Kamis, 25 Juni 2015

Persepsi Waktu dalam Budaya Pedesaan

Kenapa Persepsi Waktu Penting untuk Dibahas?
Ketika terbersit ide untuk menulis essay mengenai persepsi waktu, saya mencoba untuk menemukan arti penting dari isi pembahasannya. Saya terus bertanya-tanya, kenapa warga desa begitu 'tenang-tenang saja' ketika globalisasi dicanangkan di dunia. Saya belum bisa memahami kenapa warga desa tidak begitu tertarik dengan persaingan antar bangsa dimana setiap negara berlomba untuk menjadikan diri mereka unggul.
Kesadaran warga akan waktu menjadi menjadi faktor penting dalam pembangunan. Apabila seseorang menyadari akan waktu yang begitu berharga maka akan bisa memanfaatkannya. Ada pertanyaan yang memerlukan jawaban, yakni :
Bagaimana warga memanfaakan waktu dalam hidupnya?
Bagaimana warga memanfaatkan waktunya untuk membangun masa depan?
Orientasi warga terhadap masa sekarang lebih dominan dibandingkan masa depan.[1] Apa yang dipikirkan warga lebih kepada bagaimana bisa menikmati saat ini bukan kepada bagaimana menikmati masa depan. Dalam situasi seperti ini, saya perhatikan bahwa orang desa tidak merasa 'khawatir' akan masa depan desanya sendiri.
Apakah orang desa tidak menyadari bahwa perubahan sedang terjadi di dunia ini. Ketika orang kota berlomba untuk mencapai kemajuan demi kemajuan maka orang desa seakan tidak terpengaruh oleh keadaan itu. Alam yang asri sepertinya sudah 'meninabobokan' pola pikir dan pola sikap orang desa. Kesadaran akan perubahan sepertinya memiliki hubungan dengan persepsi orang desa akan waktu. [2]
Apabila dirunut ke belakang, kenapa orientasi waktu itu hanya terbatas pada masa sekarang. Bagaimana orang desa mempersepsikan masa atau waktu _dimana hal itu bersifat abstrak. Orientasi orang desa pada masa sekarang saja, tidak mungkin ada begitu saja. Tetapi, ada pengaruh budaya yang membentuk pola pikir seperti itu. Lalu, budaya seperti apa yang melingkupi pola berpikir seperti itu.
Warga Desa Mempersepsikan Masa Lampau, Masa Kini dan Masa Depan
Persepsi waktu bagi umat manusia begitu penting ketika berhubungan dengan situasi yang ada di sekitarnya. Ada banyak contoh yang menggambarkan bagaimana manusia yang mementingkan waktu akan memperoleh banyak keuntungan dalam hidupnya. Hanya saja, warga desa tidak memiliki perasaan 'tergesa-gesa' dan 'desakan akan waktu'.
Saya memperhatikan adanya pengaruh persepsi warga desa tentang waktu dengan situasi aktual di lingkungannya.
Mungkin, ini hanya perkiraan saya saja. Warga desa memiliki persepsi waktu tersendiri dan berbeda apabila dibandingkan dengan warga kota. Warga desa _dengan kehidupannya yang cenderung monoton_, menganggap waktu berjalan begitu lambat.
Sepertinya, ada hubungan antara pola budaya bertani warga desa dengan bagaimana mereka mempersepsikan waktu. Kegiatan pertanian tidak mengalami banyak perubahan dalam hal cara bertani. Kejadian-kejadian keseharian belum bisa 'menyadarkan' warga bahwa waktu terus berlalu dan telah banyak hal yang berubah di luar sana.
Pola pertanian yang cenderung mengikuti ritme alam mempengaruhi bagaimana warga desa mempersepsikan waktu. Kegiatan bercocok tanam yang memerlukan waktu lama 'memaksa' para petani untuk memahami waktu sebagai 'rentetan kejadian yang teratur'. Waktu bagi orang desa tidak acak karena adanya pola kejadian yang sama dan berulang dari tahun ke tahun.
Mungkin, warga desa tidak bisa menyadari bahwa waktu terus berjalan dan perubahan terus terjadi. Hal ini disebabkan oleh pola pertanian itu yang tidak mengalami banyak perubahan dalam jangka waktu yang lama. Para petani sangat 'kaku' dalam menentukan pola perubahan dari hari ke hari. Ada banyak warga desa yang masih merasa nyaman dengan pola-pola kehidupan lama meskipun itu sudah tidak membawa manusia pada kemajuan peradaban.
Warga desa bisa saja menganggap bahwa waktu bukanlah sesuatu yang penting dan teramat berharga. Waktu tidak bisa menjadi ukuran bagi keuntungan yang akan diperoleh. Waktu juga tidak bisa dipersepsikan sebagai "modal" bagi kemajuan kehidupan. Waktu hanyalah penggalan kehidupan di dunia dimana manusia tidak memiliki kuasa atasnya.
Pemahaman agama yang keliru juga turut serta mempengaruhi warga desa akan waktu. Bagi warga yang menganggap akan ada 'kehidupan setelah kematian' maka dia hanya berpikir untuk 'beramal sebanyak mungkin ketika masih hidup'. Ketakutan akan hari akhirat membuat orang lupa akan tugas dia dihidupkan di muka bumi yakni 'mengelola bumi ini dengan baik'. Ketidaksadaran akan keharusan untuk mengelola bumi ini, cenderung melemahkan persepsi masyarakat akan masa depan.
Apabila mereka memandang kehidupan ini 'hanya sementara'  maka dia lupa untuk 'memberikan bekal bagi generasi setelahnya'.[3] Padahal, di akhirat pun manusia akan dihitung amal apa yang sudah dijadikan bekal bagi generasi setelahnya. Ungkapan 'harta tidak akan dibawa mati' seakan menjadi slogan orang-orang yang bersembunyi dari kelengahannya untuk membangun kehidupan sebagai bekal ketika dia meninggalkan bumi ini.
Orang-orang seperti ini menganggap bahwa hubungan antara manusia yang sudah mati dan yang masih hidup terputus begitu saja, padahal ada kesinambungan kehidupan sebelum datangnya hari  kiamat. Orang yang enggan meninggalkan kebaikan setelah kematiannya adalah manusia individualis. Dan, Islam tidak mengajarkan itu. Apabila manusia menganggap hal terpenting  adalah masa kini _ketika dia masih hidup maka tidak akan peninggalan peradaban di muka bumi. Kita tahu sendiri, pribadi yang enggan membangun peradaban hanyalah pribadi yang 'terkucil' atau mengucilkan diri dari peradaban itu sendiri.
Konektifitas akan Mengubah Persepsi Orang Desa akan Waktu
Ada alasan yang cukup kuat apabila ada dikotomi  antara budaya pedesaan dengan perkotaan dalam mempersepsikan waktu ini. Orang kota lebih dianggap sebagai orang 'modern' karena orientasi waktunya lebih ke masa depan. Sedangkan orang desa orientasi waktunya lebih kepada masa sekarang. Hanya saja, orientasi waktu ini tidak bisa menjadi ukuran bagi pembedaan orang kota dan orang desa karena ciri-ciri itu bisa saja ada pada kedua kebudayaan tersebut.
Untuk pembahasan essay ini, saya mencoba menekankan pada pengaruh persepsi warga akan waktu pada pembangunan yang sedang terjadi. Maka dari itu, budaya desa pun sebenarnya bisa menjadikan masa depan sebagai orientasi waktunya. Permasalahannya, adalah bagaimana orang desa bisa mengubah orientasi waktu mereka.
Dalam era industrialiasasi, persepsi waktu akan berubah secara perlahan karena mengikuti ritme industri itu sendiri. Terlepas dari kondisi geografis, orang desa bisa mencoba menyesuaikan persepsi waktu mereka dengan masyarakat global karena mereka sendiri sudah 'terkoneksi' dengan masyarakat dunia.
Konektifitas ini teramat berpengaruh pada persepsi warga akan suatu hal. Maka dari itu, secara teknis pembangunan suatu wilayah tidaklah harus terkonsentrasi pada kota sebagai pusat pertumbuhan. Saat ini, desa menjadi pusat pertumbuhan baru karena budaya perdesaan pun akan berubah secara perlahan. 
Apabila selama ini warga desa terkesan 'santai' akan pembangunan yang seharusnya dilakukan, maka arus informasi akan mengubah pola pikir masyarakat desa secara perlahan. Kondisi alam yang 'hening' tidak akan menjadi alasan utama bagi ketertinggalan desa dibandingkan kota. Ini tidak berlaku pada desa-desa di Amerika atau Eropa, dimana situasi alam yang masih asri tidak berpengaruh kuat pada bagaimana mereka mempersepsikan masa depan bagi kemajuan peradaban.[4]
Konektifitas orang desa dengan warga dunia, bisa 'memaksa' para petani di Amerika untuk berinvestasi bagi usaha taninya di masa depan. Coba kita lihat, dalam tayangan TV dimana petani disana bisa menerapkan teknologi tepat guna bagi peningkatan produktifitas. Pemaksaan ini bisa berasal dari Pemerintah atau juga dari kalangan swasta. Dalam konteks Indonesia, kita tidak bisa berharap banyak pada Pemerintah sebagai sarana penghubung desa dengan kota. Inisiatif warga desa sendiri untuk membangun hubungan dua budaya _yang memang berbeda secara geografis maupun psikis_ harus tumbuh demi kemajuan bersama.
Standar Kelompok Bisa Mempengaruhi Persepsi Waktu
Mesti ada rangsangan kegiatan untuk bisa menjadi 'standar' bagi warga desa dalam mempersepsikan waktu. Pengaruh budaya terhadap persepsi waktu dengan mengemukakan bahwa persepsi waktu diambil dari belive  dan standar kelompok.[5] Maksudnya, apabila ada kegiatan pembangunan maka warga desa akan merasa ada perubahan seiring berjalannya waktu.
Misalnya, dalam suatu kawasan ada pembangunan pabrik maka warga desa akan menyadari bahwa waktu telah berlalu dan zaman telah berubah. Warga akan menyadari bahwa mereka harus bisa mengubah persepsi mereka akan waktu yang tadinya 'fleksibel atau ogah-ogahan' menjadi lebih disiplin mengenai waktu.               Baginya, waktu adalah sebuah titik, jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan terbuang percuma, hasil akhir lebih penting daripada proses.[6]
Karena waktu sangat relatif dan hanya bisa diukur dengan adanya kejadian-kejadian maka harus ada suatu 'kejadian' yang memicu 'kejadian yang lain'.[7] Setiap deretan kejadian yang cepat dipercaya bisa mempengaruhi kejadian-kejadian yang lain. Seperti kasus pembangunan pabrik di atas, warga desa sekitarnya  akan terbiasa dengan pola hidup yang mengacu pada ketepatan waktu. Sebagaimana diketahui, pola kerja industri sangat mengutamakan waktu dalam setiap kejadiannya.
Waktu sebagai Modal
Waktu adalah milik paling berharga yang memberikan kepastian pada kita, karena waktu selalu sama dan tetap dimana-mana.[8]
Persepsi kita tentang waktu akan sangat mempengaruhi bagaimana kita berperilaku. Dalam keseharian, akan ada perbedaan yang menyolok antara pribadi yang menghargai waktu dengan pribadi yang tidak menghargai waktu. Setiap manusia yang menyadari arti penting waktu bisa menjadikan waktu yang ada sebagai modal kehidupan yang tidak terkira.
Apabila penghargaan ini ada maka dia bisa mengelola waktu dengan baik. Manusia seperti ini akan membuat banyak rencana dan cita-cita serta mengalokasikan waktunya dengan baik. Terlepas dari berhasil-tidaknya usaha yang ditempuh, dia akan memandang bahwa waktu bagian dari  investasi penting dari setiap tindakannya.
Investasi waktu ini sama halnya dengan investasi uang  maka dia akan mengalokasikan setiap detiknya untuk kemajuan di kemudian hari. Dalam paragrap ini, saya mulai bisa memahami mengapa persepsi waktu begitu berpengaruh pada pembangunan di pedesaan. Ketika orang desa memiliki persepsi positif akan waktu maka dia bisa memiliki orientasi masa depan dan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran. Budaya berinvestasi juga berangkat dari bagaimana seseorang menginvestasikan waktunya. Dia akan senantiasa membagi setiap kebutuhan menjadi kebutuhan masa kini dan masa depan. Penghamburan harta sepertinya tidak akan terjadi justru yang ada adalah usaha penghematan secara maksimal.
Apabila pikirannya mengatakan bahwa masa depan akan kita jelang, maka dalam wujud nyata dia akan menjadikan hari ini sebagai sarana untuk menata masa depan. Masa kini tidak hanya dipandang sebagai usaha untuk memenuhi desakan kebutuhan tetapi juga sebagai usaha memperbaiki keadaan dan memperbaiki kegagalan.

Selasa, 09 Juni 2015

Frustasi Orang Tua di Pedesaan

Situasi yang Tidak Terkira Sebelumnya
Ada hal menarik ketika saya berbincang dengan seorang Petani tentang anaknya. Beliau, sudah sepuh _usianya lebih dari 60 tahun_, mengeluh tentang anaknya yang sulit mendapatkan pekerjaan padahal punya pendidikan yang jauh lebih tinggi dari dirinya sendiri.
Waktu itu kami berbincang di tengah pesawahan yang sedang mengering karena hujan tidak turun sudah sejak lama. Wajahnya menyiratkan kelelahan, darinya kita bisa menerka betapa kesulitan hidup sudah 'berkawan' dengannya. Sebagai anak muda, saya hanya bisa mendengar keluhan si Kakek tentang situasi desa yang belum bisa memberikan kehidupan lebih baik bagi dirinya. Situasi kehidupan di pedesaan baginya tidak bisa menjadi tumpuan bagi anak-cucunya.
Si Kakek menjadi figur yang mewakili banyak orang tua di pedesaan. Mereka terlahir dalam situasi yang kurang menguntungkan. Wajar, jika mereka pun mengharapkan kehidupan yang lebih baik bagi generasi penerusnya. Satu hal yang menjadi sorotan, dengan pendidikan maka kehidupan akan lebih baik.
Hanya saja, situasi saat ini tidak sesuai dengan prediksi mereka dulu. Zaman banyak mengalami perubahan, dimana sulit sekali untuk diterka kemana arah perubahan itu. Anak-cucu mereka tidak sesuai dengan idaman mereka karena banyak hal yang tidak mereka pahami. Angan-angan tentang keindahan di masa tua sirna sudah.
Apa yang dialami si Kakek memang tidak terjadi pada setiap orang tua. Hanya saja kondisi sosial ekonomi negeri ini yang tidak stabil mengakibatkan banyak orang tua yang mengalami hal sama seperti si Kakek. Banyak hal yang 'dikorbankan' untuk masa depan putra-putrinya tetapi apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Dari sebelum menikah, selama masa-masa kehamilan, sampai melahirkan, orang tua sudah melakukan persiapan panjang untuk mewujudkan angan-angan ideal mereka tentang anak yang akan dilahirkan. Anak tersebut harus menjadi seperti imbalan atas segala jerih payah dan investasi waktu, emosi, pikiran dan uang yang sudah dikorbankan selama ini.
Kesempatan yang dimiliki para orang tua di masa kecil mereka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kesempatan yang dimiliki anak-anak sekarang untuk terus mengembangkan diri mereka. Kita seringkali mendengar komentar para orang tua bahwa mereka berusaha mati-matian agar anak-anak mereka tidak mengalami 'nasib' yang sama seperti mereka pada waktu lalu.[1] Mungkin, itulah alasan kuat kenapa orang tua begitu 'berambisi' untuk mengubah nasib anaknya sehingga jauh lebih baik dengan orang tuanya.
Harapan-harapan akan seorang anak yang ideal dimatanya merupakan hal yang lumrah bagi para orang tua. Untuk itu, dalam imajinasi si orang tua ada gambaran seperti apa anaknya kelak apabila sudah dewasa nanti. Imajinasi seseorang selalu berkaitan erat dengan lingkungan sekitarnya. Misalnya, si orang tua melihat sosok yang dianggap sukses maka dia berimajinasi anaknya nanti sama dengan orang itu. Perlu dicatat, imajinasi orang tua sangat dipengaruhi oleh situasi di zamannya.
Hanya saja, imajinasi itu tidak selalu sesuai dengan kenyataan dimana zaman sudah banyak berubah sehingga para orang tua kebingungan menghadapi situasi ini. Imajinasi kesuksesan menurut ukuran orang tua bisa saja jauh berbeda dengan imajinasi kesuksesan anak muda. Ada harapan-harapan yang tidak terkira sebelumnya. Misalnya, para orang tua sangat menginginkan anaknya mendapatkan jabatan di pemerintahan tetapi si anak tidak menginginkan hal itu. Karena, bagi si anak bekerja di pemerintahan sudah  tidak 'bergengsi' lagi. Berbeda dengan orang dulu, pegawai pemerintahan mendapatkan tempat yang terhormat di masyarakat.
Anak muda punya sosok idola tersendiri sehingga mereka pun berbeda cara berpikir dengan orang tuanya. Jarang kita temui dimana ada kecocokan antara imajinasi orang tua dengan imajinasi anak-anaknya. Itu tadi, situasi dan waktu yang berbeda mengubah cara pandang seseorang tentang cita-cita dan kehidupannya kelak.
Budaya Industri Belum Masuk ke Pedesaan
Apabila kita berbincang dengan orang tua di pedesaan, ada banyak yang tidak menyadari bahwa tradisi lama sudah banyak berubah. Di masa industrialisasi, seperti sekarang ini, kompetensi lebih diutamakan daripada sekedar jenjang akademis. Di era industri, lapangan pekerjaan tidak tersedia begitu saja tetapi menyediakan lapangan pekerjaan sudah menjadi bagian dari budaya industri itu sendiri.
Generasi tua banyak yang tidak sadar akan hal itu. Mereka selalu bergantung pada orang lain _bahkan bangsa lain_ untuk menyediakan pekerjaan bagi anak-cucunya. Fokus perhatian generasi tua saat ini pada bagaimana menyekolahkan anaknya setinggi  mungkin bukan pada bagaimana menyediakan lahan pekerjaan bagi generasi selanjutnya. Alhasil, lapangan pekerjaan baru sedikit sekali berbanding terbalik dengan para pencari kerja.
Orang tua di pedesaan tidak ikut serta dalam industrialisasi yang sedang terjadi. Dalam situasi ini, generasi tua hanya sebagai pengikut bukan sebagai pelaku. Maka dari itu, ketika harapan tinggi akan kesuksesan anaknya tidak tercapai mereka merasa frustasi.
Masa industrialisasi merupakan masa dimana kreatifitas manusia menjadi 'senjata utama' bagi keberhasilan hidupnya. Inilah yang terlupakan dari para orang tua. Ketika anak-anaknya 'kalah' bersaing dengan lingkungannya sendiri maka mereka bertanya, "apa yang salah dengan pendidikan anak saya?".
Ketika pendidikan formal sudah dianggap tidak bisa mengantarkan anak pada kesuksesan, maka orang tua akan menyalahkan lembaga pendidikan itu sendiri. [2]  Ironi, ketika lembaga pendidikan tidak bisa mengimbangi budaya industri itu sendiri, amat disayangkan orang tua pun tidak menyiapkan anaknya untuk berkecimpung di dunia industri. Orang tua tidak membiasakan anaknya untuk 'bekerja keras'. Malahan, menyerahkan seratus persen pendidikan anak pada sekolah.
Rasa percaya diri yang dulu ada kini mulai pudar. Generasi tua memang punya pengalaman tetapi minim akan pemahaman bahwa yang menentukan keberhasilan seseorang dalam hidup tidak semata-semata jenjang pendidikan yang telah ditempuhnya. Ada banyak faktor lain. Mereka lupa, bahwa hal utama adalah mempersiapkan anak mereka untuk bersaing dalam dunia kehidupan yang sesungguhnya. Pendidikan formal hanyalah pengantar bagi masa depan yang mapan.
Mereka harus memahami bahwa dunia industri adalah dunia yang 'kejam' _penuh dengan persaingan. Anak-anak mereka sebagai calon kaum urban sebenarnya akan masuk ke dalam belantara hutan 'beton dan pabrik'. Terkadang, yang berlaku di sana adalah 'hukum rimba' yakni survival are the fittest _mereka yang bertahan adalah mereka yang kuat.
Kita lihat sekarang di dunia industri dan perusahaan. Banyak para pemimpin industri dengan gelora free enterprise mengembangkan konsep bisnis dengan atribut "tanpa belas kasihan, tanpa hati nurani". Sebab, mereka cuma mengutamakan keuntungan/profit, penambahan modal dan penumpukan kekayaan, menindas para pekerja dan buruhnya. Konsep laisser faire mengembangkan kompetisi bebas dan pasaran bebas, yang kemudian memaksimalisasi paham pementingan diri sendiri.[3]
Frustasi
 Frustasi ialah suatu keadaan, dimana satu kebutuhan tidak bisa terpenuhi, dan tujuan tidak bisa tercapai. Jadi orang mengalami satu halangan dalam usahanya mencapai satu tujuan. Jika seseorang dalam usaha dan perjuangannya menuju satu tujuan terhambat sehingga usahanya gagal, maka dia disebut mengalami frustasi.
Frustasi ini bisa menimbulkan dua kelompok tingkah laku atau respons. (1) Dia bisa melemparkan kesalahan pada orang lain, menghancurkan seseorang, merusak atau mengakibatkan desorganisasi dari struktur kepribadian dan mengalami mental disorder parah. (2) Akan tetapi dia juga dapat menjadi satu titik tolak baru bagi satu usaha baru, guna menciptakan bentuk adaptasi dan mekanisme pemuasan kebutuhan yang baru. Sehingga terjadilah perkembangan hidup baru.[4]
Reaksi-reaksi frustasi yang sifatnya membangun/positif ialah: (1) mobilisasi dan penambahan aktifitas; (2) Berpikir secara mendalam disertai wawasan yang jernih; (3) Resignation (tawakal, pasrah pada Tuhan); (4) Membuat dinamis satu kebutuhan; (5) Kompensasi atau subtitusi dari tujuan; (6) Sublimasi (sublim = terutama, maha tinggi).
Reaksi frustasi yang negatif: (1) Agresi; (2) Regresi (kekanak-kanakan); (3) Fiksasi (pelekatan, pembatasan pada pola yang tetap); (4) Pendesakan dan kompleks-kompleks terdesak; (5) Rasionalisasi; (6) Proyeksi; (7) Sour grape technique (teknik anggur masam) yakni usaha memberikan atribut yang jelek atau negatif pada tujuan yang tidak bisa dicapainya; (8) Sweet orange tecnique (teori jeruk manis)adalah usaha memberikan atribut-atribut yang bagus dan unggul pada semua kegagalan, kelemahan dan kekurangan sendiri; (9) Identifikasi ialah mempersamakan diri dengan orang lain; (10) Narsisme adalah perasaan superior dan cinta diri berlebihan; (11) Autisme ialah gejala menutup diri secara total dari dunia riil.[5]
Konklusi
Cinta kasih dan roman kehidupan telah menolong kita untuk mengenali dan mengembangkan benih-benih dari kesuksesan yang pasti ada dalam setiap kegagalan, frustasi dan kemalangan.[6] Apabila kita bisa melihat masalah dari sisi positifnya, maka ini menjadi pelajaran bahwa masa depan si anak memang berada di tangan anak itu sendiri. Orang tua tidak bisa berharap banyak akan dunia pendidikan formal saja tetapi juga memberikan pendidikan informal di luar sekolah sehingga si anak bisa lebih mengenali diri dan lingkungannya.
Cinta kasih dan roman kehidupan adalah hiasan-hiasan dalam ruang yang paling agung dalam jiwa. Mereka membuat kita selalu berterima kasih terhadap apa yang kita miliki dan tidak bersusah hati terhadap apa yang tidak kita miliki.



[1] Lidanial, Anak Korban Orang Tua Ambisius (Push Parenting) dan Konseling Terhadapnya, Veritas 7/2, 2006, h. 283-289.
[2] Kartini Kartono, Pathologi Sosial, Rajawali, Jakarta: 1981. Hal. 296.
[3] Kartini Kartono, Gangguan-gangguan Psikis, Sinar Baru, Bandung: 1981, Hal. 135.
[4] Kartini Kartono, Pathologi Sosial, Rajawali, Jakarta: 1981. Hal. 296.
[5] Kartini Kartono, Pathologi Sosial, Rajawali, Jakarta: 1981. Hal. 299-304.
[6] Napoleon Hill, You Can Work Your Own Miracles (Terjemahan), hal. 59.