Jumat, 31 Juli 2020

Peran Orang Kaya di Desa


Di Eropa
Sumber: palingseru.com

Menjadi orang kaya di desa bukan hanya terpandang secara status sosial tetapi juga memiliki peran yang krusial. Dalam tatanan sosial, orang kaya di desa bisa memegang kendali pembangunan sekaligus membawa lingkungan di sekitarnya menuju kemakmuran.

Menjadi kaya, bukan berarti harus bersikap feodal. Menjadi kaya bukan berarti menindas orang-orang di sekitarnya. Harta berupa tanah atau properti lainnya, malah menjadi modal dasar bagi bergerak ekonomi menuju kesejahteraan bersama.

Saya selalu melihat orang kaya bukan sekedar ketimpangan kasta tetapi sebuah peran yang diberikan Tuhan dalam pembangunan. Tanpa orang kaya, sulit rasanya ekonomi bergerak. Setidaknya, para orang kaya bisa menanamkan modalnya untuk membuka lebih banyak lapangan kerja.

Apabila orang kaya ini "diam saja" dalam artian tidak menggunakan hartanya untuk pembangunan, maka tidaklah heran harta itu bukannya bertambah malah menghilang begitu saja.

Negara tidak terlalu bisa diharapkan dalam usaha pembangunan. Justru orang kaya inilah yang memiliki peran kunci bahkan lokomotif pembangunan itu sendiri.

Menyokong orang kaya untuk terus berkarya perlu dilakukan oleh siapa saja. Karena orang kaya pun bisa "malas" untuk menambah kekayaannya. Ada banyak orang kaya atau keturunannya tidak punya motifasi lagi untuk mengembangkan kekayaannya.

Banyak orang kaya yang kebingungan dengan kekayaannya. Bukannya dikembangkan, malah dihambur-hamburkan.

Minggu, 26 Juli 2020

Belajar Sejarah untuk Alternatif Pembangunan Pedesaan



Sejarah memang mengupas masa lalu. Tetapi, sejarah bisa dijadikan pelajaran untuk menata masa depan. Meskipun, bukan berarti untuk mengulangi runutan sejarah yang telah terjadi.

Belajar sejarah mengarahkan pikiran kita pada persepsi waktu. Persepsi kita akan waktu tidak hanya sebatas sebuah jalan lurus yang tidak memiliki 'belokan'. Seakan kita tidak memiliki pilihan jalan mana yang harus ditempuh.

Dengan belajar sejarah, pikiran kita dibawa mengelana pada masa dimana kita belum tahu apa-apa tentang alam semesta. Dalam sekup lebih kecil, sejarah bisa menunjukan seperti apa desa kita di masa lalu.

Sejarah bisa menunjukan 'cetak biru' pembangunan pedesaan. Bukan berarti kita harus mundur lagi. Hanya saja, cetak biru itu bisa menjadi landasan untuk melalukan pembangunan di kemudian hari.

Misalnya, saya merasa kebingungan kenapa desa kami sulit menjadi wilayah pertanian. Saya mulai berpikir jika orang dulu tidak mempunyai rencana untuk menjadikan daerah ini sebagai wilayah pertanian. Mungkin dengan pertimbangan geologis yang kurang cocok.

Ketika sejarah ditulis, sangat mungkin ada subjektifitas si penulis. Tetapi, dalam masalah pembangunan subjektifitas itu sangat dimungkinkan. Tidak menjadi masalah akan adanya subjektifitas, hanya saja itu harus keluar dari orang yang dianggap 'berwenang'.

Kamis, 23 Juli 2020

Hati-hati dengan Filosofi "Pendatang" Ketika Membangun Desa



Filosofi lokal sering dianggap tidak relevan dengan kebutuhan pembangunan pedesaan. Para pemangku kebijakan malah mengimpor filsafat Barat demi tercapainya kemajuan.


Demokrasi, salah satu filsafat yang sering didengungkan. Sayangnya, demokrasi dalam pembangunan desa ini tidak jarang malah menjadi ajang perebutan kekuasaan. Di desa, dimana sistem pemerintahan lokal masih banyak yang cocok dengan oligarki dimana kekuasaan "cukup" diserahkan pada beberapa orang yang dianggap cakap.

Entah berkaca darimana, demokrasi dengan sistem pemilihan belum tentu menjadi sarana relevan dalam pembangunan pedesaan. Karakter desa yang serba "tenang" tidak mesti digoncang dengan perpolitikan lokal yang mengganggu pembangunan.

Dalam banyak konteks, orang desa tidak membutuhkan pergantian kepemimpinan yang terlalu sering tetapi membutuhkan sosok yang memiliki visi membangun dalam jangka panjang. Tidak jarang jika desa perlu orang yang berpikir untuk tiga generasi, generasi dirinya, anaknya hingga cucunya.

Dan, menjaring seorang pemimpian "ideal" seperti itu bukan dengan sistem pemilihan serba langsung. Desa lebih memerlukan sosok yang bisa mengayomi dan memahami realita kehidupan sekitarnya bukan sekedar "tenaga administratif".

***

Demokrasi hanya salah satu contoh saja betapa sebuah dasar pemikiran dalam bertindak begitu dipaksakan untuk diterapkan. Desa, dengan kenyataan sejarah yang menyertainya tidak bisa begitu saja dipaksa ikut serta menjadi bagian dari globalisasi atau westernisasi. Desa, harus memiliki citra diri yang mandiri sehingga memiliki ciri khas untuk menghadapi perubahan zaman yang sedang berjalan.

Desa adalah entitas unik di tengah kekalutan dunia yang sering terjadi. Jika filosofi saja harus mengikuti apa kata bangsa yang berbeda tradisi, bagaimana bisa desa bertahan di tengah kekalutan itu.

Bagi saya, justru filosofi yang khas malah menjadikan desa siap bertahan. Filosofi impor bisa jadi malah membawa kita sebagai orang yang sentiasa bisa dikendalikan oleh mereka. ...

Minggu, 12 Juli 2020

Aset di Pedesaan, Dianggap Rendah Nilai?

Aset milik desa yang terhampar luas. (Dokpri.)
Aset desa yang terhampar luas. (Dokpri.)
Hanya ada dalam pikiran, ketika kita masih menganggap aset yang dimiliki warga pedesaan sebagai aset rendah nilai.

Kalau kata Napoleon Hill, apa yang terjadi di dunia ini  pada awalnya ada dipikiran seseorang. Jadi, jika orang desa berpikir jika apa yang  dimilikinya memiliki nilai yang rendah maka jangan aneh benda itu nilainya menjadi rendah. Kasus yang sering terjadi pada kepemilikan tanah, dimana harganya tetap murah. Padahal, fungsi tanah menjadi sangat besar dibanding persepsi manusia akan keberadaannya.

Manusia desa nampaknya masih memiliki sikap inferior akan keberadaannya di bumi. Mungkin, dalam pikiran sebagian orang desa menjadi warga desa bukan hal yang membuat bangga.

Tanah subur masih dianggap sebagai aset yang tidak perlu dipertahankan. Tanah kurang subur malah dianggap memberatkan. Keberadaannya di muka bumi seperti beban tersendiri, maka bisa dengan murah dilego pada tuan tanah.

***

Tidak hanya tanah, masih banyak aset berharga yang ada di pedesaan. Mulai dari air yang memancar hingga manusia Desa yang tak ternilai.

Apabila orang Eropa & Amerika begitu bergairah melihat tanah tak bertuan untuk ditaklukan. Maka, kita manusia Indonesia nyaris tak punya gairah akan tanah yang terhampar. Mungkin, diawali dari dalam pikiran yang merendahkan aset di dalamnya.

Merendahkan aset ini benar-benar kejadian dan kita menjadi bangsa yang tidak sanggup mempertahankan apa yang kita miliki. Orang Asing yang berinvestasi dianggap penjajah negeri. Padahal, bisa jadi kita mengidap sindrom rendah diri.

 


Jumat, 10 Juli 2020

Memikirkan Masa Depan Desa

Apa yang Anda pikirkan ketika berbicara tentang desa?

Saya menggambar isi pikiran tentang desa kemudian ditempel di dinding kamar.
Alam pikiran kita mungkin tidak dipenuhi harapan yang melambung tinggi. Pesimisme tentang kehidupan desa bisa merasuki jiwa. Desa, masih dianggap sebagai entitas tidak menguntungkan bagi sebagian karena melihat kondisinya yang sekarang. Buat saya, ketika melihat masa depan harus dilihat dari berbagai perspektif. 

  • Ada desa yang lebih mengutamakan kemajuan atau lebih tepatnya 'ikut-ikutan' apa yang terjadi di kota; dan
  • Ada desa yang melihat masa depannya justru ingin kembali ke masa lalu. Masa dimana desa belum ada dan masih berupa hutan belantara.
Di Cina, ada desa-desa yang diubah kembali menjadi hutan. Reforestasi yang dilakukan Pemerintah Cina memaksa desa mengubah wajahnya menjadi alam yang asli dan apa adanya. Pohon-pohon kembali tumbuh dan menghasilkan oksigen.

Tetapi, bila Anda menginginkan desa seperti kota-kota satelit sekitat Jakarta maka itu juga hal yang lumrah. Tangerang, Bekasi dan Bogor yang awalnya pedesaan berubah menjadi kota yang ramai. Disana-sini penuh dengan pembangunan fisik mulai dari rumah, gedung hingga pabrik.

Saya sudah memenuhi pikiran tentang masa depan pedesaan. Satu sisi, pikiran saya menginginkan desa kembali asri tanpa banyak polusi. Sisi lain, saya ingin desa menjadi sejahtera penuh dengan pemenuhan kebutuhan penghuninya.

Permasalahannya, banyak pikiran di desa ini sehingga harus ada kesepemahaman diantara kita. Saya dan tetangga, bisa jadi memiliki keinginan yang berbeda.

Perbedaan keinginan mungkin berawal dari perbedaan kebutuhan. Jika saya butuh banyak oksigen, tetangga saya justru membutuhkan banyak uang. Jika saya ingin membangun gedung tinggi, tetangga saya malah membutuhkan lahan luas untuk mengembala ternak.

Kata Napoleon Hill, apa yang terjadi di dunia ini berawal dari pikiran seseorang. Jadi, pikirkan saja hal-hal baik tentang masa depan desa kita. Semoga semua menjadi kenyataan.