitarnya. Pilihlah dengan berbagai pertimbangan ilmiah sehingga ada kepuasan dan rujukan yang jelas. Pilihan kita bukan berdasarkan emosi dan kepentingan segelintir orang. Semuanya harus berdasarkan pada asas untuk kepentingan bersama.
3)    Pusat pertumbuhan baru di daerah. Bayangkanlah jika di masa depan desa kita menjado tempat orang untuk beraktifitas. Adanya perputaran ekonomi menjadi ciri suatu daerah sedang bertumbuh. Perputaran kapital sudah tidak lagi berada di perkotaan tetapi juga terjadi di pedesaan.
4) Penyedia lapangan kerja. Sudah menjadi pengetahuan umum jika di desa kekurangan lapangan kerja. Untuk itu, cantumkan sasaran pembangunan desa menjadi tempat untuk membuka lapang kerja baru secara berkesinambungan. Apa pun caranya. Tidak hanya di bidang pertanian, industri padat karya tetapi juga di bidang lain. Pembangunan yang berorientasi pada pembukaan lapangan kerja bisa mendapat respon positif dari warganya. Para warga merasa diperhatikan kebutuhan mereka. Setiap ada rencana baru dari aparat pemerintah, orang yang bekerja cenderung untuk melihat sisi positifnya. Rencana pembangunan yang ditentang biasanya tidak mengakomodir kepentingan dasar warganya. "Buat apa ada pembangunan, toh bukan untuk kita", begitulah kira-kira pendapat yang menolak.
Mengapa mengambil keputusan berdasarkan sasaran?
Pada prinsipnya, sistem ini berpendapat bahwa manajemen pekerjaan kita yang terus-menerus menuntut agar sebelum kita mencurahkan tenaga atau sumber untuk mencapai sasaran kita harus mendefinisikan sasaran tersebut terlebih dahulu. Bila kita tidak mempunyai gambaran jelas mengenai sasaran tersebut, maka jalan ke sana pun tidak akan terang pula, dan kalau kita tidak mempunyai sesuatu yang mau dicapai, maka hasil yang akan diperoleh pun tidak akan ada.
Seperti pelayaran, kalau kita melaksanakan manajemen berdasarkan sasaran itu berarti bahwa kita menentukan lebih dahulu apa tujuan akhir kita sebelum perjalanan dimulai. Kemudian sasaran ini merupakan target suatu hasil yang diingini, dan dalam proses penyelesaiannya merupakan ukuran atas kemajuan yang dicapai. Akhirnya, sesudah mempergunakan waktu dan tenaga, maka kita dapat menilai tingkat keberhasilan yang dicapai dengan membandingkannya dengan sasaran.
Sistem mengambil keputusan berdasarkan sasaran seperti yang dimaskudkan disini berarti bahwa langkah pertama dalam penyelesaian persoalan atau pengambilan keputusan ialah membuat suatu sasaran yang jelas terlebih dahulu.
Manajemen berdasarkan sasaran juga memerlukan komitmen. Kalau kita telah menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang pendapatnya sangat penting bagi kita, maka kita praktis harus berbuat sesuatu mengenai hal itu. (Manajemen Decisions by Objectives, George S. Odiorne. 1969. hal. 9).
Komunikasikan dengan Masyarakat
Sasaran yang sudah ditentukan seharusnya dikomunikasikan kepada masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menyelaraskan pemikiran supya tidak terjadi kesalahan pengertian. Bisa saja dengan adanya pengertian, warga akan tergugah untuk turut serta dalam pembangunan dengan sukarela. Kesadaran biasanya tumbuh setelah adanya pengetahuan yang cukup.
Sistem komunikasi warga dibangun dengan efisien sehingga hasil pemikiran para petinggi di desa bisa dipahami secara luas. Keterbatan warga akan akses informasi sudah harus dihapuskan. Saat ini segala cara bisa dilakukan, ddengan prinsip adanya kesamaan maksud akan tujuan dai aktifitas yang dilakukan warga dalam kesehariannya. Jika sebuah desa dimaksudkan sebagai pusat perdagangan, maka aktifitas warga sebagian besar dalam rangka menuju kesana.
Tentukan Proyek Apa yang Akan Kita Dahulukan
Akan ada banyak proyek yang harus dilaksanakan. Untuk itu, tentukan prioritas proyek  berdasarkan sumberdaya yang dimiliki. Percayalah, bahwa pembangunan bisa berjalan sesuai dengan rencana. Hanya saja, harus ada kesabaran dalam menjalankannya. Perlu waktu yang mungkin tidak sebentar untuk sampai pada sasaran yang hendak dicapai. Dengan penentuan prioritas, akan ada sepemahaman pola pembangunan yang sedang dan akan berlangsung. Bila polanya acak/tidak beraturan, jangan aneh akan ada kebingungan dan timbul perbedaan persepsi dalam masyarakat.

Kunci dari semua ini adalah kepemimpinan dari tokoh-tokoh yang ada di desa  mulai dari Kepala Desa, Ulama hingga Ketua RT-RW. Sikap yang bijak dari para pemimpin di desa berdampak besar bagi terlaksananya pembangunan yang telah dicanangkan. Semoga saja desa kita menjadi desa yang bisa memberikan solusi bagi warganya

Minggu, 17 Agustus 2014

Tradisi Berimajinasi



Ada tradisi yang terlupakan untuk kita jaga dan dikembangkan. Tradisi ini sebenarnya adalah perwujudan dari kelebihan manusia sebagai makhluk Alloh SWT. Tradisi ini sudah ada sejak manusia diciptakan dan mereka membangun peradaban di muka bumi. Tradisi itu adalah tradisi untuk berimajinasi.
Dalam diri manusia, ada perwujudan isi dari pemikiran dalam bentuk benda. Dari mulai pakaian, makanan, bangunan hingga bagaimana mereka bermasyarakat dari bentuk perwujudan yang pada mulanya ada dalam pikiran. Manusia dikarunia akal tidak hanya untuk sekedar bertahan hidup tetapi juga sebagai upaya untuk menjadikan bumi menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali. Manusia terus berpikir bagaimana dia menyiptakan masa depan yang lebih mapan dan tentu saja diawali dari imajinasi.
Manusia memperoleh kenikmatan hidup dai hasil imajinasi mereka.  Pada mulanya bumi ini terdiri dari tumbuhan, binatang dan sumberdaya mineral. Melalui imajinasi manusia, kita dapat menyaksikan bagaimana peradaban sekuno Piramid di Mesir hingga pesawat antariksa menjadi ciri dari kemajuan suatu zaman. Melalui imajinasi pula, karya seni dapat dinikmati berjuta manusia di muka bumi. Film, musik hingga seni grafis menjadikan para pelakunya jutawan dan tercatat di Majalah Forbes sebagai bagian dari konglomerat dunia.
Melalui tulisan ini, saya menekankan betapa pentingnya kita punya tradisi berimajinasi. Tradisi itu lahir dari diri kita sendiri, kemudian ditularkan di lingkungan keluarga hingga masyarakat luas. Jangan meremehkan imajinasi orang-orang di sekitar kita. Bisa jadi imajinasi adalah petunjuk hidup bagi individu yang mengalaminya.
Harus diakui, tidak semua masyarakat memiliki tradisi berimajinasi. Sebagai orang Sunda saya tidak dibiasakan untuk berimajinasi. Justru, berimajinasi dianggap sebagai kegiatan mengkhayal yang tidak ada manfaatnya. Padahal, saya yakin bahwa imajinasi bisa membawa manusia ke arah perubahan hidup yang lebih baik. Wajar saja, orang yang tidak punya imajinasi akan hidupnya mengalami kesulitan menentukan arah hidupnya sendiri.
Dalam Islam, berimajinasi adalah suatu bentuk ibadah sepanjang membawa kebaikan untuk ummat manusia. Imajinasi itu harus melahirkan suatu konsep tatanan kehidupan manusia sebagai perwujudan ibadah kepada Alloh SWT. Imajinasi itu harus melahirkan tradisi untuk terus berimajinasi.

Minggu, 10 Agustus 2014

Industri Sebagai Lembaga Dakwah

Sumber : beritanunasa.wordpress.com
"Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat Makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka Mengapakah mereka tidak bersyukur?" (QS. Yasin (36) : 34-35)
Apa yang terpikir oleh kita ketika mendengar 'lembaga dakwah'? Mungkin, kita berpikir bahwa lembaga dakwah adalah Dewan Keluarga Masjid (DKM), Organisasi Massa (Ormas), partai politik atau Yayasan yang bergerak di bidang sosial. Memang seperti itulah kebanyakan dari ummat Islam menjadikan organisasi sebagai sarana dakwahnya. Semua itu berawal dari visi organisasi itu sendiri untuk menyebarkan kalimah Alloh di tengah-tengah ummat. Adanya variasi itu sudah lumrah adanya di era modern seperti sekarang ini karena tidak adanya lembaga dakwah Islam yang utama yakni Daulah Khilafah Islamiyah.
So, penyebaran 'niat' untuk mendirikan organisasi dakwah sepertinya disesuaikan dengan kebutuhan. Begitu pun di era globalisasi ini. Dakwah Islam tidak hanya terbatas pada tabligh atau pengajaran di ruang-ruang majlis ta'lim. Saya melihat bahwa dakwah juga harus berhadapan langsung dengan kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi yang saya maksud bukan sebagai penyalur zakat, infak dan shodaqoh yang selama ini ada, tetapi lebih dari itu. Lembaga dakwah yang dimaksud harus bisa menyelesaikan permasalahan pengangguran, kemiskinan, penguasaan pasar komoditas atau bahkan bergerak di pasar modal.
Karena dakwah adalah usaha untuk menyampaikan Islam, maka industri yang dibangun pun dirancang sebagai sarana untuk mempraktekan konsep-konsep ekonomi Islam. Solusi-solusi Islami menjadi visi besar didirikannya kegiatan produksi hingga distribusi. Tidak banyak memang, industri yang bertujuan untuk menerapkan Islam dalam kesehariaannya. Untuk itu, perlu adanya gerakan massif dari ummat Islam untuk menjadikan industri sebagai denyut nadi dakwah Islam saat ini. Konsep dakwah Islam tidak lagi mengandalkan konsep-konsep teoritis tetapi harus bisa menerapkannya dalam tataran praktis.
Pada awalnya, kita harus bisa mengubah paradigma kita tentang industri yang identik dengan kapitalisme. Entah kenapa, kegiatan industri menjadi diidentikan dengan ekonomi kapitalisme. Mungkin, eksploitasi para pekerja membuat para penganut paham sosialis-komunis begitu 'memojokan' para industrialis. Mereka dianggap sebagai para 'penghisap darah buruh'. Industri diidentikan dengan kegiatan eksploitasi para pekerja. Pekerja sendiri, menempatkan diri mereka para posisi 'terjajah', terlalu banyak tuntutan yang dikemukakan dengan kekerasan. Unjuk rasa semata-semata untuk menuntut hak para proletariat kepada borjuis-feodal.
Industri harus dianggap sebagai sarana untuk memanfaatkan anugerah Alloh SWT kepada hambanya. Industri harus dianggap sebagai sarana untuk menjalankan perintah Alloh kepada manusia untuk mengurus dunia ini. Anggapan negatif tentang industrialisasi hanya memalingkan kita agar tidak mengutamakan industri dalam kegiatan ekonomi. Saya pikir, sulit menemukan cara lain untuk memanfaatkan sumberdaya alam anugerah Alloh ini tanpa industrialisasi. Maka dari itu, industrialisasi adalah bentuk ibadah non-ritual yang akan sangat berpahala dan besar manfaatnya bagi kehidupan masyarakat.
Industri bisa meyakinkan ummat agar tidak memisahkan kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat atau yang biasa disebut sekuler. Dengan industri, saya berharap bahwa ummat bisa teryakinkan bahwa cara pikir sekuler harus dihilangkan karena keduanya bisa dijalankan secara beriringan. Pada kesehariannya, ibadah ritual bisa dilakukan disela-sela kegiatan produksi hingga distribusi. Tidak hanya karyawan dan jajaran manajemen saja yang bisa terpahamkan, tetapi masyarakat luas bisa melihat efek dari bentuk komunikasi massa yang dilakukan oleh perusahaan. Bentuk promosi tidak hanya membagi-bagikan sumbangan atas nama perusahaan, tetapi juga turut serta membangun masyarakat itu sendiri. Persentase keuntungan yang diinfakkan, jauh lebih besar dari kewajiban undang-undang yakni hanya 2,5 % per tahun.
Industri bisa menjadi sarana pendidikan praktis dan gratis sebagai persiapan anak muda memasuki dunia kerja. Staf manajemen bisa masuk langsung mempengaruhi anak muda sebagai objek dakwah. Membina dan melatih generasi muda untuk siap terjun bermasyarakat harus ada andil dunia industri. Anak muda pada umumnya masih kebingungan dengan realita kehidupan nyata. Untuk itu, pihak industri memberikan gambaran utuh tentang kondisi persaingan, tantangan dan hambatan-hambatan dunia kerja dan masyarakat pada umumnya. Industri seharusnya menjadi sarana utama untuk menyiapkan SDM berkualitas yang kreatif, inovatif dan mampu bersaing di era globalisasi.
Sebagaimana kita ketahui, era pasar bebas mengajak orang di dunia ini untuk berhubungan dengan siapa pun di dunia ini. Perdagangan internasional tidak bisa dipungkiri  yang artinya harus ada sarana untuk mengimbanginya. Apabila selama ini produk impor begitu membanjiri pasar domestik, maka sudah selayaknya diimbangi dengan ekspor ke pasar internasional. Kita tidak bisa lagi menahan produk dalam negeri dengan memboikotnya saja. Tetapi harus ada produk tandingan yang perlu diperhitungkan di pasar internasional baik dalam segi kualitas maupun kuantitas.
 Perlu diketahui, bahwa Rosululloh dan para Sahabat pun menjadikan industri sebagai sarana dakwah. Mereka menguasai perekonomian Madinah dengan berdagang langsung bukan hanya mengurusi masalah ibadah ritual. Bagi mereka, dan kita semua, Islam adalah bentuk sistem kehidupan yang bisa diaplikasikan dalam setiap segi kehidupan.

Kamis, 07 Agustus 2014

Membangun Usaha Baru, Bentuk CSR Industri Besar di Pedesaan


Sumber : proenergi.com
Saya berbincang tentang kiprah perusahaan sebuah multinasional yang bergerak di bidang energi dengan saudara saya yang sedang mengadakan penelitian tentang Pengaruh CSR terhadap  warga sekitar perusahaan beroperasi. Perusahaan itu memang bediri di tengah masyarakat desa dan saudaraya saya itu ingin mengetahui pengaruhnya terhadap warga sekitar. Ketertarikan saya dengan Corporate Social Responsibility (CSR) membuat saya membayangkan bagaimana sebaiknya sebuah perusahaan yang beroperasi di tengah masyarakat desa.

Industri besar pada umumnya tidak bisa merekrut tenaga kerja lokal karena kriteria yang dibutuhkan tidak sesuai dengan yang tersedia. Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki jumlah penduduk banyak _apalagi di pulau Jawa_ sehingga kebutuhan akan pekerjaan pun terus meningkat. Apabila konflik horizontal terus terjadi maka kita bisa menerka maka solusinya adalah harus adanya saling memberikan manfaat antara warga desa dengan perusahaan. Kalaupun konflik itu tidak terjadi, maka sebaiknya perusahaan mengantisipasinya sejak awal.
Untuk itu, saya mempunyai usul apabila CSR bagi perusahaan besar seperti di atas sebaiknya dengan mendirikan usaha baru di tengah masyarakat. Peran CSR akan lebih dirasakan karena secara langsung memberikan mata pencaharian bagi warga desa. Warga desa sudah tidak bisa lagi diberi solusi sesaat tetapi perlu ‘dituntun’ untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Saya pikir, industri sebagai lokomotif pembangunan bisa menjadi garda terdepan untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat di sekitarnya. Usaha baru adalah solusi untuk mengurangi beban warga dalam hal kebutuhan ekonomi sehingga efek sosial yang negatif bisa diredam.
Visi Perusahaan Terlihat dari CSR
Perusahaan tidak hanya menjadikan CSR sebagai obat jangka pendek sekedar memenuhi kewajiban perundang-undangan. Saya pikir, justru CSR harus menjadi obat jangka panjang untuk turut serta menyelesaikan masalah masyarakat. Industri jangan menjauhkan diri dari masyarakatnya. Saya membayangkan, peran besar industri dalam membangun masyarakat desa akan menjadi modal tidak ternilai untuk kebaikan perusahaan di masa depan. Tidak hanya nama perusahaan yang akan membaik, tetapi juga menyiptakan iklim kerja yang kondusif. Pada akhirnya, sangat berpengaruh pada produktifitas perusahaan.
Investasi jangka panjang pada perusahaan baru yang saya maksud bisa mendirikan CV, investasi di industri rakyat, koperasi atau BUM Desa. Ada banyak cara. Hal yang terpenting adalah secara simultan perusahaan turut serta mendesain masyarakat yang beradab. Akan sangat indah jika perusahaan dikelilingi oleh penduduk dengan kesejahteraan yang terus meningkat. Pemukiman menjadi tertata rapi, aman, nyaman dan terencana. Meskipun suatu saat bisa terjadi ledakan jumlah penduduk, tetapi perusahaan turut serta menatanya karena punya ‘saham’ di tengah masyarakat.
Manajemen bisa langsung dari perusahaan karena SDM yang dimiliki dinilai lebih siap untuk menjalankan roda perusahaan.  Entah terkait atau tidak terkait dengan industri besar induknya, perusahaan  baru ini harus mempunyai orientasi masa depan untuk memperluas pasar, memperbanyak jumlah tenaga kerja dan memperbaiki infrastruktur pedesaan. Secara fisik dan psikologis, manajemen harus ‘hadir’ di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, perlu dipilih seseorang yang bisa menyesuaikan diri dengan warga bukan manajer yang hanya paham secara teknis saja.
Saya berharap, di masa depan tidak adalagi penolakan dari warga terhadap operasionalisasi industri besar di desa. Justru, sejak awal pihak industri sudah bisa meyakinkan bahwa kehadiran mereka di desa memberikan manfaat besar. Karena, tidak ada industri ekonomi sulit untuk bertumbuh.

Selasa, 05 Agustus 2014

Peran Ulama Dalam Pembangunan Desa


google.co.id
Beberapa hari lalu saya sudah menyelesaikan membaca buku Revolusi Iran (Nasir Tamara, 1980) yang berbicara tentang proses Revolusi di Iran di tahun 1979 lalu. Ada hikmah yang bisa diambil disana diantaranya bagaimana ulama sangat berperan dalam proses pembangunan disegala bidang. Kemudian, saya mencoba membandingkan dengan apa yang saat ini sedang terjadi di desa-desa. Ulama masih menjadi tokoh sentral dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi ternyata ada pergeseran peran yang sangat signifikan.
Ulama Hanya Aspek Rohaniah Saja
Ulama sebagai pemimpin masyarakat secara informal mempunyai peran penting dalam proses sosial di tengah orang desa. Sebagai orang desa, saya sangat merasakan peran ulama menjadi lokomotif bagi pembangunan sumberdaya manusia. Bagaimana ulama membina karakter warga hingga menjadi pribadi yang bertaqwa.
Hanya saja, peran ulama hanya sampai pada aspek rohaniah saja. Padahal ulama sebaiknya menjadi pemimpin informal juga dalam pembangunan infrastruktur desa, membuka lapangan kerja, pertanian dan industri. Ini penting. Ulama perlu turun langsung dalam proses ini karena mereka mempunyai cara pandang yang khas dalam menyikapi problematika ummat. Ulama melihat hal yang bersifat duniawi sebagai investasi abadi bagi kehidupan akhirat. Maka dari itu, diharapkan akan tercipta pembangunan yang berkeadilan tanpa harus melanggar etika beragama.
Ulama Kini dan Dulu
Dulu, semasa prakemerdekaan para ulama sangat berperan penting dalam pembangunan desa baik secara fisik maupun nonfisik. Ada banyak litelatur yang mengatakan jika para ulama menjadi motor penggerak dalam pertanian, perdagangan, pengairan dsb.. sebaliknya, ulama pasca kemerdekaan lebih terkonsentrasi pada pembangunan bidang pendidikan. Itu tidak salah, hanya saja jika kita terus terkonsentrasi disana maka akan terjadi perlambatan pembangunan di desa kita. Imbasnya, urbanisasi tetap tinggi karena anak muda hanya dibekali ilmu teoritis di sekolah tanpa kemudian disediakan lapangan pekerjaan  ketika menginjak dewasa.
Mungkin, tidak adanya rangsangan untuk membangun desa karena sudah diserahkan kepada Pemerintah sehingga ada keengganan ulama untuk berperan lebih besar lagi dalam pembangunan. Para ulama terkesan mengucilkan diri di lembaga keagamaan karena tempat mereka sudah diambil alih lembaga pemerintahan yang punya kekuatan secara formal. Padahal, kekuatan ulama secara infomal bisa mengubah kebijakan formal yang dikeluarkan pemerintah. Asalkan, perubahan kebijakan dimaksudkan untuk sebaik-baiknya dan seluas-luasnya kepentingan masyarakat.
Sekulerisasi
Pengikisan peran ulama ini adalah hasil dari program sekulerisasi dari pihak-pihak yang benci pada Islam. Secara sadar ataupun tidak, ulama sendiri sudah memisahkan antara ibadah ritual dan ibadah sosial. Padahal tidak perlu begitu. Ketika pemikiran ini sudah ada dalam benak ulama, otomatis mereka menarik diri dari perannya yang dahulu sudah besar menjadi lebih menciut lagi. Warga pun sudah tidak menganggap lagi Islam sebagai solusi bagi problematika bermasyarakat. Islam hanya sebagai sarana hiburan rohani ketika kehidupan duniawi sudah tidak bisa lagi memberikan kebahagiaan.
Pendidikan Ulama Tidak Berpengaruh
Pemikiran sekuler ini tidak berpengaruh pada tingkat pendidikan seorang ulama. Bisa jadi semakin tinggi jenjang pendidikan formalnya, maka semakin sekulerlah dia. Ataupun sebaliknya. Entah apa yang ada di benak ulama kita, ada banyak mereka yang hidup justru dari sumbangan ummat seperti para biksu Shaolin. Kita bandingkan dengan ulama generasi Sahabat, Tabiin dan Thabiuut Thabiin, mereka justru hidup berdikari menjadi contoh bagi ummatnya. Di siang hari mereka bertani atau berdagang, di malam hari menyampaikan ilmu. Wajar, mereka bisa membawa ummat karena berdakwah dengan contoh bukan sekedar kata-kata.
Saya hanya ingin menekankan bahwa menjadi seorang ulama tidak hanya sebagai pribadi yang luhur ilmu tetapi juga sebagai pribadi yang mempunyai visi bagaimana membangun masyarakat di masa depan. Apakah ulama akan menjadikan masyarakt sekuler atau masyarakat Islami yang diridhoi Alloh SWT.