Kamis, 22 Mei 2014

Mengkhayalkan Masa Depan Anak Muda

Saya pernah bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya diinginkan para orang tua bagi masa depan anak-anaknya? Ini penting bagi saya karena ada banyak anak muda yang mengalami kebingungan ketika membayangkan bagaimana masa depannya. Dalam kondisi begitu, para orang tua mempunyai andil dengan memberikan mereka saran bahkan 'perintah' untuk melangkah meniti jalan hidupnya.
Ketika ada keserasian antara pendapat orang tua dan keinginan anak maka jalan hidup 'terasa mulus' berjalan. Tidak ada pertentangan. Tetapi masalah timbul ketika adanya perbedaan pandangan dan keinginan orang tua tentang bagaimana masa depan anaknya kelak. Misalnya, si orang tua menginginkan anaknya menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) sedangkan anaknya ingin menjadi seorang musisi.  Dan masih banyak contoh yang terjadi.
Ada perbedaan pandangan yang sangat mendasar tentang bagaimana seseorang ingin 'menciptakan' masa depannya. Pertama, ada orang yang senang menjalankan rencana orang lain yakni dengan menjadi pekerja/karyawan. Kedua, ada orang yang senang menjalankan rencananya sendiri yakni dengan menjadi seorang pengusaha/entreupreuneur. Perbedaan mendasar ini jelas sangat mempengaruhi bagaimana orang tua mengarahkan anak-anaknya untuk menempuh jalur pendidikan atau jalur profesi. Orang tipe Pertama, tentu saja lebih yakin akan kesuksesan anaknya jika menjadi PNS. Sedangkan orang tipe Kedua justru merasa yakin jika anaknya menjadi musisi karena hal itu yang menjadi hasrat hidupnya.
Kenapa Orang Tua Enggan Menyarankan Anaknya Untuk Hidup Di Pedesaan
Pertanyaan di atas bisa terjawab apabila kita mengetahui apa yang dikhayalkan para orang tua tentang masa depan anaknya. Mungkin, para orang tua di pedesaan menginginkan anaknya sukses dan hidup bahagia tetapi sepertinya bingung apabila itu dicapai di kampung sendiri. Pada kenyataannya, kehidupan orang tua pun tidak kunjung membaik. Mereka didera orang sikap putus asa akan kehidupan pedesaan yang tidak bisa memberikan kesempatan lebih baik bagi taraf hidup generasi penerusnya.
Para orang tua sepertinya tidak mengkhayalkan akan masa depan desanya yang semakin membaik di kemudian hari. Mereka beranggapan bahwa kehidupan pedesaan tidak akan berubah menjadi lebih baik. Sehingga, mereka khawatir anaknya bernasib sama dengannya. Alhasil, orang tua menyuruh anaknya untuk merantau dan meninggalkan kampung halamannya. Dengan alasan, sudah menjadi kewajiban _terutama lelaki dewasa_ untuk mencari kerja (bukan menyiptakan lapangan kerja).
Anehnya, orang tua yang sudah punya usaha pun tidak ingin anaknya meneruskan usahanya karena dianggap masih kecil dan tidak memperoleh hasil yang diinginkan. Mereka lebih suka anaknya menempuh pendidikan tinggi dan mencari kerja di perkotaan. Mungkin mereka berpikir jikalau usahanya tidak bisa memberikan harapan lebih besar untuk kelangsungan hidup keluarganya. Atau, memang para pengusaha kecil ini tidak ingin usahanya membesar dan diteruskan oleh keturunannya untuk kesejahteraan banyak orang.
Saya melihat para orang tua di pedesaan memang tidak mempersiapkan masa depan desa untuk anaknya. Apa yang sedang dikerjakan  sepertinya bukan dalam rangka menyiapkan kehidupan yang lebih baik desanya. Ada banyak orang tua bekerja sekedar memenuhi kebutuhan hidup jangka pendek. Sehingga, sudah bertahun-tahun bekerja belum mendapatkan hasil maksimal karena memang tidak mengharapkan hasil yang besar. Penyesalan terjadi ketika anak-anaknya tidak mendapatkan pekerjaan yang diharapkan. Bisa jadi karena orang tua tidak berniat membuka lapangan kerja baru untuk generasi penerusnya. Ingat, pembuka lapangan kerja baru bukan pemerintah tetapi warga negera itu sendiri _para pengusaha.
Maka dari itu, sebagai generasi muda sudah selayaknya kita menyiapkan segalanya untuk kehidupan kita di pedesaan. Kita tidak sekedar memenuhi kebutuhan hidup saat ini tetapi berinvestasi bagi masa depan. Islam pun sangat menganjurkan untuk membangun kehidupan dunia sebagai bentuk ibadah tertinggi pada Yang Maha Kuasa.
Kegiatan Keseharian sebagai Investasi Masa Depan
Apakah ini menjadi bagian dari tradisi atau bukan ketika orang desa melakukan kegiatan sehari-hari bukan bagian dari persiapannya untuk menyambut masa depan. Semua berawal dari pikiran. Warga lebih sering dikendalikan oleh keadaan bukan mengendalikan keadaan. Mungkin, masyarakat desa tidak membiasakan diri untuk 'menyiptakan masa depannya sendiri'. Justru, masa depan baginya adalah sesuatu yang buram. Dalam bayangangannya, masa depan adalah ketidakpastian. Harapan pada Pemerintah begitu kuat padahal masa depan ada di tangan mereka sendiri.
Mungkin, pemahaman agama yang keliru juga sangat mempengaruhi cara berpikir kita. Orang berpikir jika masa depan ada di tangan Yang Maha Kuasa jadi kita tidak boleh campur tangan akan 'rencana-Nya'. Padahal, bukankah Alloh juga memberikan keleluasaan kepada manusia untuk menentukan nasibnya sendiri. Lalu, kenapa kita tidak mencoba untuk memikirkan masa depan demi generasi penerus kita.
Ada banyak cerita bagaimana para petani di Amerika berjuang untuk menyiptakan masa depan mereka. Setiap detik waktu dan tenaga yang dikeluarkan menjadi sarana untuk membuat kehidupan yang lebih baik di kemudian hari. Apa yang mereka peroleh hari ini tidaklah dicapai dalam waktu instan. Padahal mereka adalah para perantau dari negeri jauh yang sepertinya memiliki kondisi 'yang tidak menentu'. Mereka yakin bahwa apa yang dilakukan setiap hari adalah demi perbaikan kondisi untuk generasi setelahnya.
Bentang alam Indonesia yang indah ini, menjadi modal tidak terkirakan dari Yang Maha Kuasa untuk sebuah kehidupan indah. Tetapi, sampai kapan kita semua bisa menyadari ini semua. Keengganan anak muda untuk mengolah lahan dan memanfaatkan alam mungkin buah dari keengganan para orang tua untuk 'sekedar berkhayal' tentang generasi penerusnya. Bagi kebanyakan kita, bongkahan batu ya sekedar batu. Bagi para pengkhayal batu adalah tumpukan uang untuk membangun peradaban. Ya, semua memang berawal dari apa yang kita pikirkan.