Minggu, 21 Desember 2014

Keengganan Mendirikan Usaha: Keengganan Memimpin

Ada suatu realita unik dalam masyarakat kita, dimana banyak orang yang memiliki modal namun enggan untuk mendirikan usaha. Begitu banyak alasan yang bisa dikemukakan atas situasi yang sedang terjadi.

Berawal dari bagaimana seseorang berpikir. Cara pandang sebagian anggota masyarakat akan berwirausaha turut serta menjadikan mereka enggan untuk mendirikan perusahaan, meskipun secara finansial mereka mampu.
Pada kesempatan ini saya akan menilai pada satu aspek saja yakni bagaimana masyarakat kita menganggap arti penting pemberdayaan diri pribadi dan lingkungannya. Pemberdayaan diri tentu saja erat kaitannya dengan sikap percaya diri dan yakin akan kemampuan dirinya sendiri. Orang-orang yang berdaya bukanlah orang yang inferior _atau rendah diri_.
Saya curiga sikap inferior masih menjangkiti sebagian masyarakat. Begitu banyak ketertinggalan yang dialami belum mampu untuk dikejar. Sikap inferior ini tentu saja bisa memberikan penilaian negatif terhadap kemampuan diri sendiri. Berkenaan dengan pembahasan essay ini, ketidakerpacayan diri untuk menjadi pemimpin bisa saja mempunyai hubungan dengan keengganan seseorang untuk mendirikan perusahaan.
Sudah menjadi kepastian, bahwa menjadi seorang pengusaha sekaligus menjadi seorang pemimpin meskipun hanya memimpin dirinya sendiri. [1] Misal, seorang tukang nasi goreng yang berjualan dengan gerobak. Dia harus bisa memimpin dirinya sendiri untuk lebih disiplin. Si tukang nasi goreng tidak diperintah oleh siapa pun tetapi dia sendiri yang 'memerintah' jiwa dan raganya untuk mengerjakan setiap tugas yang dibebankan dirinya sendiri.
Kata yang 'magis' dari 'pemimpin' seakan berpengaruh pada cara pandang seseorang tentang apa pemimpin itu. Ada anggapan bahwa menjadi pemimpin adalah sama dengan mendekatkan diri pada api neraka. Dalam banyak kesempatan, ulama senantiasa mewanti-wanti betapa beratnya tanggung jawab sebagai pemimpin. Harus diakui, ulama kita cenderung mengulang-ulang hadist Nabi tentang kepemimpinan namun tidak membahas bagaimana konsep kepemimpinan itu diterapkan dalam kehidupan keseharian.
Konsep kepemimpinan hanya diidentikan dengan organisasi keagamaan dan pemerintahan. Para pemimpin seakan ditempatkan pada posisi istimewa sehingga tidak banyak orang yang 'siap' untuk menempati posisi itu. Anggapan 'magis' tadi juga mempengaruhi cara pandang orang bahwa pemimpin merupakan sosok yang harus ditempatkan di tempat terhormat. Para pemimpin tidak layak untuk 'menjadi kaya' karena harus merasakan kesusahan orang yang dipimpinnya. Bagi sebagian masyarakat, pemimpin adalah orang-orang yang tidak lagi memikirkan permasalahan duniawi sehingga kebutuhan hidupnya ditanggung oleh ummat. Betulkah begitu?
Cara pandang masyarakat ini berimbas pada bagaimana mereka menempatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Orang lebih suka 'cari aman saja' jika dihadapkan dalam persoalan kepemimpinan ini. Di tengah masyarakat, kebanyakan kita hanya menenmpatkan diri sebagai 'pengikut'. Pragamatisme ini membuat kita hanya ingin senangnya saja tetapi tidak bersedia ketika diberi tanggung jawab lebih.[2]
Menjadi pemimpin mempunyai tanggung jawab besar bila  dibandingkan dengan orang di sekelilingnya. Ketidak siapan ini menciutkan nyali seseorang untuk berbuat lebih banyak yang sudah diperbuatnya. Dapat dipahami, para pengusaha yang sudah punya sedikit karyawan enggan untuk menambah skala usahanya karena enggan untuk memperbesar tanggung jawabnya. Padahal, dengan menambah skala usaha maka dia bisa menambah manfaat atas keberadaan perusahaannya. Dalam kesehariannya, ada banyak orang yang menerima keuntungan atas produk yang dijual. Para karyawan, distributor, agen, pengecer hingga pembeli pun akan memperolah manfaat atas usahanya.
Individualisme?[3]
Menjadi pengusaha berarti memikirkan 'nasib' orang lain yang ada di bawah pengaruhnya. Turut serta untuk memecahkan permasalahan yang dialami banyak orang adalah suatu nilai kehidupan yang sangat berharga. Perlu diketahui, tidak banyak orang yang bisa melakukan hal itu. Solusi atas banyak permasalahan bisa diselesaikan sekaligus dengan berjalannya suatu perusahaan. Ada banyak orang ingin punya rumah, menikah, sekolah dan sebagainya bisa diselesaikan apabila kita membuka lapangan kerja bagi orang tersebut. Luar biasa kan?
Sudah menjadi opini umum, bahwa sikap peduli kepada sesama adalah dengan memberikan sedekah kepada orang yang tidak mampu secara ekonomi. Benarkah hanya itu? Kepedulian itu lahir dari kesadaran bahwa manusia saling berhubungan satu sama lain. Albert Einstein mengatakan bahwa kepedulian sejati adalah kepedulian kepada seluruh eksistensi, terhadap setiap butir debu sekalipun yang ada di dalamnya. Ilmu pengetahuan menunjukan bahwa kita semua berpartisipasi, menunjukan kepada kita bahwa kita semua bagian satu sama lain. Saya adalah pelindung saudara saya karena saya adalah saudara saya.
Bukankah apabila kita peduli kepada orang lain berarti kita turut serta memikirkan 'eksistensi' orang lain. Selalu ada keinginan memberikan solusi atas masalah orang lain.  Saya pikir, jangan pernah berpikir bahwa menjadi pengusaha adalah identik dengan 'mengumpulkan harta kekayaan'. Menjadi pengusaha adalah mengoptimalkan potensi kehidupan sehingga bisa memberikan 'pengaruh' baik bagi masyarakat.
Masalahnya, beranikah kita menjadi pemimpin bagi saudara kita. Bukan bermaksud untuk menjadi penguasa semata, tetapi orang terdepan yang menyodorkan solusi bagi kehidupan. Bukankah orang yang terbaik adalah orang yang memberikan manfaat bagi sesamanya. Keberanian kita untuk 'beribadah' sangat diperlukan bukan hanya menjadi orang yang biasa saja dalam beribadah. Seperti para mujahid, ibadah akan maksimal jika disertai dengan upaya memperbaiki kondisi ummat.
Walaupun kita tidak punya rencana memimpin, namun ummat sangat membutuhkannya.[4] Rencana memimpin bisa saja dicanangkan dari sekarang ketika situasi mendorong kita untuk melakukannya.
Pemimpin Berarti Mempunyai Visi dan Nilai
Dalam pikiran manusia, tertanam suatu nilai dan visi yang akan membimbingnya ke arah kehidupan yang lebih baik.[5] Visi dan nilai yang dimaksud adalah bagaimana seorang pengusaha bisa menjadikan bisnisnya sebagai tempat untuk memelihara persahabatan, melayani, kebahagiaan, persamaan hak dan sebagainya.
Ada banyak nilai yang dianut oleh manusia di dunia. Nilai-nilai yang dianut  selalu bersifat positif maka hasil yang diharapkan positif pula. Bergantung pada niat masing-masing, untuk apa dia mendirikan usaha itu. Motifasi mendapatkan keuntungan semata sepertinya tidak bisa menjadi pembimbing karena usaha bisa saja mengalami kerugian. Ada alasan kuat dan fundamental mengenai kenapa perusahaan harus didirikan.
Sebauh perusahaan bisa saja didirikan dengan maksud untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Juga, sebuah perusahaan bisa saja didirikan dengan alasan untuk memanfaatkan potensi alam yang dimiliki lingkungan sekitarnya. Apapun itu, semangat untuk membangun layaknya ada dalam diri para pengusaha karena mereka berperan penting dalam proses pembangunan terlepas besar atau kecilnya peran itu.



[1] Danah Zohar dan Ian Marshall, Spiritual Capital, 2005, Mizan, Bandung: hal. 344
[2] Ibid. hal. 151-154
[3] Ibid. hal. 238 
[4] Andi Mappiare,Psikologi Orang Dewasa, Usaha Nasional, Surabaya: hal. 40.
[5] Danah Zohar, op.cit. hal. 224-225

Minggu, 14 Desember 2014

Pola Pembangunan Para Konglomerat

"Diatas kesakralan properti, peradaban bergantung."
(Andrew Carnegie, 1889)

Hal yang menarik untuk dicermati, bagaimana para konglomerat menjalankan bisnisnya. Namun, hal yang harus pertama kita ketahui adalah 'apa yang ada di pikiran para konglomerat ini'. Hanya saja, kita tidak punya cara untuk mengetahui isi pikiran mereka. Mengetahui pola pembangunan kehidupannya adalah hal yang paling mungkin dilakukan.
Para konglomerat ini mempunyai peranan kunci dalam proses pembangunan masyarakat. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan, sebaiknya kita tidak perlu menilai para konglomerat sebagai 'pribadi yang serakah'. Pemikiran picik itu datang karena kita tidak bisa menerima 'jasa' mereka sebagai lokomotif pembangunan. Sosok-sosok kreatif seperti mereka masih diperlukan di era modern seperti sekarang ini. Terlepas dari kontroversi yang mungkin timbul, alangkah baiknya jika kita bisa mengambil pelajaran penting dari apa yang telah mereka lakukan.
Carnegie dan Era Baja
Salah satu orang yang akan  saya bicarakan disini adalah Andrew Carnegie. Pria kelahiran Skotlandia ini adalah seorang yang kaya dengan membangun korporasi pabrik besi dan baja terbesar di seluruh Amerika. Carnegie datang dari Skotlandia saat ia masih bocah berumur 12 tahun. Ia memulai kariernya dengan bekerja sebagai seorang pesuruh di pabrik kapas, yang kemudian berlanjut dengan menjadi karyawan di sebuah kantor telegraf dan di perusahaan Pennsylvania Railroad. Pada tahun 1865, ketika umurnya belum mencapai 30 tahun, ia sudah melakukan investasi yang sangat pintar dan berpandangan jauh ke depan. Ia berkonsentrasi pada besi. Dalam beberapa tahun saja ia telah menguasai atau memiliki saham di perusahaan yang membangun jembatan besi, rel kereta api dan lokomotif. Sepuluh tahun kemudian, pabrik baja yang ia bangun di Sungai Monongahela di Pennsylvania menjadi yang terbesar di Amerika.
Kekuasaan Carnegie tidak terbatas pada pabrik-pabrik baja saja. Ia juga menguasai bisnis batu bara dan arang, biji besi dari Danau Superior, satu armada kapal uap di Danau Besar, kota pelabuhan di Danau Erie, serta jalur rel kereta api yang saling berhubungan. Perusahaan Carnegie, bersama belasan perusahaan sekutunya, bisa meminta perjanjian yang menguntungkan dari perusahaan kereta api dan pelayaran. Pertumbuhan industri yang tak tertandingi seperti ini tak pernah terjadi sebelumnya di Amerika.[1]
Liem Sioe Liong
Lahirnya Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) No. 1 Tahun 1967 serta Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Tahun 1968, telah memberikan angin segar yang berhasil merangsang para pemilik modal untuk mengembangkan dunia usaha di Indonesia. Kesempatan emas ini ternyata tidak disia-siakan oleh para pengusaha (dalam dan luar negeri) termasuk diantaranya Liem Sioe Liong alis Sudono Salim, yang pada tahun 1945-1949 hanya dikenal sebagai pemasok utama kebutuhan Divisi Diponegoro di Jawa Tengah.
Namun, dalam waktu singkat semenjak Pemerintahan Orde Baru, pengusaha kelahiran Fujien, RRC ini berhasil membangun imperium bisnis di Indonesia dan luar negeri. Melalui Salim Economic Development Coorporation (SEDC) di Jakarta dan First Pacific Company di Hong Kong, Liem Sioe Liong telah mengembangkan usahanya sedemikian rupa.[2]
Ada Peran Wirausahawan dalam Pembangunan
Kata wiraswasta atau 'pengusaha' diambil dari bahasa Perancis 'entreupreuneur' yang padamulanya berarti pemimpin musik atau pertunjukan lainnya. Dalam ilmu ekonomi, seorang pengusaha berarti seorang pemimpin ekonomi yang mempunyai kemampuan untuk mendapatkan peluang secara berhasil memperkenalkan mata dangan baru, teknik baru, sumber pemasukan baru, juga merangkum pabrik, peralatan, manajemen dan tenaga buruh yang diperlukan serta mengorganisasikannya kedalam suatu teknik pengoperasian.
Apapun bentuk tatanan ekonomi dan politik suatu negara, kewirasawastaan merupakan faktor penting bagi pembangunan ekonomi. Di negara sosialis, negara bertindak sebagai pengusaha. Begitu juga halnya di negara terbelakang dimana pengusaha swasta kurang berani mengambil resiko usaha baru. Sedangkan pada masyarakat kapitalis maju, pengusaha swasta memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi.[3]
Peranan pengusaha dibagi menjadi: kapitalis, manajer dan pengusaha. Jadi pengusaha menyediakan dana dan sumber lainnya, mengawasi dan mengkoordinasikan sumber produktif, serta merencanakan, mengadakan pembaharuan dan mengambil keputusan pokok. Pada perusahaan kecil, fungsi tersebut dapat dilaksanakan oleh pengusaha sendiri. Dia memiliki kekayaan yang menjadi satu dengan perusahaannya yang terbuka terhadap resiko bisnis. Dia berperan serta sepenuhnya secara terus-menerus dalam proses produktif yang sebenarnya.
Ciri utama pengusaha industri kecil tidak terletak pada kesukaannya berpetualang, maupun motifasinya untuk menghasilkan laba, tetapi kemampuannya memimpin orang lain dalam usaha bersama dan kecenderungannya mengadakan penemuan baru. Pada tahap awal industrialisasi, melimpahnya penemuan baru tersebut adalah karena sifat dasar teknologi yang memerlukan peran serta langsung dan segera dari pengusaha.[4]
Mengutamakan Ilmu Pengetahuan
Bagi para konglomerat, ilmu pengetahuan menjadi hal utama. Dengannya, hal-hal yang diharapkan bisa dijabarkan dalam bentuk rencana. Ilmu pengetahuan bisa membawa manusia kepada majunya peradaban. Ada banyak bukti bagaimana ilmu pengetahuan menjadi jalan bagi perubahan kehidupan masyarakat.
Tentu saja, dengan iImu pengetahuan kerajaan bisnis mereka bisa dibangun. Perusahaan yang didirikan memerlukan strategi bisnis yang terarah. Inovasi dan kreatifitas menjadi 'ruh' perjalanan usaha para konglomerat. Semangat itu ternyata tidak begitu saja lahir. Ada semacam proses panjang sehingga 'terbentuk' budaya dari masing-masing individu dan kelompok yang melahirkan produktifitas.
Menurut Porter dalam I Wibowo, [5]producktivity culture (budaya produktif) sebagai akibat dari semangat persaingan antar bangsa yang hanya terjadi setelah munculnya gejala globalisasi. Globalisasi tidak hanya membuat manusia dan barang berputar ke seluruh dunia, tetapi juga menimbulkan persaingan keras antar bangsa. Bangsa-bangsa bersaing satu sama lain untuk mencari keunggulan. Demi memenangkan persaingan, sebuah bangsa harus memiliki productivity culture.
Budaya produktif itu menghasilkan serangkaian nilai: innovation as good, competion is good, accountability is good, high regulatory standards are good, investment in capabilities and technology is a necessity, employess are assets, connectivity and networks are essential, education and skills are essential to support more productive work, dsb.. Ketika kultur atau nilai-nilai semacam ini muncul (dimunculkan), maka sebuah bangsa akan sanggup bersaing di arena bebas dunia.
Semangat bersaing itu merangsang para pengusaha untuk terus menggali segala kemungkinan bagi perubahan. Cara-cara yang bisa digunakan dipelajari dengan seksama sebelum akhirnya digunakan dalam kegiatan usahanya. Semangat bersaing pula yang merangsang mereka menjadi pribadi yang ingin terus belajar dan tidak pernah puas dengan pengetahuan yang dimiliki.
Liem Sioe Liong mendirikan Yayasan Prasetya Mulya yang bergerak di bidang pendidikan. Andrew Carnegie mendirikan perpustakaan dan membiayai penelitian tentang pembangunan sumberdaya manusia. Diantara hasil penilitiannya yang terkenal adalah kerjasamanya dengan Napoleon Hill mengenai bagaimana jalan menuju sukses beratus orang yang berpengaruh di Amerika.
Berdasarkan hal di atas, kiranya dapat diambil pelajaran bagaimana ilmu pengetahuan memiliki arti penting bagi kemajuan suatu bangsa. Keinginan untuk terus 'mencari tahu' menjadi ciri manusia-manusia 'berkualitas tinggi'. Hal yang lumrah jika para konglomerat bisa 'menguasai dunia' karena apa yang sedang terjadi di dunia dipahaminya dengan baik. Dengan begitu, mereka pun memberi respon positif atas setiap kejadian.
Strategi Pembangunan : Ilmu yang Bisa Dipelajari
Dari kedua tokoh di atas, kita bisa menyimpulkan bagaimana mereka menerapkan strategi pembangunan bisnisnya. Padamulanya, para konglomerat senantiasa memiliki rencana jangka panjang yang dimanifestasikan dalam strategi bisnis di kemudian hari. Tidak banyak orang yang memiliki sebuah rencana jangka panjang. Tidak banyak pula orang yang bisa 'menerawang' hingga jauh ke masa depan. Untuk itu, strategi yang telah diterapkan bisa dipelajari dengan seksama dan kemudian ditiru serta dimodifikasi. Warga dunia memperhatikan bahwa para konglomerat turut serta merencanakan 'bagaimana dunia berjalan sesuai dengan rencana'.
Para konglomerat juga senantiasa menginvestasikan dananya dalam berbagai bentuk properti seperti rumah, pabrik, kendaraan dan sebagainya. Bagaimanapun, properti menjadi ciri yang dapat terlihat dari majunya peradaban suatu bangsa. Entah kapan, generasi masa depan akan menikmati hasil dari apa  yang telah dibangun orang generasi saat ini. Generasi saat ini juga menikmati hasil investasi para pendahulunya.
Investasi-investasi yang dilakukan tentu saja secara langsung membuka lapangan kerja di berbagai bidang. Apabila kita ingin membuka lapangan kerja bagi generasi setelah kita maka berinvestasi menjadi cara yang lumrah. Budaya berinvestasi sudah selayaknya digalakan sehingga menjadi kebiasaan di tengah masyarakat kita.



[1] Garis Besar Sejarah Amerika, Halaman 204.
[2] Sori Ersa Saragih dan Kencana Tirta Widya, Liem Sioe Liong: Dari Futching Ke Mancanegara, 1989.
[3] ML. Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, 1993, hal. 535.
[4] Ibid., hal. 536.
[5] I Wibowo, Belajar dari Cina, Kompas, 2007, hal. 212 & 218

Kamis, 27 November 2014

Intuisi untuk Membangun

Secara naluriah manusia menginginkan adanya perubahan dalam hidupnya ke arah perbaikan. Demi mempertahankan eksistensi dirinya, manusia terus menerus berpikir bagaimana menjadikan kehidupan di sekelilingnya menuju ke arah kemajuan.
Warga desa memang perlu adanya keinginan untuk membangun. Entah darimana perasaan itu datang. Mungkin, Alloh memberikan sebagian karunianya kepada kita berupa petunjuk untuk menjadikan lingkungan kita menjadi lebih berkembang. Sebagai warga desa, semestinya kita tidak perlu bingung bagaimana masa depan desa kita. Sebenarnya, sudah ada cara bagaimana menata masyarakat pedesaan yang tertera dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Hanya saja, perlu adanya keinginan untuk terus menggalinya lebih dalam lagi.
Sebagai hamba-Nya, kita dikaruniai ilmu pengetahuan dalam berbagai aspek. Diantara ilmu pengetahuan itu adalah ilmu teknis dan non-teknis mengenai kehidupan di desa kita. Para petani, mereka punya ilmu untuk bertani. Para tukang kayu, mereka punya ilmu untuk membangun rumah. Ada hal unik yang luput dari perhatian, bahwa ternyata ilmu pengetahuan itu tidak sepenuhnya berasal dari seorang guru. Ada ilmu pengetahuan yang secara langsung diberikan oleh Alloh kepada seseorang. Misalnya, seorang petani yang bingung karena hama menyerang sawahnya. Secara naluriah, dia meramu obat hama yang disebar ke seluruh areal pesawahan. Alhasil, tanpa diduga hama di sawahnya berangsur menghilang. Nah, sebenarnya itu adalah ilmu pengetahuan yang dianugerahkan Alloh kepadanya.
Intuisi (Kata Hati) Juga sebagai Jalan Ilmu Pengetahuan
Dalam perspektif Islam, ilmu pengetahuan didapat dari dua jalan. Pertama, ilmu pengetahuan yang didapat atas perolehan (husuli) dimana ada sumber pengetahuan berupa buku atau guru sebagai perantara. Kedua, ilmu pengetahuan yang didapat atas pemberian (huduri) dimana sumbernya langsung dari Alloh tanpa perantaraan.
Pengetahuan yang dapat dilihat oleh hati ini merupakan pengetahuan dasar yang diperoleh alat yang terlihat oleh hati atau pusat keberadaan manusia bukan hanya oleh akal. Sayangnya, konsepsi pengetahuan batin ini kurang mendapat perhatian karena dianggap tertentangan dengan akal.[1]
Arah Pembangunan sebagai Petunjuk Alloh
Warga desa tidak perlu bingung dengan arah pembangunan yang hendak dicapai. Memang, perlu adanya hitungan matematis dalam menyusun sebuah rencana jangka panjang. Tetapi, perhitungan itu berfungsi untuk membantu dalam pengambilan keputusan. Secara intuitif, manusia bisa menentukan arah kehidupannya masing-masing.
Dalam prosesnya, warga dituntut untuk senantiasa menggunakan pikiran kreatifnya. Apabila pola pikir kreatif ini terus diasah maka sebenarnya kita sedang mencari data yang ada dalam otak kita. Perlu diketahui, otak kita menyimpan begitu banyak data.
Arah pembangunan bagi setiap warga memang akan berbeda tergantung dari kepentingannya masing. Hanya saja, kejelasan arah ini diperlukan demi tercapainya harapan setiap warga. Arah pembangunan yang besar, bisa dibagi-bagi lagi dalam satuan terkecil hingga sampai ke level keluarga.
Anggota keluarga memiliki pemahaman yang sama akan tujuan dibangunnya sebuah rumah hingga bagaimana menata halaman rumah. Anggota keluarga juga memiliki pemahaman yang sama mengenai pola pendidikan yang akan ditempuh karena itu akan sangat berpengaruh pada pola pembangunan masyarakat di masa depan. Justru, kesederhaan konsep lebih memudahkan tercapainya tujuan dibangunnya suatu masyarakat.
Dalam proses pembangunan, kreatifitas masing-masing individu sangat berperan. Pada kondisi seperti itu, pemerintah hanya menjadi fasilitator bagi kepentingan warganya. Maka dari itu, setiap orang hendaknya memiliki upaya untuk 'mencari' inspirasi sendiri demi kepentingan bersama. Dalam kehidupan kolektif, ide dari seseorang sangat dibutuhkan untuk perubahan secara menyeluruh dan berkesinambungan.




[1] Dr. Sayyid Husein Nasser, Hubungan Antara Intelek dan Intuisi dari Perspektif Islam, dalam Islam dalam Masyarakat Kontemporer, hal. 65.

Perencanaan Sosial

Perencanaan sosial (social planning) pada dewasa ini menjadi ciri yang umum bagi masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami perubahan-perubahan atau perkembangan. Sebenarnya perencanaan sosial yang bertujuan untuk melihat jauh ke depan telah ada sejak dahulu dan telah pula dipikirkan oleh para sosiolog. Auguste Comte misalnya, berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk melihat jauh ke depan serta mengendalikan tujuannya. Pernyataan tadi kemudian diperkembangkan lebih lanjut oleh Lester F. Ward yang mempergunakan istilah social telesis  untuk menunjuk pada arah yang dituju suatu masyarakat.[1]
Menurut sosiologi, suatu perencanaan sosial harus didasarkan pada pengertian mendalam tentang bagaimana kebudayaan berkembang dari taraf yang rendah ke taraf modern dan kompleks dimana dikenal industri, peradaban kota dan selanjutnya. Selain itu harus pula ada pengertian terhadap hubungan manusia dengan alam sekitarnya, hubungan antara golongan-golongan dalam masyarakat dan pengaruh penemuan-penemuan baru terhadap masyarakat dan kebudayaan.
Suatu perencanaan sosial haruslah didasarkan pada spekulasi atau idam-idaman pada keadaan yang sempurna. Perencanaan sosial, dari sudut sosiologi merupakan alat untuk mendapatkan perkembangan sosial, yaitu dengan jalan menguasai serta memanfaatkan kekuatan alam dan sosial serta menciptakan tata tertib sosial, melalui mana perkembangan masyarakat terjamin kelangsungannya.
Kecuali daripada itu, perencanaan sosial bertujuan pula untuk menghilangkan atau membatasi keterbelakangan unsur-unsur kebudayaan teknologi atau materiil. Suatu gejala dewasa ini adalah bahwa timbulnya problema-problema sosial adalah disebabkan oleh keterbelakangan tersebut di atas penyalahgunaan sumber-sumber alam, demoralisasi kehidupan keluarga, angka yang tinggi dari kejahatan, sakit jiwa, merupakan akibat keterbelakangan tadi. Jalan pertama yang harus ditempuh adalah dengan menyesuaikan lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan kondisi-kondisi kemajuan serta perkembangan teknologi yang pesat tadi. Setelah hal itu diatasi, barulah dapat diatasi persoalan-persoalan yang mengganggu masyarakat.[2]
Penyesuaian terhadap kehidupan yang berkembang tersebut di atas, tergantung pada adanya suatu pengertian mengenai bekerjanya masyarakat. Pengertian tersebut dapat diperoleh dengan studi serta penelitian-penelitian ilmiah yang memerlukan ketekunan.
Pemecahan Problema Sosial
Menurut George A. Lundberg ketidaksanggupan untuk memecahkan problema sosial disebabkan oleh karena:
1. Kurangnya pengertian terhadap sifat hakekat masyarakat dan kekuatan-kekuatan yang membentuk hubungan antar manusia.
2. Kepercayaan bahwa problema-problema sosial dapat diatasi dengan semata-mata mendasarkannya pada suatu keinginan untuk memecahkan persoalan tadi, tanpa mengadakan penelitian-penelitian yang mendalam dan obyektif.
Kesukaran
Menurut Lunberg, kesukaran yang utama terletak pada kepercayaan umum bahwa hubungan-hubungan sosial tidak tunduk pada penelitian ilmiah. Dan juga, karena masyarakat percaya bahwa pemecahan-pemecahan atas problema-problema sosial telah diketahui dan tinggal diterapkan saja.
Kepercayaan tersebut keliru sekali, oleh karena setiap problema sosial harus diteliti agar diketahui faktor-faktornya agar supaya diketemukan cara-cara untuk mengatasinya. Perencanaan sosial bukanlah semata-mata menjadi tugas para ahli dan petugas-petugas negara, akan tetapi memerlukan dukungan dari masyarakat, oleh karena masyarakat tersangkut di dalamnya. Suatu perencanaan sosial tak akan berarti banyak, apabila individu-individu tidak belajar untuk menelaah gajala-gejala sosial secara objektif sehingga dia dapat turut serta dalam perencanaan tersebut.
Prasyarat
Menurut Ogburn dan Nimkoff, prasyarat suatu perencanaan sosial yanng efektif adalah:
1. Adanya unsur modern dalam masyarakat yang mencakup suatu sitem ekonomi dimana telah dipergunakan uang, urbanisasi yang teratur, intelegensia di bidang teknik dan ilmu pengetahuan, dan suatu sistem administrasi yang baik.
2. Adanya sistem pengumpulan keterangan dan analisa yang baik.
3. Terdapatnya sikap publik yang baik terhadap usaha-usaha perencanaan sosial tersebut.
4. Adanya ppimpinan ekonomis dan politik yang progresif.
Selanjutnya, untuk melaksanakan perencanaan sosial tersebut dengan baik, diperlukan organisasi yang baik, yang berarti adanya disiplin di satu pihak serta hilangnya kemerdekaan di pihak lainnya. Suatu konsentrasi wewenang juga  diperlukan untuk merumuskan dan menjalankan perencanaan tersebut  agar supaya perencanaan tadi tidak terseret oleh perubahan-perubahan sebagai akibat dari tekanan-tekanan atau kepentingan-kepentingan dari golongan-golongan yang established dalam masyarakat.
Sebagai masyarakat yang sedang berada dalam periode transisi, warga desa perlu perencanaan sosial, dengan syarat tersebut diatas. Yang pokok adalah, bahwa perencanaan sosial tersebut mengalami proses institusionalisasi dan bahkan internalisasi dalam diri warga masyarakat desa.





[1]  Sepenuhnya disadur dari Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975, hal. 294-295.
[2]  Lembaga ekonomi bisa menjadi sarana yang sesuai dengan perubahan yang sedang terjadi.

Kamis, 20 November 2014

Bersahabat dengan Investor Asing

Sumber : google.com
Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo berkunjung ke luar negeri untuk menghadiri 3 forum internasional secara berurutan yakni Forum Apec, forum Asean dan forum G-20. Dalam pertemuan tersebut, beliau secara lugas mengundang para investor dari berbagai negara untuk menanamkan dananya di Indonesia pada berbagai sektor.
Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia sudah masuk ke dalam arena perdagangan bebas dimana investasi asing bisa dengan mudah masuk ke tanah air. Apabila ada yang berminat membuka usahanya di Indonesia maka siapa pun tidak berhak untuk menghalangi. Pemerintah berjanji memberikan berbagai fasilitas yang diperlukan bagi para investor terutama investor yang ingin bergerak di bidang kemaritiman.
Saya berpikir bahwa di masa depan kita jangan heran apabila ada pengusaha asing yang bermaksud mendirikan usahanya di desa tempat  tinggal kita. Sebagai warga desa, kita tidak bisa menghalang-halangi orang untuk membuka usahanya. Sebagaimana banyak perusahaan yang sudah ada, pabrik-pabrik atau lahan-lahan milik perusahaan asing berada di tengah-tengah lahan milik warga desa. Derasnya investasi asing, memberikan pengaruh bagi kondisi sosial dan ekonomi warga desa.
Sebagai warga desa, hendaknya kita mempunyai sikap yang proporsional atas berdatangannya investor asing. Sangat tidak bijak jika kita 'mengusir ' mereka begitu saja dengan alasan akan 'memeras' kekayaan alam milik kita. Juga tidak baik jika kita hanya menjadi 'penonton' saja atas aktifitas perusahaan dimana sebagai warga kita tidak dilibatkan. Suatu dilema, satu sisi investasi diundang masuk hingga ke desa-desa tetapi di sisi lain bisa saja ada penolakan warga lokal karena berbagai alasan.
Sebagai warga lokal (pribumi) sebaiknya orang desa mempunyai daya tawar. Apabila perusahaan membawa serta modalnya ke desa maka harus ada timbal balik bagi kebaikan warga desa sendiri. Bukan sebaliknya, lingkungan pedesaan menjadi rusak akibat aktifitas perusahaan. Itulah yang sering terjadi di banyak tempat karena 'lemahnya' daya tawar masyarakat desa sendiri. Ketika perusahaan asing datang dengan segala kemegahannya, warga seperti 'terkejut'. Padahal tidak harus begitu, malahan kita anggap mereka sebagai rekan bisnis yang akan memberikan banyak keuntungan.
Bagaimanapun, perusahaan asing itu sengaja diundang oleh Pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya. Terlepas dari segala kontroversi, perusahaan asing dibutuhkan untuk turut serta menggerakan roda perekonomian nasional. Investasi asing _dengan modal yang besar dan manajemen berpengalaman_ dianggap lebih mampu memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di daerah di seluruh Indonesia. Sebenarnya ini menjadi peluang bagi pengusaha lokal untuk 'belajar' dan menjalin  kerja sama demi kepentingan bersama.
Untuk memperkuat daya tawar warga desa maka sebaiknya warga desa meyodorkan beberapa persyaratan atas pendirian usaha, diantaranya:
·  Menanamkan investasi di pedesaan harus turut serta membuka lapangan kerja baru sebanyak mungkin. Mendahulukan usaha padat karya akan lebih bijaksana dibandingkan usaha padat modal.
·  Perusahaan harus turut serta membangun infrastruktur desa dimana dananya diambil dari sebagian keuntungan usaha.
·  Perusahaan harus menjamin kenyamanan bagi warga. Jangan sampai keberadaan perusahaan justru membuat perubahan tatanan kehidupan menjadi lebih buruk. Perusahaan jangan menjadi 'perusak' lingkungan pedesaan yang sudah asri.
· Perusahaan harus memiliki peranan sosial di tengah warga desa. Malahan perusahaan sebaiknya menjadi lokomotif bagi pembangunan desa sendiri.

Warga desa sebaiknya memiliki proposal kerjasama yang jelas. Melalui aparat Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, masyarakat bisa mengajukan berbagai tawaran kerjasama yang saling menguntungkan. Warga bisa menjadi 'pengawas' yang baik keberlangsungan usaha. Begitupun, perusahaan bisa menjalankan aktifitasnya dengan lancar. Saya berharap jangan ada konflik antara perusahaan dengan warga sekitar sebagaimana yang sering dilihat di media massa. Mungkin, konflik terjadi karena tidak proposal kerjasama yang bisa disepakati antara keduabelah pihak.

Selasa, 18 November 2014

Penanggulangan Kerusakan Lingkungan : Penciptaan Lapangan Pekerjaan di Sektor Non-Pertanian

Tekanan penduduk terhadap luas lahan bersumber pada bertambahnya penduduk petani, sedangkan luas lahan tidak bertambah.

Akibatnya, nisbah  lahan terhadap petani makin kecil dan pendapatan petani semakin menurun. Nisbah itu dapat diperbesar dengan memperbesar luas lahan atau memperkecil jumlah petani. Di Jawa, luas lahan tidak dapat lagi ditambah tanpa menimbulkan masalah lingkungan, seperti rusaknya hutan. Pilihan yang tinggal ialah memperkecil jumlah petani. Memindahkan petani, misalnya transmigrasi, mempunyai efek demikian. Cara lain ialah untuk menyalurkan petani ke lapangan pekerjaan di sektor non-pertanian di daerah pedesaan. Dalam hal ini jumlah penduduk, dan dengan demikian kepadatan penduduk, tidak berkurang. Akan tetapi, tekanan penduduk terhadap lahan akan berkurang. Sebab, tekanan penduduk terhadap lahan tidak ditentukan oleh jumlah penduduk total, melainkan oleh jumlah petani.
Pertanian pada dasarnya adalah usaha pemanfaatan energi matahari melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan. Dari hasil fotosintesis itu, oleh tumbuhan dan hewan dihasilkan berbagai macam bahan berguna untuk makanan, bahan bakar, bahan bangunan dan lain-lain.
Pengalihan Subsidi Energi
Petani memerlukan luas lahan yang besar untuk kehidupannya, yaitu diperkirakan rata-rata mnimal 0,7 hektar. Untuk mengurangi kebutuhan lahan, harus digunakan energi dalam bentuk yang padat, yaitu BBM, gas alam, batubara dan listrik. Dengan energi itu dapat dikembangkan industri. Sebagian petani dapat disalurkan ke sektor non-pertanian itu, sehingga sebenarnya yang terjadi ialah menghidupi sebagian petani itu dengan subsidi energi yang didatangkan dari daerah lain.
Dengan demikian, terjadi pergesaran kehidupan sebagian petani dari energi matahari yang diubah menjadi bahan organik melalui fotosintesis ke energi non-fotosintesis yang bersifat padat. Karena subsidi energi yang bersifat padat ini, pedesaan lalu dapat mendukung kepadatan penduduk yang tinggi.
Fungsi energi itu adalah untuk menggerakan mesin yang menaikan produksi per orang per satuan waktu. Misalnya, apabila tanpa mesin seseorang dapat membuat sebuah kursi bambu dalam dua hari, dengan mesin ia dapat membuat dua buah kursi dalam sehari. Mesin juga berfungsi agar orang tidak tersiksa oleh pekerjaannya. Misalnya, transpor barang dengan memikul atau mendorong gerobak yang berat merupakan suatu siksaan. Transpor dengan kendaraan bermotor akan lebih manusiawi. Mesin itu kita jadikan budak kita. Dengan itu martabat manusia dinaikan. Dalam menggunakan mesin harus dijaga agar mesin tidak mengambil kesempatan kerja orang. Tetapi, justru agar mesin itu menciptakan lapangan kerja baru. Jadi, ada pergeseraran pekerjaan  orang dari jenis yang tidak manusiawi ke jenis yang manusiawi. Tujuan pengembangan industri ialah  untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang dapat memberikan pekerjaan penuh dengan pendapatan untuk hidup layak.
Industri yang sangat mungkin untuk dikembangkan di daerah pedesaan ialah industri pasca panen. Dengan industri ini, hasil pertanian ini akan mendapat nilai tambah. Misalnya, buah dapat diolah menjadi sari buah, bambu menjadi mebel, buah dan karet menjadi berbagai macam barang. Nilai tambah itu semakin besar, makin tinggi permintaan akan barang itu dan mutu hasil industri itu. Nilai tambah yang tinggi dapat menjadi sumber kehidupan baru.
Dapat juga dikembangkan industri yang tidak menggunakan hasil pertanian sebagai bahan mentahnya. Misalnya industri alat pertanian dan industri keramik. Industri yang dikembangkan, tentulah sangat bergantung pada keadaan masing-masing tempat, antara lain tersedianya bahan mentah. Misalnya, di daerah Priangan, Jawa Barat industri pasca panen ikan.
Berkurangnya Tekanan Penduduk
Dengan berkurangnya tekanan penduduk terhadap lahan, kerusakan hutan untuk digunakan sebagai lahan pertanian juga berkurang. Dengan demikian hutan lebih mudah untuk dijaga keselamatannya. Apabila hutan yang rusak tidak terjamah, dalam kebanyakan hal hutan dapat pulih kembali dengan kekuatannya sendiri, karena adanya curah hujan yang cukup di banyak daerah di Indonesia. Di daerah dengan erosi yang sudah lanjut,juga musim kemarau yang panjang proses pemulihan itu akan lambat, dan perlu bantuan orang. Jenis yang akan tumbuh kembali secara spontan di daerah itu akan tergantung pada biji yang ada dan akan terbawa masuk, misalnya oleh angin. Suatu suksesi akan terjadi, sehingga akhirnya akan terjadi hutan lebat.
Berkurangnya tekanan penduduk juga akan menurunkan kekuatan dorong dari desa untuk pindah ke kota. Selain itu kesempatan kerja yang baik di desa akan mengurangi daya tarik kota. Dengan demikian laju urbanisasi dapat dihambat.

Pendekatan penciptaan lapangan pekerjaan untuk menanggulangi masalah urbanisasi dan lahan kritis, secara langsung merupakan usaha pembangunan pedesaan. Pendekatan itu juga membantu tercapainya tujuan pemerataan pembangunan.[1]

[1]  Sepenuhnya disadur dari Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Otto Soemarwoto. Djambatan. Jakarta: 1983. Hal. 227.

Minggu, 16 November 2014

Seni Mempengaruhi Massa

Ibnu Saud adalah Penguasa Negeri Arab yang memerintah dengan kepribadiannya yang kuat dan kekuatan tangan kanannya. Seorang pria yang hebat, luar biasa, penuh gairah hidup dan berpengaruh. Seorang raksasa yang terangkat ke luar dari segala kekacauan dan kesengsaraan Gurun Pasir…untuk memerintah.
Ibnu Saud, Raja Diraja, agung dan tenang, memerintah Gurun Pasir dengan keadilan dan hukuman-hukuman yang patut dicontoh. Ia telah menorehkan kehendaknya pada masyarakat yang sukar diperintah dalam kerajaannya yang luas.
Ia hidup tanpa kemegahan ataupun upacara-upacara. Syeh atau budak; kaya atau miskin, semua mempunyai hak untuk bersilaturahmi di hadapannya; semua disambut sebagai tamunya. Semua datang atas tanggung jawab masing-masing, karena ia berkuasa atas Hidup dan Mati, dan tidak mengenal ampun dalam pengambilan keputusan. Ia duduk di dalam istananya di Mekkah atau di dalam Balai Pertemuannya di Riyadh, dengan jubah Arabnya yang sederhana menutupi tubuhnya; mukanya bagaikan elang dan pundaknya yang kekar menjorok ke muka selagi ia menerima bawahannya, mendengarkan ikrar atau keluhan mereka, atau memberikan perintah singkat kepada pegawainya. [1]
***
Begitulah sepenggal kisah tentang seorang raja pendiri Kerajaan Arab Saudi yang kekuasaannya begitu luas dan menjadi negeri terluas di Timur Tengah. Saya bukan hendak menceritakan ketokohan seseorang karena khawatir pada 'mengangungkan' seseorang yang belum tentu bisa menjadi panutan. Mungkin, ada sisi negatif dari seseorang yang sebenarnya tidak patut untuk dicontoh.
Dari kisah yang saya baca, ada pelajaran penting yang bisa dipetik. Salah satunya tentang bagaimana kita mempengaruhi khalayak ramai supaya bisa menerima ide-ide yang kita lontarkan. Pertama, ternyata perlu adanya visi mempengaruhi khalayak. Untuk apa kita mempengaruhi mereka. Jika untuk kebaikan, kenapa tidak kita punya niat ke arah sana.
Kedua, mempengaruhi orang bukan untuk berkuasa, tetapi melayani. Pelayanan terbaik harus diberikan maka akan ada timbal balik yang baik pula. Walaupun terkadang tidak semua orang bisa terpengaruh, tetapi setidaknya ada keinginan orang lain untuk mengikuti apa yang kita sampaikan.
Ketiga, dalam rangka mempengaruhi khalayak sebaiknya kita memperhatikan kebutuhan mereka. Seseorang yang ingin membangun masyarakatnya tidak cukup dengan melontarkan konsep-konsep tentang perbaikan kehidupan, tetapi harus punya cara untuk memberikan jalan pemenuhan kebutuhan anggota masyarakat. Ini buksn untuk 'menyuap' demi diterimanya sebuah ide tetapi bentuk kepedulian akan sesama yang seharusnya terjalin erat.
Keempat, cobalah pikirkan apa yang akan kita 'wariskan' untuk generasi selanjutnya. Jelas terlihat, banyak orang-orang 'besar' yang mewariskan sesuatu untuk generasi selanjutnya. Mereka begitu berpengaruh bahkan setelah mereka meninggal. Ketika ada keinginan untuk 'mewariskan' sesuatu, maka dia akan berusaha untuk 'menancapkan' pengaruh kebaikan dalam kehidupan kesehariannya.
Perubahan Sulit Dilakukan
Jangan heran ketika perubahan sulit dilakukan di tengah kehidupan bermasyarakat. Kita ingin kemajuan dari hari ke hari tetapi begitu sulitnya mempengaruhi orang untuk bersama-sama menuju ke kemajuan itu.
Perlu ada 'seni' untuk mempengaruhi orang dimana memang tidak ditemukan ilmu pasti. Mempengaruhi orang untuk kebaikan itu perlu adanya keikhlasan hati untuk bersama-sama memperbaiki diri. Melayani dengan sepenuh hati, akan memancarkan energi luar biasa bagi perubahan di sekelilingnya.
Konsep sehebat apapun, sepertinya sulit terealisasi jika keikhlasan hati itu tidak ada. Perlu diingat, teori pembangunan itu hanyalah sebagian kecil dari cara untuk membangun desa kita. Selebihnya, perlu ada keinginan kuat dan kelapangan dada untuk menjalani setiap proses dari pembangunan itu.



[1] HC. Amstrong. Jejak Sang Penguasa. 1986. Hal. 228

Kamis, 06 November 2014

Filosopi Hidup 'Cukup', Masih Berlakukah?

Pernahkah kita bertanya, kenapa terjadi banyak 'kemandekan' dalam kehidupan bermasyarakat? Ketika terjadi banyak kemajuan di negeri orang, justru kita tidak mengalami perubahan berarti dalam beberapa tahun terakhir.
Salah satu jawaban dari pertanyaan diatas adalah karena adanya perasaan puas dalam hati dan pikiran kita. Kita merasa tenang dengan apa yang telah didapatkan. Dengan anggapan, bahwa sudah sepantasnya kita bersyukur atas apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepada ummat manusia. Hidup berkecukupan seakan menjadi cara hidup paling bijaksana dalam menata kehidupan masa kini dan menyongsong masa depan.
Saya tidak bermaksud mengecilkan arti penting hidup sederhana, tetapi saya ingin menegaskan bahwa hidup sederhana bukan berarti hidup 'apa adanya'. Hidup sederhana suatu cara yang ditempuh dengan tidak menghamburkan banyak harta. Sedangkan, hidup apa adanya menperlihatkan gaya hidup orang yang tidak mau berubah menjadi lebih baik lagi. Tidak punya ambisi.
Tadi pagi saya menonton Apa Kabar Indonesia (TV One), yang menceritakan bagaimana para nelayan yang merasa cukup dengan penghasilan yang diperoleh. Tetapi, narasumber menyatakan bahwa harus ada perubahan pola pikir supaya ada keinginan dari para nelayan untuk meningkatkan penghasilannya. Dengan begitu, diharapkan ada optimalisasi potensi kelautan yang ada di Indonesia.
Begitulah, bangsa yang tidak mau bertumbuh tentunya akan mundur. Adakalanya bangsa yang sedang berkembang,  digulingkan oleh gerakan reaksi massa. Kita telah melihat hal ini terjadi dengan Rusia, Jerman, Italia, Spanyol dan Amerika. Dan kadang-kadang, suatu bangsa yang sedang merosot, tiba-tiba hidup lagi dan berkembang. Karena adanya perubahan ke arah kemajuan.
Merasa cukup bisa juga berarti bentuk keengganan untuk berpikir. Kemandegan berpikir berawal dari anggapan bahwa otak kita hanya berfungsi sebagai alat untuk mengingat dan mengahapal fakta-fakta semata. Padahal, otak kita punya potensi yang sangat besar apabila digunakan berpikir. Bagian yang kreatif dari otak, banyak yang mengabaikannya. Padahal, berpikir menjadi cara untuk mempertahankan eksistensi diri dan eksistensi kehidupan itu sendiri. "Cogito ergo Sum" atau "Aku berpikir, maka itu aku ada", begitulah Descartes berujar.[1]
Memang, kondisi di luar diri kita terkadang 'memaksa' kita untuk 'menerima kenyataan'. Sering kita merasa hidup ini tidak adil. Banyak kemalangan menimpa kehidupan ini. Namun, kondisi di luar diri kita tidak perlu mempengaruhinya. Kekuatan pikiran dan jiwa kita akan memberikan 'pencerahan' akan jalan hidup mana yang harus dilalui. Sekian panjang jalan terjal yang dilalui, tidak mesti menghentikan indahnya hidup ini. Kenyamanan hidup tidak hanya timbul karena kondisi di sekeliling kita yang nyaman tetapi hati dan pikiran kita yang membuatnya nyaman.
Kampanyekan Perbaikan Bukan Kecukupan
Kalau kita bisa memandang ke masa depan dan melihat perdagangan atau industri, maka kita melihat masa lima puluh tahun mendatang dengan penuh ketakjuban oleh sejumlah perbaikan. Seandainya kita bisa menghidupkan pemilik toko klontong yang sudah meninggal lima puluh tahun silam maka dia akan tercengang dengan adanya supermarket yang tumbuh dimana-mana. Ia tak akan mempercayai matanya sendiri. Sudah pasti anak-anak kita akan melakukan banyak hal yang kita sangka mustahil _pada awalnya. Dan cucu-cicit kita malah melakukan lebih banyak lagi.
Tidak ada organisasi manusia yang sempurna. Ini harus selalu diingat oleh kita semua. Tak akan ada tempat dimana kita bisa mengatakan bahwa suatu hal 'sudah cukup baik'. Itulah sebabnya pekerjaan kreatif begitu menggairahkan lagi menarik, serta begitu menguntungkan.
Melancarkan kampanye perbaikan akan membuat setiap orang mau belajar. Ia akan rajin belajar dari buku-buku atau dari orang lain, sebab beberapa dari pekerjaannya meminta lebih banyak pengetahuan daripada yang ia miliki. Hanya orang yang malas dan sombonglah menyangka bahwa ia telah cukup banyak. Begitu dia menjadi tukang memperbaiki, ia mencari-cari pengetahuan demi pengetahuan.
Tak peduli apa pun profesi yang kita pilih, di suatu tempat di dunia ini akan ditemukan orang yang telah memperkembangkan diri sampai ke taraf yang paling tinggi. Kadang-kadang tampil seorang innovator dari dusun yang jauh dari keramaian kota. Banyak orang-orang desa yang menyumbangkan perbaikan bagi kehidupan di dunia ini. [2]
Seringkali seseorang mempunyai pikiran sesat bahwa ia sudah mencapai akhir pengetahuannya mengenai bidang pekerjaannya. Pengetahuan dan penemuan tak pernah kunjung berakhir. Selalu ada saja yang baru. Henry Ford pernah mengatakan 'stabilitas adalah ikan mati yang hanyut mengalir. Stabilitas satu-satunya yang kami kenal dalam negara ini adalah perubahan".
Merasa Cukup Bukan Berarti Terhindar dari Resiko
Kebanyakan dari kita menghendaki kepastian, keamanan dan terlalu banyak dari kita menduga bahwa perubahan berarti resiko. Kenyataannya ialah bahwa perbaikan-perbaikan terus menerus yang akan menjamin keselamatan kehidupan. Saya ingin menegaskan sekali lagi di sini, bukankah pakaian yang sudah usang tidak digemari lagi kemudian datang model pakaian baru yang justru laku. Perubahan selalu terjadi, di bidang mana saja. Perubahan akan membawa kepada kesuksesan asal semuanya dilakukan dengan tepat dan mengenai sasarannya.



[1] Dale Carnegie. What Make Value. Hal. 106
[2] Ibid. Hal. 112.