Ketika ada
keinginan untuk membangun daerah, maka mesti ada suatu teori yang cocok untuk
diterapkan di sana. Kita bisa saja membuka banyak buku atau bertanya kepada
para ahli mengenai bagaimana cara menata masa depan lingkungan. Namun, apakah
teori yang telah kita pelajari bisa diwujudkan? Bagaimanakah cara kita untuk
memahami 'pola-pola' penerapan suatu teori hingga bisa menjadi kenyataan?
Perubahan kondisi sosial di suatu daerah,
bagaimana pun akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana para penduduknya berperilaku. Manusia Indonesia memiliki cara
tersendiri untuk membangun desanya. Hanya saja, ada banyak kesulitan yang
sering dialami ketika suatu teori yang hanya dalam angan-angan sulit diwujudkan
dalam kenyataan. Apakah perilaku yang ada itu memang hasil dari suatu 'setting'
dari para pemangku kebijakan ataukah secara alami berjalan begitu saja.
Hal yang sangat disayangkan, kita tidak
dibiasakan untuk mewujudkan apa yang ada di pikiran dalam suatu kenyataan.
Selama kita belajar di sekolah, selalu saja 'dicekoki' dengan teori-teori
tetapi belum diajarkan bagaimana mewujudkan
teori-teori itu. Entah filsafat pendidikan yang dianut memang tidak mengarahkan
seseorang untuk mewujdkan suatu teori, ataukah suatu teori itu memang harus
ditelan 'mentah-mentah'.
Mungkin, budaya kita memang sangat mengagungkan
ilmu pengetahuan tetapi tidak mengutamakan kegunaan dari ilmu pengetahuan itu.
Budaya kita sangat 'menghormati' orang yang banyak ilmu tetapi kurang
memberikan tempat pada orang yang banyak 'praktek'. Sayang sekali, penghormatan itu terlalu berlebihan sehingga tidak
terbentuk suatu budaya mewujudkan ilmu pengetahuan ke dalam realita kehidupan. Contohnya,
masyarakat sangat menghormati orang berpendidikan tinggi atau kyai tetapi
kurang memberi tempat pada para pekerja konstruksi yang sebenarnya mereka
memiliki ilmu pengetahuan di atas rata-rata.
Mungkin, karena itulah kita tidak terlalu
peduli bagaimana mempraktekan ilmu yang dimiliki tetapi lebih peduli bagaimana
mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya. Kemudian, dengan ilmu itu kita bisa
berbicara banyak di depan umum seakan kita adalah 'paling tahu' segalanya.
Otak Kita Mengembangkan Pengetahuan
Kenyataan hidup membawa manusia pada asupan
baru bagi pengetahuan dalam pikirannya. Cara belajar kita yang konvensional
senantiasa mengarahkan pikiran pada bagaimana mengumpulkan pengetahuan sebanyak
mungkin tetapi lupa bagaimana merekontruksi pikiran supaya bisa mengaplikasikan
pengetahuan.
Ada suatu konsep yang menyatakan bahwa apa yang
dipikirkan manusia bisa menjadi sebuah kenyataan. Maksudnya, pikiran kita
membangun suatu pola untuk 'merekayasa' kenyataan yang diinginkan manusia.
Hanya saja, tidak banyak orang mempercayai konsep ini karena menganggap apa
yang terjadi di dunia semata-semata 'kehendak' Yang Maha Kuasa, dan manusia tidak
punya upaya untuk mengubahnya.
Atas dasar pemikiran itu, kebanyakan sistem
pembelajaran yang dianut tidak menekankan bahwa suatu teori yang sedang
dipelajari bisa menjadi sebuah kenyataan di kemudian hari. Sering kita
menganggap bahwa teori itu adalah sesuatu yang telah terjadi dan terbukti. Sayangnya,
kita tidak menganggap bahwa suatu teori pun bisa saja adalah sesuatu yang belum
terjadi. Ketidakpercayaan manusia pada konsep 'sebab-akibat' membuat semuanya
menganggap yang akan terjadi tidak bisa diprediksi. Lalu, apa kabarnya dengan teori
'hari kiamat'?
Suatu teori bukanlah sejarah dari ilmu
pengetahuan. Artinya, suatu teori bukan sesuatu yang tidak akan terjadi lagi. Pikiran
kita dipenuhi oleh teori-teori yang bersifat 'masa lalu' tetapi jarang diisi
dengan teori-teori mengenai 'masa depan'. Padahal, pikiran manusia bisa
menghasilkan teori baru disetiap harinya. Untuk itu, tidak alasan lagi ketika
seorang anak kecil mengemukakan suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Misalnya, anak indigo dimana mereka bisa 'meraba' masa depan walaupun terkesan
seperti ramalan. Saya pribadi percaya bahwa mereka sebenarnya bisa memahami
pola-pola alam yang tidak dimengerti orang lain. Maka dari itu, menjadi sesuatu
yang lumrah apabila ilmu Alloh bisa dicerna oleh sebagian kecil manusia di
bumi.
Budaya Mencari Ilmu Pengetahuan
Otak manusia memiliki 'rekaman' ilmu
pengetahuan yang tidak dinyatakan karena banyak faktor. Formalisasi pengetahuan
menyebabkan masyarakat kita kurang menghargai pengetahuan yang dimiliki
seseorang apabila tidak keluar dari mulut seorang yang 'berpendidikan'. Sistem pengetahuan
seperti itu bisa jadi sangat membantu untuk memastikan ilmu mana yang bisa digunakan
dan bermanfaat. Namun, sistem yang serba formal dan kaku justru membuat orang
enggan untuk 'menggali' ilmu dan 'menelorkan' ilmu yang dimilikinya.
Ada kepuasan
tersendiri ketika kita bisa mempraktekan ilmu pengetahuan yang dimiliki.
Kemanfaatan ilmu bisa membawa seseorang pada 'berkah' dari Yang Maha Kuasa dimana
ada vitalitas dalam menjalani hidup. Mereka tidak akan merasa puas akan apa
yang dimiliki dan terus mencari secara mandiri pengetahuan
untuk mencapai 'kesempurnaan'. Visi hidupnya terus membimbing dalam merajut
pola pengetahuan yang sebelumnya belum terbangun.
Pencarian pengetahuan belum menjadi budaya kita. Mungkin, keengganan
itu datang karena terlalu adanya dikotomi antara 'si ahli teori' dan 'si ahli
praktek'. Si ahli teori datang dari kalangan terpelajar sedangkan si ahli
praktek datang dari kalangan berpendidikan rendah. Dikotomi ini jelas
merugikan. Sementara waktu, orang akan mendapat prestise ketika disebut si ahli
teori. Namun, lama-lama si ahli teori akan tersisih karena dianggap tidak mampu
menyelesaikan masalah masyarakat.
Kenyamanan para pemikir untuk tidak
mengaplikasikan ilmunya menyebabkan kemandegan. Sulit bagi kita untuk bisa
merubah keadaan, apabila suatu teori hanya dalam kepala. Membiasakan diri untuk mengamalkan ilmu
memang memerlukan energi lebih besar tetapi tentu saja akan menghasilkan karya
yang lebih besar pula. Sepengetahuan saya, Rosululloh pun bukan sebagai orang
yang teoritis tetapi juga mempraktekan ilmu yang dimilikinya. Maka dari itu,
Islam mencapai puncak kejayaannya karena ilmu yang dimiliki para ulama
dipraktekan dalam kehidupan keseharian.
Membudayakan Mengembangkan Pengetahuan
Indigeneous learninng styles adalah pendekatan dan strategi dalam memperoleh
pengetahuan dan keterampilan yang tumbuh kembang pada setiap entitas, pada
umumnya dipergunakan dalam mempelajari perilaku pembelajaran individual dan
kelompok yang menyatu dengan akar budaya setiap entitas tersebut yang
berlangsung sama tuanya dengan budaya itu sendiri. Haris (1990) merumuskan bahwa indegeneous learning
styles adalah:
1.
Belajar dengan observasi dan imitasi. Pembelajaran tidak menekankan pada
pengajaran secara lisan, akan tetapi lebih menekankan pada melihat dan
mengajarkan (watch and do).
2.
Belajar melalui pengalaman keseharian (from life experience).
Latihan yang dilakukan pada lingkungan buatan tidak lazim dilakukan. Dengan
demikian tugas dalam belajar selalu dalam dunia nyata.
3.
Belajar melalui mencoba dan salah secara pribadi (by personal trial
and error). Secara bertahap pembelajar diharapkan mencapai ciri-ciri ideal
dengan melalui rangkaian penyempurnaan, dengan tidak sepenuhnya tergantung pada
petunjuj dari pengajarnya.
4.
Lebih menekankan pada keterampilan untuk tugas tertentu. Pengetahuan
bersifat konstektual dan dalam satu ikatan suasana dan tugas. Pengetahuan tidak
berada dalam prinsip dan teori yang umum.
5.
Lebih menekankan pada kemanusiaan dan hubungan. Pengetahuan berada dalam
satu ikatan dan memiliki otoritas kepada seseorang yang memiliki pengetahuan
tersebut, dengan demikian pengetahuan seslalu terikat dengan orangnya. Hubungan
yang harmonis dengan guru dan belajar dengan melalui kerjasama lebih penting
dan mengabaikan kompetisi.
Sumber:
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, Aksara Baru, Jakarta: 1985.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP
UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Imtima, Bandung: 2007.
https://id/wikipedia.org/wiki/Kontrukstivismehttps://surianto200477.wordpress.com/2009/09/17/teori-pembelajaran-konstruktivisme/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...