Rabu, 21 Oktober 2020

Berpikir Besar, Terlaksanakah?

Ilustrasi: aquariuslearning.co.id

Memikirkan hal-hal besar dalam hidup, mungkin biasa bagi bangsa besar yang menguasai peradaban dunia. Hasil dari pemikiran besar mereka di masa lalu, kini sudah terwujud. Jadi, jika anak-cucu mereka berpikir jauh lebih besar ya wajar.

Berpikir besar, bagi saya, belum menjadi bagian dari budaya keluarga. Kami masih disibukan dengan pemikiran bagaimana memenuhi kebutuhan dasar. Makanya, jangan aneh jika kebutuhan dasar sudah terpenuhi tidak ada lagi gairah untuk memikirkan atau melakukan hal lain. Pensiun.

Imajinasi hari tua yang sejahtera dan bahagia memang menjadi tujuan banyak orang. Sayangnya, setelah pensiun ya _maaf_ hanya menunggu kematian. Nyaris tidak ada harapan untuk membangun warisan lebih besar kepada sanak keluarganya.

Keberadaan seseorang tidak terlalu berpengaruh pada peradaban. Terlalu egois, karena hanya memikirkan isi perut masing-masing.

***

Memang menjadi pertanyaan besar, apakah berpikir besar bisa terlaksana? Saya sudah mencari di dunia maya atau dunia nyata jika hal-hal besar bisa terjadi jika diawali pemikiran besar. Pelaksanaan sebuah hasil pemikiran, tidaklah terjadi dalam sekejap mata. Mungkin saja behari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Namun, pemikiran besar bisa menjadi bagian dari budaya sekumpulan manusia.

Saya sering gemas pada sikap kita yang tidak mau berpikir besar. Alhasil, jiwa tidak terdorong untuk bertindak. Bahkan untuk melakukan hal sederhana seperti membuang sampah. Dalam budaya kita, sampah dianggap hal sepele maka beginilah jadinya. Sungai jadi tempat sampah terbesar!

Minggu, 18 Oktober 2020

Sikap 'Bertahan' Di Tengah Peradaban, Sungguh Merugikan

 

Taktik sepakbola menyerang. (Ilustrasi: Bandit Football)

"Taktik terbaik untuk bertahan adalah menyerang."


Ditengah peradaban yang serba kompleks, sekedar "bertahan" untuk hidup hanyalah kerugian. Saya, tumbuh di tengah peradaban yang lebih banyak bertahan dibanding menyerang.

Sebagai orang Sunda, bertahan dari serbuan bangsa lain sudah menjadi bagian dari budaya. Berdasarkan sejarah yang saya baca, sikap orang Sunda ini malah menjadi prinsip yang dilihat sebagai kekuatan tetapi nyatanya adalah bentuk kelemahan.

Bertahan dari serbuan budaya lain, tepatnya dominasi peradaban bangsa lain, hanya bisa bertahan dalam jangka pendek. Juga, hanya berlaku pada manusia-manusia idealis yang jumlahnya sedikit. Lama-kelamaan kemampuan bertahan itu akan "bobol" juga.

Ketika pertahanan sudah rapuh, maka dengan mudah bangsa lain memporakporandakan bangunan budaya yang tercipta sejak lama. Lalu, kita hanya gigit jari dan merasakan penyesalan teramat dalam karena tidak menyerang balik sejak awal.

***

Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa sikap bertahan ala orang Sunda malah membuat orang Sunda terasing dari akar budayanya sendiri. Semua aspek "kalah telak", sehingga menyerah begitu saja. Mulai dari ekonomi, politik hingga teknologi, orang Sunda hanya menjadi bangsa yang kalah. Hampir tidak ada lagi yang bisa dibanggakan.

Lucunya, kekalahan ini malah ditimpakan menjadi kesalahan orang lain. Menyalahkan orang Cina bahkan menyalahkan Tuhan. Sungguh keterlaluan!

Orang Sunda tidak berdaya untuk bangkit lagi dari kekalahan. Tertunduk lesu. Orang Sunda hanya bisa menjadi bangsa "setengah budak" dari bangsa lain yang berdatangan ke tanah Pajajaran. Kami, menjadi mayoritas yang terpinggirkan. Hanya bangga dengan kuantitas tetapi memalukan secara kualitas. ...

Minggu, 11 Oktober 2020

Hidup di Desa Tanpa Filosofi, Bisakah?




Manusia Indonesia yang hidup di desa, tentu saja memiliki filosofi sendiri dalam mengarungi hidupnya. Perbedaan cara pandang kita _sebagai orang desa_ terhadap desa kita perlu banyak peyesuaian.

Coba kita bayangkan, mau seperti apa kehidupan kita di desa? Diam saja menunggu seperti cara pandang orang dahulu, saya pikir sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman.

Menunggu, ya menunggu pemberian Pemerintah Pusat untuk membangun desa hanya membuat kita menjadi "beban" pembangunan. Padahal, manusia Indonesia sejatinya menjadi penggerak pembangunan itu sendiri.

Saya hanya ingin mengajak bahwa hidup di desa itu harus menjadi modal utama bagi pembangunan kehidupan secara nasional bahkan secara global. Menjadi warga pedesaan bukan lagi "takdir" buruk akibat hidup ditengah serba keterbatasan. Menjadi warga desa malah menjadi modal penting dikala sedang terjadi restrukturisasi ekonomi global akibat pandemi.

Dengan perubahan filosofi menjadi filosofi yang dinamis, maka secara teori manusia dimanapun bisa menggerakan kehidupan itu sendiri. Apatah ia hidup di padang tandus seperti pedalaman Saudi Arabia. Apalagi, kita hidup di alam Indonesia yang dikaruniai banyak "modal kehidupan".

***

Dahulu, saya berpikir jika dilahirkan di desa merupakan bentuk takdir yang "terpaksa" harus diterima. Kesulitan kehidupan di desa masih dianggap sebagai hambatan untuk mencapai kemajuan. Dalam pikiran saya _dan pikiran orang-orang sekitar_ hidup di desa tidak bisa dan tidak akan pernah mendatangkan kemajuan.

Tapi, itu dahulu. Ketika kemapanan kota masih menjanjikan banyak hal. Pandemi melanda, dan bluurrr anggapan itu buyar seketika. Kehidupan kota begitu memukul perekonomian. Kerusuhan melanda, kondisi sosial menjadi penghalang bagi pembangunan peradaban yang lebih baik.

Lalu, berdasarkan laporan-laporan penelitian berbagai Lembaga, ternyata orang desa dianggap lebih tahan terhadap dampak buruk pandemi. Hanya saja, tidak semua orang desa menyadari bahwa kemampuan bertahan mereka adalah konsep hidup yang perlu diperhitungkan. Ada tren di perkotaan untuk bercocok tanam, agar kebutuhan pangan keluarga terpenuhi. Bukankah itu kebiasaan orang desa?

Nah, filosofi orang desa yang senantiasa nrimo itu harus segera diubah. Realita membuktikan jika orang desa punya kekuatan kultural untuk mengubah arah kehidupan dunia. Peradaban tidak hanya bergantung pada orang kota, justru jantung peradaban mulai bergeser ke desa.





Sabtu, 03 Oktober 2020

Kayu Bakar untuk Bertahan Di Tengah Kesulitan


Ketika ktia kelelahan mencari sesuatu yang tidak ada atau jauh dari kediaman, maka melihat ke sekeliling bisa menjadi solusi.


Bapa saya akhir-akhir ini rajin membelah kayu-kayu yang tumbuh di sekitar rumah. Untuk bahan bakar, demi menghemat anggaran belanja. Menanak nasi dan memasak air di atas tungku, tidak banyak menggunakan kompor demi usaha penghematan.

Ketika banyak orang, sibuk mencari uang untuk membeli kebutuhan rumah tangga maka Bapa saya lebih suka menanam pepohonan. Ketika pohon itu sudah besar, manfaatnya begitu banyak.

Salah satu yang saat ini dirasakan adalah kesanggupan kami untuk sekedar bertahan hidup di kala ekonomi sedang tidak baik. Meskipun negara sedang dilanda banyak bencana, kami bisa bertahan demi sekedar makan. Alhamdulillah.