Senin, 17 Mei 2021

Membangun Imaji sebagai Awal Membangun Manusia Pedesaaan

Orang Desa Belajar
Orang desa yang sedang belajar (Dokpri.)

Beberapa tulisan saya sebelumnya, sering membahas masalah pembangunan fisik seperti pembangunan industri dsb. Namun, saya mulai "melupakan" jika pembangunan pedesaan tidak melulu tentang membangun sarana fisik tetapi juga membangun manusia dan pola pikirnya.

Manusia pedesaan bukan hanya sebagai objek pembangunan tetapi juga harus dianggap sebagai subjek pembangunan. Karena itu, orang desa harus diselidiki isi pikirannya sehingga kita tahu apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh orang desa.

Manusia memiliki bekal besar untuk mengarungi kehidupan. Bekal itu adalah pikiran dalam dirinya. Dengan pikiran, kita bisa mengkhayalkan, merencanakan bahkan mengubah masa depan.

Apa yang saya sampaikan bukan tentang suatu yang muluk-muluk. Ambil saja contoh kecil, bagaimana orang desa ingin memiliki tempat tinggal yang nyaman. Ternyata, itu berbeda-beda bergantung pada input pengetahuan yang dimilikinya.

Antara saya dan Bapa saya sendiri memiliki persepsi berbeda tentang bagaimana bentuk rumah yang nyaman itu. Bapa saya tidak suka tanaman hias di halaman rumah sedangkan saya sangat menyukainya. Solusinya, kita berkompromi. Di halaman, Bapa saya menanam pohon buah-buahan. Dan, saya tanami tanaman hias di area yang masih kosong.

***

Imaji, mungkin itulah yang perlu dibentuk dari manusia pedesaan. Imaji tentang kemajuan, imaji tentang peradaban, imaji tentang masa depan dan imaji tentang kehidupan setelah kematian.

Diantara kami _yang berbeda generasi_ perbedaan imaji itu selalu ada. Generasi lama yang masih terpengaruh pola pikir kolonial, masih mengharapkan desa dibangun oleh Pemerintah. Rasa ketergantungan yang begitu tinggi pada sosok atau pihak yang dianggap "berkuasa". Sedangkan, generasi millenial memiliki imaji tersendiri.

Buat generasi terkini, masa depan desa ditentukan oleh individu-individu yang menduduki wilayah itu. Alam dan seisinya justru kita yang menguasai. Kami tidak bisa terus berpangku tangan pada sosok yang tak kasat mata.

***

Ketika pendidikan formal belum sanggup mengubah imaji yang kami maksud maka kami mencari dari pendidikan non formal. Internet dan segala kecanggihannya menjadi sumber referensi.

Dengan dasar pemikiran seperti di atas, kami mulai mencari solusi sendiri sembari menafikan urgensi pendidikan formal. Buat kami, sekolah formal terlalu lamban merespon perubahan. Di kala zaman berlari, justru sekolah formal masih merangkak.

Kenapa itu terjadi?

Saya tidak tahu pasti. Tetapi, mungkin sekali dinding di sekolah terlalu kokoh sehingga menghalanginya dari realitas yang sedang dihadapi. Tembok penghalang itu sudah seharusnya dirubuhkan. 

Bagaimana caranya?

Sederhana. Lupakan ilmu dari sekolah! 

Kurikulum terbaru, tidak mengharuskan anak untuk terlalu fokus pada ilmu dari buku atau guru. Itu gambar gembira untuk orang desa, dimana ilmu dari sumber yang jauh dirasa tidak ada gunanya ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...