Selasa, 31 Juli 2018

Menegaskan Tujuan atau Meramalkan Capaian

Tujuan menjadi sangat berarti dalam usaha kita membangun kehidupan. Tujuan sangat erat kaitannya dengan kondisi masa depan.  Maka tidak aneh antara tujuan dan realita masa depan sering berbeda, itu karena tidak tegasnya sebuah tujuan.

'Martabat' manusia yang tinggi yakni memiliki akal menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lain. Sepengetahuan saya, kekuatan akal ini tidak hanya mencerna apa yang ada di depan mata tetapi juga diajak untuk berimajinasi.

Surga dan neraka adalah imajinatif. Namun, dengan keyakinan banyak orang berusaha untuk mencapai atau menghindarinya. Sayangnya, fungsi akal ini menjadi 'salah kaprah' karena dogma agama yang tidak pada tempatnya.

Ketika orang Atheis tidak percaya agama karena dianggap tidak bisa merekayasa kondisi didunia, maka kaum agamis harus meyakinkan diri bahwa masa depan dunia tidak lepas dari agama. Agama tidak hanya berbicara moral belaka tetapi juga harus membicarakan konsep perbaikan lingkungan.

*

Akal kita menjadi sarana 'peramal' masa depan. Apabila ahli komputer sudah bisa meramal masa depan dengan teknologi informasi, maka kita sebagai orang Islam seharusnya sudah bisa memperkiralan kondisi masa depan berdasarkan begitu banyak petunjuk dari Alloh. Akal kita diyakini punya kemampuan luar biasa untuk memahami masa depan.

Kuncinya, filosofi hidup diatur oleh 'kekuatan ghoib' sudah tidak bisa lagi diterapkan. Realitanya Alloh memberikan 'keleluasaan' pada manusia untuk mengatur hidupnya.

Ahli filsafat bersikukuh untuk memahami realita. Bahkan mereka berusaha mempengaruhi cara berpikir ummat manusia agar masa depan dunia berjalan sesuai dengan persepsinya.

Orang yang memegang filosofis agamis, mempengaruhi cara berpikir khalayak agar jalan kehidupan tidak jauh dari aturan Tuhan. Kaum filosofis atheis atau sekuler pun, mereka kuat untuk mempengaruhi khalayak agar hidup berjalan sesuai 'keinginannya'.

**

Tujuan manusia hidup menjadi sangat relatif bahkan cenderung abstrak. Para ilmuwan yang anti-Tuhan, belum puas mencari-cari cara untuk memahami tujuan akhir hidup di dunia. Mau kemana kita?

Ketika para agamawan memberikan bimbingan, sayangnya dianggap 'memalingkan' diri dari kenyataan. Jika hidup untuk menuju alam ghaib, kenapa kita susah-payah bergelut dengan kehidupan dunia?.

***

Tujuan masih ada dalam pikiran manusia. Kata Napoleon Hill, apa saja yang dipikirkan manusia pada dasarnya akan kejadian. Memikirkan, terus memikirkan dan merencanakan, baik strategis maupun teknis.

****

Kita hidup dimana sebuah tujuan menjadi sangat berarti. Kenapa? Karena, kita hidup dalam sebuah sistem. Mungkin, tidak banyak yang paham bahwa kita hidup ada saling keterkaitan antara satu sama lain.

Sebuah sistem kehidupan dibentuk oleh kita sebagai 'pelaksana' kehidupan ini. Walaupun kita bersikeras untuk mengubah kehidupan, seperti sulit apabila kita belum paham bagaimana sistem kehidupan berjalan.

*****

Sebuah capaian kehidupan, bagaimana pun itu, sangat berkorelasi dengan kehidupan sebelumnya. Itu sebuah proses.

Persiapan. Itu yang diperlukan.

Pencapaian apa pun boleh kita ramalkan sebelumnya. Bukan berusaha melawan takdir, tetapi 'memahami' takdir. Alloh memiliki ilmu bagaimana manusia hidup di dunia ini hingga akhir kiamat. Hanya saja, kita perlu 'cara' untuk memahami ilmu Alloh.

Cara memahami ilmu Alloh, diyakini oleh banyak ilmuwan dengan menggunakan 'otak'. Otak bisa menangkap 'sinyal' dari manapun dimana kita memahami 'hal-hal' misterius.

Contohnya, begitu banyak ilmuwan seperti Thomas Alfa Edison bisa membuka misteri alam dengan memaksimalkan kemampuan otaknya. Katanya, otak manusia itu hanya digunakan sekitar 10 % dari kemampuan yang sebenarnya.

Saya sendiri belum bisa melihat hubungan antara tujuan kita dengan pemahaman kita akan ilmu Alloh. Pemahaman akan masa depan dan tujuan akan masa depan bisa kita sadari keberadaannya dengan pikiran kita sendiri. Para pemimpin masyarakat biasanya mempunyai kemampuan memahami realita dan tujuan bagi pembangunan kehidupan di masa depan.

******

Akan selalu hubungan antara tujuan dan capaian, begitu pun ketika kita berusaha meramalkannya.

Jumat, 20 Juli 2018

Alat: Jika Tidak Digunakan, Ya Tidak Bermanfaat

Coba lihat disekeliling kita, begitu banyak alat yang bisa kita gunakan. Berapa banyak  yang sudah digunakan dengan optimal?

Alat sesederhana seperti sapu pun jarang digunakan. Bila sering, kenapa lingkungan kita masih kotor. Sampah berserakan dimana-mana.

Bila kita punya sebilah golok, buat digunakan apa? Untuk membuat kerajinan, menebang pohon atau 'membunuh orang'?

Alat bisa berfungsi jika ADA RENCANA.
Untuk urusan rencana ini, saya ingin menekankan bahwa kita tidak usah membatasi diri. Persepsi kita tentang hari akhirat dan kematian semestinya bukan membatasi kita untuk punya 'rencana masa depan' bagi anak-cucu.
Warisan tidak hanya materi, tetapi juga 'warisan immateri' berupa ide-ide dan rencana aksi demi mendapatkan ridho Illahi.

Saya menyaksikan sendiri, bagaimana suatu komunitas menjadi 'kebingungan' karena tidak adanya kompas. Layaknya kapal yang ditinggal mati oleh nahkodanya, komunitas itu terombang-ambing tanpa jelas tujuan. Para kru kapal pun bingung harus berbuat apa karena tidak ada 'dokumen rencana pelayaran'.

Sebuah rencana -yang sederhana pun- merupakan sebuah 'seni olah jiwa'. Di dalamnya, kita diajak bewisata tanpa harus kemana-mana. Berselancar dalam dimensi waktu yang belum teralami. Keinginan untuk memahami dan mensejahterakan diri adalah motifasi tinggi untuk terus 'menyelami jiwa kita sendiri'.

Investasi.
Itulah kata yang belum 'merasuk' ke dalam pemikiran kita. Kita sering menyalahkan orang asing yang berinvestasi di dalam negeri, tetapi dana pribadi kita sendiri hanya 'disimpan' untuk 'kesenangan pribadi'.

Kepemilikan alat adalah bentuk investasi. Tentu saja, mesti digunakan. Namun, setidaknya alat-alat itu jadi sarana 'memudahkan produksi'.

Apabila jiwa kita masih 'jiwa konsumsi' maka dengan alat kita bisa mengubah menjadi 'jiwa produksi'. Itu saya alami. Dengan smartphone, saya tidak hanya berupaya menghabiskan kuota tetapi juga memfoto lingkungan sekitar untuk mengikuti lomba.

Alhamdulillah. Bagi saya alat adalah suatu sarana untuk 'mengekspresikan diri'. Alat mengubah isi pikiran dari kenyataan. Sekali lagi, kuncinya adalah isi pikiran. Pikiran kita mesti penuh dengan pikiran positif. Dengannya, alat akan menjadi sangat bermakna.

Kita bisa paham bahwa alat hanya 'seonggok' materi tidak bernyawa. Kitalah yang harus 'memberinya nyawa'.

Alat pun memang bisa mengurangi pekerja jika tidak bijaksana. Makanya berpikir lebih berulang kali untuk membeli alat itu lebih baik daripada hanya mendatangkan perubahan tidak terduga. Misalnya, mesin pengerek padi bisa mengurangi jumlah pekerja saat panen dalam jumlah yang signifikan.

Alat jelas bisa meningkatkan produksi. Itu pun jika kita punya jiwa produksi. Bagi orang Asia Timur, memproduksi barang sudah menjadi budaya positif. Budaya itu sangat menunjang kemajuan perdagangan. Dengan alat, akan ada banyak jumlah barang yang diproduksi. Biarpun menumpuk di gudang, ada produk yang bisa dijual.


***

Alat, benar-benar bermanfaat jika kita cermat. Alat akan menjadi pemicu kemajuan, tentu saja asal kita mau.