Sabtu, 05 Maret 2022

Filsafat Mengutamakan Makanan

Memetik pepaya di pekarangan rumah (Dokpri.)

Makanan, sebagai kebutuhan dasar keluarga tentu saja menjadi hal yang utama. Kami sekeluarga menyadari itu sejak lama. 

Ketika kami punya sedikit uang maka hal yang terpikirkan adalah bagaimana uang itu bisa menjadi sumber makanan. Tetangga kami suka berinvetasi dalam bentuk rumah dan kendaraan, maka keluarga kami lebih suka menyisihkan harta untuk penyediaan pangan.

Bapa saya suka membeli induk ikan agar nanti mereka beranak pinak. Sesekali membeli pakan ayam agar anak ayam bisa tumbuh besar dan bertambah banyak. Kalau musim tanam tiba, mending meminjam uang untuk modal menanam padi.

Saya sendiri suka menanam buah-buahan. Mulai dari jambu, nangka, pisang hingga pepaya yang tumbuh tak sengaja. Sumber vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh. Dan, itu semua harganya murah.

***

Mengutamakan makanan, bagi kami, sudah menjadi filsafat hidup. Sebuah dasar pemikiran untuk memperoleh kenikmatan hidup dan bentuk rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa.

Filsafat yang bisa diterapkan dalam semua lini kehidupan. Apabila filsafat ini tidak diterapkan dalam suatu bangsa maka kesulitan akan menerpa bangsa itu. 

Secara alami, kesulitan pangan itu menghampiri tanpa diundang. Mengabaikan makanan mendapatkan harga sebanding dengan harga pangan yang semakin melambung tinggi. Ini mudah dimengerti karena filsafat ini bukan filsafat yang mengawang-awang. Ini berlaku di berbagai bangsa di belahan dunia mana pun. 

Mengutamakan makanan bisa membentuk suatu kebudayaan yang khas. Sebagaimana orang Mongol yang identik dengan ternak domba dan kuda, orang Jawa pun membangun budaya menanam padi sejak lama. Karena budaya menjadi modal spiritual untuk kesejahteraan ummat manusia maka meninggalkannya bisa mendatangkan kerugian yang sulit terhitung. 

***

Filsafat bukan hanya tentang pijakan berpikir dari para ahli pikir. Itu pun kalau anda mengakui keberadaan mereka. Kenyataannya, filsafat bukan sekedar datang dari suatu bangsa yang dianggap paling maju seperti Eropa. Tapi, filsafat lahir dari sekumpulan individu yang berdialog dengan alam, sesama manusia dan tentu saja dengan Tuhannya. 

Apabila filsafat selau dijadikan senderan dalam bertindak, maka filsafat mengutamakan juga dijadikan sandaran untuk berpikir kemudian melangkah ke luar rumah. Bisa saja seseorang mengaku tidak memiliki sandaran berpikir dalam setiap tindakannya. Padahal, itulah sandaran berpikirnya ... terombang-ambing mengikuti arah angin.