Kamis, 21 Juli 2016

Meraba Mental Orang Desa (Bagian 2)

Harapan : Pesimisme vs Optimisme
Manusia memiliki harapan, sebagai orang normal. Apa yang diharapkan setiap orang sangatlah berbeda. Entah darimana datangnya suatu harapan itu. Ada yang menyatakan bahwa harapan datang dari persepsi seseorang mengenai kehidupan dunia ini. Persepsi itu bisa kita sebut filsafat hidup, prinsip hidup atau apa pun itu. Persepsi-persepsi dia bisa dipengaruhi oleh pemahaman agama, ilmu pengetahuan, lingkungan keluarga, lingkungan kerja dsb..
Harapan dalam kehidupan manusia merupakan cita-cita, keinginan, penantian, kerinduan akan sesuatu supaya itu terjadi. Dalam menantikan adanya sesuatu yang terjadi dan diharapkan, manusia melibatkan menusia lain atau kekuatan lain di luar dirinya supaya sesuatu terjadi, selain hasil usahanya yang telah dilakukan dan ditunggu hasilnya. Jadi, yang diharapkan itu adalah hasil jerih payah dirinya dan bantuan kekuatan lain. Bahkan, harapan itu tidak bersifat egosentris, berbeda dengan keinginan yang menurut kodratnya bersifat egosentris, usahanya ialah memiliki. Harapan tertuju kepada "Engkau", sedangkan keinginan kepada "Aku". Harapan itu ditujukan kepada orang lain atau kepada Tuhan. Keinginan itu untuk kepentingan dirinya, meskipun pemenuhan keinginan itu melalui pemenuhan keinginan orang lain.
Menurut macamnya, ada harapan yang optimis dan ada harapan yang pesimis (tipis harapan). Harapan yang optimis artinya seseuatu yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-tanda yang dapat dianalisis secara rasional, bahwa sesuatu yang akan terjadi bakal muncul. Dalam harapan yang pesimistis ada tanda-tanda rasional bakal tidak terjadi.
Mengenai optimisme ini, saya pernah mendengar langsung pengalaman teman saya. Suatu ketika dia menempelkan gambar kendaraan, gedung mewah, Ka'bah dan banyak harapan hidupnya ditempel di dinding kamar. Lucunya, suadara laki-lakinya memberikan nasihat yang justru memberikan kesan pesimis, "Jangan berharap terlalu tinggi, nanti bisa gila."
Hah, mendengar itu saya agak geli. Kok, begitu ya, ketika suatu harapan tinggi ada dalam benak seseorang justru ada 'bisikan halus' yang malah menurunkan harapan itu. Parahnya, penurunan itu ke tingkat terendah. Saya mulai bertanya, apakah sebagian besar orang di desa saya seperti itu. Mereka takut berharap banyak akan masa depannya sendiri dan masa depan orang lain.
Teman saya itu memang memiliki pola pengharapan yang tinggi karena diajarkan begitu oleh gurunya ketika di pesantren. Dengan pemahaman agama yang 'khas' maka dia menggantungkan harapan setinggi yang dipikirkannya. Sedangkan kakaknya belum mendapatkan pemahaman seperti itu dari sumber mana pun. Dapat dimengerti, bahwa interaksi seseorang dengan lingkungan turut mempengaruhi cara berpikir manusia.
Pesimisme kalau sudah berjangkit pada jiwa seseorang maka akan membuatnya menjadi lamban bergerak karena setiap langkahnya akan senantiasa dipengaruhi oleh khayalan-khayalan dan bayangan-bayangan yang menakutkan dan mengecewakan yang dikhayalkan akan menimpa dirinya, maka akibatnya sikapnya menjadi ragu dan langkahnya tak pernah mantap.
Sebaliknya, optimisme membuat orang senantiasa tegar, penuh harapan dalam menatap masa depannya, jauh dari bayangan kekecewaan dan kecemasan. Kalau timbul problema akan dipecahkan dengan cara yang wajar dan rasional atau kembali kepada tuntunan Illahi.

Tentang pesimisme dan optimisme ini Nabi SAW pernah bersabda:
"Siapa yang (rencana/tujuannya) dapat digagalkan oleh tathoyyur (pesimisme) maka benar-benar ia telah syirik." (HR. Ahmad dan Thobroni)
Pernah disebut-sebut (pesimisme) di sisi Nabi SAW, lalu ia bersabda demikian : "Yang lebih baik adalah optimisme dan hendaknya tathoyyur (pessimisme) itu tidak sampai menggagalkan (tujuan/rencana) seorang Muslim." (HR. Abu Daud)

Nabi Ya'qub sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur'an menasihati putra-putranya demikian:
"Dan janganlah kalian berputus asa dari (meraih) rahmat Alloh karena sesungguhnya tidak biasa berputus asa dari (meraih) rahmat Alloh melainkan orang-orang kafir." (QS. 12:87 )
Memahami harapan seorang manusia memang tidaklah mudah, maka dari itu saya mencoba 'merasakan' apa yang sebenarnya dirasakan oleh orang desa dalam situasi yang kurang lebih sama dengan mereka. Menjadi petani dengan penghasilan yang tidak menentu, juga berhadapan langsung dengan suasana alam yang kurang bersahabat.
Setelah beberapa lama berada dalam situasi itu, saya mulai mencoba merasakan seperti apa kiranya bila menjadi orang desa dengan segala 'kesulitan' yang dihadapinya. Hal yang bisa dipahami apabila banyak yang mengeluh betapa kehidupan di desa belum bisa dijadikan andalan untuk meningkatkan kesejahteraan. Alasan yang bisa diterima jika banyak orang desa pergi meninggalkan tempat kelahirannya untuk bisa meraih apa yang diharapkannya.
Sebagaimana yang sering disinggung banyak orang, harapan kesejahteraan menjadi 'topik utama' pembicaraan orang desa. Harapan akan hasil panen yang melimpah, harapan akan pekerjaan yang mapan, harapan akan keuntungan dalam perdagangan atau harapan akan pendidikan anak yang tinggi supaya bisa mengangkat status keluarga.
Harapan-harapan itu seakan menjadi hal yang umum dan lumrah bagi banyak orang. Apakah tidak lagi yang diharapkan selain itu? Apakah ada orang yang berharap desanya menjadi makmur di kemudian hari? Ataukah adakah yan berharap desanya menjadi pusat bisnis di masa depan? Dalam hal ini jarang kita temui. Kalau pun ada yang berharap desanya maju, hanya tercetus dari pada 'tokoh' masyarakat yang jumlahnya sedikit.
Harapan-harapan yang 'standar' itu muncul bisa jadi karena belum adanya rangsangan yang bisa meningkatkan harapan mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Apakah warga desa _pada umumnya_ belum bisa meresapi bahwa tugasnya hidup di dunia ini tidak hanya melulu mengurusi kebutuhan rumah tangga tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk mengurus komunitas dan alam sekitarnya. Tingginya harapan, bukan sebagai pengejawantahan dari 'khayalan tidak karuan' tetapi juga sebagai 'wujud keinginan untuk mengabdikan diri lebih optimal' lagi. Bukankah kita ingin pahala yang besar di sisi Alloh SWT?

Tanggung Jawab dan Keadilan : Kepada Siapakah?
Konsep tanggung jawab dalam suatu budaya bisa membangun peradaban secara fisik. Ya, begitulah yang sering kita lihat di sekitar kita. Tanggung jawab antara satu orang dengan orang lain atau dengan dirinya sendiri membawa pada suatu ekspresi pemenuhan tanggung jawab itu. Tanggung jawab seorang suami pada keluarganya menjadikan rumah sebagai tempat berteduh. Tanggung jawab Pemerintah pada rakyatnya menjadikan jalan sebagai penghubung bagi kemudahan mobilitas. Dan masih banyak lagi.
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bertanggung jawab (QS. 75:36). Dalam konteks sosial, manusia tidak dapat hidup sendirian dengan perangkat nilai-nilai menurut selera sendiri. Nilai-nilai yang diperankan seseorang dalam jalinan sosial harus dipertanggungjawabkan sehingga tidak mengganggu konsensus nilai yang telah disetujui bersama.
Tanggung jawab dalam konteks pergaulan manusia adalah 'keberanian'. Orang yang bertanggung jawab adalah orang berani menanggung resiko atas segala yang menjadi tanggung jawabnya. Ia jujur terhadap dirinya sendiri dan jujur terhadap orang lain, tidak pengecut dan mandiri. Dengan rasa tanggung jawab, orang yang bersangkutan akan berusaha melalui seluruh potensi dirinya. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang mau berkorban demi kepentingan orang lain.
Tanggung jawab erat kaitannya dengan kewajiban. Kewajiban adalah sesuatu yang dibebankan terhadap seseorang. Kewajiban merupakan bandingan terhadap hak, dan dapat juga tidak mengacu kepada hak. Maka tanggung jawab dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kewajibannya.
Orang yang bertanggung jawab dapat memperoleh kabahagiaan. Sebab, ia menunaikan kewajibannya. Kebahagiaan tersebut dapat dirasakan oleh dirinya atau oleh orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak bertanggungjawab akan menghadapi kesulitan, sebab ia tidak mengikuti aturan, norma atau nilai-nilai yang berlaku.
Rasa keagamaan masyarakat desa membawa pada karakter masyarakat yang bisa bertanggung jawab. Tidak hanya pada diri dan keluarga, secara sosial orang desa terbiasa bertanggung jawab pada orang lain. Karakter orang desa yang terkenal suka bergotong royong sebagai wujud dari tanggung jawab sosial mereka dalam kehidupan bermasyarakat.
Sayangnya, kemajuan teknologi informasi membawa efek negatif bagi persepsi warga akan tanggung sosialnya. Persepsi sebagian warga akan tanggung jawab kepada sesamanya berubaha menjadi sekedar "tanggung jawab sesama tetangga". Entah kenapa, orang desa kehilangan rasa 'senasib sepenanggungan' yang selama ini menjadi ciri khasnya. Saat ini, orang desa sibuk dengan urusannya sendiri.
Sikap ini tidak hanya ada dalam urusan pekerjaan, tetapi juga sudah menjalar hingga urusan keagamaan. Jika masalah pekerjaan, bisa dimengerti, karena saat ini desa tempat saya tinggal tidak melulu bergantung pada pertanian. Profesi warga sudah beragam. Namun, ketika masalah keagamaan sudah 'menjadi urusan masing-masing' maka saya berpendapat ini sudah seperti 'orang kota'.
Orang desa tidak menganggap bahwa masalah ibadah seseorang tidaklah menjadi urusannya. "Biarlah mereka dengan amal mereka dan amal saya dengan saya.", begitulah yang sering terdengar. Apakah permasalahan hidup yang begitu kompleks mempengaruhi rasa tanggung jawab sosial orang desa. Urusan hidup menjadi begitu 'ruwet' sehingga tidak memiliki waktu dan energi untuk memikirkan nasib orang lain, begitukah?
Apabila di kota, ada banyak 'fokus sosial' penduduk seperti industri, pemerintahan, pendidikan dsb., maka tanggung jawab pun hanya terfokus diantara sesama orang dalam fokus sosial yang sama. Tetapi, di desa fokus sosial itu belum terbentuk karena jumlah penduduk yang sedikit. Sehingga, dalam urusan kepemimpinan pun seakan semua bidang harus 'terakomodasi'. Seorang Kepala Desa tidak hanya mengurusi administrasi pemerintahan tetapi juga urusan agama, pekerjaan, lingkungan, pendidikan dsb.. Begitu pun, pemimpin kharismatik seperti Tetua Adat dan Ulama dituntut mampu untuk mengurus segala urusan warga.
Di desa saya, pemimpin kharismatik sudah mulai memudar. Sehingga, ulama hanya bisa mengurusi urusan di masjid dan madrasah saja. Kepala desa hanya sanggup mengurusi urusan tata kelola pemerintahan saja. Untuk urusan ekonomi, belum ada pemimpin yang bisa bertanggung jawab pada nasib sekian banyak orang. Kami belum sanggup menghimpun potensi manusia pada suatu organisasi ekonomi yang mapan.
Situasi seperti di atas, seakan menjadi alasan warga untuk menuduh Pemerintah yang tidak bersikap adil. Warga seakan tidak percaya akan adanya pemerintah yang membawa pada kesejahteraan. Rasa kebersamaan menjadi terpecah, tidak ada sosok yang bisa membawa pada perubahan kehidupan masa depan yang lebih baik. Warga menjadi 'berlomba-lomba' untuk mengumpulkan kekayaan tanpa ada niat untuk berbagi kebahagiaan. "Ini hasil kerja saya, buat apa dibagikan."
Niat orang untuk bekerja dan mengumpulkan harta menjadi sangat 'egois dan jangka pendek'. Padahal, pandangan Islam terhadap harta itu menjauhkan bahaya egoisme, bahaya sikap masa bodoh dan tidak peduli, juga membebani pemiliknya agar memilkul tugas-tugas sosial yang lalu mengenai harta. Yaitu, agar harta itu melayani kepentingan masyarakat, maka ditunaikannya zakat sebagai batas minimal dari menutupi kebutuhan masyarakat dan dikeluarkannya nafkah yang lebih banyak dari itu jika ummat memerlukannya. Dan, tidak disangsikan lagi bahwa dipenuhinya fungsi sosial dari harta oleh seorang beriman, sebagian tercermin dari belanjanya untuk dirinya pribadi, hingga dengan demikian tidak menyimpang dari batas keadilan.
Persepsi ini membawa orang yang memiliki harta berlebih untuk berinvestasi  untuk kepentingan ummat dalam berbagai bidang. Investasi harta tidak hanya berupa sedekah tetapi juga menanamkan modal untuk membuka lebih banyak lagi lapangan pekerjaan. Investasi juga bisa dilakukan untuk mengolah potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di sekitarnya.
Ketika suatu organisasi ekonomi terbentuk maka setiap orang akan menyadari hal dan kewajibannya. Para karyawan akan bekerja dengan maksimal dan para majikan akan memimpin mereka untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Begitulah, kesadaran dari hati nurani tidak akan membawa pada perselisihan. Justru, kemaslahatan bersama akan tercapai.

"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Az-Zuhkruf (42) : 32)


Begitulah, urusan tanggung jawab dan keadilan bisa terpenuhi jika kita tidak memisahkan antara kerja dan ibadah. Hal itu  menjadi wujud taqorub kepada Alloh SWT. Dengan begitu, tidak akan ada sikap layaknya hukum rimba dimana yang kuat akan 'memakan' yang lemah. 

Selasa, 12 Juli 2016

Meraba Mental Orang Desa (Bagian1)

Saya mencoba untuk memahami apa yang dipikirkan oleh orang desa pada umumnya. Apa yang saya teliti, terbatas pada realita di tempat tinggal saya di Desa Sukamerang, Kecamatan Kersamanah, Kabupaten Garut. Maka dari itu, tidak bisa menjadi 'generalisasi' dari kondisi orang desa di Indonesia secara keseluruhan. Namun, denga bantuan kepustakaan maka saya bisa menarik garis besar mental orang desa pada umumnya.

Sebagai manusia, baik orang desa maupun orang kota, mempunyai keunikan tersendiri yang tidak bisa disamaratakan begitu saja. Pendekatan generalisasi karakter tidak saya lakukan karena itu akan mendapatkan banyak 'penolakan'. Termasuk saya, tidak setuju apabila harus memahami isi pikiran orang desa harus menggunakan 'teori-teori' yang sudah ada. Bisa jadi, teori itu menyesatkan siapa pun yang menggunakannya. Alhasil, ketika akan menelorkan kebijakan mengenai pembangunan pedesaan kita cenderung 'pukul rata'.
Mendeskripsikan/memaparkan fenomena suatu masyarakat desa dengan keunikannya itu lebih bijaksana dibandingkan memaparkan 'opini-opini' yang muncul. Misalnya, opini mengenai orang desa yang cenderung 'bodoh' karena rendahnya pendidikan. Pendapat itu tidak bisa diterima begitu saja karena tidak ada ukuran yang jelas mengenai kebodohan. Lagipula, ilmu pengetahuan bisa didapat dimana saja tanpa harus mengenyam pendidikan formal, dengan pegalaman, misalnya.
Berdasarkan opini ini, Pemerintah dan masyarakat umum ramai-ramai menggalakan pendidikan di pedesaan dengan harapan membentuk manusia yang 'pintar'. Namun, ternyata begitu banyak jebakan pengetahuan yang diterima orang desa itu sendiri. Misalnya, begitu banyak ilmu yang tidak relevan dengan kehidupan pedesaan. Sehingga, naiknya tingkat pendidikan tidak serta merta menaikan tingkat kesejahteraan warga desa. Masih jauh, apabila selaras dengan laju pertumbuhan di desa tersebut. Tidaklah heran jika Pemerintah sendiri sangat menyarankan untuk melakukan 'penyesuaian-penyesuaian' dalam kurikulum pendidikan yang berlaku.

Apa yang Ada Dalam Pikiran Manusia?
Beberapa hal akan saya uraikan mengenai apa yang ada dalam pikiran manusia pada umumnya. Kemudian, secara subjektif mencoba untuk menelaah apa yang dipikirkan warga desa di tempat saya tinggal. Memang, alangkah sulit mengetahui 'isi otak' manusia namun hal itu bisa dipahami dengan memperhatikan ekspresi-ekspresi yang terlihat dari luar.
Menelaah suatu budaya berdasarkan keumuman mulai ditinggalkan banyak peneliti karena dianggap tidak 'fair'. Hanya saja, demi efisiensi penelitian tetap dilakukan pada sebagian warga dengan cara sampling. Agar terlihat realisitis, saya coba memaparkan contoh dengan tokoh nyata layaknya suatu laporan jurnalistik.
Berdasarkan Ilmu Budaya Dasar ada beberapa hal yang 'biasa dipikirkan' manusia dalam dirinya, diantaranya cinta kasih, keindahan, penderitaan, keadilan, pandangan hidup, tanggung jawab, kegelisahan, harapan, kematian dan keyakinan. Saya akan membahasnya beberapa diantaranya hanya untuk menggambarkan apa yang terjadi.

Harapan : Pesimisme vs Optimisme
Manusia memiliki harapan, sebagai orang normal. Apa yang diharapkan setiap orang sangatlah berbeda. Entah darimana datangnya suatu harapan itu. Ada yang menyatakan bahwa harapan datang dari persepsi seseorang mengenai kehidupan dunia ini. Persepsi itu bisa kita sebut filsafat hidup, prinsip hidup atau apa pun itu. Persepsi-persepsi dia bisa dipengaruhi oleh pemahaman agama, ilmu pengetahuan, lingkungan keluarga, lingkungan kerja dsb..
Harapan dalam kehidupan manusia merupakan cita-cita, keinginan, penantian, kerinduan akan sesuatu supaya itu terjadi. Dalam menantikan adanya sesuatu yang terjadi dan diharapkan, manusia melibatkan menusia lain atau kekuatan lain di luar dirinya supaya sesuatu terjadi, selain hasil usahanya yang telah dilakukan dan ditunggu hasilnya. Jadi, yang diharapkan itu adalah hasil jerih payah dirinya dan bantuan kekuatan lain. Bahkan, harapan itu tidak bersifat egosentris, berbeda dengan keinginan yang menurut kodratnya bersifat egosentris, usahanya ialah memiliki. Harapan tertuju kepada "Engkau", sedangkan keinginan kepada "Aku". Harapan itu ditujukan kepada orang lain atau kepada Tuhan. Keinginan itu untuk kepentingan dirinya, meskipun pemenuhan keinginan itu melalui pemenuhan keinginan orang lain.
Menurut macamnya, ada harapan yang optimis dan ada harapan yang pesimis (tipis harapan). Harapan yang optimis artinya seseuatu yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-tanda yang dapat dianalisis secara rasional, bahwa sesuatu yang akan terjadi bakal muncul. Dalam harapan yang pesimistis ada tanda-tanda rasional bakal tidak terjadi.
Mengenai optimisme ini, saya pernah mendengar langsung pengalaman teman saya. Suatu ketika dia menempelkan gambar kendaraan, gedung mewah, Ka'bah dan banyak harapan hidupnya ditempel di dinding kamar. Lucunya, suadara laki-lakinya memberikan nasihat yang justru memberikan kesan pesimis, "Jangan berharap terlalu tinggi, nanti bisa gila."
Hah, mendengar itu saya agak geli. Kok, begitu ya, ketika suatu harapan tinggi ada dalam benak seseorang justru ada 'bisikan halus' yang malah menurunkan harapan itu. Parahnya, penurunan itu ke tingkat terendah. Saya mulai bertanya, apakah sebagian besar orang di desa saya seperti itu. Mereka takut berharap banyak akan masa depannya sendiri dan masa depan orang lain.
Teman saya itu memang memiliki pola pengharapan yang tinggi karena diajarkan begitu oleh gurunya ketika di pesantren. Dengan pemahaman agama yang 'khas' maka dia menggantungkan harapan setinggi yang dipikirkannya. Sedangkan kakaknya belum mendapatkan pemahaman seperti itu dari sumber mana pun. Dapat dimengerti, bahwa interaksi seseorang dengan lingkungan turut mempengaruhi cara berpikir manusia.
Pesimisme kalau sudah berjangkit pada jiwa seseorang maka akan membuatnya menjadi lamban bergerak karena setiap langkahnya akan senantiasa dipengaruhi oleh khayalan-khayalan dan bayangan-bayangan yang menakutkan dan mengecewakan yang dikhayalkan akan menimpa dirinya, maka akibatnya sikapnya menjadi ragu dan langkahnya tak pernah mantap.
Sebaliknya, optimisme membuat orang senantiasa tegar, penuh harapan dalam menatap masa depannya, jauh dari bayangan kekecewaan dan kecemasan. Kalau timbul problema akan dipecahkan dengan cara yang wajar dan rasional atau kembali kepada tuntunan Illahi.

Tentang pesimisme dan optimisme ini Nabi SAW pernah bersabda:
"Siapa yang (rencana/tujuannya) dapat digagalkan oleh tathoyyur (pesimisme) maka benar-benar ia telah syirik." (HR. Ahmad dan Thobroni)
Pernah disebut-sebut (pesimisme) di sisi Nabi SAW, lalu ia bersabda demikian : "Yang lebih baik adalah optimisme dan hendaknya tathoyyur (pessimisme) itu tidak sampai menggagalkan (tujuan/rencana) seorang Muslim." (HR. Abu Daud)

Nabi Ya'qub sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur'an menasihati putra-putranya demikian:
"Dan janganlah kalian berputus asa dari (meraih) rahmat Alloh karena sesungguhnya tidak biasa berputus asa dari (meraih) rahmat Alloh melainkan orang-orang kafir." (QS. 12:87 )
Memahami harapan seorang manusia memang tidaklah mudah, maka dari itu saya mencoba 'merasakan' apa yang sebenarnya dirasakan oleh orang desa dalam situasi yang kurang lebih sama dengan mereka. Menjadi petani dengan penghasilan yang tidak menentu, juga berhadapan langsung dengan suasana alam yang kurang bersahabat.
Setelah beberapa lama berada dalam situasi itu, saya mulai mencoba merasakan seperti apa kiranya bila menjadi orang desa dengan segala 'kesulitan' yang dihadapinya. Hal yang bisa dipahami apabila banyak yang mengeluh betapa kehidupan di desa belum bisa dijadikan andalan untuk meningkatkan kesejahteraan. Alasan yang bisa diterima jika banyak orang desa pergi meninggalkan tempat kelahirannya untuk bisa meraih apa yang diharapkannya.
Sebagaimana yang sering disinggung banyak orang, harapan kesejahteraan menjadi 'topik utama' pembicaraan orang desa. Harapan akan hasil panen yang melimpah, harapan akan pekerjaan yang mapan, harapan akan keuntungan dalam perdagangan atau harapan akan pendidikan anak yang tinggi supaya bisa mengangkat status keluarga.
Harapan-harapan itu seakan menjadi hal yang umum dan lumrah bagi banyak orang. Apakah tidak lagi yang diharapkan selain itu? Apakah ada orang yang berharap desanya menjadi makmur di kemudian hari? Ataukah adakah yan berharap desanya menjadi pusat bisnis di masa depan? Dalam hal ini jarang kita temui. Kalau pun ada yang berharap desanya maju, hanya tercetus dari pada 'tokoh' masyarakat yang jumlahnya sedikit.

Harapan-harapan yang 'standar' itu muncul bisa jadi karena belum adanya rangsangan yang bisa meningkatkan harapan mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Apakah warga desa _pada umumnya_ belum bisa meresapi bahwa tugasnya hidup di dunia ini tidak hanya melulu mengurusi kebutuhan rumah tangga tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk mengurus komunitas dan alam sekitarnya. Tingginya harapan, bukan sebagai pengejawantahan dari 'khayalan tidak karuan' tetapi juga sebagai 'wujud keinginan untuk mengabdikan diri lebih optimal' lagi. Bukankah kita ingin pahala yang besar di sisi Alloh SWT?