Kamis, 18 Agustus 2016

Fenomena Cara Berpikir Linear dan Lateral

Studi Pembangunan Pedesaan merupakan ilmu yang membutuhkan kreatifitas, maka dari itu harus ada cara berpikir yang mendukungnya.

Kekuatan aqliyya (akal budi) sebagai kekuatan utama para pelaku modernitas pada dasarnya memiliki konsep-konsep berpikir yang tidak hanya bersandar pada alur ilmiah dan logis yang bersifat linear semata tetapi juga pada alur yang berada pada beyond the linear thinking atau sering juga disebut sebagai out the box yakni cara-cara berpikir kreatif “menyamping” yang disebut de Bono sebagai “lateral thinking” (Edward de Bono, The Use of Lateral Thinking, 1967). Alur ilmiah dalam tataran paradigma positivisme sangat berguna dan mutlak diperlukan keberadaannya bagi pengembangan ilmu pasti alam (exacta and natural sciences). Pada sisi ini kekuatan berpikir linear memang sangat perlu ditumbuhkan karena terkait dengan konsistensi pada hasil keilmuan. Sesuatu disebut ilmiah dalam arti terukur dan empirik apabila proses dan prosedur yang dilalui mengikuti kaidah ilmiah yang telah tertata secara linear. Semakin ketat, rigid dan prosedural urut-urutan proses dilakukan semakin bagus hasil yang akan diperoleh. Proses ini diperlukan dalam mengembangkan produk-produk yang dihasilkan dari bidang keilmuan yang dipayungi oleh paradigma positivistik. Oleh karenanya, penelitian ilmu alam, ilmu eksakta, dan ilmu-ilmu diluar ilmu kemanusiaan amat cocok untuk mengembangkan prosedur linear ini.
Pada dasarnya berpikir lateral mengajak kita untuk pindah dari eksistensi ide yang sudah ada ke suatu ide baru yang berbeda namun memiliki hubungan dengan ide awal. Jadi, berpikir lateral merupakan hal yang terkait dengan kondisi-situasi mengemuka, hanya saja berpikir secara lateral bukan menciptakan ide baru secara linear yang berurutan tetapi menemukannya secara “menyamping”. Berpikir kritis dalam konteks penerapan berpikir lateral merupakan suatu keniscayaan yang akan mampu mengejawantahkan tumbuh-kembangnya cikal bakal produk-produk kreativitas manusia. Kalau berpikir linear mengajak kita mengungkapkan gagasan secara berurutan dan ajeg maka berpikir lateral sebaliknya, ia mengajak kita untuk berpikir “nyeleneh” dan tak mesti berurutan disesuaikan dengan azas pemanfaatannya.
Pada sisi tertentu dalam pembinaan sumber daya manusia (SDM) ruang berpikir linear yang diperlukan, namun pada titik lainnya implementasi dari pemikiran lateral yang dibutuhkan dan didorong untuk dikondisikan agar organisasi mampu mengantisipasi berbagai perkembangan yang terjadi dari dinamika organisasi. Dalam konteks ini baik berpikir linear maupun berpikir lateral sebaiknya memperoleh tempat yang seimbang dan dapat dimanfaatkan sesuai peruntukkannya. Jika tidak maka banyak ketimpangan yang mencuat sebagaimana berbagai peristiwa dan kejadian yang kita saksikan dan alami di negeri ini.

Pada saat ini diketahui bahwa dominasi pemecahan masalah dalam dunia pendidikan lebih pada cara-cara berpikir linear yang mengikuti alur prosedur ala ilmu-ilmu alam dan eksakta yang rigid, pasti, ajeg, terukur dan empirik. Cara berpikir ini terus merambah ke ilmu-ilmu lain yang sebenarnya nature dan sifat keilmuannya berbeda. Ibarat virus, penyebaran cara berpikir linear terus merasuk ke relung-relung kehidupan manusia sehari-hari disamping tentunya menular ke bidang keilmuan selain ilmu-ilmu alam dan ilmu pasti yaitu seperti psikologi, sosiologi, ekonomi dan berbagai ilmu-ilmu sosial kemanusiaan lainnya.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...