Minggu, 06 Desember 2020

Menjaga Suasana Desa


Suasana desa yang khas harus selalu terjaga meskipun kultur suatu desa bisa berubah. Apabila tadinya desa itu berbasis pertanian kemudian berubah menjadi desa berbasis industri bukan berarti alam sekitarnya harus berubah.

Hewan-hewan yang menjadi pembawa suasana itu harus tetap dilestarikan. Terutama burung yang bisa migrasi ke sana ke mari. Adanya perubahan kontur atau lanskap suatu desa, masih bisa dikunjungi si burung selama mereka nyaman hidup berdampingan dengan manusia.

Kuntul adalah salah satu burung yang bisa hidup berdampingan dengan manusia. Saya membayangkan jika sekitar pemukiman ada danau buatan untuk kehidupan si kuntul. Jika sawah sudah tidak ada maka danau mesti ada sebagai tempat mereka mencari makan dan bersarang.

Kita tidak usah membayangkan jika industrialisasi pedesaan mengubah kehidupan secara keseluruhan. Karena, bagaimanapun manusia industri perlu ditemani oleh teman lamanya yakni hewan-hewan dan tumbuhan.

Jika nanti terpaksa harus membangun pabrik, maka menyediakan sumber makanan bagi burung-burung masih bisa dilakukan. Asalkan, kita masih menganggap mereka sahabat manusia. Burung-burung bukanlah mangsa sebagaimana hewan pemangsa mempersepsikan mereka. Burung-burung harus dijaga.

Saya membayangkan jika di pabrik-pabrik burung-burung itu akan ikut menumpang membuat sarang. Karyawan pabrik memberinya makan di sela-sela kesibukan kerja mereka. Di kawasan industri masih berkeliaran hewan-hewan pemangsa si burung seperti musang dan mereka nyaman ada di sana.

Suasana desa yang sering dirindukan manusia industri masih bisa dinikmati. Dan, di sisi lain kebutuhan akan sumber pendapatan bisa terpenuhi oleh kita yang berhadapan dengan perubahan zaman.

Senin, 16 November 2020

Pembangunan Bukan Kerumunan

Kerumunan supporter sepakbola. (Foto: medcom.id)

Ketika kita berkerumun bersama-sama orang-orang terdekat, diam saja tanpa bergerak maka itu tidak bisa disebut pembangunan. Pembangunan dimulai dari keterlibatan banyak pihak, walaupun tidak selalu serentak.

Dalam pembangunan, perlu ada yang berperan sebagai penggerak dan yang digerakan. Jika semua bergerak begitu saja seperti suporter sepakbola, maka pembangunan tidak akan berjalan. Bagi kerumunan, sekelompok orang yang tidak terorganisir, maka pembangunan seperti gerakan spontan tanpa perencanaan.

Padahal, pembangunan perlu landasan filosofis hingga perencanaan yang matang. Landasan filosofis berfungsi menggerakan sedangkan kerumunan bergerak tanpa landasan yang jelas.

Kalaulah manusia hanya berduyun-duyun mengarungi zaman, apakah pembangunan akan berjalan? Lebah saja bisa memiliki pemikiran yang sama untuk membangun sebuah sarang, tetapi kenapa manusia sering sulit memiliki  visi yang sama untuk membangun bersama.

Mari kita renungkan kembali tujuan kita hidup saling berdampingan. Bukan hanya saling memperlihatkan kelebihan, tetapi saling membantu untuk menutupi kekurangan. Bagaimana caranya?

Caranya sudah "tertulis" dalam pikiran manusia. Hanya saja, tulisan itu masih berupa kode-kode yang belum jelas. Bagaimana membacanya itu perlu keluhuran pengetahuan dan perasaan.

Minggu, 08 November 2020

Filosofi Dari Tingkah Alam

Kelelawar

 Begitulah kenyataan yang saya saksikan di sekitar rumah. Buah mangga malah menjadi bahan makanan kelelawar. Dahulu, Bapa saya menanam pohon mangga untuk konsumsi keluarga tetapi keluarga satwa juga menikmati hasilnya.

Ketika kita meniatkan "menanam" banyak hal maka sudah sewajarnya untuk dinikmati oleh orang lain bahkan makhluk lain. Ingat umur, karena inveatasi hari ini belum tentu bisa dinikmati hari ini juga. 

Saya suka kagum pada cara berpikir orang Cina. Mereka suka memikirkan tiga generasi. Generasi dirinya, anaknya dan cucunya. Dengan begitu, apa yang dirasakan saat ini dan nanti adalah buah karya dari orang-orang menanam sebelumnya.

Rabu, 21 Oktober 2020

Berpikir Besar, Terlaksanakah?

Ilustrasi: aquariuslearning.co.id

Memikirkan hal-hal besar dalam hidup, mungkin biasa bagi bangsa besar yang menguasai peradaban dunia. Hasil dari pemikiran besar mereka di masa lalu, kini sudah terwujud. Jadi, jika anak-cucu mereka berpikir jauh lebih besar ya wajar.

Berpikir besar, bagi saya, belum menjadi bagian dari budaya keluarga. Kami masih disibukan dengan pemikiran bagaimana memenuhi kebutuhan dasar. Makanya, jangan aneh jika kebutuhan dasar sudah terpenuhi tidak ada lagi gairah untuk memikirkan atau melakukan hal lain. Pensiun.

Imajinasi hari tua yang sejahtera dan bahagia memang menjadi tujuan banyak orang. Sayangnya, setelah pensiun ya _maaf_ hanya menunggu kematian. Nyaris tidak ada harapan untuk membangun warisan lebih besar kepada sanak keluarganya.

Keberadaan seseorang tidak terlalu berpengaruh pada peradaban. Terlalu egois, karena hanya memikirkan isi perut masing-masing.

***

Memang menjadi pertanyaan besar, apakah berpikir besar bisa terlaksana? Saya sudah mencari di dunia maya atau dunia nyata jika hal-hal besar bisa terjadi jika diawali pemikiran besar. Pelaksanaan sebuah hasil pemikiran, tidaklah terjadi dalam sekejap mata. Mungkin saja behari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Namun, pemikiran besar bisa menjadi bagian dari budaya sekumpulan manusia.

Saya sering gemas pada sikap kita yang tidak mau berpikir besar. Alhasil, jiwa tidak terdorong untuk bertindak. Bahkan untuk melakukan hal sederhana seperti membuang sampah. Dalam budaya kita, sampah dianggap hal sepele maka beginilah jadinya. Sungai jadi tempat sampah terbesar!

Minggu, 18 Oktober 2020

Sikap 'Bertahan' Di Tengah Peradaban, Sungguh Merugikan

 

Taktik sepakbola menyerang. (Ilustrasi: Bandit Football)

"Taktik terbaik untuk bertahan adalah menyerang."


Ditengah peradaban yang serba kompleks, sekedar "bertahan" untuk hidup hanyalah kerugian. Saya, tumbuh di tengah peradaban yang lebih banyak bertahan dibanding menyerang.

Sebagai orang Sunda, bertahan dari serbuan bangsa lain sudah menjadi bagian dari budaya. Berdasarkan sejarah yang saya baca, sikap orang Sunda ini malah menjadi prinsip yang dilihat sebagai kekuatan tetapi nyatanya adalah bentuk kelemahan.

Bertahan dari serbuan budaya lain, tepatnya dominasi peradaban bangsa lain, hanya bisa bertahan dalam jangka pendek. Juga, hanya berlaku pada manusia-manusia idealis yang jumlahnya sedikit. Lama-kelamaan kemampuan bertahan itu akan "bobol" juga.

Ketika pertahanan sudah rapuh, maka dengan mudah bangsa lain memporakporandakan bangunan budaya yang tercipta sejak lama. Lalu, kita hanya gigit jari dan merasakan penyesalan teramat dalam karena tidak menyerang balik sejak awal.

***

Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa sikap bertahan ala orang Sunda malah membuat orang Sunda terasing dari akar budayanya sendiri. Semua aspek "kalah telak", sehingga menyerah begitu saja. Mulai dari ekonomi, politik hingga teknologi, orang Sunda hanya menjadi bangsa yang kalah. Hampir tidak ada lagi yang bisa dibanggakan.

Lucunya, kekalahan ini malah ditimpakan menjadi kesalahan orang lain. Menyalahkan orang Cina bahkan menyalahkan Tuhan. Sungguh keterlaluan!

Orang Sunda tidak berdaya untuk bangkit lagi dari kekalahan. Tertunduk lesu. Orang Sunda hanya bisa menjadi bangsa "setengah budak" dari bangsa lain yang berdatangan ke tanah Pajajaran. Kami, menjadi mayoritas yang terpinggirkan. Hanya bangga dengan kuantitas tetapi memalukan secara kualitas. ...

Minggu, 11 Oktober 2020

Hidup di Desa Tanpa Filosofi, Bisakah?




Manusia Indonesia yang hidup di desa, tentu saja memiliki filosofi sendiri dalam mengarungi hidupnya. Perbedaan cara pandang kita _sebagai orang desa_ terhadap desa kita perlu banyak peyesuaian.

Coba kita bayangkan, mau seperti apa kehidupan kita di desa? Diam saja menunggu seperti cara pandang orang dahulu, saya pikir sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman.

Menunggu, ya menunggu pemberian Pemerintah Pusat untuk membangun desa hanya membuat kita menjadi "beban" pembangunan. Padahal, manusia Indonesia sejatinya menjadi penggerak pembangunan itu sendiri.

Saya hanya ingin mengajak bahwa hidup di desa itu harus menjadi modal utama bagi pembangunan kehidupan secara nasional bahkan secara global. Menjadi warga pedesaan bukan lagi "takdir" buruk akibat hidup ditengah serba keterbatasan. Menjadi warga desa malah menjadi modal penting dikala sedang terjadi restrukturisasi ekonomi global akibat pandemi.

Dengan perubahan filosofi menjadi filosofi yang dinamis, maka secara teori manusia dimanapun bisa menggerakan kehidupan itu sendiri. Apatah ia hidup di padang tandus seperti pedalaman Saudi Arabia. Apalagi, kita hidup di alam Indonesia yang dikaruniai banyak "modal kehidupan".

***

Dahulu, saya berpikir jika dilahirkan di desa merupakan bentuk takdir yang "terpaksa" harus diterima. Kesulitan kehidupan di desa masih dianggap sebagai hambatan untuk mencapai kemajuan. Dalam pikiran saya _dan pikiran orang-orang sekitar_ hidup di desa tidak bisa dan tidak akan pernah mendatangkan kemajuan.

Tapi, itu dahulu. Ketika kemapanan kota masih menjanjikan banyak hal. Pandemi melanda, dan bluurrr anggapan itu buyar seketika. Kehidupan kota begitu memukul perekonomian. Kerusuhan melanda, kondisi sosial menjadi penghalang bagi pembangunan peradaban yang lebih baik.

Lalu, berdasarkan laporan-laporan penelitian berbagai Lembaga, ternyata orang desa dianggap lebih tahan terhadap dampak buruk pandemi. Hanya saja, tidak semua orang desa menyadari bahwa kemampuan bertahan mereka adalah konsep hidup yang perlu diperhitungkan. Ada tren di perkotaan untuk bercocok tanam, agar kebutuhan pangan keluarga terpenuhi. Bukankah itu kebiasaan orang desa?

Nah, filosofi orang desa yang senantiasa nrimo itu harus segera diubah. Realita membuktikan jika orang desa punya kekuatan kultural untuk mengubah arah kehidupan dunia. Peradaban tidak hanya bergantung pada orang kota, justru jantung peradaban mulai bergeser ke desa.





Sabtu, 03 Oktober 2020

Kayu Bakar untuk Bertahan Di Tengah Kesulitan


Ketika ktia kelelahan mencari sesuatu yang tidak ada atau jauh dari kediaman, maka melihat ke sekeliling bisa menjadi solusi.


Bapa saya akhir-akhir ini rajin membelah kayu-kayu yang tumbuh di sekitar rumah. Untuk bahan bakar, demi menghemat anggaran belanja. Menanak nasi dan memasak air di atas tungku, tidak banyak menggunakan kompor demi usaha penghematan.

Ketika banyak orang, sibuk mencari uang untuk membeli kebutuhan rumah tangga maka Bapa saya lebih suka menanam pepohonan. Ketika pohon itu sudah besar, manfaatnya begitu banyak.

Salah satu yang saat ini dirasakan adalah kesanggupan kami untuk sekedar bertahan hidup di kala ekonomi sedang tidak baik. Meskipun negara sedang dilanda banyak bencana, kami bisa bertahan demi sekedar makan. Alhamdulillah.




Minggu, 13 September 2020

Investasi Pengetahuan

 

Siput di halaman rumah.

Pengetahuan bukan sekedar apa yang kita tahu dari buku. Pengetahuan juga berasal dari sekitar kita.

Saya selalu berpikir jika buku bukan lagi satu-satunya "kitab rujukan" bagi pengetahuan kita. Apabila masih ada dalam pikiran kita jika apa yang terjadi di sekitar adalah hal biasa, maka  pikiran itu perlu dikoreksi. 

Apa yang kita anggap angin lalu dimasa lalu maka dimasa depan akan menjadi sumber kehidupan. Saat ini, Abad 21 bisa disebut juga sebagai Abad Pengetahuan. Modal kehidupan bukan hanya bicara tentang uang dan sumberdaya alam yang luas. Pengetahuan yang terorganisir juga menjadi kapital bagi perubahan peradaban.

Bisa dipahami jika banyak yang menganggap begitu. Karena, ketika sumberdaya alam yang semakin sedikit diperebutkan oleh begitu banyak orang maka setiap orang akan kebagian sedikit sekali.

Saya mengalami sendiri bagaimana keluarga kami tidak kebagian tanah untuk sekedar menanam bahan pangan. Sawah yang digarap oleh Bapa saya juga itu milik orang lain. Lalu, jika begitu apa yang bisa kami investasikan untuk anak cucu?

Jawabannya, ada pada filosofi siput. Siput sangat lambat dalam bergerak. Tetapi, katanya siput adalah makhluk di bumi yang belum punah padahal dia binatang yang sudah hadir di bumi jauh sebelum manusia ada.

Keterlambatan siput malah menjadi cara dia untuk bertahan hidup. Siput tidak tergesa-gesa untuk menjadi makhluk yang unggul di muka bumi. Tapi, berhasil bertahan dengan menyebarkan pengaruhnya dalam radius yang tidak terlalu luas.

Sebagai orang desa, berinvestasi pengetahuan tentang sekitarnya yang tidak terlalu luas bisa menjadi bekal untuk bertahan. Pengetahuan tidak harus selalu sesuatu yang luas dan diluar jangkauan, karena bisa jadi kebingungan antara realita dan kata-kata semata.

Jumat, 31 Juli 2020

Peran Orang Kaya di Desa


Di Eropa
Sumber: palingseru.com

Menjadi orang kaya di desa bukan hanya terpandang secara status sosial tetapi juga memiliki peran yang krusial. Dalam tatanan sosial, orang kaya di desa bisa memegang kendali pembangunan sekaligus membawa lingkungan di sekitarnya menuju kemakmuran.

Menjadi kaya, bukan berarti harus bersikap feodal. Menjadi kaya bukan berarti menindas orang-orang di sekitarnya. Harta berupa tanah atau properti lainnya, malah menjadi modal dasar bagi bergerak ekonomi menuju kesejahteraan bersama.

Saya selalu melihat orang kaya bukan sekedar ketimpangan kasta tetapi sebuah peran yang diberikan Tuhan dalam pembangunan. Tanpa orang kaya, sulit rasanya ekonomi bergerak. Setidaknya, para orang kaya bisa menanamkan modalnya untuk membuka lebih banyak lapangan kerja.

Apabila orang kaya ini "diam saja" dalam artian tidak menggunakan hartanya untuk pembangunan, maka tidaklah heran harta itu bukannya bertambah malah menghilang begitu saja.

Negara tidak terlalu bisa diharapkan dalam usaha pembangunan. Justru orang kaya inilah yang memiliki peran kunci bahkan lokomotif pembangunan itu sendiri.

Menyokong orang kaya untuk terus berkarya perlu dilakukan oleh siapa saja. Karena orang kaya pun bisa "malas" untuk menambah kekayaannya. Ada banyak orang kaya atau keturunannya tidak punya motifasi lagi untuk mengembangkan kekayaannya.

Banyak orang kaya yang kebingungan dengan kekayaannya. Bukannya dikembangkan, malah dihambur-hamburkan.

Minggu, 26 Juli 2020

Belajar Sejarah untuk Alternatif Pembangunan Pedesaan



Sejarah memang mengupas masa lalu. Tetapi, sejarah bisa dijadikan pelajaran untuk menata masa depan. Meskipun, bukan berarti untuk mengulangi runutan sejarah yang telah terjadi.

Belajar sejarah mengarahkan pikiran kita pada persepsi waktu. Persepsi kita akan waktu tidak hanya sebatas sebuah jalan lurus yang tidak memiliki 'belokan'. Seakan kita tidak memiliki pilihan jalan mana yang harus ditempuh.

Dengan belajar sejarah, pikiran kita dibawa mengelana pada masa dimana kita belum tahu apa-apa tentang alam semesta. Dalam sekup lebih kecil, sejarah bisa menunjukan seperti apa desa kita di masa lalu.

Sejarah bisa menunjukan 'cetak biru' pembangunan pedesaan. Bukan berarti kita harus mundur lagi. Hanya saja, cetak biru itu bisa menjadi landasan untuk melalukan pembangunan di kemudian hari.

Misalnya, saya merasa kebingungan kenapa desa kami sulit menjadi wilayah pertanian. Saya mulai berpikir jika orang dulu tidak mempunyai rencana untuk menjadikan daerah ini sebagai wilayah pertanian. Mungkin dengan pertimbangan geologis yang kurang cocok.

Ketika sejarah ditulis, sangat mungkin ada subjektifitas si penulis. Tetapi, dalam masalah pembangunan subjektifitas itu sangat dimungkinkan. Tidak menjadi masalah akan adanya subjektifitas, hanya saja itu harus keluar dari orang yang dianggap 'berwenang'.

Kamis, 23 Juli 2020

Hati-hati dengan Filosofi "Pendatang" Ketika Membangun Desa



Filosofi lokal sering dianggap tidak relevan dengan kebutuhan pembangunan pedesaan. Para pemangku kebijakan malah mengimpor filsafat Barat demi tercapainya kemajuan.


Demokrasi, salah satu filsafat yang sering didengungkan. Sayangnya, demokrasi dalam pembangunan desa ini tidak jarang malah menjadi ajang perebutan kekuasaan. Di desa, dimana sistem pemerintahan lokal masih banyak yang cocok dengan oligarki dimana kekuasaan "cukup" diserahkan pada beberapa orang yang dianggap cakap.

Entah berkaca darimana, demokrasi dengan sistem pemilihan belum tentu menjadi sarana relevan dalam pembangunan pedesaan. Karakter desa yang serba "tenang" tidak mesti digoncang dengan perpolitikan lokal yang mengganggu pembangunan.

Dalam banyak konteks, orang desa tidak membutuhkan pergantian kepemimpinan yang terlalu sering tetapi membutuhkan sosok yang memiliki visi membangun dalam jangka panjang. Tidak jarang jika desa perlu orang yang berpikir untuk tiga generasi, generasi dirinya, anaknya hingga cucunya.

Dan, menjaring seorang pemimpian "ideal" seperti itu bukan dengan sistem pemilihan serba langsung. Desa lebih memerlukan sosok yang bisa mengayomi dan memahami realita kehidupan sekitarnya bukan sekedar "tenaga administratif".

***

Demokrasi hanya salah satu contoh saja betapa sebuah dasar pemikiran dalam bertindak begitu dipaksakan untuk diterapkan. Desa, dengan kenyataan sejarah yang menyertainya tidak bisa begitu saja dipaksa ikut serta menjadi bagian dari globalisasi atau westernisasi. Desa, harus memiliki citra diri yang mandiri sehingga memiliki ciri khas untuk menghadapi perubahan zaman yang sedang berjalan.

Desa adalah entitas unik di tengah kekalutan dunia yang sering terjadi. Jika filosofi saja harus mengikuti apa kata bangsa yang berbeda tradisi, bagaimana bisa desa bertahan di tengah kekalutan itu.

Bagi saya, justru filosofi yang khas malah menjadikan desa siap bertahan. Filosofi impor bisa jadi malah membawa kita sebagai orang yang sentiasa bisa dikendalikan oleh mereka. ...

Minggu, 12 Juli 2020

Aset di Pedesaan, Dianggap Rendah Nilai?

Aset milik desa yang terhampar luas. (Dokpri.)
Aset desa yang terhampar luas. (Dokpri.)
Hanya ada dalam pikiran, ketika kita masih menganggap aset yang dimiliki warga pedesaan sebagai aset rendah nilai.

Kalau kata Napoleon Hill, apa yang terjadi di dunia ini  pada awalnya ada dipikiran seseorang. Jadi, jika orang desa berpikir jika apa yang  dimilikinya memiliki nilai yang rendah maka jangan aneh benda itu nilainya menjadi rendah. Kasus yang sering terjadi pada kepemilikan tanah, dimana harganya tetap murah. Padahal, fungsi tanah menjadi sangat besar dibanding persepsi manusia akan keberadaannya.

Manusia desa nampaknya masih memiliki sikap inferior akan keberadaannya di bumi. Mungkin, dalam pikiran sebagian orang desa menjadi warga desa bukan hal yang membuat bangga.

Tanah subur masih dianggap sebagai aset yang tidak perlu dipertahankan. Tanah kurang subur malah dianggap memberatkan. Keberadaannya di muka bumi seperti beban tersendiri, maka bisa dengan murah dilego pada tuan tanah.

***

Tidak hanya tanah, masih banyak aset berharga yang ada di pedesaan. Mulai dari air yang memancar hingga manusia Desa yang tak ternilai.

Apabila orang Eropa & Amerika begitu bergairah melihat tanah tak bertuan untuk ditaklukan. Maka, kita manusia Indonesia nyaris tak punya gairah akan tanah yang terhampar. Mungkin, diawali dari dalam pikiran yang merendahkan aset di dalamnya.

Merendahkan aset ini benar-benar kejadian dan kita menjadi bangsa yang tidak sanggup mempertahankan apa yang kita miliki. Orang Asing yang berinvestasi dianggap penjajah negeri. Padahal, bisa jadi kita mengidap sindrom rendah diri.

 


Jumat, 10 Juli 2020

Memikirkan Masa Depan Desa

Apa yang Anda pikirkan ketika berbicara tentang desa?

Saya menggambar isi pikiran tentang desa kemudian ditempel di dinding kamar.
Alam pikiran kita mungkin tidak dipenuhi harapan yang melambung tinggi. Pesimisme tentang kehidupan desa bisa merasuki jiwa. Desa, masih dianggap sebagai entitas tidak menguntungkan bagi sebagian karena melihat kondisinya yang sekarang. Buat saya, ketika melihat masa depan harus dilihat dari berbagai perspektif. 

  • Ada desa yang lebih mengutamakan kemajuan atau lebih tepatnya 'ikut-ikutan' apa yang terjadi di kota; dan
  • Ada desa yang melihat masa depannya justru ingin kembali ke masa lalu. Masa dimana desa belum ada dan masih berupa hutan belantara.
Di Cina, ada desa-desa yang diubah kembali menjadi hutan. Reforestasi yang dilakukan Pemerintah Cina memaksa desa mengubah wajahnya menjadi alam yang asli dan apa adanya. Pohon-pohon kembali tumbuh dan menghasilkan oksigen.

Tetapi, bila Anda menginginkan desa seperti kota-kota satelit sekitat Jakarta maka itu juga hal yang lumrah. Tangerang, Bekasi dan Bogor yang awalnya pedesaan berubah menjadi kota yang ramai. Disana-sini penuh dengan pembangunan fisik mulai dari rumah, gedung hingga pabrik.

Saya sudah memenuhi pikiran tentang masa depan pedesaan. Satu sisi, pikiran saya menginginkan desa kembali asri tanpa banyak polusi. Sisi lain, saya ingin desa menjadi sejahtera penuh dengan pemenuhan kebutuhan penghuninya.

Permasalahannya, banyak pikiran di desa ini sehingga harus ada kesepemahaman diantara kita. Saya dan tetangga, bisa jadi memiliki keinginan yang berbeda.

Perbedaan keinginan mungkin berawal dari perbedaan kebutuhan. Jika saya butuh banyak oksigen, tetangga saya justru membutuhkan banyak uang. Jika saya ingin membangun gedung tinggi, tetangga saya malah membutuhkan lahan luas untuk mengembala ternak.

Kata Napoleon Hill, apa yang terjadi di dunia ini berawal dari pikiran seseorang. Jadi, pikirkan saja hal-hal baik tentang masa depan desa kita. Semoga semua menjadi kenyataan.


Minggu, 01 Maret 2020

Ajari Kami Hidup Di Desa Sejak Muda

Desa Sukamerang, Kersamanah, Garut

Kalau hidup di desa ketika sudah tua maka hampir tidak punya tenaga untuk mengubah keadaan di desa. Namun, para orang tua kami tidak menginginkan anak-anaknya  hidup di desa sejak muda.

Ya, begitulah cara berpikir orang desa, walaupun tidak semuanya. Kami di desa, berambisi untuk bisa menyaingi orang kota dalam hal harta dan gaya. Ketika usia sudah mulai dewasa, kami disuruh mencari sumber penghidupan ke perkotaan demi mengubah nasib yang terlanjur tak membaik sejak zaman penjajahan.

Kami orang desa, sangat ingin punya kehidupan yang layak sebagaimana diprogramkan oleh negara sejak lama. Kami mencoba meniru pola kehidupan orang sukses baik yang mempunyai usaha di kota atau sukses menjadi sarjana.

Pola itu sudah umum dimaklumi. Bahkan, jangan aneh banyak diantara kami rela meninggalkan sanak keluarga hingga menyeberang ke negeri orang. Bukan hanya negeri tetangga, tetapi lintas benua nan jauh di sana.

Satu sisi itu bagus buat kesejahteraan kami di desa. Tetapi, di sisi lain desa kami jadi sepi pembangunan dan perkotaan jadi kepadatan.

Di desa, kami tak pernah diajarkan bagaimana hidup di desa. Jangankan untuk membangunnya. Untuk sekedar bertahan hidup pun, kami tidak pernah diajarkan.

Coba cek saja pembelajaran di sekolah-sekolah. Hampir tidak ada pelajaran bagaimana kami harus hidup di desa dan berusaha mengubah keadaannya. Di rumah, kami masih suka berleha-leha apalagi orang tua kami pun tidak punya usaha untuk dikelola. Kalau ada tanah untuk digarap, ya hanya itu yang bisa dilakukan. Itu pun harus menunggu musim hujan.

***

Saya pikir kami anak desa harus diajarkan bagaimana punya kehidupan di desa. Memanfaatkan apa yang ada mulai dari udara, air dan tanah bahkan cahaya matahari yang melimpah. Tuhan sudah berbaik hati untuk kita tetapi kami tidak tahu bagaimana memanfaatkannya.

Di sekolah, wacana yang diangkat masih berkutat tentang kehidupan yang "baik" di Barat. Ilmu pengetahuan hingga impian kemajuan tidak jauh seputar contoh Amerika, Eropa dan Naga Asia.

Bukan hal salah apabila itu disampaikan, hanya saja terkadang tidak relevan dengan kebutuhan kami yang hidup di pedesaan. Apalagi di era keterbukaan, ilmu pengetahuan menjadi membingungkan karena kebanyakan.

Saya masih berharap bahwa menggali pengetahuan yang relevan dengan kebutuhan lokal adalah batu loncatan untuk mengubah keadaan. Penting atau tidak penting tentang pengetahuan, biarlah kami yang melakukan penilaian.

***

Bila hari ini Mendikbud mencanangkan kurikulum yang sesuai kebutuhan pasar kerja, maka kami pun membutuhkan kurikulum yang sesuai kebutuhan lingkungan di desa. Pasar kerja bisa berubah sebagaimana berubahnya karakter industri di suatu daerah.

Bagi kami, tidaklah mudah menebak seperti apa kebutuhan pasar kerja di masa depan. Hal yang kami butuhkan adalah bagaimana kami bisa siap menghadapi ketidakpastian di masa depan.

Situasi sosial-ekonomi di pedesaan berbeda dengan perkotaan begitupun cara kami memahami kehidupan. Janganlah melulu kami dididik untuk menjadi pekerja di perkotaan. Cara berpikir dan bertindak layaknya orang kota, sehingga lupa identitas dan potensi alami yang kami miliki.

Perubahan kultur memang suatu keniscayaan. Hanya saja, perubahan itu tidak serta merta membuat kehidupan kami di desa tambah merana. Apabila para penentu kebijakan di Jakarta bersikeras ingin membangun desa kami sesuai selera mereka, ya tak apalah, tapi jangan jadikan kami korban dari kebijakan itu.

Ajaklah kami berdiskusi sejak dini. Orang yang harus mendapat perhatian bukanlah para orang tua yang tidak akan merasakan perubahan. Bisa jadi orang tua kami terlalu konservatif untuk menerima berubahnya keadaan. Kami anak muda yang akan turut serta dalam derap langkah pembangunan. Sekali lagi, turut serta, bukan menderita.

Sumber:
Ziaduddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi,1988.
Muhammad Yunus, Bank Kaum Miskin, 2007.