Kamis, 25 Agustus 2016

Bakat dan Kreatifitas

Sebagai orang desa, sudah selayaknya kita memiiki kreatifitas. Berikut faktor yang mendukung dan menghambat kreatifitas. 


Aspek
Faktor Pendukung
Faktor Penghambat
Bakat
Internal:
·   minat
·   motif berprestasi memadai
·   keberanian mengambil resiko
·   ulet dan tekun
·   kegigihan dan daya juang.

Internal:
·   motivasi berprestasi rendah
·   takut mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukan
·   mudah menyerah
·   malas

Eksternal:
·   kesempatan maksimal untuk mengembangkan diri
·   sarana dan prasarana yang mendukung
·   dorongan orang tua/keluarga
·   pola asuh.

Eksternal:
·   lingkungan yang tidak memberikan kesempatan anak untuk mengembangkan bakat
·   tidak tersedia sarana dan prasarana
·   orang tua/keluarga cenderung hanya menghargai bakat yang berkaitan dengan kemampuan akademik
·   pola asuh


Kreativitas
Sikap orang tua:
·   kebebasan bagi anak untuk berkreasi
·   menghormati anaknya sebagai individu
·   percaya akan kemampuan anak
·   menjalin kedekatan emosi yang sedang
·   orang tua yang aktif dan mandiri
·   orang tua yang menghargai kreativitas

Internal:
·   keyakinan/persepsi yang salah bahwa lingkunganlah yang menyebabkan dirinya tidak mempunyai kesempatan mengembangkan kreativitasnya.

Pola interaksi:
·                     interaksi yang seimbang dan saling tukar pengalaman antara orang tua dan anaknya.
Eksternal:
·                     evaluasi yang berlebihan terhadap perilaku anak
·                     pemberian hadiah
·                     persaingan untuk merasa dinilai
·                     lingkungan yang sangat membatasi anak dalam berperilaku


Kamis, 18 Agustus 2016

Fenomena Cara Berpikir Linear dan Lateral

Studi Pembangunan Pedesaan merupakan ilmu yang membutuhkan kreatifitas, maka dari itu harus ada cara berpikir yang mendukungnya.

Kekuatan aqliyya (akal budi) sebagai kekuatan utama para pelaku modernitas pada dasarnya memiliki konsep-konsep berpikir yang tidak hanya bersandar pada alur ilmiah dan logis yang bersifat linear semata tetapi juga pada alur yang berada pada beyond the linear thinking atau sering juga disebut sebagai out the box yakni cara-cara berpikir kreatif “menyamping” yang disebut de Bono sebagai “lateral thinking” (Edward de Bono, The Use of Lateral Thinking, 1967). Alur ilmiah dalam tataran paradigma positivisme sangat berguna dan mutlak diperlukan keberadaannya bagi pengembangan ilmu pasti alam (exacta and natural sciences). Pada sisi ini kekuatan berpikir linear memang sangat perlu ditumbuhkan karena terkait dengan konsistensi pada hasil keilmuan. Sesuatu disebut ilmiah dalam arti terukur dan empirik apabila proses dan prosedur yang dilalui mengikuti kaidah ilmiah yang telah tertata secara linear. Semakin ketat, rigid dan prosedural urut-urutan proses dilakukan semakin bagus hasil yang akan diperoleh. Proses ini diperlukan dalam mengembangkan produk-produk yang dihasilkan dari bidang keilmuan yang dipayungi oleh paradigma positivistik. Oleh karenanya, penelitian ilmu alam, ilmu eksakta, dan ilmu-ilmu diluar ilmu kemanusiaan amat cocok untuk mengembangkan prosedur linear ini.
Pada dasarnya berpikir lateral mengajak kita untuk pindah dari eksistensi ide yang sudah ada ke suatu ide baru yang berbeda namun memiliki hubungan dengan ide awal. Jadi, berpikir lateral merupakan hal yang terkait dengan kondisi-situasi mengemuka, hanya saja berpikir secara lateral bukan menciptakan ide baru secara linear yang berurutan tetapi menemukannya secara “menyamping”. Berpikir kritis dalam konteks penerapan berpikir lateral merupakan suatu keniscayaan yang akan mampu mengejawantahkan tumbuh-kembangnya cikal bakal produk-produk kreativitas manusia. Kalau berpikir linear mengajak kita mengungkapkan gagasan secara berurutan dan ajeg maka berpikir lateral sebaliknya, ia mengajak kita untuk berpikir “nyeleneh” dan tak mesti berurutan disesuaikan dengan azas pemanfaatannya.
Pada sisi tertentu dalam pembinaan sumber daya manusia (SDM) ruang berpikir linear yang diperlukan, namun pada titik lainnya implementasi dari pemikiran lateral yang dibutuhkan dan didorong untuk dikondisikan agar organisasi mampu mengantisipasi berbagai perkembangan yang terjadi dari dinamika organisasi. Dalam konteks ini baik berpikir linear maupun berpikir lateral sebaiknya memperoleh tempat yang seimbang dan dapat dimanfaatkan sesuai peruntukkannya. Jika tidak maka banyak ketimpangan yang mencuat sebagaimana berbagai peristiwa dan kejadian yang kita saksikan dan alami di negeri ini.

Pada saat ini diketahui bahwa dominasi pemecahan masalah dalam dunia pendidikan lebih pada cara-cara berpikir linear yang mengikuti alur prosedur ala ilmu-ilmu alam dan eksakta yang rigid, pasti, ajeg, terukur dan empirik. Cara berpikir ini terus merambah ke ilmu-ilmu lain yang sebenarnya nature dan sifat keilmuannya berbeda. Ibarat virus, penyebaran cara berpikir linear terus merasuk ke relung-relung kehidupan manusia sehari-hari disamping tentunya menular ke bidang keilmuan selain ilmu-ilmu alam dan ilmu pasti yaitu seperti psikologi, sosiologi, ekonomi dan berbagai ilmu-ilmu sosial kemanusiaan lainnya.

Sumber :

Kamis, 11 Agustus 2016

Masyarakat Kita Belum Cerdas

Kenyataan sejarah menunjukan bahwa sejak tahun 1945 tingkat perkembangan masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat abad ke-21, baik ekonomi, politik dan Iptek jauh tertinggal dari negara-negara di dunia. Di bidang ekonomi kita adalah produsen bahan mentah dan pasar segala produk industri, di bidang Iptek kita adalah konsumen Iptek negara lain.
  Fenomena berikut merupakan bukti belum cerdasnya kehidupan bangsa.
(1)    Ketidakmampuan kita untuk tidak kekurangan air bersih dan bahan makanan di musim kering;
(2)    Ketidakmampuan kita untuk mengatasi banjir dan tanah longsor di musim hujan;
(3)    Ketidakmampuan kita untuk menemukan obat bagi penyakit yang berulang (secara periodik) mewabah di Indonesia, seperti demam berdarah;
(4)    Ketergantungan kita pada teknoogi negara lain;
(5)    Ketidakmampuan kita untuk menemukan, mengolah, mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat;
(6)    Ketergantungan kita kepada import hasil bumi yang seharusnya menjadi negara pengekspor;

Sumber:

Soedjiarto, Pendidikan Dalam Sistem Pendidikan Nasional, dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Imtima, Bandung: 2007.

Kamis, 04 Agustus 2016

Investasi Sumber Daya Manusia

Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun nonmoneter. Manfaat nonmoneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan di bawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan, dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.

Problem yang akan dihadapi generasi mendatang tidak akan dapat meningkatkan skill dan kemampuan mereka menjadi knowledge worker atau pekerja berpengetahuan. Akhirnya, bangsa ini akan gagal dalam meraih keunggulan daya saing dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Digital divide atau terjadinya jurang informasi akan melanda bangsa kita. Berhadapan dengan bangsa yang lebih maju akan semakin membuat bangsa ini terpuruk, ketinggalan dengan bangsa-bangsa tersebut. Agar tidak menjadi pecundang di era reformasi, sudah selayaknya institusi pendidikan mengambil peran aktif untuk mengaktualisasikan sebuah visi membangun masyarakat membaca. Hanya dengan usaha inilah, sebutnya, kita akan dapat membangun literasi yang lain seperti literasi ilmu pengetahuan, literasi ekonomi, literasi teknologi, literasi multikultural dan literasi lain yang dapat digunakan untuk membuat dunia menjadi lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup manusia.

Sumbrer: 
Investasi Sumber Daya Manusia Dalam Pendidikan Bahasa dengan Strategi Keberwacanaan, Isah Cahyani, UPI