Minggu, 01 Maret 2020

Ajari Kami Hidup Di Desa Sejak Muda

Desa Sukamerang, Kersamanah, Garut

Kalau hidup di desa ketika sudah tua maka hampir tidak punya tenaga untuk mengubah keadaan di desa. Namun, para orang tua kami tidak menginginkan anak-anaknya  hidup di desa sejak muda.

Ya, begitulah cara berpikir orang desa, walaupun tidak semuanya. Kami di desa, berambisi untuk bisa menyaingi orang kota dalam hal harta dan gaya. Ketika usia sudah mulai dewasa, kami disuruh mencari sumber penghidupan ke perkotaan demi mengubah nasib yang terlanjur tak membaik sejak zaman penjajahan.

Kami orang desa, sangat ingin punya kehidupan yang layak sebagaimana diprogramkan oleh negara sejak lama. Kami mencoba meniru pola kehidupan orang sukses baik yang mempunyai usaha di kota atau sukses menjadi sarjana.

Pola itu sudah umum dimaklumi. Bahkan, jangan aneh banyak diantara kami rela meninggalkan sanak keluarga hingga menyeberang ke negeri orang. Bukan hanya negeri tetangga, tetapi lintas benua nan jauh di sana.

Satu sisi itu bagus buat kesejahteraan kami di desa. Tetapi, di sisi lain desa kami jadi sepi pembangunan dan perkotaan jadi kepadatan.

Di desa, kami tak pernah diajarkan bagaimana hidup di desa. Jangankan untuk membangunnya. Untuk sekedar bertahan hidup pun, kami tidak pernah diajarkan.

Coba cek saja pembelajaran di sekolah-sekolah. Hampir tidak ada pelajaran bagaimana kami harus hidup di desa dan berusaha mengubah keadaannya. Di rumah, kami masih suka berleha-leha apalagi orang tua kami pun tidak punya usaha untuk dikelola. Kalau ada tanah untuk digarap, ya hanya itu yang bisa dilakukan. Itu pun harus menunggu musim hujan.

***

Saya pikir kami anak desa harus diajarkan bagaimana punya kehidupan di desa. Memanfaatkan apa yang ada mulai dari udara, air dan tanah bahkan cahaya matahari yang melimpah. Tuhan sudah berbaik hati untuk kita tetapi kami tidak tahu bagaimana memanfaatkannya.

Di sekolah, wacana yang diangkat masih berkutat tentang kehidupan yang "baik" di Barat. Ilmu pengetahuan hingga impian kemajuan tidak jauh seputar contoh Amerika, Eropa dan Naga Asia.

Bukan hal salah apabila itu disampaikan, hanya saja terkadang tidak relevan dengan kebutuhan kami yang hidup di pedesaan. Apalagi di era keterbukaan, ilmu pengetahuan menjadi membingungkan karena kebanyakan.

Saya masih berharap bahwa menggali pengetahuan yang relevan dengan kebutuhan lokal adalah batu loncatan untuk mengubah keadaan. Penting atau tidak penting tentang pengetahuan, biarlah kami yang melakukan penilaian.

***

Bila hari ini Mendikbud mencanangkan kurikulum yang sesuai kebutuhan pasar kerja, maka kami pun membutuhkan kurikulum yang sesuai kebutuhan lingkungan di desa. Pasar kerja bisa berubah sebagaimana berubahnya karakter industri di suatu daerah.

Bagi kami, tidaklah mudah menebak seperti apa kebutuhan pasar kerja di masa depan. Hal yang kami butuhkan adalah bagaimana kami bisa siap menghadapi ketidakpastian di masa depan.

Situasi sosial-ekonomi di pedesaan berbeda dengan perkotaan begitupun cara kami memahami kehidupan. Janganlah melulu kami dididik untuk menjadi pekerja di perkotaan. Cara berpikir dan bertindak layaknya orang kota, sehingga lupa identitas dan potensi alami yang kami miliki.

Perubahan kultur memang suatu keniscayaan. Hanya saja, perubahan itu tidak serta merta membuat kehidupan kami di desa tambah merana. Apabila para penentu kebijakan di Jakarta bersikeras ingin membangun desa kami sesuai selera mereka, ya tak apalah, tapi jangan jadikan kami korban dari kebijakan itu.

Ajaklah kami berdiskusi sejak dini. Orang yang harus mendapat perhatian bukanlah para orang tua yang tidak akan merasakan perubahan. Bisa jadi orang tua kami terlalu konservatif untuk menerima berubahnya keadaan. Kami anak muda yang akan turut serta dalam derap langkah pembangunan. Sekali lagi, turut serta, bukan menderita.

Sumber:
Ziaduddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi,1988.
Muhammad Yunus, Bank Kaum Miskin, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...