Selasa, 25 Oktober 2022

Masa Depan Desa Ada Dalam Pikiran Anak-anak

 


Saya bingung ketika harus menjawab pertanyaan, bagaimana masa depan desa kita? Awalnya, saya mencoba mencari jawabannya dalam buku dan beberapa literatur. Namun, pada akhirnya didapatlah kesimpulan jika masa depan desa ada dalam pikiran anak-anak.

Menggali "informasi" tentang masa depan ada dalam pikiran anak. Memang hal yang terdengar mengherankan tetapi demikianlah adanya.

Anak-anak memiliki alam pikiran yang disiapkan untuk menghadapi masa depan. Mereka masih jauh dari paparan budaya yang "tidak perlu". Ketika diajak untuk memikirkan masa depan maka anak akan bicara jujur. Mereka bicara apa adanya tanpa banyak pertimbangan.

Saya bisa menyimpulkan demikian karena menyaksikan sendiri bagaimana orang dewasa kebingungan bagaimana menentukan masa depan desanya sendiri. Orang dewasa menjadi minim ide. Pikirannya masih terbelit masalah kebutuhan dasar.

Saya percaya jika seorang anak dilahirkan pada suatu waktu dan tempat memiliki maksud tertentu. Berdasarkan atas pengalaman sendiri, saya diberi minat dan bakat yang bermanfaat bagi kehidupan di desa. 

Ketika seorang anak memiliki keinginan, angan, cita-cita atau apa pun namanya, kemungkinan besar "dibimbing" oleh Yang Maha Segala untuk kehidupannya kelak. Dalam diri si anak tertanam bekal untuk mengarungi hidup. 

Ketika anak itu hidup di desa, maka dia "menyatu" dengan lingkungan tempatnya hidup. Suatu pemikiran yang keliru jika manusia harus menjauh dari lingkungannya sendiri. Manusia harus menjaga jarak dengan alam bahkan dengan budayanya. Tidak begitu. Ketika anak tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan maka bukan hanya lingkungan yang membentuk karakternya. Namun, lingkungan adalah bekal baginya.

Bahkan, lingkungan yang dianggap buruk sekalipun. Itu adalah modal baginya untuk berpikir dan menggali potensi dirinya.

Anak memiliki cara unik untuk menggali potensinya kemudian menunjukkannya dalam ranah kehidupan. Diawali dari ranah terdekat hingga suatu saat nanti terlihat dalam lingkup yang lebih besar.

Anak memiliki "sirkuit" otak yang berguna sebagai petunjuk bagi jalan hidupnya. Dalam bahasa sederhana, anak memiliki pola pikir sendiri untuk menentukan jalan hidupnya. Dan, orang dewasa bertugas memberikan bimbingan. 

Ketika orang dewasa tidak sanggup membimbing, biarlah mereka tumbuh sebagaimana biji yang dijatuhkan seekor burung di sembarang tempat. Dia akan berusaha untuk tumbuh dan mengubah keadaan tanah yang gersang menjadi hijau dan meneduhkan.

Sabtu, 05 Maret 2022

Filsafat Mengutamakan Makanan

Memetik pepaya di pekarangan rumah (Dokpri.)

Makanan, sebagai kebutuhan dasar keluarga tentu saja menjadi hal yang utama. Kami sekeluarga menyadari itu sejak lama. 

Ketika kami punya sedikit uang maka hal yang terpikirkan adalah bagaimana uang itu bisa menjadi sumber makanan. Tetangga kami suka berinvetasi dalam bentuk rumah dan kendaraan, maka keluarga kami lebih suka menyisihkan harta untuk penyediaan pangan.

Bapa saya suka membeli induk ikan agar nanti mereka beranak pinak. Sesekali membeli pakan ayam agar anak ayam bisa tumbuh besar dan bertambah banyak. Kalau musim tanam tiba, mending meminjam uang untuk modal menanam padi.

Saya sendiri suka menanam buah-buahan. Mulai dari jambu, nangka, pisang hingga pepaya yang tumbuh tak sengaja. Sumber vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh. Dan, itu semua harganya murah.

***

Mengutamakan makanan, bagi kami, sudah menjadi filsafat hidup. Sebuah dasar pemikiran untuk memperoleh kenikmatan hidup dan bentuk rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa.

Filsafat yang bisa diterapkan dalam semua lini kehidupan. Apabila filsafat ini tidak diterapkan dalam suatu bangsa maka kesulitan akan menerpa bangsa itu. 

Secara alami, kesulitan pangan itu menghampiri tanpa diundang. Mengabaikan makanan mendapatkan harga sebanding dengan harga pangan yang semakin melambung tinggi. Ini mudah dimengerti karena filsafat ini bukan filsafat yang mengawang-awang. Ini berlaku di berbagai bangsa di belahan dunia mana pun. 

Mengutamakan makanan bisa membentuk suatu kebudayaan yang khas. Sebagaimana orang Mongol yang identik dengan ternak domba dan kuda, orang Jawa pun membangun budaya menanam padi sejak lama. Karena budaya menjadi modal spiritual untuk kesejahteraan ummat manusia maka meninggalkannya bisa mendatangkan kerugian yang sulit terhitung. 

***

Filsafat bukan hanya tentang pijakan berpikir dari para ahli pikir. Itu pun kalau anda mengakui keberadaan mereka. Kenyataannya, filsafat bukan sekedar datang dari suatu bangsa yang dianggap paling maju seperti Eropa. Tapi, filsafat lahir dari sekumpulan individu yang berdialog dengan alam, sesama manusia dan tentu saja dengan Tuhannya. 

Apabila filsafat selau dijadikan senderan dalam bertindak, maka filsafat mengutamakan juga dijadikan sandaran untuk berpikir kemudian melangkah ke luar rumah. Bisa saja seseorang mengaku tidak memiliki sandaran berpikir dalam setiap tindakannya. Padahal, itulah sandaran berpikirnya ... terombang-ambing mengikuti arah angin.