Kamis, 27 Oktober 2016

Bonus Demografi Berpotensi Tumbuhkan Ekonomi

Harus dipersiapkan dengan kebijakan yang concern di bidang kesehatan, pendidikan dan ketenagakerjaan.

Jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 mendatang berjumlah 305,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 28,6 persen dari tahun 2010 yang sebesar 237,6 juta jiwa.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana mengatakan, meningkatnya jumlah penduduk pada tahun 2035 tersebut menyebabkan Indonesia menjadi negara kelima dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia.
Meski begitu, peningkatan jumlah penduduk Indonesia tersebut dibarengi dengan meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun). Menurut Armida, Indonesia telah memasuki bonus demografi (rasio ketergantungan terhadap penduduk tak produktif) sejak tahun 2012, yakni 49,6 persen. Atas dasar itu, penduduk Indonesia yang produktif lebih banyak daripada penduduk yang tak produktif.
 
Pada tahun 2010, proporsi penduduk usia produktif adalah sebesar 66,5 persen. Proporsi ini terus meningkat mencapai 68,1 persen pada tahun 2028 sampai tahun 2031. Meningkatnya jumlah penduduk usia produktif menyebabkan menurunnya angka ketergantungan, yaitu jumlah penduduk usia tidak produktif yang ditanggung oleh 100 orang penduduk usia produktif dari 50,5 persen pada tahun 2010 menjadi 46,9 persen pada periode 2028-2031. Tetapi angka ketergantungan ini mulai naik kembali menjadi 47,3 persen pada tahun 2035.
 
Armida mengatakan, kontribusi penduduk berusia produktif ini telah terlihat dari peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang stabil. Fenomena ini terlihat juga di beberapa negara yang jumlah penduduknya turut meningkat dan kondisi ekonominya sama seperti Brazil, Rusia dan India. Bahkan di sejumlah negara lain, bonus demografi telah berkontribusi menumbuhkan ekonomi.
 
“Thailand, Tiongkok, Taiwan dan Korea bonus demografi di sana berkontribusi dengan pertumbuhan ekonomi antara 10-15 persen,” kata Armida di Jakarta, Jumat (7/2).
 
Ia berharap, bonus demografi ini dapat dimanfaatkan secara baik oleh pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Manfaat bisa dilakukan dengan adanya kesiapan kebijakan seperti memperkuat investasi di bidang kesehatan, pendidikan maupun ketenagakerjaan. “Ini (bonus demografi) tidak otomatis untungkan kita, harus ada syaratnya,” katanya.
 
Misalnya dalam bidang pendidikan, Armida menyarankan agar wajib belajar terus diperpanjang menjadi 12 tahun. Lalu, jumlah drop out (DO) pelajar yang keluarganya berpenghasilan rendah harus dikurangi dan kurikulum juga harus direvisi. “Sekolah Dasar (SD) betul-betul diubah supaya dari kecil diajarkan cara berpikir lebih kreatif,” katanya.
 
Dari sisi kesehatan, lanjut Armida, juga harus dimulai nutrisi 1000 hari pertama sejak kelahiran. Menurutnya, dalam jangka waktu tersebut masa-masa untuk perkembangan otak. Sedangkan dari sisi ketenagakerjaan, bila perlu pemerintah terus menggenjot industri padat karya, pertanian, industri kreatif serta industri mikro, kecil dan menengah.
 
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan Buku Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Dalam kesempatan tersebut, Presiden menyatakan bahwa kependudukan merupakan topik yang sangat penting dalam pembangunan, karena pembangunan manusia pada dasarnya ditujukan kepada manusia atau people-centered development.
 
Menurutnya, pembangunan dilakukan pada saat manusia menjadi pelaku utama dari pembangunan itu sendiri yang diukur dari human resource development atau kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, pembangunan manusia harus menjadi prioritas dalam pembangunan. Presiden juga berharap pentingnya proyeksi penduduk sebagai prasyarat untuk merumuskan perencanaan pembangunan di masa depan secara lebih efektif dan efisien.

Sumber;
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52f4d97aa7ea3/bonus-demografi-berpotensi-tumbuhkan-ekonomi

Kamis, 20 Oktober 2016

Pengembangan Wilayah Pedesaan

Konsep pengembangan wilayah dikembangkan dari kebutuhan suatu daerah untuk meningkatkan fungsi dan perannya dalam menata kehidupan sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Pengaruh globalisasi, pasar bebas dan regionalisasi menyebabkan terjadinya perubahan dan dinamika spasial, sosial, dan ekonomi antarnegara, antardaerah (kota/kabupaten), kecamatan hingga perdesaan. Globalisasi juga ditandai dengan adanya revolusi teknologi informasi, transportasi dan manajemen. Revolusitersebut telah menyebabkan batas antara kawasan perkotaan dan perdesaan menjadi tidak jelas, terjadinya polarisasi pembangunan daerah, terbentuknya kota dunia (global cities), sistem kota dalam skala internasional, terbentuknya wilayah pembangunan antarnegara (transborderregions), serta terbentuknya koridor pengembangan wilayah baik skala lokal, nasional, regional dan internasional.
Di kawasan Asia globalisasi telah menciptakan polarisasi pembangunan yang sangat signifikan dalam bentuk megaurban region yang terjadi di kota-kota metropolitan di sepanjang pantai timur Tokyo, Seoul, Shanghai, Taipei, Hongkong, Guangzhou, Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, Jakarta, Bandung hingga Surabaya. Dalam skala antarnegara terjadi pemusatan di Bohai (Cina-Korea), Hongkong-Guangzhou, dan SIJORI (Singapura-Johor-Riau). Di Indonesia polarisaisi terpusat di sepanjang Sumatera (Medan-Palembang), dan Jawa (Jakarta-Bandung-Semarang-Surabaya). Koridor mega urban ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah sekitarnya terutama kabupaten, kecamatan dan desa-desa yang memiliki hubungan ekonomi dan pasar yang cukup kuat. Namun perubahan tersebut tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana wilayah yang memadai akibat keterbatasan pemerintah. Oleh karena itu, pihak swasta dan lembaga lainnya dapat berpartisipasi dalam pembangunan.
Berbagai dampak globalisasi ekonomi terhadap pembangunan lokal secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut; Pertama, berubahnya orientasi pembangunan yang bertumpu pada peningkatan individu, kelompok dan pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi persaingan global, sehingga masyarakat mampu bertahan (survive), mengembangkan diri dan meningkatkan kesejahteraan. Kedua, semakin pentingnya peran lembaga non pemerintah seperti, pihak swasta, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pelaksanaan pembangunan dan pembiayaan. Ketiga, terjadinya peningkatan urbanisasi di pinggiran kota besar dibandingkan di dalam kota besar itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep yang dikembangkan oleh Mc. Gee pada tahun 1980-an. Batas antara kawasan perkotaan dan perdesaan semakin tidak jelas akibat pertumbuhan ekonomi, dimana kegiatan perkotaan telah berbaur dengan perdesaan dengan intensitas pergerakan investasi, ekonomi dan penduduk semakin tinggi.
Atas dasar uraian di atas, pengembangan wilayah merupakan bagian penting dari pembangunan suatu daerah terutama di perdesaan yang sangat rentan dan berat menghadapi perubahan yang berskala global. Perubahan ini, jika tidak didukung suatu perencanaan wilayahyang baik dengan mempertimbangkan aspek internal, sosial dan pertumbuhan ekonomi akan berakibat semakin bertambahnya desa-desa miskin. Perubahan paradigma perlu dilakukan dalam menata kembali daerah-daerah yang dikatagorikan miskin dan lemah agar mampu meningkatkan daya saing, manajemen produksi dan teknologi tepat guna berbasis lokal yang mampu mempengaruhi daerah lainnya secara timbal balik. Secara sederhana konsep pengembangan wilayah perlu dilakukan dalam perencanaan perdesaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat masyarakat di lapisan bawah agar dapat mempengaruhi pasar secara berkelanjutan.

Sumber : Wahyudin Sumpeno, Perencanaan Desa Terpadu,  2011  

Kamis, 01 September 2016

Teori Kepemimpinan Modern.

Kepemimpinan menjadi hal penting dalam pembangunan pedesaan. Ini beberapa teori tentang kepemimpinan. 

Salah satu prestasi yang cukup menonjol dari sosiologi kepemimpinan modern adalah perkembangan dari teori peran (role theory). Dikemukakan, setiap anggota suatu masyarakat menempati status posisi tertentu, demikian juga halnya dengan individu diharapkan memainkan peran tertentu. Dengan demikian kepemimpinan dapat dipandang sebagai suatu aspek dalam diferensiasi peran. Ini berarti bahwa kepemimpinan dapat dikonsepsikan sebagai suatu interaksi antara individu dengan anggota kelompoknya.
Menurut kaidah, para pemimpin atau manajer adalah manusia-manusia super lebih daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu segala sesuatu (White, Hudgson & Crainer, 1997). Para pemimpin juga merupakan manusia-manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam organisasi merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai. Berangkat dari ide-ide pemikiran, visi para pemimpin ditentukan arah perjalanan suatu organisasi. Walaupun bukan satu-satunya ukuran keberhasilan dari tingkat kinerja organisasi, akan tetapi kenyataan membuktikan tanpa kehadiran pemimpin, suatu organisasi akan bersifat statis dan cenderung berjalan tanpa arah.
Dalam sejarah peradaban manusia, dikonstatir gerak hidup dan dinamika organisasi sedikit banyak tergantung pada sekelompok kecil manusia penyelenggara organisasi. Bahkan dapat dikatakan kemajuan umat manusia datangnya dari sejumlah kecil orang-orang istimewa yang tampil kedepan. Orang-orang ini adalah perintis, pelopor, ahli-ahli pikir, pencipta dan ahli organisasi. Sekelompok orang-orang istimewa inilah yang disebut pemimpin. Oleh karenanya kepemimpinan seorang merupakan kunci dari manajemen. Para pemimpin dalam menjalankan tugasnya tidak hanya bertanggungjawab kepada atasannya, pemilik, dan tercapainya tujuan organisasi, mereka juga bertanggungjawab terhadap masalah-masalah internal organisasi termasuk didalamnya tanggungjawab terhadap pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia. Secara eksternal, para pemimpin memiliki tanggungjawab sosial kemasyarakatan atau akuntabilitas publik.
Dari sisi teori kepemimpinan, pada dasarnya teori-teori kepemimpinan mencoba menerangkan dua hal yaitu, faktor-faktor yang terlibat dalam pemunculan kepemimpinan dan sifat dasar dari kepemimpinan. Penelitian tentang dua masalah ini lebih memuaskan daripada teorinya itu sendiri. Namun bagaimanapun teori-teori kepemimpinan cukup menarik, karena teori banyak membantu dalam mendefinisikan dan menentukan masalah-masalah penelitian. Dari penelusuran literatur tentang kepemimpinan, teori kepemimpinan banyak dipengaruhi oleh penelitian Galton (1879) tentang latar belakang dari orang-orang terkemuka yang mencoba menerangkan kepemimpinan berdasarkan warisan. Beberapa penelitian lanjutan, mengemukakan individu-individu dalam setiap masyarakat memiliki tingkatan yang berbeda dalam inteligensi, energi, dan kekuatan moral serta mereka selalu dipimpin oleh individu yang benar-benar superior.
Perkembangan selanjutnya, beberapa ahli teori mengembangkan pandangan kemunculan pemimpin besar adalah hasil dari waktu, tempat dan situasi sesaat. Dua hipotesis yang dikembangkan tentang kepemimpinan, yaitu ; (1) kualitas pemimpin dan kepemimpinan yang tergantung kepada situasi kelompok, dan (2), kualitas individu dalam mengatasi situasi sesaat merupakan hasil kepemimpinan terdahulu yang berhasil dalam mengatasi situasi yang sama (Hocking & Boggardus, 1994).
Dua teori yaitu Teori Orang-Orang Terkemuka dan Teori Situasional, berusaha menerangkan kepemimpinan sebagai efek dari kekuatan tunggal. Efek interaktif antara faktor individu dengan faktor situasi tampaknya kurang mendapat perhatian. Untuk itu, penelitian tentang kepemimpinan harus juga termasuk ; (1) sifat-sifat efektif, intelektual dan tindakan individu, dan (2) kondisi khusus individu didalam pelaksanaannya. Pendapat lain mengemukakan, untuk mengerti kepemimpinan perhatian harus diarahkan kepada (1) sifat dan motif pemimpin sebagai manusia biasa, (2) membayangkan bahwa terdapat sekelompok orang yang dia pimpin dan motifnya mengikuti dia, (3) penampilan peran harus dimainkan sebagai pemimpin, dan (4) kaitan kelembagaan melibatkan dia dan pengikutnya (Hocking & Boggardus, 1994).
Beberapa pendapat tersebut, apabila diperhatikan dapat dikategorikan sebagai teori kepemimpinan dengan sudut pandang “Personal-Situasional”. Hal ini disebabkan, pandangannya tidak hanya pada masalah situasi yang ada, tetapi juga dilihat interaksi antar individu maupun antar pimpinan dengan kelompoknya. Teori kepemimpinan yang dikembangkan mengikuti tiga teori diatas, adalah Teori Interaksi Harapan. Teori ini mengembangkan tentang peran kepemimpinan dengan menggunakan tiga variabel dasar yaitu; tindakan, interaksi, dan sentimen. Asumsinya, bahwa peningkatan frekuensi interaksi dan partisipasi sangat berkaitan dengan peningkatan sentimen atau perasaan senang dan kejelasan dari norma kelompok. Semakin tinggi kedudukan individu dalam kelompok, maka aktivitasnya semakin sesuai dengan norma kelompok, interaksinya semakin meluas, dan banyak anggota kelompok yang berhasil diajak berinteraksi.
Pada tahun 1957 Stogdill mengembangkan Teori Harapan-Reinforcement untuk mencapai peran. Dikemukakan, interaksi antar anggota dalam pelaksanaan tugas akan lebih menguatkan harapan untuk tetap berinteraksi. Jadi, peran individu ditentukan oleh harapan bersama yang dikaitkan dengan penampilan dan interaksi yang dilakukan. Kemudian dikemukakan, inti kepemimpinan dapat dilihat dari usaha anggota untuk merubah motivasi anggota lain agar perilakunya ikut berubah. Motivasi dirubah dengan melalui perubahan harapan tentang hadiah dan hukuman. Perubahan tingkahlaku anggota kelompok yang terjadi, dimaksudkan untuk mendapatkan hadiah atas kinerjanya. Dengan demikian, nilai seorang pemimpin atau manajer tergantung dari kemampuannya menciptakan harapan akan pujian atau hadiah.
Atas dasar teori diatas, House pada tahun 1970 mengembangkan Teori Kepemimpinan yang Motivasional. Fungsi motivasi menurut teori ini untuk meningkatkan asosiasi antara cara-cara tertentu yang bernilai positif dalam mencapai tujuan dengan tingkahlaku yang diharapkan dan meningkatkan penghargaan bawahan akan pekerjaan yang mengarah pada tujuan. Pada tahun yang sama Fiedler mengembangkan Teori Kepemimpinan yang Efektif. Dikemukakan, efektivitas pola tingkahlaku pemimpin tergantung dari hasil yang ditentukan oleh situasi tertentu. Pemimpin yang memiliki orientasi kerja cenderung lebih efektif dalam berbagai situasi. Semakin sosiabel interaksi kesesuaian pemimpin, tingkat efektivitas kepemim-pinan makin tinggi.
Teori kepemimpinan berikutnya adalah Teori Humanistik dengan para pelopor Argryris, Blake dan Mouton, Rensis Likert, dan Douglas McGregor. Teori ini secara umum berpendapat, secara alamiah manusia merupakan “motivated organism”. Organisasi memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari kepemimpinan adalah memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk merealisasikan potensi motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya dan pada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok. Apabila dicermati, didalam Teori Humanistik, terdapat tiga variabel pokok, yaitu; (1), kepemimpinan yang sesuai dan memperhatikan hati nurani anggota dengan segenap harapan, kebutuhan, dan kemampuan-nya, (2), organisasi yang disusun dengan baik agar tetap relevan dengan kepentingan anggota disamping kepentingan organisasi secara keseluruhan, dan (3), interaksi yang akrab dan harmonis antara pimpinan dengan anggota untuk menggalang persatuan dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama. Blanchard, Zigarmi, dan Drea bahkan menyatakan, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang Anda lakukan terhadap orang lain, melainkan sesuatu yang Anda lakukan bersama dengan orang lain (Blanchard & Zigarmi, 2001).
Teori kepemimpinan lain, yang perlu dikemukakan adalah Teori Perilaku Kepemimpinan. Teori ini menekankan pada apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Dikemukakan, terdapat perilaku yang membedakan pemimpin dari yang bukan pemimpin. Jika suatu penelitian berhasil menemukan perilaku khas yang menunjukkan keberhasilan seorang pemimpin, maka implikasinya ialah seseorang pada dasarnya dapat dididik dan dilatih untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Teori ini sekaligus menjawab pendapat, pemimpin itu ada bukan hanya dilahirkan untuk menjadi pemimpin tetapi juga dapat muncul sebagai hasil dari suatu proses belajar.

Selain teori-teori kepemimpinan yang telah dikemukakan, dalam perkembangan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian para pakar maupun praktisi adalah dua pola dasar interaksi antara pemimpin dan pengikut yaitu pola kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Kedua pola kepemimpinan tersebut, adalah berdasarkan pendapat seorang ilmuwan di bidang politik yang bernama James McGregor Burns (1978) dalam bukunya yang berjudul “Leadership”. Selanjutnya Bass (1985) meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai kedua pola kepemimpinan dan kemudian mengumumkan secara resmi sebagai teori, lengkap dengan model dan pengukurannya.



Kamis, 25 Agustus 2016

Bakat dan Kreatifitas

Sebagai orang desa, sudah selayaknya kita memiiki kreatifitas. Berikut faktor yang mendukung dan menghambat kreatifitas. 


Aspek
Faktor Pendukung
Faktor Penghambat
Bakat
Internal:
·   minat
·   motif berprestasi memadai
·   keberanian mengambil resiko
·   ulet dan tekun
·   kegigihan dan daya juang.

Internal:
·   motivasi berprestasi rendah
·   takut mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukan
·   mudah menyerah
·   malas

Eksternal:
·   kesempatan maksimal untuk mengembangkan diri
·   sarana dan prasarana yang mendukung
·   dorongan orang tua/keluarga
·   pola asuh.

Eksternal:
·   lingkungan yang tidak memberikan kesempatan anak untuk mengembangkan bakat
·   tidak tersedia sarana dan prasarana
·   orang tua/keluarga cenderung hanya menghargai bakat yang berkaitan dengan kemampuan akademik
·   pola asuh


Kreativitas
Sikap orang tua:
·   kebebasan bagi anak untuk berkreasi
·   menghormati anaknya sebagai individu
·   percaya akan kemampuan anak
·   menjalin kedekatan emosi yang sedang
·   orang tua yang aktif dan mandiri
·   orang tua yang menghargai kreativitas

Internal:
·   keyakinan/persepsi yang salah bahwa lingkunganlah yang menyebabkan dirinya tidak mempunyai kesempatan mengembangkan kreativitasnya.

Pola interaksi:
·                     interaksi yang seimbang dan saling tukar pengalaman antara orang tua dan anaknya.
Eksternal:
·                     evaluasi yang berlebihan terhadap perilaku anak
·                     pemberian hadiah
·                     persaingan untuk merasa dinilai
·                     lingkungan yang sangat membatasi anak dalam berperilaku


Kamis, 18 Agustus 2016

Fenomena Cara Berpikir Linear dan Lateral

Studi Pembangunan Pedesaan merupakan ilmu yang membutuhkan kreatifitas, maka dari itu harus ada cara berpikir yang mendukungnya.

Kekuatan aqliyya (akal budi) sebagai kekuatan utama para pelaku modernitas pada dasarnya memiliki konsep-konsep berpikir yang tidak hanya bersandar pada alur ilmiah dan logis yang bersifat linear semata tetapi juga pada alur yang berada pada beyond the linear thinking atau sering juga disebut sebagai out the box yakni cara-cara berpikir kreatif “menyamping” yang disebut de Bono sebagai “lateral thinking” (Edward de Bono, The Use of Lateral Thinking, 1967). Alur ilmiah dalam tataran paradigma positivisme sangat berguna dan mutlak diperlukan keberadaannya bagi pengembangan ilmu pasti alam (exacta and natural sciences). Pada sisi ini kekuatan berpikir linear memang sangat perlu ditumbuhkan karena terkait dengan konsistensi pada hasil keilmuan. Sesuatu disebut ilmiah dalam arti terukur dan empirik apabila proses dan prosedur yang dilalui mengikuti kaidah ilmiah yang telah tertata secara linear. Semakin ketat, rigid dan prosedural urut-urutan proses dilakukan semakin bagus hasil yang akan diperoleh. Proses ini diperlukan dalam mengembangkan produk-produk yang dihasilkan dari bidang keilmuan yang dipayungi oleh paradigma positivistik. Oleh karenanya, penelitian ilmu alam, ilmu eksakta, dan ilmu-ilmu diluar ilmu kemanusiaan amat cocok untuk mengembangkan prosedur linear ini.
Pada dasarnya berpikir lateral mengajak kita untuk pindah dari eksistensi ide yang sudah ada ke suatu ide baru yang berbeda namun memiliki hubungan dengan ide awal. Jadi, berpikir lateral merupakan hal yang terkait dengan kondisi-situasi mengemuka, hanya saja berpikir secara lateral bukan menciptakan ide baru secara linear yang berurutan tetapi menemukannya secara “menyamping”. Berpikir kritis dalam konteks penerapan berpikir lateral merupakan suatu keniscayaan yang akan mampu mengejawantahkan tumbuh-kembangnya cikal bakal produk-produk kreativitas manusia. Kalau berpikir linear mengajak kita mengungkapkan gagasan secara berurutan dan ajeg maka berpikir lateral sebaliknya, ia mengajak kita untuk berpikir “nyeleneh” dan tak mesti berurutan disesuaikan dengan azas pemanfaatannya.
Pada sisi tertentu dalam pembinaan sumber daya manusia (SDM) ruang berpikir linear yang diperlukan, namun pada titik lainnya implementasi dari pemikiran lateral yang dibutuhkan dan didorong untuk dikondisikan agar organisasi mampu mengantisipasi berbagai perkembangan yang terjadi dari dinamika organisasi. Dalam konteks ini baik berpikir linear maupun berpikir lateral sebaiknya memperoleh tempat yang seimbang dan dapat dimanfaatkan sesuai peruntukkannya. Jika tidak maka banyak ketimpangan yang mencuat sebagaimana berbagai peristiwa dan kejadian yang kita saksikan dan alami di negeri ini.

Pada saat ini diketahui bahwa dominasi pemecahan masalah dalam dunia pendidikan lebih pada cara-cara berpikir linear yang mengikuti alur prosedur ala ilmu-ilmu alam dan eksakta yang rigid, pasti, ajeg, terukur dan empirik. Cara berpikir ini terus merambah ke ilmu-ilmu lain yang sebenarnya nature dan sifat keilmuannya berbeda. Ibarat virus, penyebaran cara berpikir linear terus merasuk ke relung-relung kehidupan manusia sehari-hari disamping tentunya menular ke bidang keilmuan selain ilmu-ilmu alam dan ilmu pasti yaitu seperti psikologi, sosiologi, ekonomi dan berbagai ilmu-ilmu sosial kemanusiaan lainnya.

Sumber :

Kamis, 11 Agustus 2016

Masyarakat Kita Belum Cerdas

Kenyataan sejarah menunjukan bahwa sejak tahun 1945 tingkat perkembangan masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat abad ke-21, baik ekonomi, politik dan Iptek jauh tertinggal dari negara-negara di dunia. Di bidang ekonomi kita adalah produsen bahan mentah dan pasar segala produk industri, di bidang Iptek kita adalah konsumen Iptek negara lain.
  Fenomena berikut merupakan bukti belum cerdasnya kehidupan bangsa.
(1)    Ketidakmampuan kita untuk tidak kekurangan air bersih dan bahan makanan di musim kering;
(2)    Ketidakmampuan kita untuk mengatasi banjir dan tanah longsor di musim hujan;
(3)    Ketidakmampuan kita untuk menemukan obat bagi penyakit yang berulang (secara periodik) mewabah di Indonesia, seperti demam berdarah;
(4)    Ketergantungan kita pada teknoogi negara lain;
(5)    Ketidakmampuan kita untuk menemukan, mengolah, mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat;
(6)    Ketergantungan kita kepada import hasil bumi yang seharusnya menjadi negara pengekspor;

Sumber:

Soedjiarto, Pendidikan Dalam Sistem Pendidikan Nasional, dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Imtima, Bandung: 2007.

Kamis, 04 Agustus 2016

Investasi Sumber Daya Manusia

Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun nonmoneter. Manfaat nonmoneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan di bawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan, dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.

Problem yang akan dihadapi generasi mendatang tidak akan dapat meningkatkan skill dan kemampuan mereka menjadi knowledge worker atau pekerja berpengetahuan. Akhirnya, bangsa ini akan gagal dalam meraih keunggulan daya saing dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Digital divide atau terjadinya jurang informasi akan melanda bangsa kita. Berhadapan dengan bangsa yang lebih maju akan semakin membuat bangsa ini terpuruk, ketinggalan dengan bangsa-bangsa tersebut. Agar tidak menjadi pecundang di era reformasi, sudah selayaknya institusi pendidikan mengambil peran aktif untuk mengaktualisasikan sebuah visi membangun masyarakat membaca. Hanya dengan usaha inilah, sebutnya, kita akan dapat membangun literasi yang lain seperti literasi ilmu pengetahuan, literasi ekonomi, literasi teknologi, literasi multikultural dan literasi lain yang dapat digunakan untuk membuat dunia menjadi lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup manusia.

Sumbrer: 
Investasi Sumber Daya Manusia Dalam Pendidikan Bahasa dengan Strategi Keberwacanaan, Isah Cahyani, UPI

Kamis, 21 Juli 2016

Meraba Mental Orang Desa (Bagian 2)

Harapan : Pesimisme vs Optimisme
Manusia memiliki harapan, sebagai orang normal. Apa yang diharapkan setiap orang sangatlah berbeda. Entah darimana datangnya suatu harapan itu. Ada yang menyatakan bahwa harapan datang dari persepsi seseorang mengenai kehidupan dunia ini. Persepsi itu bisa kita sebut filsafat hidup, prinsip hidup atau apa pun itu. Persepsi-persepsi dia bisa dipengaruhi oleh pemahaman agama, ilmu pengetahuan, lingkungan keluarga, lingkungan kerja dsb..
Harapan dalam kehidupan manusia merupakan cita-cita, keinginan, penantian, kerinduan akan sesuatu supaya itu terjadi. Dalam menantikan adanya sesuatu yang terjadi dan diharapkan, manusia melibatkan menusia lain atau kekuatan lain di luar dirinya supaya sesuatu terjadi, selain hasil usahanya yang telah dilakukan dan ditunggu hasilnya. Jadi, yang diharapkan itu adalah hasil jerih payah dirinya dan bantuan kekuatan lain. Bahkan, harapan itu tidak bersifat egosentris, berbeda dengan keinginan yang menurut kodratnya bersifat egosentris, usahanya ialah memiliki. Harapan tertuju kepada "Engkau", sedangkan keinginan kepada "Aku". Harapan itu ditujukan kepada orang lain atau kepada Tuhan. Keinginan itu untuk kepentingan dirinya, meskipun pemenuhan keinginan itu melalui pemenuhan keinginan orang lain.
Menurut macamnya, ada harapan yang optimis dan ada harapan yang pesimis (tipis harapan). Harapan yang optimis artinya seseuatu yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-tanda yang dapat dianalisis secara rasional, bahwa sesuatu yang akan terjadi bakal muncul. Dalam harapan yang pesimistis ada tanda-tanda rasional bakal tidak terjadi.
Mengenai optimisme ini, saya pernah mendengar langsung pengalaman teman saya. Suatu ketika dia menempelkan gambar kendaraan, gedung mewah, Ka'bah dan banyak harapan hidupnya ditempel di dinding kamar. Lucunya, suadara laki-lakinya memberikan nasihat yang justru memberikan kesan pesimis, "Jangan berharap terlalu tinggi, nanti bisa gila."
Hah, mendengar itu saya agak geli. Kok, begitu ya, ketika suatu harapan tinggi ada dalam benak seseorang justru ada 'bisikan halus' yang malah menurunkan harapan itu. Parahnya, penurunan itu ke tingkat terendah. Saya mulai bertanya, apakah sebagian besar orang di desa saya seperti itu. Mereka takut berharap banyak akan masa depannya sendiri dan masa depan orang lain.
Teman saya itu memang memiliki pola pengharapan yang tinggi karena diajarkan begitu oleh gurunya ketika di pesantren. Dengan pemahaman agama yang 'khas' maka dia menggantungkan harapan setinggi yang dipikirkannya. Sedangkan kakaknya belum mendapatkan pemahaman seperti itu dari sumber mana pun. Dapat dimengerti, bahwa interaksi seseorang dengan lingkungan turut mempengaruhi cara berpikir manusia.
Pesimisme kalau sudah berjangkit pada jiwa seseorang maka akan membuatnya menjadi lamban bergerak karena setiap langkahnya akan senantiasa dipengaruhi oleh khayalan-khayalan dan bayangan-bayangan yang menakutkan dan mengecewakan yang dikhayalkan akan menimpa dirinya, maka akibatnya sikapnya menjadi ragu dan langkahnya tak pernah mantap.
Sebaliknya, optimisme membuat orang senantiasa tegar, penuh harapan dalam menatap masa depannya, jauh dari bayangan kekecewaan dan kecemasan. Kalau timbul problema akan dipecahkan dengan cara yang wajar dan rasional atau kembali kepada tuntunan Illahi.

Tentang pesimisme dan optimisme ini Nabi SAW pernah bersabda:
"Siapa yang (rencana/tujuannya) dapat digagalkan oleh tathoyyur (pesimisme) maka benar-benar ia telah syirik." (HR. Ahmad dan Thobroni)
Pernah disebut-sebut (pesimisme) di sisi Nabi SAW, lalu ia bersabda demikian : "Yang lebih baik adalah optimisme dan hendaknya tathoyyur (pessimisme) itu tidak sampai menggagalkan (tujuan/rencana) seorang Muslim." (HR. Abu Daud)

Nabi Ya'qub sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur'an menasihati putra-putranya demikian:
"Dan janganlah kalian berputus asa dari (meraih) rahmat Alloh karena sesungguhnya tidak biasa berputus asa dari (meraih) rahmat Alloh melainkan orang-orang kafir." (QS. 12:87 )
Memahami harapan seorang manusia memang tidaklah mudah, maka dari itu saya mencoba 'merasakan' apa yang sebenarnya dirasakan oleh orang desa dalam situasi yang kurang lebih sama dengan mereka. Menjadi petani dengan penghasilan yang tidak menentu, juga berhadapan langsung dengan suasana alam yang kurang bersahabat.
Setelah beberapa lama berada dalam situasi itu, saya mulai mencoba merasakan seperti apa kiranya bila menjadi orang desa dengan segala 'kesulitan' yang dihadapinya. Hal yang bisa dipahami apabila banyak yang mengeluh betapa kehidupan di desa belum bisa dijadikan andalan untuk meningkatkan kesejahteraan. Alasan yang bisa diterima jika banyak orang desa pergi meninggalkan tempat kelahirannya untuk bisa meraih apa yang diharapkannya.
Sebagaimana yang sering disinggung banyak orang, harapan kesejahteraan menjadi 'topik utama' pembicaraan orang desa. Harapan akan hasil panen yang melimpah, harapan akan pekerjaan yang mapan, harapan akan keuntungan dalam perdagangan atau harapan akan pendidikan anak yang tinggi supaya bisa mengangkat status keluarga.
Harapan-harapan itu seakan menjadi hal yang umum dan lumrah bagi banyak orang. Apakah tidak lagi yang diharapkan selain itu? Apakah ada orang yang berharap desanya menjadi makmur di kemudian hari? Ataukah adakah yan berharap desanya menjadi pusat bisnis di masa depan? Dalam hal ini jarang kita temui. Kalau pun ada yang berharap desanya maju, hanya tercetus dari pada 'tokoh' masyarakat yang jumlahnya sedikit.
Harapan-harapan yang 'standar' itu muncul bisa jadi karena belum adanya rangsangan yang bisa meningkatkan harapan mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Apakah warga desa _pada umumnya_ belum bisa meresapi bahwa tugasnya hidup di dunia ini tidak hanya melulu mengurusi kebutuhan rumah tangga tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk mengurus komunitas dan alam sekitarnya. Tingginya harapan, bukan sebagai pengejawantahan dari 'khayalan tidak karuan' tetapi juga sebagai 'wujud keinginan untuk mengabdikan diri lebih optimal' lagi. Bukankah kita ingin pahala yang besar di sisi Alloh SWT?

Tanggung Jawab dan Keadilan : Kepada Siapakah?
Konsep tanggung jawab dalam suatu budaya bisa membangun peradaban secara fisik. Ya, begitulah yang sering kita lihat di sekitar kita. Tanggung jawab antara satu orang dengan orang lain atau dengan dirinya sendiri membawa pada suatu ekspresi pemenuhan tanggung jawab itu. Tanggung jawab seorang suami pada keluarganya menjadikan rumah sebagai tempat berteduh. Tanggung jawab Pemerintah pada rakyatnya menjadikan jalan sebagai penghubung bagi kemudahan mobilitas. Dan masih banyak lagi.
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bertanggung jawab (QS. 75:36). Dalam konteks sosial, manusia tidak dapat hidup sendirian dengan perangkat nilai-nilai menurut selera sendiri. Nilai-nilai yang diperankan seseorang dalam jalinan sosial harus dipertanggungjawabkan sehingga tidak mengganggu konsensus nilai yang telah disetujui bersama.
Tanggung jawab dalam konteks pergaulan manusia adalah 'keberanian'. Orang yang bertanggung jawab adalah orang berani menanggung resiko atas segala yang menjadi tanggung jawabnya. Ia jujur terhadap dirinya sendiri dan jujur terhadap orang lain, tidak pengecut dan mandiri. Dengan rasa tanggung jawab, orang yang bersangkutan akan berusaha melalui seluruh potensi dirinya. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang mau berkorban demi kepentingan orang lain.
Tanggung jawab erat kaitannya dengan kewajiban. Kewajiban adalah sesuatu yang dibebankan terhadap seseorang. Kewajiban merupakan bandingan terhadap hak, dan dapat juga tidak mengacu kepada hak. Maka tanggung jawab dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kewajibannya.
Orang yang bertanggung jawab dapat memperoleh kabahagiaan. Sebab, ia menunaikan kewajibannya. Kebahagiaan tersebut dapat dirasakan oleh dirinya atau oleh orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak bertanggungjawab akan menghadapi kesulitan, sebab ia tidak mengikuti aturan, norma atau nilai-nilai yang berlaku.
Rasa keagamaan masyarakat desa membawa pada karakter masyarakat yang bisa bertanggung jawab. Tidak hanya pada diri dan keluarga, secara sosial orang desa terbiasa bertanggung jawab pada orang lain. Karakter orang desa yang terkenal suka bergotong royong sebagai wujud dari tanggung jawab sosial mereka dalam kehidupan bermasyarakat.
Sayangnya, kemajuan teknologi informasi membawa efek negatif bagi persepsi warga akan tanggung sosialnya. Persepsi sebagian warga akan tanggung jawab kepada sesamanya berubaha menjadi sekedar "tanggung jawab sesama tetangga". Entah kenapa, orang desa kehilangan rasa 'senasib sepenanggungan' yang selama ini menjadi ciri khasnya. Saat ini, orang desa sibuk dengan urusannya sendiri.
Sikap ini tidak hanya ada dalam urusan pekerjaan, tetapi juga sudah menjalar hingga urusan keagamaan. Jika masalah pekerjaan, bisa dimengerti, karena saat ini desa tempat saya tinggal tidak melulu bergantung pada pertanian. Profesi warga sudah beragam. Namun, ketika masalah keagamaan sudah 'menjadi urusan masing-masing' maka saya berpendapat ini sudah seperti 'orang kota'.
Orang desa tidak menganggap bahwa masalah ibadah seseorang tidaklah menjadi urusannya. "Biarlah mereka dengan amal mereka dan amal saya dengan saya.", begitulah yang sering terdengar. Apakah permasalahan hidup yang begitu kompleks mempengaruhi rasa tanggung jawab sosial orang desa. Urusan hidup menjadi begitu 'ruwet' sehingga tidak memiliki waktu dan energi untuk memikirkan nasib orang lain, begitukah?
Apabila di kota, ada banyak 'fokus sosial' penduduk seperti industri, pemerintahan, pendidikan dsb., maka tanggung jawab pun hanya terfokus diantara sesama orang dalam fokus sosial yang sama. Tetapi, di desa fokus sosial itu belum terbentuk karena jumlah penduduk yang sedikit. Sehingga, dalam urusan kepemimpinan pun seakan semua bidang harus 'terakomodasi'. Seorang Kepala Desa tidak hanya mengurusi administrasi pemerintahan tetapi juga urusan agama, pekerjaan, lingkungan, pendidikan dsb.. Begitu pun, pemimpin kharismatik seperti Tetua Adat dan Ulama dituntut mampu untuk mengurus segala urusan warga.
Di desa saya, pemimpin kharismatik sudah mulai memudar. Sehingga, ulama hanya bisa mengurusi urusan di masjid dan madrasah saja. Kepala desa hanya sanggup mengurusi urusan tata kelola pemerintahan saja. Untuk urusan ekonomi, belum ada pemimpin yang bisa bertanggung jawab pada nasib sekian banyak orang. Kami belum sanggup menghimpun potensi manusia pada suatu organisasi ekonomi yang mapan.
Situasi seperti di atas, seakan menjadi alasan warga untuk menuduh Pemerintah yang tidak bersikap adil. Warga seakan tidak percaya akan adanya pemerintah yang membawa pada kesejahteraan. Rasa kebersamaan menjadi terpecah, tidak ada sosok yang bisa membawa pada perubahan kehidupan masa depan yang lebih baik. Warga menjadi 'berlomba-lomba' untuk mengumpulkan kekayaan tanpa ada niat untuk berbagi kebahagiaan. "Ini hasil kerja saya, buat apa dibagikan."
Niat orang untuk bekerja dan mengumpulkan harta menjadi sangat 'egois dan jangka pendek'. Padahal, pandangan Islam terhadap harta itu menjauhkan bahaya egoisme, bahaya sikap masa bodoh dan tidak peduli, juga membebani pemiliknya agar memilkul tugas-tugas sosial yang lalu mengenai harta. Yaitu, agar harta itu melayani kepentingan masyarakat, maka ditunaikannya zakat sebagai batas minimal dari menutupi kebutuhan masyarakat dan dikeluarkannya nafkah yang lebih banyak dari itu jika ummat memerlukannya. Dan, tidak disangsikan lagi bahwa dipenuhinya fungsi sosial dari harta oleh seorang beriman, sebagian tercermin dari belanjanya untuk dirinya pribadi, hingga dengan demikian tidak menyimpang dari batas keadilan.
Persepsi ini membawa orang yang memiliki harta berlebih untuk berinvestasi  untuk kepentingan ummat dalam berbagai bidang. Investasi harta tidak hanya berupa sedekah tetapi juga menanamkan modal untuk membuka lebih banyak lagi lapangan pekerjaan. Investasi juga bisa dilakukan untuk mengolah potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di sekitarnya.
Ketika suatu organisasi ekonomi terbentuk maka setiap orang akan menyadari hal dan kewajibannya. Para karyawan akan bekerja dengan maksimal dan para majikan akan memimpin mereka untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Begitulah, kesadaran dari hati nurani tidak akan membawa pada perselisihan. Justru, kemaslahatan bersama akan tercapai.

"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Az-Zuhkruf (42) : 32)


Begitulah, urusan tanggung jawab dan keadilan bisa terpenuhi jika kita tidak memisahkan antara kerja dan ibadah. Hal itu  menjadi wujud taqorub kepada Alloh SWT. Dengan begitu, tidak akan ada sikap layaknya hukum rimba dimana yang kuat akan 'memakan' yang lemah. 

Selasa, 12 Juli 2016

Meraba Mental Orang Desa (Bagian1)

Saya mencoba untuk memahami apa yang dipikirkan oleh orang desa pada umumnya. Apa yang saya teliti, terbatas pada realita di tempat tinggal saya di Desa Sukamerang, Kecamatan Kersamanah, Kabupaten Garut. Maka dari itu, tidak bisa menjadi 'generalisasi' dari kondisi orang desa di Indonesia secara keseluruhan. Namun, denga bantuan kepustakaan maka saya bisa menarik garis besar mental orang desa pada umumnya.

Sebagai manusia, baik orang desa maupun orang kota, mempunyai keunikan tersendiri yang tidak bisa disamaratakan begitu saja. Pendekatan generalisasi karakter tidak saya lakukan karena itu akan mendapatkan banyak 'penolakan'. Termasuk saya, tidak setuju apabila harus memahami isi pikiran orang desa harus menggunakan 'teori-teori' yang sudah ada. Bisa jadi, teori itu menyesatkan siapa pun yang menggunakannya. Alhasil, ketika akan menelorkan kebijakan mengenai pembangunan pedesaan kita cenderung 'pukul rata'.
Mendeskripsikan/memaparkan fenomena suatu masyarakat desa dengan keunikannya itu lebih bijaksana dibandingkan memaparkan 'opini-opini' yang muncul. Misalnya, opini mengenai orang desa yang cenderung 'bodoh' karena rendahnya pendidikan. Pendapat itu tidak bisa diterima begitu saja karena tidak ada ukuran yang jelas mengenai kebodohan. Lagipula, ilmu pengetahuan bisa didapat dimana saja tanpa harus mengenyam pendidikan formal, dengan pegalaman, misalnya.
Berdasarkan opini ini, Pemerintah dan masyarakat umum ramai-ramai menggalakan pendidikan di pedesaan dengan harapan membentuk manusia yang 'pintar'. Namun, ternyata begitu banyak jebakan pengetahuan yang diterima orang desa itu sendiri. Misalnya, begitu banyak ilmu yang tidak relevan dengan kehidupan pedesaan. Sehingga, naiknya tingkat pendidikan tidak serta merta menaikan tingkat kesejahteraan warga desa. Masih jauh, apabila selaras dengan laju pertumbuhan di desa tersebut. Tidaklah heran jika Pemerintah sendiri sangat menyarankan untuk melakukan 'penyesuaian-penyesuaian' dalam kurikulum pendidikan yang berlaku.

Apa yang Ada Dalam Pikiran Manusia?
Beberapa hal akan saya uraikan mengenai apa yang ada dalam pikiran manusia pada umumnya. Kemudian, secara subjektif mencoba untuk menelaah apa yang dipikirkan warga desa di tempat saya tinggal. Memang, alangkah sulit mengetahui 'isi otak' manusia namun hal itu bisa dipahami dengan memperhatikan ekspresi-ekspresi yang terlihat dari luar.
Menelaah suatu budaya berdasarkan keumuman mulai ditinggalkan banyak peneliti karena dianggap tidak 'fair'. Hanya saja, demi efisiensi penelitian tetap dilakukan pada sebagian warga dengan cara sampling. Agar terlihat realisitis, saya coba memaparkan contoh dengan tokoh nyata layaknya suatu laporan jurnalistik.
Berdasarkan Ilmu Budaya Dasar ada beberapa hal yang 'biasa dipikirkan' manusia dalam dirinya, diantaranya cinta kasih, keindahan, penderitaan, keadilan, pandangan hidup, tanggung jawab, kegelisahan, harapan, kematian dan keyakinan. Saya akan membahasnya beberapa diantaranya hanya untuk menggambarkan apa yang terjadi.

Harapan : Pesimisme vs Optimisme
Manusia memiliki harapan, sebagai orang normal. Apa yang diharapkan setiap orang sangatlah berbeda. Entah darimana datangnya suatu harapan itu. Ada yang menyatakan bahwa harapan datang dari persepsi seseorang mengenai kehidupan dunia ini. Persepsi itu bisa kita sebut filsafat hidup, prinsip hidup atau apa pun itu. Persepsi-persepsi dia bisa dipengaruhi oleh pemahaman agama, ilmu pengetahuan, lingkungan keluarga, lingkungan kerja dsb..
Harapan dalam kehidupan manusia merupakan cita-cita, keinginan, penantian, kerinduan akan sesuatu supaya itu terjadi. Dalam menantikan adanya sesuatu yang terjadi dan diharapkan, manusia melibatkan menusia lain atau kekuatan lain di luar dirinya supaya sesuatu terjadi, selain hasil usahanya yang telah dilakukan dan ditunggu hasilnya. Jadi, yang diharapkan itu adalah hasil jerih payah dirinya dan bantuan kekuatan lain. Bahkan, harapan itu tidak bersifat egosentris, berbeda dengan keinginan yang menurut kodratnya bersifat egosentris, usahanya ialah memiliki. Harapan tertuju kepada "Engkau", sedangkan keinginan kepada "Aku". Harapan itu ditujukan kepada orang lain atau kepada Tuhan. Keinginan itu untuk kepentingan dirinya, meskipun pemenuhan keinginan itu melalui pemenuhan keinginan orang lain.
Menurut macamnya, ada harapan yang optimis dan ada harapan yang pesimis (tipis harapan). Harapan yang optimis artinya seseuatu yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-tanda yang dapat dianalisis secara rasional, bahwa sesuatu yang akan terjadi bakal muncul. Dalam harapan yang pesimistis ada tanda-tanda rasional bakal tidak terjadi.
Mengenai optimisme ini, saya pernah mendengar langsung pengalaman teman saya. Suatu ketika dia menempelkan gambar kendaraan, gedung mewah, Ka'bah dan banyak harapan hidupnya ditempel di dinding kamar. Lucunya, suadara laki-lakinya memberikan nasihat yang justru memberikan kesan pesimis, "Jangan berharap terlalu tinggi, nanti bisa gila."
Hah, mendengar itu saya agak geli. Kok, begitu ya, ketika suatu harapan tinggi ada dalam benak seseorang justru ada 'bisikan halus' yang malah menurunkan harapan itu. Parahnya, penurunan itu ke tingkat terendah. Saya mulai bertanya, apakah sebagian besar orang di desa saya seperti itu. Mereka takut berharap banyak akan masa depannya sendiri dan masa depan orang lain.
Teman saya itu memang memiliki pola pengharapan yang tinggi karena diajarkan begitu oleh gurunya ketika di pesantren. Dengan pemahaman agama yang 'khas' maka dia menggantungkan harapan setinggi yang dipikirkannya. Sedangkan kakaknya belum mendapatkan pemahaman seperti itu dari sumber mana pun. Dapat dimengerti, bahwa interaksi seseorang dengan lingkungan turut mempengaruhi cara berpikir manusia.
Pesimisme kalau sudah berjangkit pada jiwa seseorang maka akan membuatnya menjadi lamban bergerak karena setiap langkahnya akan senantiasa dipengaruhi oleh khayalan-khayalan dan bayangan-bayangan yang menakutkan dan mengecewakan yang dikhayalkan akan menimpa dirinya, maka akibatnya sikapnya menjadi ragu dan langkahnya tak pernah mantap.
Sebaliknya, optimisme membuat orang senantiasa tegar, penuh harapan dalam menatap masa depannya, jauh dari bayangan kekecewaan dan kecemasan. Kalau timbul problema akan dipecahkan dengan cara yang wajar dan rasional atau kembali kepada tuntunan Illahi.

Tentang pesimisme dan optimisme ini Nabi SAW pernah bersabda:
"Siapa yang (rencana/tujuannya) dapat digagalkan oleh tathoyyur (pesimisme) maka benar-benar ia telah syirik." (HR. Ahmad dan Thobroni)
Pernah disebut-sebut (pesimisme) di sisi Nabi SAW, lalu ia bersabda demikian : "Yang lebih baik adalah optimisme dan hendaknya tathoyyur (pessimisme) itu tidak sampai menggagalkan (tujuan/rencana) seorang Muslim." (HR. Abu Daud)

Nabi Ya'qub sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur'an menasihati putra-putranya demikian:
"Dan janganlah kalian berputus asa dari (meraih) rahmat Alloh karena sesungguhnya tidak biasa berputus asa dari (meraih) rahmat Alloh melainkan orang-orang kafir." (QS. 12:87 )
Memahami harapan seorang manusia memang tidaklah mudah, maka dari itu saya mencoba 'merasakan' apa yang sebenarnya dirasakan oleh orang desa dalam situasi yang kurang lebih sama dengan mereka. Menjadi petani dengan penghasilan yang tidak menentu, juga berhadapan langsung dengan suasana alam yang kurang bersahabat.
Setelah beberapa lama berada dalam situasi itu, saya mulai mencoba merasakan seperti apa kiranya bila menjadi orang desa dengan segala 'kesulitan' yang dihadapinya. Hal yang bisa dipahami apabila banyak yang mengeluh betapa kehidupan di desa belum bisa dijadikan andalan untuk meningkatkan kesejahteraan. Alasan yang bisa diterima jika banyak orang desa pergi meninggalkan tempat kelahirannya untuk bisa meraih apa yang diharapkannya.
Sebagaimana yang sering disinggung banyak orang, harapan kesejahteraan menjadi 'topik utama' pembicaraan orang desa. Harapan akan hasil panen yang melimpah, harapan akan pekerjaan yang mapan, harapan akan keuntungan dalam perdagangan atau harapan akan pendidikan anak yang tinggi supaya bisa mengangkat status keluarga.
Harapan-harapan itu seakan menjadi hal yang umum dan lumrah bagi banyak orang. Apakah tidak lagi yang diharapkan selain itu? Apakah ada orang yang berharap desanya menjadi makmur di kemudian hari? Ataukah adakah yan berharap desanya menjadi pusat bisnis di masa depan? Dalam hal ini jarang kita temui. Kalau pun ada yang berharap desanya maju, hanya tercetus dari pada 'tokoh' masyarakat yang jumlahnya sedikit.

Harapan-harapan yang 'standar' itu muncul bisa jadi karena belum adanya rangsangan yang bisa meningkatkan harapan mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Apakah warga desa _pada umumnya_ belum bisa meresapi bahwa tugasnya hidup di dunia ini tidak hanya melulu mengurusi kebutuhan rumah tangga tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk mengurus komunitas dan alam sekitarnya. Tingginya harapan, bukan sebagai pengejawantahan dari 'khayalan tidak karuan' tetapi juga sebagai 'wujud keinginan untuk mengabdikan diri lebih optimal' lagi. Bukankah kita ingin pahala yang besar di sisi Alloh SWT?