Sabtu, 25 September 2021

Logika Matematika Tidak Cocok untuk Membangun Desa


Sudah bertahun-tahun saya hidup di desa. Selama ini pula saya mencari cara bagaimana membangun desa. Dimulai dari mencari landasan berpikir dalam bertindak hingga mempelajari hal-hal yang bersifat teknis.

Dalam masa pencarian itu, saya mulai mendapati bahwa ada begitu banyak cara untuk membangun desa. Dan, cara-cara itu memiliki landasan berpikir yang berbeda antara satu sama lain. 

Misalnya, jika kita bermaksud membangun selokan untuk mengairi sawah maka kita perlu berpijak pada hukum logika. Perhitungan matematis mutlak diterapkan. 

Namun, ada juga hal yang tidak bisa dilandaskan pada pijakan berpikir logika matematika. Misalnya, ketika kita mengembangkan usaha ternak. Dalam mengembangkannya, peternakan memerlukan landasan berpikir non-logis. Karena, ternak-ternak itu adalah makhluk bernyawa yang tidak bisa diuukur secara matematis.

Coba bayangkan, jika saya beternak 2 ekor domba. Dalam waktu tertentu domba itu bisa bertambah menjadi 3,4,5 dst. Namun, sangat mungkin domba saya malah berkurang jadi 1 atau 0. 

Sebagai manusia, sebaiknya kita bisa menerapkan landasan berpikir yang cocok untuk berbagai situasi. Terkadang kita harus berpikir logis dengan menerapkan filosofi matematika. Tapi, ada banyak hal dimana berpikir matematis sebaiknya tidak usah diterapkan. 

Saya sering menemukan jalan buntu apabila dihadapkan suatu masalah. Sering saya berpikir secara matematis dengan perhitungan di atas kertas layaknya mengikuti ujian sekolah. Padahal, ada banyak masalah dimana kita harus menyingkirkan pola pikir itu.

Tidak ada salahnya jika sesekali kita berpikir "mistis". Sebagai manusia, kita harus mulai menyadari jika kita memiliki banyak kelemahan. Kehidupan ini pun tidak selalu seperti mesin yang saling berhubungan diantara komponennya. 

Saya tidak bermaksud mengajak Anda bersikap fatalis, pasrah begitu saja. Namun, ketika kita menyadari kekuatan dan kelemahan diri maka bisa mengukur kapan dan dimana itu berlaku. Jika pengetahuan kita belum sanggup mencapai masa depan, maka berserah pada-Nya akan masa depan itu lebih baik daripada kita sesumbar sanggup menggapai masa depan gemilang.

Apabila kita sudah menancapkan pondasi untuk membangun desa, maka membangun masa depan _yang tidak terbayangkan_ bisa mengikuti intuisi. Meskipun betapa "tidak logis" apa yang terkira dalam pikiran kita.

Saya memahami jika kehidupan tidak linier layaknya menghitung angka 1,2,3 dst.. Ada berbagai perhitungan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Bisa jadi kita harus melompat ke 4 atau malah mundur jadi -4.

Hal yang harus ditanamkan dalam diri adalah kesiapan menghadapi situasi-situasi tak terduga itu. Salah satu persiapan itu adalah dengan terus memupuk pengetahuan kita akan kehidupan. Mulai dari pengetahuan di lingkungan terdekat hingga masalah global yang tidak terjangkau indera tetapi terjangkau pikiran.

Senin, 17 Mei 2021

Membangun Imaji sebagai Awal Membangun Manusia Pedesaaan

Orang Desa Belajar
Orang desa yang sedang belajar (Dokpri.)

Beberapa tulisan saya sebelumnya, sering membahas masalah pembangunan fisik seperti pembangunan industri dsb. Namun, saya mulai "melupakan" jika pembangunan pedesaan tidak melulu tentang membangun sarana fisik tetapi juga membangun manusia dan pola pikirnya.

Manusia pedesaan bukan hanya sebagai objek pembangunan tetapi juga harus dianggap sebagai subjek pembangunan. Karena itu, orang desa harus diselidiki isi pikirannya sehingga kita tahu apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh orang desa.

Manusia memiliki bekal besar untuk mengarungi kehidupan. Bekal itu adalah pikiran dalam dirinya. Dengan pikiran, kita bisa mengkhayalkan, merencanakan bahkan mengubah masa depan.

Apa yang saya sampaikan bukan tentang suatu yang muluk-muluk. Ambil saja contoh kecil, bagaimana orang desa ingin memiliki tempat tinggal yang nyaman. Ternyata, itu berbeda-beda bergantung pada input pengetahuan yang dimilikinya.

Antara saya dan Bapa saya sendiri memiliki persepsi berbeda tentang bagaimana bentuk rumah yang nyaman itu. Bapa saya tidak suka tanaman hias di halaman rumah sedangkan saya sangat menyukainya. Solusinya, kita berkompromi. Di halaman, Bapa saya menanam pohon buah-buahan. Dan, saya tanami tanaman hias di area yang masih kosong.

***

Imaji, mungkin itulah yang perlu dibentuk dari manusia pedesaan. Imaji tentang kemajuan, imaji tentang peradaban, imaji tentang masa depan dan imaji tentang kehidupan setelah kematian.

Diantara kami _yang berbeda generasi_ perbedaan imaji itu selalu ada. Generasi lama yang masih terpengaruh pola pikir kolonial, masih mengharapkan desa dibangun oleh Pemerintah. Rasa ketergantungan yang begitu tinggi pada sosok atau pihak yang dianggap "berkuasa". Sedangkan, generasi millenial memiliki imaji tersendiri.

Buat generasi terkini, masa depan desa ditentukan oleh individu-individu yang menduduki wilayah itu. Alam dan seisinya justru kita yang menguasai. Kami tidak bisa terus berpangku tangan pada sosok yang tak kasat mata.

***

Ketika pendidikan formal belum sanggup mengubah imaji yang kami maksud maka kami mencari dari pendidikan non formal. Internet dan segala kecanggihannya menjadi sumber referensi.

Dengan dasar pemikiran seperti di atas, kami mulai mencari solusi sendiri sembari menafikan urgensi pendidikan formal. Buat kami, sekolah formal terlalu lamban merespon perubahan. Di kala zaman berlari, justru sekolah formal masih merangkak.

Kenapa itu terjadi?

Saya tidak tahu pasti. Tetapi, mungkin sekali dinding di sekolah terlalu kokoh sehingga menghalanginya dari realitas yang sedang dihadapi. Tembok penghalang itu sudah seharusnya dirubuhkan. 

Bagaimana caranya?

Sederhana. Lupakan ilmu dari sekolah! 

Kurikulum terbaru, tidak mengharuskan anak untuk terlalu fokus pada ilmu dari buku atau guru. Itu gambar gembira untuk orang desa, dimana ilmu dari sumber yang jauh dirasa tidak ada gunanya ...

Rabu, 24 Maret 2021

Menggali Pengetahuan dari Sekitar Kita

 

Rencana belajar yang saya tulis di jendela.



Jika kita sudah tahu apa yang dibutuhkan maka biasanya tahu juga ilmu apa yang harus dipelajari. Begitupun ilmu yang digali dari desa, tidak serta-merta diambil begitu saja tanpa mengetahui apa kegunaannya. 

Ya, kerangka pengetahuan yang harus terlebih dahulu dimiliki sebelum menggali atau mengambil pengetahuan yang "berserakan" di sekitar kita. Kerangka pengetahuan ini memang tidak diajarkan di sekolah. Dan, saya pun memahami kenapa itu tidak dilakukan karena filosofi belajar setiap orang berbeda-beda.

Kerangka pengetahuan yang saya maksudkan adalah semacam program belajar selayaknya kita mengarungi kehidupan sehari-hari. Jika di sekolah ada yang namanya kurikulum, maka dalam kehidupan manusia dewasa pun kurikulum itu harus ada. Hanya saja, membentuk kurikulum belajar seorang manusia dewasa jelas tidak bisa disamaratakan untuk setiap orang.

Agar lebih mudah, kerangka belajar kita haruslah mengacu pada cita-cita kita untuk apa hidup di dunia. Saya menyenderkan program belajar manusia dewasa pada cita-cita karena itulah yang bisa memicu untuk belajar. Percaya atau tidak, dengan tetap mengacu pada cita-cita maka kerangka belajar kita pun terbentuk dengan sendirinya.

Saya sangat menyarankan agar belajar benar-benar mengikuti minat kita akan cita-cita. Maksudnya, belajar bukan karena ajakan atau suruhan orang lain. Ingat, kita bukan anak kecil lagi yang masih harus memiliki bimbingan. Termasuk menentukan pengetahuan apa yang harus masuk ke otak.

Saya mencontohkan apa yang dialami sendiri, diantaranya cita-cita saya untuk membangun desa. Memang sebuah cita-cita yang terdengar "besar" dan "tampak sulit tercapai".

Namun, pengetahuan tentang apa dan bagaimana membangun desa itu "terus bermunculan" dalam pikiran. Buku-buku yang berserakan dan data di internet yang berdesakan bisa dengan "mudah" dipilih dan dipilah. Kemudian dipelajari.

Cita-cita bisa memotifasi dan mempengaruhi perbuatan manusia, begitupun pengetahuan yang akan mengisi pikirannya. Berpikir dan bertindak berdasarkan cita-cita lumrah adanya bagi manusia.  Pikiran pun bukan hanya berisi tentang kegamangan tetapi juga berisi unsur-unsur pengetahuan yang menunjang tercapainya cita-cita itu. 

Saya ingin menggarisbawahi bahwa cita-cita bukan hanya tentang profesi akan dijalani. Cita-cita harus lebih besar dari itu. Profesi hanya sebagian kecil dari sebuah cita-cita. Apabila dalam pikiran terpatri sebuah cita-cita maka istilah 'semesta mendukung' bisa dipahami cara kerjanya.

Pikiran akan terhubung dengan objek-objek yang menunjang cita-cita kita. Objek-objek itulah sumber pengetahuan penting dalam menempuh perjalanan menuju cita-cita itu. Objek itu bisa kongkrit atau abstrak. Mulai dari burung terbang hingga filsafat yang dianut suatu bangsa adalah contoh objek yang menunjang cita-cita. 

Cakupan pengetahuan itu sangat luas. Namun, keluasannya tidak akan membingungkan. Sebagaimana nahkoda tidak bingung berlayar di lautan luas karena memiliki kompas dan peta dalam pikirannya.