Kamis, 31 Maret 2016

Pertambahan Penduduk sebagai Modal Utama Pembangunan Pedesaan

Penduduk desa akan terus bertambah, seiring dengan itu mesti ada sebuah program yang menjadikan fenomena tersebut menjadi 'berkah' bukan sebaliknya. Sebelum program yang dimaksud dicanangkan, harus ada prinsip yang menjadi landasan berpikir atas apa yang akan dilakukan di kemudian hari.

Bertambahnya penduduk dari hari ke hari sebagai imbas dari perubahan zaman. Saya mencoba melihat fenomena ini sebagai berkah dari Yang Maha Kuasa. Berpikir positif saja, bahwa ledakan demografi yang terjadi bukanlah sebagai 'biang masalah' sebagaimana yang ditakutkan banyak orang. Saya selalu melihat individu di muka bumi ini sebenarnya memiliki peran krusial bagi terbentuknya sebuah peradaban yang lebih baik.
Abad 21 yang sedang kita jalani ini adalah abad ilmu pengetahuan. Maka dari itu, manusia yang lahir ke dunia sebenarnya 'menyimpan' pengetahuan tersembunyi yang dititipkan oleh Sang Illahi. Individu-individu inilah yang akan membangun desa, nantinya. Potensi tersembunyi dari setiap manusia sebenarnya adalah 'sesuatu' yang harus digali dan dimanfaatkan dengan maksimal. Untuk itu, apabila melihat pertambahan penduduk ini sebagai biang masalah itu artinya penguasa tidak sanggup menggali potensi tersembunyi yang ada pada setiap orang.
Proses penggalian potensi ini memang menjadi tugas 'berat' dunia pendidikan. Namun, apabila kita membebankan semuanya pada pendidikan formal dirasa kurang bijaksana. Saya tetap melihat industri harus menjadi pemimpin bagi program penggalian potensi individu ini. Mengapa? Hanya industri saja yang sekiranya bisa mewadahi setiap minat dan bakat manusia. Sektor lain, bisakah?
Apa yang saya kemukakan memang terdengar optimistis. Itu dikarenakan saya percaya bahwa di masa depan kehidupan akan jauh lebih baik dibanding hari ini. Kreatifitas manusia bisa menangani permasalah hidup yang menghadangnya. Otak manusia bisa menciptakan berbagai 'keajaiban' yang sebelumnya tidak ada. Manusia masa lalu mungkin tidak menyangka bahwa teknologi akan berkembang begitu pesat. Begitu pun manusia masa kini, tidak bisa memprediksi teknologi apalagi yang bisa diciptakan manusia masa depan. Kita tidak perlu khawatir dengan berkurangnya lahan, berkurangnya pasokan pangan, transportasi dan masih banyak lagi kekhawatiran apabila terjadi ledakan penduduk di bumi. Manusia pasti punya cara mengatasi semuanya, karena itulah tugas manusia menjadi 'pemelihara' bumi ini.
Ketakutan yang Berlebihan
Ketakutan 'ledakan penduduk' hanyalah cara untuk mengubah budaya guyub yang ada di pedesaan. Masyarakat tidak dihadapkan pada realita bahwa manusia akan bertambah, sehingga diajak berpikir untuk menyelesaikan masalah, bukan justru menghindar dari masalah. Ketakutan-ketakutan itu datang karena berkaca pada potret buram masa lalu dan tidak memandang cerah masa depan.
Persepsi warga negara berkembang yang 'bodoh' dan tidak peduli memang masih menghantui para ekonom dan pemangku kebijakan. Mereka khawatir bila nantinya warga menjadi susah diatur dan terjadi begitu banyak penyimpangan sosial. Padahal,  itu hanya sebagian kecil saja. Di negara maju pun itu terjadi. Nantinya, manusia memiliki perubahan cara berpikir dan tidak akan terpaku pada situasi yang merugikan mereka. Proses berpikir dan belajar itulah yang menjadi alasan kita untuk tetap optimis.
Kota Baru Seperti Di Eropa
Coba kita membayangkan, apabila suatu hari nanti desa-desa yang ada menjadi sebuah kota baru dengan penduduk yang banyak. Jumlah demografi itu bisa menjadi potensi pasar bagi produk-produk pengusaha setempat. Juga, sebuah kemudahan merekrut tenaga kerja bagi perusahaan yang baru berkembang. Kita jangan membayangkan sebuah kota yang macet, sumpek dan semrawut tetapi bayangkanlah sebuah kota layaknya kota-kota di Eropa.
Untuk menjadi kota yang tertata rapi, mesti ada sebuah rencana besar untuk pembangunan kota yang ideal sejak sekarang. Apalagi dana desa dari pemerintah pusat cukup besar untuk membangun infrastruktur demi persiapan mengubah sebuah desa menjadi kota yang berkembang. Perilaku penduduk yang tertib itu memang tidak bisa direkayasa dalam waktu singkat. Untuk itu, mesti ada 'pionir' bagi pembangunan wilayah pedesaan dengan tanggung jawab besar. Mereka adalah para industrialis dengan segala kapasitas yang mereka miliki.
Kaum industrialis ini yang diharapkan menjadi pemimpin di suatu daerah dan mengatur segala tata kelola kewilayahan. Merekalah yang akan berperan penting untuk memanfaatkan setiap potensi lahan yang ada apakah akan menjadi lahan pertanian, areal industri atau permukiman. Para indsutrialis bisa membangun sebuah ikatan 'kepemilikan' yang bisa menggantikan ikatan 'kedaerahan' yang selama ini terjalin.
Manusia sebagai Modal
Para industrialis sudah menyadari bahwa kekayaan mereka tidak terletak pada besar-kecilnya uang yang dimiliki tetapi pada seberapa besar kreatifitas dari para karyawannya. Menolak pertambahan penduduk secara sporadis sama dengan menolak benih-benih kreatif manusia.
Penciptaan kekayaan telah beralih dari uang ke orang—dari modal keuangan ke modal manusia (baik intelektual maupun sosial), yang meliputi semua dimensi. Lebih dari dua per tiga dari nilai tambah yang diberikan oleh produk-produk dewasa ini datang dari "kerja pengetahuan" (knowledge work, suatu kerja yang amat mengandalkan muatan pengetahuan); dua puluh tahun yang lalu hal itu kurang dari sepertiga.
Manusia Pemakmur Bumi
Saya meyakini bahwa di masa depan akan terlahir para agen pembangunan dari bertambahnya penduduk di pedesaan. Hal ini bukanlah pendapat saya belaka, tetapi sudah digariskan oleh Alloh SWT dalam Al-Qur'an Surat Hud (11) ayat 61:

"Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."

Maksudnya, manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia. Untuk itu, ketika terlahir begitu banyak manusia di dunia maka akan banyak pula yang akan memakmurkan dunia ini bukan justru malah merusaknya. Kekhawatiran akan adanya kerusakan di dunia ini bukanlah terletak pada besar-kecilnya jumlah penduduk tetapi bagaimana suatu sistem kehidupan yang mengatur mereka.

Sumber:
Harun Hadijuwono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cetakan Ke-21, Kanisius, Jakarta: 2005.
Koetjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara Baru, Jakarta: 1985.
ML Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Cetakan Ke-4, Rajawali Press, Jakarta: 1993.
Stephen Covey, The 8th Habit Melampaui Efektifitas Menggapai Keagungan,

Kamis, 24 Maret 2016

Menghubungkan Antara Teori dan Kenyataan

Ketika ada keinginan untuk membangun daerah, maka mesti ada suatu teori yang cocok untuk diterapkan di sana. Kita bisa saja membuka banyak buku atau bertanya kepada para ahli mengenai bagaimana cara menata masa depan lingkungan. Namun, apakah teori yang telah kita pelajari bisa diwujudkan? Bagaimanakah cara kita untuk memahami 'pola-pola' penerapan suatu teori hingga bisa menjadi kenyataan?

Perubahan kondisi sosial di suatu daerah, bagaimana pun akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana para penduduknya berperilaku. Manusia Indonesia memiliki cara tersendiri untuk membangun desanya. Hanya saja, ada banyak kesulitan yang sering dialami ketika suatu teori yang hanya dalam angan-angan sulit diwujudkan dalam kenyataan. Apakah perilaku yang ada itu memang hasil dari suatu 'setting' dari para pemangku kebijakan ataukah secara alami berjalan begitu saja.
Hal yang sangat disayangkan, kita tidak dibiasakan untuk mewujudkan apa yang ada di pikiran dalam suatu kenyataan. Selama kita belajar di sekolah, selalu saja 'dicekoki' dengan teori-teori tetapi belum diajarkan bagaimana mewujudkan teori-teori itu. Entah filsafat pendidikan yang dianut memang tidak mengarahkan seseorang untuk mewujdkan suatu teori, ataukah suatu teori itu memang harus ditelan 'mentah-mentah'.
Mungkin, budaya kita memang sangat mengagungkan ilmu pengetahuan tetapi tidak mengutamakan kegunaan dari ilmu pengetahuan itu. Budaya kita sangat 'menghormati' orang yang banyak ilmu tetapi kurang memberikan tempat pada orang yang banyak 'praktek'. Sayang sekali, penghormatan itu terlalu berlebihan sehingga tidak terbentuk suatu budaya mewujudkan ilmu pengetahuan ke dalam realita kehidupan. Contohnya, masyarakat sangat menghormati orang berpendidikan tinggi atau kyai tetapi kurang memberi tempat pada para pekerja konstruksi yang sebenarnya mereka memiliki ilmu pengetahuan di atas rata-rata.
Mungkin, karena itulah kita tidak terlalu peduli bagaimana mempraktekan ilmu yang dimiliki tetapi lebih peduli bagaimana mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya. Kemudian, dengan ilmu itu kita bisa berbicara banyak di depan umum seakan kita adalah 'paling tahu' segalanya.

Otak Kita Mengembangkan Pengetahuan
Kenyataan hidup membawa manusia pada asupan baru bagi pengetahuan dalam pikirannya. Cara belajar kita yang konvensional senantiasa mengarahkan pikiran pada bagaimana mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin tetapi lupa bagaimana merekontruksi pikiran supaya bisa mengaplikasikan pengetahuan.
Ada suatu konsep yang menyatakan bahwa apa yang dipikirkan manusia bisa menjadi sebuah kenyataan. Maksudnya, pikiran kita membangun suatu pola untuk 'merekayasa' kenyataan yang diinginkan manusia. Hanya saja, tidak banyak orang mempercayai konsep ini karena menganggap apa yang terjadi di dunia semata-semata 'kehendak' Yang Maha Kuasa, dan manusia tidak punya upaya untuk mengubahnya.
Atas dasar pemikiran itu, kebanyakan sistem pembelajaran yang dianut tidak menekankan bahwa suatu teori yang sedang dipelajari bisa menjadi sebuah kenyataan di kemudian hari. Sering kita menganggap bahwa teori itu adalah sesuatu yang telah terjadi dan terbukti. Sayangnya, kita tidak menganggap bahwa suatu teori pun bisa saja adalah sesuatu yang belum terjadi. Ketidakpercayaan manusia pada konsep 'sebab-akibat' membuat semuanya menganggap yang akan terjadi tidak bisa diprediksi. Lalu, apa kabarnya dengan teori 'hari kiamat'?
Suatu teori bukanlah sejarah dari ilmu pengetahuan. Artinya, suatu teori bukan sesuatu yang tidak akan terjadi lagi. Pikiran kita dipenuhi oleh teori-teori yang bersifat 'masa lalu' tetapi jarang diisi dengan teori-teori mengenai 'masa depan'. Padahal, pikiran manusia bisa menghasilkan teori baru disetiap harinya. Untuk itu, tidak alasan lagi ketika seorang anak kecil mengemukakan suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Misalnya, anak indigo dimana mereka bisa 'meraba' masa depan walaupun terkesan seperti ramalan. Saya pribadi percaya bahwa mereka sebenarnya bisa memahami pola-pola alam yang tidak dimengerti orang lain. Maka dari itu, menjadi sesuatu yang lumrah apabila ilmu Alloh bisa dicerna oleh sebagian kecil manusia di bumi.

Budaya Mencari Ilmu Pengetahuan
Otak manusia memiliki 'rekaman' ilmu pengetahuan yang tidak dinyatakan karena banyak faktor. Formalisasi pengetahuan menyebabkan masyarakat kita kurang menghargai pengetahuan yang dimiliki seseorang apabila tidak keluar dari mulut seorang  yang 'berpendidikan'. Sistem pengetahuan seperti itu bisa jadi sangat membantu untuk memastikan ilmu mana yang bisa digunakan dan bermanfaat. Namun, sistem yang serba formal dan kaku justru membuat orang enggan untuk 'menggali' ilmu dan 'menelorkan' ilmu yang dimilikinya.
Ada kepuasan tersendiri ketika kita bisa mempraktekan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Kemanfaatan ilmu bisa membawa seseorang pada 'berkah' dari Yang Maha Kuasa dimana ada vitalitas dalam menjalani hidup. Mereka tidak akan merasa puas akan apa yang dimiliki dan terus mencari secara mandiri pengetahuan untuk mencapai 'kesempurnaan'. Visi hidupnya terus membimbing dalam merajut pola pengetahuan yang sebelumnya belum terbangun.
Pencarian pengetahuan  belum menjadi budaya kita. Mungkin, keengganan itu datang karena terlalu adanya dikotomi antara 'si ahli teori' dan 'si ahli praktek'. Si ahli teori datang dari kalangan terpelajar sedangkan si ahli praktek datang dari kalangan berpendidikan rendah. Dikotomi ini jelas merugikan. Sementara waktu, orang akan mendapat prestise ketika disebut si ahli teori. Namun, lama-lama si ahli teori akan tersisih karena dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah masyarakat.
Kenyamanan para pemikir untuk tidak mengaplikasikan ilmunya menyebabkan kemandegan. Sulit bagi kita untuk bisa merubah keadaan, apabila suatu teori hanya dalam  kepala. Membiasakan diri untuk mengamalkan ilmu memang memerlukan energi lebih besar tetapi tentu saja akan menghasilkan karya yang lebih besar pula. Sepengetahuan saya, Rosululloh pun bukan sebagai orang yang teoritis tetapi juga mempraktekan ilmu yang dimilikinya. Maka dari itu, Islam mencapai puncak kejayaannya karena ilmu yang dimiliki para ulama dipraktekan dalam kehidupan keseharian.

Membudayakan Mengembangkan Pengetahuan
Indigeneous learninng styles adalah pendekatan dan strategi dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang tumbuh kembang pada setiap entitas, pada umumnya dipergunakan dalam mempelajari perilaku pembelajaran individual dan kelompok yang menyatu dengan akar budaya setiap entitas tersebut yang berlangsung sama tuanya dengan budaya itu sendiri.  Haris (1990) merumuskan bahwa indegeneous learning styles adalah:
1.       Belajar dengan observasi dan imitasi. Pembelajaran tidak menekankan pada pengajaran secara lisan, akan tetapi lebih menekankan pada melihat dan mengajarkan (watch and do).
2.       Belajar melalui pengalaman keseharian (from life experience). Latihan yang dilakukan pada lingkungan buatan tidak lazim dilakukan. Dengan demikian tugas dalam belajar selalu dalam dunia nyata.
3.       Belajar melalui mencoba dan salah secara pribadi (by personal trial and error). Secara bertahap pembelajar diharapkan mencapai ciri-ciri ideal dengan melalui rangkaian penyempurnaan, dengan tidak sepenuhnya tergantung pada petunjuj dari pengajarnya.
4.       Lebih menekankan pada keterampilan untuk tugas tertentu. Pengetahuan bersifat konstektual dan dalam satu ikatan suasana dan tugas. Pengetahuan tidak berada dalam prinsip dan teori yang umum.
5.       Lebih menekankan pada kemanusiaan dan hubungan. Pengetahuan berada dalam satu ikatan dan memiliki otoritas kepada seseorang yang memiliki pengetahuan tersebut, dengan demikian pengetahuan seslalu terikat dengan orangnya. Hubungan yang harmonis dengan guru dan belajar dengan melalui kerjasama lebih penting dan mengabaikan kompetisi.



Sumber:
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara Baru, Jakarta: 1985.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Imtima, Bandung: 2007.

http://www.asikbelajar.com/2014/06/ciri-dan-prinsip-konstruktivisme.html

http://riantinas.blogspot.co.id/2012/06/teori-belajar-konstruktivisme.html

Kamis, 17 Maret 2016

Klasifikasi Masyarakat Indonesia

Membangun desa pada dasarnya mengubah apa yang telah ada menjadi lebih baik. Sebelum perubahan itu dilakukan, kita mesti memahami realita masyarakat yang sedang kita hadapi.
Koentjaraningrat (1971) secara makro menyusun klasifikasi masyarakat Indonesia menurut tipologi sosial budaya berdasarkan atas unsur-unsur perambanan dalam hal sistem adaptasi ekologis, sistem dasar kemasyarakatan dan gelombang-gelombang pengaruh kebudayaan luar yang pernah dialaminya.
(1)    Tipe masyarakat berdasarkan sistem berkebun yang amat sederhana dengan keladi dan ubi jalar sebagai tanaman pokoknya dalam kombinasi dengan berburu dan meramu; penanaman padi tidak dibiasakan; sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunitas terpencil tanpa diferensiasi dan stratifikasi yang berarti; gelombang pengaruh kebudayaan menaman padi, kebudayaan perunggu, kebudayaan Hindu dan Buddha serta Islam tidak dialami; isolasi bibuka oleh zending atau missi. Kelompok masyarakat tiper pertama antara lain orang Kubu, orang Mentawai, orang Dayak pedalaman, sebagian besar penduduk Papua, dsb.
(2)    Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di ladang atau di sawah dengan padi sebagai tanaman pokok; sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunitas petani pedesaan dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang sedang dan merasakan diri bagian bawah dari suatu kebudayaan yang lebih besar, dengan suatu bagian atas yang dianggap lebih halus dan beradab di dalam masyarakat kota; masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya itu, mewujudkan suatu peradaban kepegawaian yang dibawa oleh sistem pemerintahan kolonial beserta zending dan missi, atau oleh pemerintah Republik Indonesia; gelombang pengaruh kebudayaan Hindu, Budha dan Islam tidak atau kurang dialami. Kelompok masyarakt tipe kedua antara lain orang Nias, orang Batak, orang Minahasa, penduduk Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, dsb.
(3)    Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di ladang atau di sawah denga padi sebagai tanaman pokoknya; sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunitas petani pedesaan dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang sedang ; masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya mewujudkan suatu peradaban bekas kerajaan berdagang dengan pengaruh yang kuat dari agama dan budaya Islam, bercampur dengan suatu peradaban yang dibawa oleh sistem pemerintahan kolonial; gelombang pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha tidak dialami atau hanya sedemikian kecilnya sehingga terhapus oleh kebudayaan Islam. Kelompok masyarakat tipe ketiga antara lain orang Aceh, orang Minangkabau, orang Makasar, dsb.
(4)    Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya; sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunitas petani pedesaan dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak kompleks; masyarakat kota menjadi arah  orientasinya mewujudkan suatu peradaban bekas kerajaan pertanian bercampur dengan peradaban kepegawaian yang dibawa oleh sistem pemerintahan kolonial; semua gelombang pengaruh kebudayaan asing dialami. Kelompok masyarakat tipe keempat adalah penduduk di pulau Jawa dan Bali pada umumnya.
(5)    Tipe kelima dan keenam menurut adalah masyarakat-masyarakat kota yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan masyarakat metropolitan.

Sumber:

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Imtima, 2007. 

Kamis, 10 Maret 2016

Persepsi Mengenai Alam dalam Budaya Pedesaan

Alam Indonesia begitu indah, namun kenapa masyarakat kita tidak bisa memanfaatkannya dengan maksimal? Apakah budaya kita tidak mendukung untuk terlaksananya ekploitasi dan ekplorasi alam Nusantara?

Persepsi sangat mempengaruhi bagaimana manusia berbuat. Semua berawal dari pikiran,  kita tidak bisa melihat apa yang telah terjadi sebagai sesuatu yang spontan begitu saja. Untuk itu, sebelum kita berbicara banyak mengenai kenapa pembangunan di pedesaan begitu lambat maka kita harus menelaah terlebih dahulu bagaimana orang desa mempersepsikan alam yang ada di sekitarnya.
Memahami persepsi ini penting untuk bisa menentukan pola pembangunan seperti apa yang sesuai dengan budaya setempat. Misalnya, budaya yang sangat memelihara alam sebagai sumber penghidupan tidaklah cocok apabila diterapkan pola pembangunan industrial sebagaimana yang telah terjadi di kota-kota besar. Namun, kita pun tidak bisa stagnan begitu saja tanpa melakukan apa-apa. Untuk itu, konsep-konsep yang telah ditetapkan sebaiknya bisa menjadi solusi bagi warga lokal. Dan yang terpenting, bisa 'masuk' ke dalam pola pikir warga.

Sikap Orang Timur
Nilai budaya yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha membuat kebijaksanaan Timur bersifat kontemplatif, tertuju kepada tinjauan kebenaran. Dengan demikian, berpikir kontemplatif dipandang sebagai puncak perkembangan rohani manusia. Pemikir Timur lebih menekankan segi dalam dari jiwa, dan realitas di belakang dunia empiris dianggap sebagai sesuatu yang hanya lewat dan bersifat khayalan. Timur lebih menekankan disiplin mengendalikan diri, sederhana, tidak mementingkan dunia, bahkan menjauhkan diri dari dunia. Sesuatu yang baik menurut Timur tidak terdapat hanya dalam dunia benda, tidak dengan memanipulasi alam, mengubah masyarakat dan mencari kesenangan bagi dirinya. Akan tetapi, yang baik itu diperoleh melalui pencarian zat yang satu, di dalam diri kita atau di luarnya.
Di Timur  dicari keharmonisan dengan alam, sebab alam memberi kehidupan, memberi makanan, tempat berteduh, bahan untuk seni dan sains. Nafsu untuk memperoleh hikmah atau kerinduan akan keselamatan dan kebebasan diri dari penderitaan dunia, bagi Dunia Timur cukup kuat. Ide keselamatan ini besar pengaruhnya dalam membentuk mentalitas, teori dan praktek bangsa Timur. Jalan untuk memperoleh ini semua tidak terletak pada akal budinya, tetapi dilalui melalui meditasi, tirakat (ascetic) dan mistik.
Sikap orang Timur terhadap alam adalah menyatu dengan alam, tidak  memaksakan diri dengan mengeksploitasi alam, bahkan menginginkan harmoni dengan alam karena alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kalau alam binasa, maka manusia pun akan binasa. Untuk menjaga hubungan yang harmonis terkadang muncul ekspresi kongkrit dalam bentuk hubungan mistik manusia dengan alam. Nilai kehidupan Timur yang tertinggi datang dari dalam, seperti nrimo kenyataan, mencari ketenangan dan waktu demi kesenangan, belajar dari pengalaman, menyatukan diri. Terkadang nilai spiritual yang dalam itu membuat sikap memuliakan kesendirian dan kemiskinan, menghindar untuk membangun dunia, hidup sederhana dan dekat dengan kehidupan alamiah. Ringkasnya, Dunia Timur menginginkan kekayaan hidup, bukan kekayaan benda, tenang tenteram, menyatu diri, fatalisme, pasivitas dan menarik diri.

 Sikap Orang Barat
Di Barat orang lebih condong menekankan dunia empiris sehingga mereka maju dalam sains dan teknologi. Melalui pengaruh Yunani, Barat  berkembang  dalam pengetahuan deskriptif dan spesialisasi. Dukungan sikap Barat yang lebih besar tekanannya kepada realitas dan nilai waktu menyebabkan perkembangan yang pesat dalam filsafat prosesi pengonsepan evolusi kreatif serta kemajuan. Dengan demikian, waktu mempunyai peran dalam keselamatan manusia. Manusia dengan alam menurut konsep Barat adalah terpisah. Alam sebagai dunia luar harus dieksploitasi. Hal ini terlukis dalam kata-kata: menaklukan luar angkasa, menaklukan alam dan hutan rimba.
Persepsi Islam
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."
(QS. Al-Qoshosh(28):77)

Dalam Islam, sikap pertengahan sangat dikedepankan. Islam, tidak memperbolehkan manusia untuk merusak alam, namun tidak memperbolehkan 'mendiamkan' alam. Alam sebagai sumber rezeki bagi ummat dan menjadi bentuk ibadah apabila kita memanfaatkannya.
Islam tidak pernah mengajarkan bahwa alam harus 'dibiarkan' begitu saja seakan mencari kekayaan dari alam adalah sesuatu yang terlarang. Itu keliru. Apabila ada yang menganggap bahwa memanfaatkan potensi alam bisa membawa kerusakan di muka bumi itu hanyalah akal-akalan pihak yang ingin melemahkan ummat Islam. Pemikiran itu datang dari para sufi yang seakan merasa paling soleh ketika 'menghindar dari keindahan dunia'. Padahal, dunia ini sebagai perantara bagi kita untuk masuk surga-Nya.
Sayangnya, warga desa sendiri memiliki pemikiran yang 'campur aduk' mengenai persepsi mereka tentang alam. Sedikit sekali yang menganggap alam ini sebagai sumber kehidupan sehingga harus dimanfaatkan dengan maksimal. Celakanya, para Ulama di pedesaan justru mengajarkan pemahaman yang keliru mengenai alam ini. Ulama kita lebih terpengaruh oleh ajaran Hindu-Budha yang menganggap alam harus 'dibiarkan' begitu saja.
Untuk mengubah pemikiran itu, bisa dengan cara 'revolusioner' yakni industrialisasi pedesaan. Di desa, harus ada agen pembaharu yang bisa membawa masyarakat pada kemajuan industri dengan memanfaatkan alam dan segala potensinya.

Sumber:
Ir. M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar, Eresco, Bandung: 1988.
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan Ummatnya, Salman ITB, Bandung: 1983.

Kamis, 03 Maret 2016

Orientasi Nilai Budaya

Sebelum kita berbicara banyak hal tentang budaya, alangkah baiknya kita memahami terlebih dahulu orientasi nilai budaya di berbagai belahan dunia.